“PEMBERHENTIAN”
Disusun Oleh:
Kelompok 13 MBS-4E
Yovita Sari : 3719164
Nurul Atikah : 3719192
Dosen Pengampu:
Khadijah Nurani, M. Si
Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWt yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pemberhentian” tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan
semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata
kuliah Ekonomi Makro Syariah. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Khadijah Nurani, M. Si, yang telah membimbing dan memberikan tugas ini,
serta pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca guna untuk peningkatan pembuatan makalah lainnya di
waktu mendatang. Akhirnya penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja yang
disebabkan karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha/majikan. Ketentuan mengenai
pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia no.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja harus
didasarkan pada alasan dan pertimbangan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalkan dampak
negatif dari pemutusan hubungan kerja, dan semata-mata untuk meningkatkan
kinerja perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemutusan hubungan kerja menjadi
perhatian bagi karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini disebabkan oleh
gejolak kehidupan politik yang diikuti dengan situasi ekonomi yang kisruh, yang
berdampak pada banyak industri yang harus tutup, dan tentu saja PHK tidak
direncanakan untuk di-PHK. Situasi ini membuat masyarakat yang bekerja pada
saat itu selalu diliputi oleh kekhawatiran dan kecemasan, dan giliran mereka
yang dipecat yang menjadi penopang hidup bagi keluarga.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari pemberhentian?
2. Apa saja alasan dari pemberhentian?
3. Bagaimana sistem pembayaran pesangon itu?
4. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pemberhentian?
5. Bagaimana pemberhentian menurut Islam itu?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari pemberhentian.
2. mengetahui alasan-alasan dari pemberhentian.
3. Untuk mengetahui bagaimana sistem pembayaran pesangon.
4. mengetahui kendala yang dihadapi dalam pemberhentian.
5. Mengetahui pandangan Islam mengenai pemberhentian.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Pemberhentian
Istilah pemberhentian juga mempunyai arti yang sama dengan
separation, yang berarti “pemisahan”. Pemberhentian juga bisa berarti
pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja
antara pekerja dan pengusaha yang disebabkan oleh berbagai macam alasan,
sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka.1
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut pemutusan hubungan kerja
adalah layoffs, yaitu: “Pemutusan hubungan kerja dari perusahaan akibat alasan-
alasan bisnis dan ekonomi”.2
Pemutusan hubungan kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 1
adalah sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Istilah pemutusan hubungan kerja atau PHK kesan umum yang
diperoleh adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan
pekerja, dan oleh sebab itu pasti merugikan pekerja. Dalam kenyataannya, kalau
PHK dapat terjadi karena berbagai alasan, sebagaimana dijelaskan dalam UU
Nomor 13 Tahun 2003, misalnya PHK dapat terjadi secara sukarela karena
pekerja mengundurkan diri.3
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan
kerja dapat memberikan beberapa pengertian:
1. Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya
kontrak kerja yang telah disepakati.
2. Dismissal, putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan
pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan.
3. Redundancy, karena perusahaan melakukan pengembangan engan
menggunakan mesin-mesin teknologi baru, seperti: penggunaan robot-robot
1
Indah Puji Hartatik, Buku Praktis Mengembangkan SDM, (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm.
267.
2
Marihot Tua Efendi Harlandja, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Grasindo, 2017),
hlm. 163.
3
UU Republik Indonesia, Pemutusan Hubungan Kerja No 13 Tahun 2003.
2
3
4
Annisa Tassia H, Skripsi: “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja
Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara No. 01/G/2013/PHI.PLG)”, (Palembang: UIN Raden Fatah,
2017), hlm. 54.
5
Deti Komalasari, Skripsi: “Konsep Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Ekonomi Islam”,
(Bengkulu: UIN Bengkulu, 2017), hlm. 18-19.
4
B. Alasan Pemberhentian
Pemutusan hubungan kerja harus didasarkan pada alasan dan
pertimbangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dilakukan agar dapat meminimalkan dampak negatif dari pemutusan hubungan
kerja, dan semata-mata untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Pemberhentian karyawan oleh perusahaan dilakukan berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Keinginan perusahaan
3. Keinginan karyawan
4. Pensiun
5. Kontrak kerja telah berakhir
6. Kesehatan karyawan
7. Meninggal dunia
8. Perusahaan dilikuidasi6
Penjelasan tentang alasan pemutusan hubungan kerja di atas, diuraikan
sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus
diberhentikan dari suatu perusahaan. Misalnya, karyawan yang masih anak-
anak, terlibat organisasi terlarang, atau tersangkut masalah hukum,
pemberhentian seperti itu bukan keinginan karyawan atau perusahaan, tetapi
karyawan diberhentikan berdasarkan ketetapan undang-undang yang berlaku
2. Keinginan Karyawan
Pemutusan hubungan kerja juga dapat didasarkan pada permohonan
karyawan sendiri. Alasan-alasan yang dapat diajukan oleh pekerja/karyawan
6
Husein Umar, Riset Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 1997), hlm. 19.
5
7. Meninggal Dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan
kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang
pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
Karyawan yang meninggal dunia saat melaksanakan tugas, pesangon atau
golongannya diatur tersendiri oleh undang-undang. Misalnya, pasangan
lebih besar dan golongan dinaikkan, sehingga uang pensiunannya menjadi
lebih besar.7
Menurut UU Cipta Kerja terbaru dalam pasal 154 A pemutusan
hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan perusahaan.
2. Persahaan melakukan efisiensi.
3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
4. Perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeure)
5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
6. Perusahaan pailit.
7. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
8. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
9. Pekerja/buruh mangkir.
10. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
11. Pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib.
12. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12
(dua belas) bulan.
13. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
14. Pekerja/buruh meninggal dunia.
Selain itu masih berdasarkan UU Cipta Kerja, dapat ditetapkan alasan
pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
7
Isti Wahyuningsih, Skripsi: ”Tinjauan Hukum Islam terhadap kewajiban Pemberian Uang
Pesangon Sebagai Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Studi Kasus Pemberian Pesangon
Pada Karyawan PHK di PT. Bumi Waras Tulang Bawang Barat)”, (Lampung: IAIN METRO, 2018),
hlm. 28-36.
8
atau perjanjian kerja bersama. Namun hal ini masih belum terdapat mekanisme
dan informasi yang lebih mendetil dari pemerintah. 8
C. Sistem Pembayaran Pesangon
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hubungan hak dan kewajiban antara buruh/ pekerja
dan pengusaha. Dalam hal pemberian kompensasi, pekerja/buruh yang
mengalami PHK karena berakhirnya perjanjian kerja berhak atas uang pesangon
yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Perlu diingat, tidak semua PHK
bisa mendapat pesangon. Misalnya, pekerja yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri. Kemudian, pekerja yang dijatuhi PHK dengan alasan telah
melakukan kesalahan berat.
Keberadaan pesangon dalam PHK demi hukum karena berakhirnya
perjanjian kerja ini mendapatkan pengecualian dari ketentuan UU dalam hal
perusahaan sudah menyelenggarakan program jaminan pensiun. Apabila
pengusaha telah mengikutsertakan pekerja pada program pensiun yang iurannya
dibayar penuh oleh pengusaha maka pekerja tidak berhak atas uang pesangon
dan uang penghargaan masa kerja, tetapi berhak atas uang penggantian hak.
Dengan demikian untuk mengetahui uang pesangon dalam PHK demi hukum
karena berakhirnya perjanjian kerja harus dilihat terlebih dahulu apakah
perusahaan sudah menyelenggarakan program jaminan pensiun dan siapakah
yang membayar premi/iurannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pesangon adalah sejumlah uang
yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja karena PHK, dengan catatan
memenuhi kualifikasi tertentu, karena tidak semua PHK diikuti dengan
pemberian pesangon. Uang pesangon selain dikaitkan dengan PHK, juga
dikaitkan dengan kewajiban pengusaha. Pesangon tidak ada kaitan sama sekali
dengan kewajiban buruh/pekerja dan keberadaannya muncul karena perintah
undang-undang. Dengan demikian ada keterkaitan antara pesangon, PHK dan
kewajiban pengusaha. Jumlah nominal uang pesangon, juga dipengaruhi upah
dan masa kerja pekerja/buruh yang bersangkutan. Ini merupakan karakteristik
pesangon yang membedakan dengan jaminan pensiun.
8
UU Cipta Kerja 154 A
9
manfaat pensiun sekaligus yang menjadi beban perusahan ternyata lebih besar
atau sama dengan pesangon maka perusahaan tidak akan membayar pesangon
pada pekerjanya.
Ini berbeda dengan perhitungan pensiun menurut Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang menentukan sebagai hasil penjumlahan iuran manfaat
pensiun sekaligus yang menjadi beban perusahaan, manfaat pensiun sekaligus
yang menjadi beban pekerja dan selisih kurang dari uang pensiun manfaat
sekaligus yang menjadi beban perusahaan setelah dibandingkan dengan dua kali
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Inilah yang
membedakan dengan SK Direksi yang mempersamakan pesangon dengan
kompensasi pensiun saja, sehingga hasil sebagai akibat dari perbedaan tersebut
pensiunan tidak mendapatkan pesangon.
Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah
10 juta rupiah dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah 6
juta rupiah serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan
premi yang ditanggung pengusaha 60% dan oleh pekerja/buruh 40%.
Perhitungan uang yang harus diterima oleh buruh/pekerja adalah sebagai berikut:
1. Penghitungan hasil dari premi yang sudah dibayarkan oleh pengusaha
adalah 60% x 6 juta = Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah).
2. Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah 40%
x 6 juta = Rp. 2.400.000,- (dua juta empat ratus ribu rupiah).
3. Kekurangan yang masih harus dibayar oleh pengusaha sebesar 10 juta
dikurangi Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah) menjadi Rp. 6.
400.000 (enam juta empat ratus ribu rupiah).
4. Dengan demikian, uang yang diterima pekerja/buruh pada saat PHK
karena pensiun tersebut adalah Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu
rupiah), sebagai santunan dari penyelenggara program pensiun yang
preminya 60% dibayar oleh pengusaha) ditambah Rp. 6.400.000,- (enam
juta empat ratus ribu rupiah), yang berasal dari kekurangan pesangon yang
harus dibayar oleh pengusaha, ditambah Rp. 2. 400.000,-(dua juta empat
ratus ribu rupiah) yang merupakan santunan dari penyelenggara program
pensiun yang preminya 40% dibayar oleh buruh/pekerja, sehingga
keseluruhan berjumlah Rp. 12.400.000,- (dua belas juta empatratus ribu
rupiah).
11
dari selisihnya saja. Selisih pesangon dan jaminan pensiun yang preminya
dibayar pengusaha hanya salah satu unsur saja.9
D. Kendala Dalam Pemberhentian
Faktor-faktor penghambat pemutusan hubungan kerja yang lazim
ditimbulkan adalah terjadi pada saat pra (sebelum) maupun pasca (sesudah)
dilakukannya pemutusan hubungan kerja tersebut, yaitu:
1. Masalah yang timbul sebelum pemutusan hubungan kerja.
Terjadi pada karyawan yang mengajukan permohonan
pengunduran diri, namun karena permohonan pengunduran diri dari
karyawan yang bersangkutan tidak dipenuhi oleh Direksi dengan alasan
apapun, sehingga karyawan tersebut juga nekat untuk tetap ingin
mengundurkan diri dan keluar dari perusahaan, hingga karyawan tersebut
tidak masuk kerja dalam hitungan lebih dari lima hari, maka karyawan
tersebut akan dianggap mangkir, sehingga akan di PHK secara tidak
terhormat. Dikarenakan ia tidak masuk kerja, maka akan berdampak pada
kinerja dan produktivitas pada unit kerja karyawan yang bersangkutan,
sehingga segala aktivitas perusahaan terganggu dan tidak berjalan dengan
lancar.
2. Masalah yang timbul sesudah pemutusan hubungan kerja.
Karyawan yang di PHK, kemudian telah berpindah tempat tinggal
ke luar kota maupun keluar negeri, tidak memenuhi surat panggilan (SP)
dari direktur yang telah diajukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk
menandatangani hak-hak yang akan diberikan kepada karyawan yang
bersangkutan, sehingga pihak perusahaan mengalami kendala dalam
pemberian hak-hak yang harus diterima oleh karyawan yang bersangkutan,
guna untuk pencairan hak tersebut harus adanya tanda tangan dari
karyawan yang bersangkutan.10
9
Ari Hernawan, “Keberadaan Uang Pesangon Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Demi
Hukum Di Perusahaan Yang Sudah Menyelenggarakan Program Jaminan Pensiun”, Jurnal Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Udayana . Volume 38 No 1 Januari- April 2016, hlm. 7-12.
10
Analita Putri, Haliatus Sa’diyah, dan Khaeriah, “Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan Pada
Pt Pupuk Iskandar Muda Krueng Geukueh Aceh Utara”, Proceeding Seminar Nasional Politeknik Negeri
Lhokseumawe . Vol. 2. No. 1 September 2018, hlm. 69.
13
Dalam Islam sendiri ada empat prinsip ketenagakerjaan. Hal tersebut ada
setelah penghapusan perbudakan yang dikombinasikan dengan perpspektif Islam
tentang ketenaga kerjaan, maka dapat disebutkan setidaknya ada empat prinsip
11
Deti Komalasari, Op. Cit., hlm. 33-34.
14
untuk memuliakan hak-hak pekerja. Dan empat prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Kemerdekaan manusia
Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesolehan sosial
Rasulullah SAW yang dengan tegas mendeklarasikan sikap anti perbudakan
untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan.
Islam tidak mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih
lagi adanya praktik jual beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang
sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan.
2. Prinsip kemuliaan derajat manusia
Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam
posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai
umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Allah SWT
berfirman:
12
Ibid., hlm. 60-65.
17
hak dan kewajiban masingmasing sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang
disetujui.
Menurut Sayyid Sabiq akad ijarah adalah jenis akad yang harus
dilaksanakan, dan salah satu pihak tidak memiliki hak membatalkan karena
merupakan akad timbal balik, kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad,
seperti rusaknya barang yang diupahkan, karena akad tidak terlaksana sesudah
rusaknya barang. Sempurnanya pekerjaan, atau berakhirnya masa kerja sewa.
Sedangkan Wahbah Zuhaili mengatakan “Ketika proses perjanjian ijaarah telah
sempurna maka kesepakatan itu bersifat tetap (statusnya tidak berubah). Masing-
masing pihak yang mengadakan akad tidak berhak membatalkan akad secara
sepihak kecuali ditemukan cacat”.
Namun demikian ruang tidak batalnya akad ijarah terbatas oleh selain
udzur syari’. Jika terdapat udzur syari’ otomatis akad ijarah batal. Misalnya,
seseorang menyewa jasa dokter untuk mencabut gigi yang sakit, atau tiba-tibaa
gigi tersebut sembuh, maka akad ijarah tersebut batal. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya udzur sebab kebutuhan atau
manfaat akan hilang apabila ada udzur. Udzur yang dimaksud adalah sesuatu
yang baru yang menyebabkan kemadharatan bagi yang akad.
Memahami pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif
ekonomi Islam, pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan, jika ditemukan
adanya udzur syar’i kerusakan atau cacat yang menyebabkan tidak berjalannya
akad ijarah.13
13
Isti Wahyuningsih, Op. Cit., hlm. 46-48.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan:
1. Pemutusan hubungan kerja (PHK) memiliki istilah pemberhentian dan
mempunyai arti yang sama dengan separation, yang berarti “pemisahan”.
Dimana PHK mempunyai arti pengakhiran hubungan kerja dengan alasan
tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan kewajiban pekerja dan
perusahaan. Karena ketentuan yang telah disepakati atau mungkin berakhir
di tengah, baik atas permintaan perusahaan ataupun dari karyawan itu
sendiri.
2. Pemberhentian karyawan oleh perusahaan dilakukan berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Keinginan perusahaan
c. Keinginan karyawan
d. Pensiun Kontrak kerja telah berakhir
e. Kesehatan karyawan
f. Meninggal dunia
g. Perusahaan dilikuidasi
3. Pesangon adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan pengusaha kepada
pekerja karena PHK, dengan catatan memenuhi kualifikasi tertentu, karena
tidak semua PHK diikuti dengan pemberian pesangon. Uang pesangon
selain dikaitkan dengan PHK, juga dikaitkan dengan kewajiban pengusaha.
Pesangon tidak ada kaitan sama sekali dengan kewajiban buruh/pekerja dan
keberadaannya muncul karena perintah undang-undang. Dengan demikian
ada keterkaitan antara pesangon, PHK dan kewajiban pengusaha. Jumlah
nominal uang pesangon, juga dipengaruhi upah dan masa kerja
pekerja/buruh yang bersangkutan. Ini merupakan karakteristik pesangon
yang membedakan dengan jaminan pensiun
4. Faktor-faktor penghambat pemutusan hubungan kerja yang lazim
ditimbulkan adalah terjadi pada saat pra (sebelum) maupun pasca (sesudah)
dilakukannya pemutusan hubungan kerja tersebut.
18
19
H, Annisa Tassia. 2017. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja
Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara No. 01/G/2013/PHI.PLG). Skripsi.
Palembang: UIN Raden Fatah.
Harlandja, Marihot Tua Efendi. 2017. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Grasindo.
Hartatik, Indah Puji. 2014. Buku Praktis Mengembangkan SDM. Yogyakarta: Laksana,
Hernawan, Ari. 2016. Keberadaan Uang Pesangon Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
Demi Hukum Di Perusahaan Yang Sudah Menyelenggarakan Program
Jaminan Pensiun. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, 38 (1):
7-12.
Komalasari, Deti. 2017. Konsep Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Ekonomi Islam.
Skripsi. Bengkulu: UIN Bengkulu.
Putri, Analita, Haliatus Sa’diyah, dan Khaeriah. 2018. Pemutusan Hubungan Kerja
Karyawan Pada Pt Pupuk Iskandar Muda Krueng Geukueh Aceh Utara:
Proceeding Seminar Nasional Politeknik Negeri Lhokseumawe: 69.
Lhokseumawe, 26-28 September 2018: Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Jakarta: Kementrian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi.
Republik Indonesia. 2020. Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 154 A Tahun 2020
tentang Aturan Alasan Seseorang Dapat di-PHK. Jakarta: Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Umar, Husein. 1997. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama.
Wahyuningsih, Isti. 2018. Tinjauan Hukum Islam terhadap kewajiban Pemberian Uang
Pesangon Sebagai Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Studi
Kasus Pemberian Pesangon Pada Karyawan PHK di PT. Bumi Waras Tulang
Bawang Barat). Skripsi. Lampung: IAIN METRO.
20