PENDAHULUAN
Stres adalah suatu kondisi yang dialami oleh manusia, berupa kumpulan-
kumpulan gangguan fisik dan psikis, yang disebabkan ketidakmampuan manusia
menghadapi tekanan-tekanan fisik dan terutama tekanan psikologis. Penyebab
utama stres adalah perubahan yang drastis (ekstrim) dari suatu keadaan ke
keadaan yang lain Ada stres tahap awal yang hanya menimbulkan kegugupan,
kelesuan, keletihan atau otot punggung dan tengkuk kenceng-kenceng. Ada stres
tahap gawat yang menimbulkan debaran jantung amat keras, sesak nafas,
terengah-engah, badan gemetar, dingin, keringat bercucuran, bahkan pingsan.
Salah satu dampak stres adalah depresi dengan gejala-gejala: gangguan tidur,
rasa cemas, takut dan emosi yang melemah.
B. EMOSI
B. Pengertian Emosi
Emosi memiliki jenis yang berbeda-beda. Emosi terdiri dari sedih, takut, jijik,
sedih dan terkejut. Ragam emosi tidak memiliki acuan yang sama dan memiliki
gradasi yang berbeda. Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah bagian
dari emosi. Emosi berkembang karena motif dan derajat perasaan.
Menurut Carolyn Saarni (2002) dalam buku (Educational Psychology 2004 :79) dia
mengatakan ” demonstrate emotional competence when we emerge from an
emotion-eliciting encounter with a sense of having accomplished what we set out
to do” kita memperlihatkan perasaan emosi, ketika dihadapkan dengan suatu
perasaan untuk memenuhi apa yang kita lakukan.
Menurut Paul Eggen & Don Kauchak (Educational Psychology 2004 : 107-108 ) “
Emotion factors include, shame, the painful emotion aroused when people
recognize that they have failed to act or think in ways they believe are good and
guilt, the uncomportable feeling people get when they know they have caused
distress for someone else. Although its unpleasant, experiencing shame and guilt
indicates that moral development is advancing and future behaviour will improve
(Damon,1988), Emphathy is the ability to experience the same emotion someone
else his feeling. 2. Factor emosi meliputi perasaan malu, perasaan bersalah dan
perasaan empati.
Charles Darwin dalam bukunya The Expression of Emotions in Man and Animal
(1872-1965) Emotion evolved other important aspects of human and nonhuman
structure and functions. Darwin juga berpandangan bahwa emosi merupakan
warisan atau sesuatu yang memang sudah ada dan akan muncul ketika
berhadapan dengan situasi kejadian tertentu yang terjadi di dunia.
2. Komponen Emosi
Jika kita mengalami suatu emosi yang kuat, seperti rasa takut atau marah, kita
mungkin merasakan sejumlah perubahan pada tubuh, termasuk denyut jantung
dan pernapasan yang cepat, rasa kering di tenggorokan dan mulut, berkeringat,
gemeteran dan perasaan tertekan di lambung. Sebagian besar perubahan
fisiologis yang terjadi selama rangsangan emosional terjadi akibat aktivasi cabang
simpatik dan sistem saraf otonomik untuk mempersiapkan tubuh melakukan
tindakan darurat. Sistem simpatik bertanggung jawab untuk terjadinya perubahan-
perubahan berikut :
Aktivitas sistem saraf otonomik tersebut dipicu oleh aktivitas di daerah otak
tertentu, termasuk hipotalamus yang memiliki peranan penting dalam banyak motif
biologis dan sistem limbik. Impuls dari area-area tersebut ditransmisikan ke nuklei
di batang otak yang mengendalikan fungsi sistem saraf otonomik. Sistem otonomik
kemudian bekerja langsung pada otot dan organ internal untuk menimbulkan
beberapa perubahan tubuh yang dijelaskan sebelumnya, dan bekerja secara tidak
langsung dengan menstimulasi hormon adrenal untuk menimbulkan perubahan
tubuh lainnya.
Seperti kita telah ketahui bahwa salah satu komponen utama suatu emosi
adalah reaksi berada dalam suatu keadaan emosional. Walaupun sebagian reaksi
saat berada di dalam keadaan emosional adalah spesifik untuk emosi yang dialami
seperti mendekati seseorang saat gembira atau menjauhkan diri jika takut, reaksi
lain tampaknya berlaku pada emosi secara umum. Jelasnya, berada dalam
keadaan emosional : (a) dapat memberi kita energi atau mengganggu kita; (b)
menentukan apa yang kita perhatikan dan pelajari; dan (c) menentukan
pertimbangan apa yang kita gunakan dalam memandang dunia.
C. STRES
1. Pengertian Stres
Sapolsky, seperti ditulis dalam buku Psychology and Life karangan Richard G.
Gerricc dan Phillip G. Zimbardo (2005: 406) menyatakan “stress is feling that you
might report for brief for period, you felt happiness, sadness, anger, astonish and
so on that reported as a kind of background noise for much of day to day
experience” stress adalah perasaan yang menggambarkan perasaan bahagia,
terkejut dan lain-lain yang digambarkan sebagai jenis dari latar belakang
gangguan atas banyaknya pengalaman secara terus menerus. Selanjutnya
sapolsky menyatakan bahwa stress adalah pola respon suatu organisma dalam
membuat stimulus yang mengganggu keseimbangan dan kemampuannya dalam
mangatasinya.
“…as an internal state which can be caused by physical demands on the body
(disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by
environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful,
uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King, 1986: 321).
Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh
tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi
merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau
proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan
psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper,
1994).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat
merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan
beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber
stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.
Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa
yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian
terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat
dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap
stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu
peristiwa.
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai
peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya
dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat
menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian
kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye,
1956).
2. Karakteristik
Stres telah menjadi topik yang populer. Media sering kali menyatakan perilaku
atau penyakit yang tidak lazim pada manusia sebagai akibat dari stres atau
nervous breakdown akibat stres. Sebagai contoh, jika seorang selebritis mencoba
bunuh diri, sering kali dikatakan ia mengalami tekanan dalam kehidupan
bermasyarakatnya. Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, siswa sering kali
berbicara satu sama lain tentang tingkat stres. ”Saya sangat tres!” merupakan
ungkapan yang sering didengar. Tetapi apa stres itu ? Dalam pengertian umum,
stres terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa yang mereka rasakan sebagai
ancaman bagi kesehatan fisik atau psikologisnya. Peristiwa tersebut biasanya
dinamakan stresor, dan reaksi orang terhadap peristiwa tersebut dinamakan
respon stres.
4. Model Stress.
Cognitif Apraisal dari situasi stres, berinteraksi dengan stresor dan sumber-
sumber seperti psikal, personal dan sosial, yang berhubungan stresor. Setiap
individu merespon pada tingkatan-tingkatan yang berbeda : seperti secara
psikologi, behavior (tingkah laku), emosi dan kognitif.
a. Jalur langsung
Respon fisiologis yang dialami tubuh saat menghadapi suatu stresor
mungkin memiliki efek negatif dan langsung pada kesehatan fisik jika respon ini
dipertahankan secara kronis. Rangsangan berlebihan (overarousal) jangka
panjang sistem simpatis atau sistem korteks adrenal dapat menyebabkan
kerusakan pada arteri dan sistem organ. Stres juga memiliki efek langsung pada
kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit.
b. Jalur interaktif
Seperti yang telah kita ketahui, tidak semua orang yang terpapar dengan
situasi stres akan menjadi sakit. Juga, tidak semua orang dengan sifat
kepribadian maladaptif (tidak mampu mengekspresikan kemarahan) mengalami
penyakit fisik atau psikologis. Terdapat cukup banyak bukti bahwa penyalit akan
muncul hanya jika situasi stres dan kepribadian berinteraksi satu sama lain, atau
dengan kerentanan biologis yang telah ada sebelumnya (Cohen & Williamson,
1991). Tipe model interaktif ini sering dinamakan sebagai model kerentanan
stres, atau model diatesis stres. Diatesis adalah kerentanan atau predisposisi
terhadap suatu penyakit. Kerentanan menjadikan individu peka terhadap
gangguan tertentu, tetapi hanya terjadi jika ia menemukan stres sehingga
gangguan benar-benar berkembang.
Emosi dan rangsangan fisiologis yang ditimbulkan oleh situasi stres sangat
tidak nyaman, dan ketidaknyamanan ini memotivasi individu untuk melakukan
sesuatu guna menghilangkannya. Proses yang digunakan oleh seseorang untuk
menangani tuntutan yang menimbulkan stres dinamakan coping (kemampuan
mengatasi masalah). Kemampuan mengatasi masalah memiliki dua bentuk
strategi yaitu, strategi terfokus masalah dan strategi terfokus emosi (Lazarus &
Folkman, 1984).
Strategi terfokus masalah, orang dapat memfokuskan pada masalah atau
situasi spesifik yang telah terjadi, sambil mencoba menemukan cara untuk
mengubahnya atau menghindarinya di kemudian hari.
Strategi terfokus emosi, seseorang dapat memfokuskan diri untuk
menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stres, walaupun situasi
tersebut tidak dapat diubah. Saat berhadapan dengan stres, sebagian besar
orang menggunakan keduanya.
Adanya tugas sebagai guru di sekolah dengan beban yang berat bisa
menimbulkan ketidakpuasan kerja guru. Ini bisa terjadi disebabkan oleh faktor
beban kerja guru yang berat tidak sebanding dengan besarnya gaji, kurangnya
penghargaan dan pengakuan dari pimpinan, iklim organisasi yang tidak kondusif,
adanya tekanan kerja (stres) yang timbul dari akibat pekerjaan di sekolah, dan
penyebab lain. Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja guru,
antara lain: pengelolaan stress kerja, pengalaman kerja, keterampilan teknis,
tingkat pendidikan pengetahuan administrasi pembelajaran, motivasi kerja, gaya
kepemimpinan kepala sekolah, dan kecerdasan emosional. Tuntutan hidup
demikian besar pada satu sisi, sementara pada sisi lain tanggung jawab dan
beban moral yang dipikul sebagai seorang pengajar dan pendidik sangat besar
sering mengakibatkan stres kerja/tekanan mental akibat dari kerja pada guru.
Belum lagi jika guru menjadi sasaran kritik atas gagalnya suatu proses pendidikan
yang dialami oleh anak didiknya. Tak jarang guru akhirnya mengambil sikap
apatis terhadap profesinya di tengah dilema tanggung jawab serta tuntutan sosial
ekonomi.
Stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi, telah dinyatakan sebagai agen
penyebab dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi. Stres
kerja tidak hanya berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadap biaya
organisasi dan industri. Banyak studi yang menghubungkan stres kerja dengan
berbagai hal, misalnya stres kerja dihubungkan dengan kepuasan kerja, kesehatan
mental, ketegangan, ketidak hadiran, dan sering juga dihubungkan dengan kinerja.
Salah satu alasan penting mempelajari stres pada guru adalah bahwa
berdasarkan pengalaman, stres pada guru dapat mempunyai efek yang merugikan
pada diri guru, siswa dan lingkungan kerjanya. Stres tersebut dapat berbentuk
kelelahan fisik, emosi sikap yang negatif terhadap siswa, dan keinginan untuk
mengurangi tugas-tugas personal (Schwab dan Jackson, 1986). Konsekuensi dari
kelelahan fisik dan emosi ini bisa berbentuk ketidakhadiran guru, sehingga bisa
jadi mendorong ketidakhadiran siswa dan tidak adanya prestasi akademis.
Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti
tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas,
lekas marah, sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat
konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada
dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/ kelembagaan yaitu sering absen(tidak
masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas
kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap
pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.
Menurut Sullivan dan Bhagat (1992), dalam studi mereka mengenai stress kerja
(yang diukur dengan role ambiguity, role conflict, dan role overload) dan kinerja,
pada umumnya ditemukan bahwa stres kerja berhubungan secara negative
dengan kinerja. Kerja guru merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk
mencapai Tujuan pendidikan. Motivasi dalam menjalankan tugas merupakan
aspek penting bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagian
besar waktu guru digunakan untuk bekerja. Guru akan berusaha mencapai kinerja
tertentu sesuai dengan yang dikehendaki sekolah, jika merasa senang dan puas
dengan pekerjaannya.
Setiap guru yang merasa puas akan bekerja pada tingkat kapasitas penuh.
Keinginan yang timbul dalam diri guru untuk bekerja atau biasa disebut dengan
motivasi kerja akan mendorong guru untuk selalu memberikan yang terbaik bagi
sekolah tempat ia bekerja. Guru tersebut akan berusaha mencari cara dan
melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas kerja dan mutu sekolahnya.
Guru yang termotivasi, tidak akan puas dengan apa yang didapat/dicapainya,
dalam dirinya ada keinginan untuk meningkatkan apa yang sudah dicapai. Guru
juga akan selalu berusaha terus untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dengan
berusaha meningkatkan mutu secara terus-menerus maka berarti pula
meningkatkan kinerja dari guru tersebut. Guru yang mempunyai motivasi kerja
akan dapat meningkatkan kinerjanya.
F. KESIMPULAN
Emosi memiliki jenis yang berbeda-beda. Emosi memiliki terdiri dari sedih, takut,
jijik, sedih dan terkejut. Ragam emosi tidak memiliki acuan yang sama dan
memiliki gradasi yang berbeda. Emosi bukanlah marah, melainkan marah adalah
bagian dari emosi. Emosi berkembang karena motif dan derajat perasaan. Emosi
memiliki hubungan yangmempengaruhiterhadapkebudayaan.
Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti
tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas,
lekas marah, sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat
konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada
dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/ kelembagaan yaitu sering absen(tidak
masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas
kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap
pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Rita L dkk. Pengantar Psikologi Jilid Dua. Tangerang : Interaksara.Cooper,
C. L., & Payne, R. (1994). Causes, Coping & Consequences of Stress at Work.
USA: John Wiley & Sons, Ltd.
Morgan, C. T., King, R. A, & Weisz, J. R. (1986). Introduction to Psychology (7th ed.).
New York: McGraw-Hill Book Co.
Newcomb, Turner, dan Converse. 1981. Psikologi Sosial. Bandung: CV. Dipenogoro.
Selye, H. (1983). Selye’s Guide To Stress Research (vol. 3). New York: Van Nostrand
Reinhold Company, Inc.
http://guruidaman.blogspot.com/2014/07/emosi-stres-dan-kesehatan.html
Quick, J. C., & Quick, J. D. (1984). Organizational Stress And Preventive Management.
USA: McGraw-Hill, Inc.
Rice, P. L. (1999). Stress and Health (3rd ed.). California: Brooks/Cole Publishing
Company.