Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

“PEMBERHENTIAN”

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Terstruktur dalam Mata Kuliah


Manajemen Sumber Daya Insani

Disusun Oleh:
Kelompok 13 MBS-4E
Yovita Sari : 3719164
Nurul Atikah : 3719192

Dosen Pengampu:

Khadijah Nurani, M. Si

PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BUKITTINGGI
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWt yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Pemberhentian” tepat pada waktunya. Shalawat dan salam tak lupa penulis sampaikan
semoga tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur dalam mata
kuliah Ekonomi Makro Syariah. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih
kepada Ibu Khadijah Nurani, M. Si, yang telah membimbing dan memberikan tugas ini,
serta pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses pembuatan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca guna untuk peningkatan pembuatan makalah lainnya di
waktu mendatang. Akhirnya penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.

Bukittinggi, Mei 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan .................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 2
A. Definisi Pemberhentian ......................................................................................... 2
B. Alasan Pemberhentian ........................................................................................... 4
C. Sistem Pembayaran Pesangon ............................................................................... 8
D. Kendala Dalam Pemberhentian ........................................................................... 12
E. Pemberhentian Dalam Islam ................................................................................ 13
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 18
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 18
B. Saran .................................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja yang
disebabkan karena suatu hal yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja /buruh dan pengusaha/majikan. Ketentuan mengenai
pemutusan hubungan kerja diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia no.
13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pemutusan hubungan kerja harus
didasarkan pada alasan dan pertimbangan yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hal ini dilakukan agar dapat meminimalkan dampak
negatif dari pemutusan hubungan kerja, dan semata-mata untuk meningkatkan
kinerja perusahaan.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemutusan hubungan kerja menjadi
perhatian bagi karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini disebabkan oleh
gejolak kehidupan politik yang diikuti dengan situasi ekonomi yang kisruh, yang
berdampak pada banyak industri yang harus tutup, dan tentu saja PHK tidak
direncanakan untuk di-PHK. Situasi ini membuat masyarakat yang bekerja pada
saat itu selalu diliputi oleh kekhawatiran dan kecemasan, dan giliran mereka
yang dipecat yang menjadi penopang hidup bagi keluarga.

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari pemberhentian?
2. Apa saja alasan dari pemberhentian?
3. Bagaimana sistem pembayaran pesangon itu?
4. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pemberhentian?
5. Bagaimana pemberhentian menurut Islam itu?
C. Tujuan
1. Mengetahui definisi dari pemberhentian.
2. mengetahui alasan-alasan dari pemberhentian.
3. Untuk mengetahui bagaimana sistem pembayaran pesangon.
4. mengetahui kendala yang dihadapi dalam pemberhentian.
5. Mengetahui pandangan Islam mengenai pemberhentian.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Pemberhentian
Istilah pemberhentian juga mempunyai arti yang sama dengan
separation, yang berarti “pemisahan”. Pemberhentian juga bisa berarti
pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan dari suatu organisasi perusahaan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) merupakan pengakhiran hubungan kerja
antara pekerja dan pengusaha yang disebabkan oleh berbagai macam alasan,
sehingga berakhir pula hak dan kewajiban di antara mereka.1
Istilah lain yang digunakan untuk menyebut pemutusan hubungan kerja
adalah layoffs, yaitu: “Pemutusan hubungan kerja dari perusahaan akibat alasan-
alasan bisnis dan ekonomi”.2
Pemutusan hubungan kerja menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 pasal 1
adalah sebagai pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha. Istilah pemutusan hubungan kerja atau PHK kesan umum yang
diperoleh adalah pemecatan sepihak oleh pihak pengusaha karena kesalahan
pekerja, dan oleh sebab itu pasti merugikan pekerja. Dalam kenyataannya, kalau
PHK dapat terjadi karena berbagai alasan, sebagaimana dijelaskan dalam UU
Nomor 13 Tahun 2003, misalnya PHK dapat terjadi secara sukarela karena
pekerja mengundurkan diri.3
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan
kerja dapat memberikan beberapa pengertian:
1. Termination, putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya
kontrak kerja yang telah disepakati.
2. Dismissal, putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan tindakan
pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan.
3. Redundancy, karena perusahaan melakukan pengembangan engan
menggunakan mesin-mesin teknologi baru, seperti: penggunaan robot-robot

1
Indah Puji Hartatik, Buku Praktis Mengembangkan SDM, (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm.
267.
2
Marihot Tua Efendi Harlandja, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Grasindo, 2017),
hlm. 163.
3
UU Republik Indonesia, Pemutusan Hubungan Kerja No 13 Tahun 2003.

2
3

indrustri dalam proses produksi, penggunaan alat berat yang cukup


dioprasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga
kerja. Hal ini berakibatpada pengurangan tenaga kerja.
4. Retrentchment, yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti
resesi ekonomi yang membuat perusahaan tidak mampu memberikan upah
kepada karyawannya.4
Pengertian pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja (PHK)
menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Sastrohadiyono mengemukakan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK)
adalah suatu proses pelepasan keterikatan kerja sama antara perusakaan
dengan tenaga kerja, baik atas permintaan tenaga kerja yang bersangkutan
maupun atas kebijakan perusahaan, yang karenanya tenaga kerja tersebut
dipandang sudah tidak mampu memberikan produktivitas kerja lagi atau
karena kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan
2. Menurut Mangkunegara mengemukakan pemberhentian pegawai adalah
pemutusan hubungan kerja baik sementara maupun untuk selamalamanya
yang harus dilakukan oleh perusahaan atas permintaan pegawai atau karena
kehendak pihak perusahaan.
3. Menurut Malayu S.P. Hasibuan Pemberhentian adalah pemutusan hubungan
kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan. Dengan
pemberhentian, berarti berakhirnya keterikatan kerja karyawan terhadap
perusahaan.
4. Menurut Sondang P. Siagian pemutusan hubungan kerja adalah ketika
ikatan formal antara organisasi selaku pemakai tenaga kerja dan
karyawannya terputus.
5. Menurut Suwatno Pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan
kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.5

4
Annisa Tassia H, Skripsi: “ Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja
Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara No. 01/G/2013/PHI.PLG)”, (Palembang: UIN Raden Fatah,
2017), hlm. 54.
5
Deti Komalasari, Skripsi: “Konsep Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Ekonomi Islam”,
(Bengkulu: UIN Bengkulu, 2017), hlm. 18-19.
4

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pemutusan hubungan


kerja (PHK) dapat disebut sebagai pemberhentian/pemisahan. Pemisahan
memiliki pengertian sebagai sebuah pengakhiran hubungan kerja dengan alasan
tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan kewajiban pekerja dan
perusahaan. Karena ketentuan yang telah disepakati atau mungkin berakhir di
tengah, baik atas permintaan perusahaan ataupun dari karyawan itu sendiri.

B. Alasan Pemberhentian
Pemutusan hubungan kerja harus didasarkan pada alasan dan
pertimbangan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dilakukan agar dapat meminimalkan dampak negatif dari pemutusan hubungan
kerja, dan semata-mata untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Pemberhentian karyawan oleh perusahaan dilakukan berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
1. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Keinginan perusahaan
3. Keinginan karyawan
4. Pensiun
5. Kontrak kerja telah berakhir
6. Kesehatan karyawan
7. Meninggal dunia
8. Perusahaan dilikuidasi6
Penjelasan tentang alasan pemutusan hubungan kerja di atas, diuraikan
sebagai berikut:
1. Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus
diberhentikan dari suatu perusahaan. Misalnya, karyawan yang masih anak-
anak, terlibat organisasi terlarang, atau tersangkut masalah hukum,
pemberhentian seperti itu bukan keinginan karyawan atau perusahaan, tetapi
karyawan diberhentikan berdasarkan ketetapan undang-undang yang berlaku
2. Keinginan Karyawan
Pemutusan hubungan kerja juga dapat didasarkan pada permohonan
karyawan sendiri. Alasan-alasan yang dapat diajukan oleh pekerja/karyawan

6
Husein Umar, Riset Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Gramedia Pusaka Utama, 1997), hlm. 19.
5

untuk mengajukan pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah bila pengusaha


melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja.
b. Membujuk dan atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Tidak membayar upah tepat pada waktu sesuai yang disepakati selama
tiga bulan berturut-turut.
d. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja;
e. Memerintah pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang telah
diperjanjikan.
f. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan,
kesehatan dan kesusilaan pekerja sedangkan pekerjaan tersebut tidak
dicantumkan pada perjanjian kerja.
g. Selain itu pekerja yang mengundurkan diri dan pengunduran tersebut
disebabkan karena pekerja menderita sakit berkepanjangan,
mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan
pekerjaannya setelah melebihi 12 bulan berturut-turut juga tetapi
mendapat kompensasi PHK
3. Keinginan Perusahaan
Keinginan perusahaan dapat menyebabkan diberhentikannya seorang
karyawan, baik secara terhormat maupun dipecat. Pemberhentian semacam
ini telah diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2003
Pasal 158 disebutkan ketentuan pemutusan hubungan kerja yang didasarkan
atas keinginan pengusaha sebagai berikut:
a. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau
uang milik perusahaan.
b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga
merugikan perusahaan.
c. Mabuk, minum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di
lingkungan kerja.
d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.
e. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman
sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.
6

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan


yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan
bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi
perusahaan.
h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau
pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja.
i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara
j. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam
pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
4. Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan,
undang-undang, ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan
mempensiunkan karyawan disebabkan produktivitas kerjanya rendah
sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, kecelakaan dalam melaksanakan
pekerjaan, dan sebagainya. Undang-undang mempensiunkan seseorang
karena telah mencapai batas usia dan masa kerja tertentu, misalnya usia 55
tahun dan minimum masa kerja 15 tahun.
5. Kontrak Kerja Berakhir
Karyawan kontrak akan dilepas atau diberhentikan apabila kontrak
kerjanya berakhir. Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja
tidak menimbulkan konsekuensi, karena telah diatur terlebih dahulu.
Berakhirnya masa kontrak merupakan alasan bagi pengusaha dan pekerja
untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, pengusaha dan pekerja yang
melakukan perjanjian kerja berdasarkan waktu tertentu, maka ketika waktu
perjanjian telah habis, kedua belah pihak secara hukum tidak lagi terikat
dengan perjanjian kerja.
6. Kesehatan Karyawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian
karyawan. Inisiatif pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan
ataupun karyawan. Karyawan merupakan aset penting bagi perusahaan yang
menunjang produktivitas perusahaan. Oleh karena itu, jika karyawan sakit
yang menyebabkan terganggunya karyawan dalam menjalani kewajibannya.
7

7. Meninggal Dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan
kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang
pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan peraturan yang ada.
Karyawan yang meninggal dunia saat melaksanakan tugas, pesangon atau
golongannya diatur tersendiri oleh undang-undang. Misalnya, pasangan
lebih besar dan golongan dinaikkan, sehingga uang pensiunannya menjadi
lebih besar.7
Menurut UU Cipta Kerja terbaru dalam pasal 154 A pemutusan
hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan perusahaan.
2. Persahaan melakukan efisiensi.
3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian
4. Perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeure)
5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
6. Perusahaan pailit.
7. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
8. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
9. Pekerja/buruh mangkir.
10. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
11. Pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib.
12. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan
kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12
(dua belas) bulan.
13. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
14. Pekerja/buruh meninggal dunia.
Selain itu masih berdasarkan UU Cipta Kerja, dapat ditetapkan alasan
pemutusan hubungan kerja lainnya dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan

7
Isti Wahyuningsih, Skripsi: ”Tinjauan Hukum Islam terhadap kewajiban Pemberian Uang
Pesangon Sebagai Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Studi Kasus Pemberian Pesangon
Pada Karyawan PHK di PT. Bumi Waras Tulang Bawang Barat)”, (Lampung: IAIN METRO, 2018),
hlm. 28-36.
8

atau perjanjian kerja bersama. Namun hal ini masih belum terdapat mekanisme
dan informasi yang lebih mendetil dari pemerintah. 8
C. Sistem Pembayaran Pesangon
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hubungan hak dan kewajiban antara buruh/ pekerja
dan pengusaha. Dalam hal pemberian kompensasi, pekerja/buruh yang
mengalami PHK karena berakhirnya perjanjian kerja berhak atas uang pesangon
yang sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Perlu diingat, tidak semua PHK
bisa mendapat pesangon. Misalnya, pekerja yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri. Kemudian, pekerja yang dijatuhi PHK dengan alasan telah
melakukan kesalahan berat.
Keberadaan pesangon dalam PHK demi hukum karena berakhirnya
perjanjian kerja ini mendapatkan pengecualian dari ketentuan UU dalam hal
perusahaan sudah menyelenggarakan program jaminan pensiun. Apabila
pengusaha telah mengikutsertakan pekerja pada program pensiun yang iurannya
dibayar penuh oleh pengusaha maka pekerja tidak berhak atas uang pesangon
dan uang penghargaan masa kerja, tetapi berhak atas uang penggantian hak.
Dengan demikian untuk mengetahui uang pesangon dalam PHK demi hukum
karena berakhirnya perjanjian kerja harus dilihat terlebih dahulu apakah
perusahaan sudah menyelenggarakan program jaminan pensiun dan siapakah
yang membayar premi/iurannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pesangon adalah sejumlah uang
yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja karena PHK, dengan catatan
memenuhi kualifikasi tertentu, karena tidak semua PHK diikuti dengan
pemberian pesangon. Uang pesangon selain dikaitkan dengan PHK, juga
dikaitkan dengan kewajiban pengusaha. Pesangon tidak ada kaitan sama sekali
dengan kewajiban buruh/pekerja dan keberadaannya muncul karena perintah
undang-undang. Dengan demikian ada keterkaitan antara pesangon, PHK dan
kewajiban pengusaha. Jumlah nominal uang pesangon, juga dipengaruhi upah
dan masa kerja pekerja/buruh yang bersangkutan. Ini merupakan karakteristik
pesangon yang membedakan dengan jaminan pensiun.

8
UU Cipta Kerja 154 A
9

Secara tidak konsisten tiba-tiba muncul Pasal 167 UU Ketenagakerjaan


terkait dengan keberadaan uang pesangon di perusahaan yang sudah
menyelenggarakan program pensiun. Pesangon yang awalnya dikatakan
merupakan kewajiban pengusaha, kemudian bergeser maknanya karena dalam
perusahaan yang telah mengikutsertakan pekerja dalam program pensiun, tidak
perlu memberi pesangon jika iuran atau preminya dibayarkan oleh pengusaha
dan besarannya tidak lebih kecil dari pesangon. Dengan demikian iuran premi
tidak hanya dari pemberi kerja tetapi dimungkinkan untuk berbagi dengan
pekerja. Artinya secara filosofis sebenarnya pesangon berbeda dengan uang
pensiun karena pesangon sudah pasti kewajiban pengusaha semata dan uang
pensiun dilakukan dengan konsep asuransi yang mengenal adanya premi/iuran
dan dimungkinkan bukan hanya menjadi kewajiban pengusaha tetapi bisa dibagi
beban preminya dengan buruh/pekerja.
Hal tersebut dikuatkan dengan penjelasan Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang menyebutkan pesangon yang diterima pekerja meliputi
manfaat pensiun yang diterima sekaligus yang iurannya dibayar oleh
perusahaan, manfaat pensiun yang diterima sekaligus yang iurannya dibayar
oleh pekerja dan selisih dari manfaat pensiun yang iurannya dibayarkan
perusahaan setelah dikurangkan dari semua hak pekerja. SK Direksi yang
dijadikan kajian dalam penelitian ini mengatur jika perhitungan uang pensiun
sama dengan pesangon, maka tidak ada kewajiban perusahaan untuk membayar
kompensasi pensiun.
Jika perhitungan pensiun lebih besar daripada pesangon, maka tidak ada
kewajiban perusahaan membayar kompensasi pensiun dan selisih kelebihan
kompensasi pensiun akan diberikan kepada pensiunan atau tidak ada kewajiban
untuk dikembalikan ke perusahaan oleh pensiunan. Dalam hal penghitungan
pensiun lebih kecil daripada pesangon, maka ada kewajiban pembayaran
perusahaan membayar selisih kekurangannya kepada pensiunan sebagai
kompensasi pensiun berikut pengembangannya sesuai kebijakan perusahaan.
SK Direksi juga menentukan besarnya pesangon yang akan dibayarkan
kepada pensiunan mendasarkan kepada hasil perbandingan antara pesangon
dengan uang pensiun manfaat sekaligus. Apabila uang pensiun manfaat
sekaligus yang menjadi beban perusahaan ternyata lebih kecil dari pesangon,
maka perusahaan akan membayar kekurangannya tersebut, tetapi jika uang
10

manfaat pensiun sekaligus yang menjadi beban perusahan ternyata lebih besar
atau sama dengan pesangon maka perusahaan tidak akan membayar pesangon
pada pekerjanya.
Ini berbeda dengan perhitungan pensiun menurut Pasal 167 ayat (3) UU
Ketenagakerjaan yang menentukan sebagai hasil penjumlahan iuran manfaat
pensiun sekaligus yang menjadi beban perusahaan, manfaat pensiun sekaligus
yang menjadi beban pekerja dan selisih kurang dari uang pensiun manfaat
sekaligus yang menjadi beban perusahaan setelah dibandingkan dengan dua kali
pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Inilah yang
membedakan dengan SK Direksi yang mempersamakan pesangon dengan
kompensasi pensiun saja, sehingga hasil sebagai akibat dari perbedaan tersebut
pensiunan tidak mendapatkan pesangon.
Misalnya uang pesangon yang seharusnya diterima pekerja/buruh adalah
10 juta rupiah dan besarnya jaminan pensiun menurut program pensiun adalah 6
juta rupiah serta dalam pengaturan program pensiun tersebut telah ditetapkan
premi yang ditanggung pengusaha 60% dan oleh pekerja/buruh 40%.
Perhitungan uang yang harus diterima oleh buruh/pekerja adalah sebagai berikut:
1. Penghitungan hasil dari premi yang sudah dibayarkan oleh pengusaha
adalah 60% x 6 juta = Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah).
2. Besarnya santunan yang preminya dibayar oleh pekerja/buruh adalah 40%
x 6 juta = Rp. 2.400.000,- (dua juta empat ratus ribu rupiah).
3. Kekurangan yang masih harus dibayar oleh pengusaha sebesar 10 juta
dikurangi Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu rupiah) menjadi Rp. 6.
400.000 (enam juta empat ratus ribu rupiah).
4. Dengan demikian, uang yang diterima pekerja/buruh pada saat PHK
karena pensiun tersebut adalah Rp. 3.600.000,- (tiga juta enam ratus ribu
rupiah), sebagai santunan dari penyelenggara program pensiun yang
preminya 60% dibayar oleh pengusaha) ditambah Rp. 6.400.000,- (enam
juta empat ratus ribu rupiah), yang berasal dari kekurangan pesangon yang
harus dibayar oleh pengusaha, ditambah Rp. 2. 400.000,-(dua juta empat
ratus ribu rupiah) yang merupakan santunan dari penyelenggara program
pensiun yang preminya 40% dibayar oleh buruh/pekerja, sehingga
keseluruhan berjumlah Rp. 12.400.000,- (dua belas juta empatratus ribu
rupiah).
11

Dengan demikian persoalan dari perbedaan perhitungan uang


pesangon dan jaminan pensiun ini dari awal lebih disebabkan perspektif yang
berbeda dalam menerjemahkan makna dari Pasal 167 ayat (1) (2) dan (3) UU
Ketenagakerjaan. Sejak awal ketidakkonsistenan pengaturan uang pesangon di
perusahaan yang sudah menyelenggarakan program jaminan pensiun diyakini
akan menimbulkan persoalan dalam praktek. Semangat uang pesangon
menjadi tergerus dengan kehadiran program jaminan pensiun.
Mempersamakan uang pesangon dengan jaminan pensiun yang iurannya
dibayarkan secara penuh oleh pengusaha berpotensi memunculkan konflik
dalam hubungan industrial.
Dua SK Direksi yang menjadi kajian dalam penelitian ini telah
menunjukkan hal tersebut. Akibat perbedaan persepsi tersebut yang berujung
pada perbedaan perhitungan uang pesangon dan jaminan pensiun yang harus
diterima pekerja, telah membawa pekerja dan pengusaha sampai pada tahap
penyelesaian perselisihan secara mediasi. Sebelumnya penyelesaian secara
bipartit tidak berhasil menyelesaikan persoalan tersebut.
Sebetulnya tidak terlalu sulit untuk mengetahui perhitungan yang
benar dan salah. Satu indikator yang sederhana adalah uang pensiun yang
diterima pekerja tidak boleh lebih rendah dari perhitungan uang pesangon
normal jika premi dibayar penuh oleh pengusaha. Untuk yang preminya
dibayar bersama antara pekerja dan pengusaha, jumlah pensiun yang diterima,
selain melihat perhitungan besaran premi yang dibayarkan pengusaha, masih
memperhitungkan santunan yang jumlahnya bergantung besaran premi yang
dibayar pekerja serta selisih kekurangan yang masih harus dibayar pengusaha.
Dalam kasus yang diteliti di P.T. “X’ dan “Y” tersebut,14 kedua
perusahaan hanya memperhitungkan uang pesangon sebagai selisih antara
kewajiban yang harus dibayar pengusaha atas uang pesangon dan jaminan
pensiun yang preminya dibayar oleh pengusaha. Menurut perusahaan selisih
tersebut sudah lebih besar dari pesangon yang seharusnya diterima pekerja,
sehingga kepada pekerja tidak lagi perlu diberikan uang pesangon. Pekerja
berpendapat bahwa besaran pensiun dilihat dari pesangon tidak cukup dilihat
12

dari selisihnya saja. Selisih pesangon dan jaminan pensiun yang preminya
dibayar pengusaha hanya salah satu unsur saja.9
D. Kendala Dalam Pemberhentian
Faktor-faktor penghambat pemutusan hubungan kerja yang lazim
ditimbulkan adalah terjadi pada saat pra (sebelum) maupun pasca (sesudah)
dilakukannya pemutusan hubungan kerja tersebut, yaitu:
1. Masalah yang timbul sebelum pemutusan hubungan kerja.
Terjadi pada karyawan yang mengajukan permohonan
pengunduran diri, namun karena permohonan pengunduran diri dari
karyawan yang bersangkutan tidak dipenuhi oleh Direksi dengan alasan
apapun, sehingga karyawan tersebut juga nekat untuk tetap ingin
mengundurkan diri dan keluar dari perusahaan, hingga karyawan tersebut
tidak masuk kerja dalam hitungan lebih dari lima hari, maka karyawan
tersebut akan dianggap mangkir, sehingga akan di PHK secara tidak
terhormat. Dikarenakan ia tidak masuk kerja, maka akan berdampak pada
kinerja dan produktivitas pada unit kerja karyawan yang bersangkutan,
sehingga segala aktivitas perusahaan terganggu dan tidak berjalan dengan
lancar.
2. Masalah yang timbul sesudah pemutusan hubungan kerja.
Karyawan yang di PHK, kemudian telah berpindah tempat tinggal
ke luar kota maupun keluar negeri, tidak memenuhi surat panggilan (SP)
dari direktur yang telah diajukan sebanyak tiga kali dengan tujuan untuk
menandatangani hak-hak yang akan diberikan kepada karyawan yang
bersangkutan, sehingga pihak perusahaan mengalami kendala dalam
pemberian hak-hak yang harus diterima oleh karyawan yang bersangkutan,
guna untuk pencairan hak tersebut harus adanya tanda tangan dari
karyawan yang bersangkutan.10

9
Ari Hernawan, “Keberadaan Uang Pesangon Dalam Pemutusan Hubungan Kerja Demi
Hukum Di Perusahaan Yang Sudah Menyelenggarakan Program Jaminan Pensiun”, Jurnal Ilmiah
Fakultas Hukum Universitas Udayana . Volume 38 No 1 Januari- April 2016, hlm. 7-12.
10
Analita Putri, Haliatus Sa’diyah, dan Khaeriah, “Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan Pada
Pt Pupuk Iskandar Muda Krueng Geukueh Aceh Utara”, Proceeding Seminar Nasional Politeknik Negeri
Lhokseumawe . Vol. 2. No. 1 September 2018, hlm. 69.
13

E. Pemberhentian Dalam Islam


PHK dalam ekonomi Islam itu sendiri adalah pelepasan atau
pemberhentian hubungan kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja, atas
permintaan baik itu dari perusahaan ataupun dari karyawan itu sendiri, yang
dikarenakan ada hal-hal yang tidak produktif lagi untuk bekerja sama, tetapi
tetap mengikuti aturan Islam yaitu tidak boleh adanya tindak kedzaliman,
ketidak adilan dan merugikan sebelah pihak.
Kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dengan kata lain,
kontrak merupakan suatu perjanjian/perikatan yang sengaja dibuat secara
tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berkepentingan. Perjanjian dalam hukum kontrak, mengandung makna
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Akibat hukum itu terjadi karena perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Meskipun keterikatan
hanya berlaku bagi para pihak.11
Pemutusan hubungan kerja di bolehkan atas dasar akad ijarah, yang
didasarkan pada Al-Quran, hadis dan kaidah fiqh. Al-ijarah adalah akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas
barang itu sendiri. Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti menurut
bahasanya ialah al-awadh yang berarti dalam bahasa indonesianya ialah ganti
dan upah.
Cara islam mengatasi dan menyelesaikan permasalahan ketenagakerjaan
atau pemutusan hubungan kerja, diantaranya:
1. Negara akan mencegah tindakan kedzaliman yang dilakukan satu pihak
kepada pihak lainnya.
2. Menetapkan dan mengatur mekanisme Penyelesaian Persengkatan dalam
Kontrak Kerja

Dalam Islam sendiri ada empat prinsip ketenagakerjaan. Hal tersebut ada
setelah penghapusan perbudakan yang dikombinasikan dengan perpspektif Islam
tentang ketenaga kerjaan, maka dapat disebutkan setidaknya ada empat prinsip

11
Deti Komalasari, Op. Cit., hlm. 33-34.
14

untuk memuliakan hak-hak pekerja. Dan empat prinsip tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Kemerdekaan manusia
Ajaran Islam yang direpresentasikan dengan aktivitas kesolehan sosial
Rasulullah SAW yang dengan tegas mendeklarasikan sikap anti perbudakan
untuk membangun tata kehidupan masyarakat yang toleran dan berkeadilan.
Islam tidak mentolerir sistem perbudakan dengan alasan apa pun. Terlebih
lagi adanya praktik jual beli pekerja dan pengabaian hak-haknya yang
sangat tidak menghargai nilai kemanusiaan.
2. Prinsip kemuliaan derajat manusia
Islam menempatkan setiap manusia, apa pun jenis profesinya, dalam
posisi yang mulia dan terhormat. Hal itu disebabkan Islam sangat mencintai
umat Muslim yang gigih bekerja untuk kehidupannya. Allah SWT
berfirman:

             

 

Artinya :“Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di


muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung”. (Al-Jumu‟ah :10)
Kemuliaan orang yang bekerja terletak pada kontribusinya bagi
kemudahan orang lain yang mendapat jasa atau tenaganya. Salah satu hadis
yang populer untuk menegaskan hal ini adalah “Sebaik-baik manusia di
antara kamu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dari beberapa dalil tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat
memuliakan nilai kemanusiaan setiap insan. Selain itu, tersirat dalam dalil-
dalil tersebut bahwa Islam menganjurkan umat manusia agar menanggalkan
segala bentuk “stereotype‟ atas berbagai profesi atau pekerjaan manusia.
Kecenderungan manusia menghormati orang yang memiliki pekerjaan, yang
menghasilkan banyak uang, serta meremehkan orang yang berprofesi
rendahan. Padahal nasib setiap insan berbeda sesuai skenario dari Allah
SWT. Sikap merendahkan orang lain karena memandang pekerjaannya
sangat ditentang dalam Islam.
15

3. Keadilan dan Anti-diskriminasi


Islam tidak mengenal sistem kelas atau kasta di masyarakat, begitu
juga berlaku dalam memandang dunia ketenagakerjaan. Dalam sistem
pekerjaan seorang pekerja dipandang sebagai kelas kedua dibawah
majikannya. Hal ini dilawan oleh Islam karena ajaran Islam menjamin setiap
orang yang bekerja memiliki hak yang setara dengan orang lain, termasuk
atasan atau pimpinannya. Bahkan hingga hal-hal kecil dan sepele, Islam
mengajarkan umatnya agar selalu menghargai orang yang bekerja.
Dalam sejarahnya, Rasulullah SAW pernah memiliki budak dan
pembantu. Rasulullah SAW memperlakukan para budak dan pembantunya
dengan adil dan penuh penghormatan. Beliau pernah mempunyai pembantu
seorang Yahudi yang melayani keperluan beliau, namun beliau tidak pernah
memaksakan agama kepadanya. Isteri beliau, Aisyah Radhiyallahu anha,
juga memiliki pembantu yang bernama Barirah yang diperlakukan oleh
Rasulullah SAW dan isterinya dengan lemah lembut dan tanpa kekerasan.
Pandangan dunia Islam masyarakat muslim berusaha semaaksimal
mungkin mengembangkan persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi
sedemikian rupa sehingga realisasinya dan bukannya keabsenannya. Salah
satu cara yang paling kontruktif dalam mempercepat pertumbuhan yang
berkeadilan adalah dengan membuat setiap individu untuk mampu
semaksimal mungkin menggunakan daya kreasi dan diartistiknya secara
efesien dan produktif. Tujuan ini tidak mungkin dapat diwujudkan kalau
tingkat pengangguran dan pengangguran terselubung yang kini dilakukan
untuk mengurangi angka penganguran dan pengangguran terselubung
adalah daya ekspansi permintaan agregat dan mendirikan industri-industri
padat modal, baik yang bersekala medium maupun besar di perkotaan.
4. Kelayakan Upah Pekerja
Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang
menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak
yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam
memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain
bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan
mencukupi. Islam juga mengajarkan agar pihak yang mempekerjakan orang
lain mengindahkan akad atau kesepakatan mengenai sistem kerja dan sistem
16

pengupahan, antara majikan dengan pekerja. Jika adil dimaknai sebagai


kejelasan serta proporsionalitas, maka kelayakan berbicara besaran upah
yang diterima haruslah cukup dari segi kebutuhan pokok manusia, yaitu
pangan, sandang serta papan.12
Munculnya hubungan kerja merupakan implikasi dari adanya akad
(perjanjian) antara pekerja dan pengusaha. Hubungan kerja mencerminkan
hubungan hukum antara pengusaha dengan pekerja yang ditandai adanya hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Hubungan kerja yang sah menimbulkan
unsur perintah dari perusahaan kepada pekerja, sesuai dengan jenis pekerjaan
yang termuat dalam perjanjian dan adanya hak pekerja untuk memperoleh upah
dan hasil pekerja.
Hubungan kerja dalam syari’at Islam digolongkan kepada perjanjian
sewa-menyewa (al-ijarah), yaitu ijarah a’yan, sewa menyewa tenaga manusia
untuk melakukan pekerjaan. Dalam istilah Hukum Islam pihak yang melakukan
pekerjaan disebut a jir/muajir, (ajir ini terdiri dari ajir khas yaitu seseorang atau
beberapa orang yang bekerja pada seseorang tertentu dan ajir musytarak yaitu
orang-orang yang bekerja untuk kepentingan orang banyak.). sedangkan orang
yang memperoleh manfaat dari pekerjaan ajir (pemberi kerja) disebut musta’jir.
Dalam Islam, hubungan kerja antara majikan dan buruh dikonstruk
dalam kontrak ijarah, yang memuat berbagai ketentuan kerja yang berlaku antara
buruh, majikan, dan pihak ketiga, serta aspek-aspek yang berlaku didalamnya,
seperti besaran upah, perlakuan terhadap buruh perempuan dan anak-anak,
perselisihan perburuhan, dan prosedur pembentukan dan pemutusan hubungan
kerja.
Menurut Rachmat Syafe’i ijarah dapat diartikan sebagai jual-beli jasa
(upah-mengupah), yakni mengambil manfaat tenaga manusia. Upah mengupah
atau ijarah ‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa
hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Berdasarkan
pendapat di atas, hubungan kerja dalam perspektif ekonomi Islam termasuk
dalam ranah ijarah, yang komponennya terdiri dari pekerja (ajir) dan pengusaha
(musta’’jir). Keduanya terikat dalam hubungan kerja yang di dalamnya terdapat

12
Ibid., hlm. 60-65.
17

hak dan kewajiban masingmasing sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang
disetujui.
Menurut Sayyid Sabiq akad ijarah adalah jenis akad yang harus
dilaksanakan, dan salah satu pihak tidak memiliki hak membatalkan karena
merupakan akad timbal balik, kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad,
seperti rusaknya barang yang diupahkan, karena akad tidak terlaksana sesudah
rusaknya barang. Sempurnanya pekerjaan, atau berakhirnya masa kerja sewa.
Sedangkan Wahbah Zuhaili mengatakan “Ketika proses perjanjian ijaarah telah
sempurna maka kesepakatan itu bersifat tetap (statusnya tidak berubah). Masing-
masing pihak yang mengadakan akad tidak berhak membatalkan akad secara
sepihak kecuali ditemukan cacat”.
Namun demikian ruang tidak batalnya akad ijarah terbatas oleh selain
udzur syari’. Jika terdapat udzur syari’ otomatis akad ijarah batal. Misalnya,
seseorang menyewa jasa dokter untuk mencabut gigi yang sakit, atau tiba-tibaa
gigi tersebut sembuh, maka akad ijarah tersebut batal. Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa ijarah batal karena adanya udzur sebab kebutuhan atau
manfaat akan hilang apabila ada udzur. Udzur yang dimaksud adalah sesuatu
yang baru yang menyebabkan kemadharatan bagi yang akad.
Memahami pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif
ekonomi Islam, pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan, jika ditemukan
adanya udzur syar’i kerusakan atau cacat yang menyebabkan tidak berjalannya
akad ijarah.13

13
Isti Wahyuningsih, Op. Cit., hlm. 46-48.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan:
1. Pemutusan hubungan kerja (PHK) memiliki istilah pemberhentian dan
mempunyai arti yang sama dengan separation, yang berarti “pemisahan”.
Dimana PHK mempunyai arti pengakhiran hubungan kerja dengan alasan
tertentu yang mengakibatkan berakhir hak dan kewajiban pekerja dan
perusahaan. Karena ketentuan yang telah disepakati atau mungkin berakhir
di tengah, baik atas permintaan perusahaan ataupun dari karyawan itu
sendiri.
2. Pemberhentian karyawan oleh perusahaan dilakukan berdasarkan alasan-
alasan sebagai berikut:
a. Peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Keinginan perusahaan
c. Keinginan karyawan
d. Pensiun Kontrak kerja telah berakhir
e. Kesehatan karyawan
f. Meninggal dunia
g. Perusahaan dilikuidasi
3. Pesangon adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan pengusaha kepada
pekerja karena PHK, dengan catatan memenuhi kualifikasi tertentu, karena
tidak semua PHK diikuti dengan pemberian pesangon. Uang pesangon
selain dikaitkan dengan PHK, juga dikaitkan dengan kewajiban pengusaha.
Pesangon tidak ada kaitan sama sekali dengan kewajiban buruh/pekerja dan
keberadaannya muncul karena perintah undang-undang. Dengan demikian
ada keterkaitan antara pesangon, PHK dan kewajiban pengusaha. Jumlah
nominal uang pesangon, juga dipengaruhi upah dan masa kerja
pekerja/buruh yang bersangkutan. Ini merupakan karakteristik pesangon
yang membedakan dengan jaminan pensiun
4. Faktor-faktor penghambat pemutusan hubungan kerja yang lazim
ditimbulkan adalah terjadi pada saat pra (sebelum) maupun pasca (sesudah)
dilakukannya pemutusan hubungan kerja tersebut.

18
19

5. Pemutusan hubungan kerja di bolehkan atas dasar akad ijarah, yang


didasarkan pada Al-Quran, hadis dan kaidah fiqh. Al-ijarah adalah akad
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa,
tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas
barang itu sendiri. Dalam perspektif ekonomi Islam, pemutusan hubungan
kerja dapat dilakukan, jika ditemukan adanya udzur syar’i kerusakan atau
cacat yang menyebabkan tidak berjalannya akad ijarah
B. Saran
Dalam melakukan pemutusan hubungan kerja, terdapat tahapan-tahapan
yang perlu dilakukan serta prosedur-prosedur yang perlu diperhatikan sesuai
dengan Undang-Undang yang berlaku. Meskipun dalam kondisi sulit,
perusahaan tidak dapat sembarangan melakukan PHK. Khususnya diperlukan
perhatian khusus untuk menghindari adanya konflik antara pemberi kerja dan
pekerja. Karena PHK pempunyai hubungan dengan masalah hilangnya
pendapatan dan menimbulkan perselisihan, maka mekanisme prosedur PHK
harus diatur dengan peraturan hukum yang berlaku, agar pekerja mendapatkan
perlindungan yang layak dari perusahaan dan memperoleh hak yang sesuai. Dan
perusahaan juga perlu tetap memperhatikan hak-hak karyawan yang di PHK dan
menyiapkan kompensasi untuk mereka.
DAFTAR PUSTAKA

H, Annisa Tassia. 2017. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pemutusan Hubungan Kerja
Sepihak (Studi Kasus Putusan Perkara No. 01/G/2013/PHI.PLG). Skripsi.
Palembang: UIN Raden Fatah.
Harlandja, Marihot Tua Efendi. 2017. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Grasindo.
Hartatik, Indah Puji. 2014. Buku Praktis Mengembangkan SDM. Yogyakarta: Laksana,
Hernawan, Ari. 2016. Keberadaan Uang Pesangon Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
Demi Hukum Di Perusahaan Yang Sudah Menyelenggarakan Program
Jaminan Pensiun. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, 38 (1):
7-12.
Komalasari, Deti. 2017. Konsep Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Ekonomi Islam.
Skripsi. Bengkulu: UIN Bengkulu.
Putri, Analita, Haliatus Sa’diyah, dan Khaeriah. 2018. Pemutusan Hubungan Kerja
Karyawan Pada Pt Pupuk Iskandar Muda Krueng Geukueh Aceh Utara:
Proceeding Seminar Nasional Politeknik Negeri Lhokseumawe: 69.
Lhokseumawe, 26-28 September 2018: Politeknik Negeri Lhokseumawe.
Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Jakarta: Kementrian Riset, Teknologi,
dan Pendidikan Tinggi.
Republik Indonesia. 2020. Undang-Undang Cipta Kerja Pasal 154 A Tahun 2020
tentang Aturan Alasan Seseorang Dapat di-PHK. Jakarta: Kementrian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Umar, Husein. 1997. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta: Gramedia Pusaka Utama.
Wahyuningsih, Isti. 2018. Tinjauan Hukum Islam terhadap kewajiban Pemberian Uang
Pesangon Sebagai Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) (Studi
Kasus Pemberian Pesangon Pada Karyawan PHK di PT. Bumi Waras Tulang
Bawang Barat). Skripsi. Lampung: IAIN METRO.

20

Anda mungkin juga menyukai