Anda di halaman 1dari 22

Tugas Kelompok

Mata kuliah : Pengembangan Sumber Daya Manusia


Dosen : Sukri, SKM, M.Kes

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


(PHK)

Oleh
Kelompok 4 :

 Nurkhalisa Malik  Wahyuni Juniarti Thalib


 Sri Novianti Bahar  Abdul Asis J. (OK)
 Syamaruddin (OK)  Rukiyah Pratiwi
 Abdul Aziz Al-fikri (OK)  Intan Permatasari

Jurusan Kesehatan Masyarakat


Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar
2007
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil alamin segalah puji bagi pencipta alam ini karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan makalah dapat kami selesaikan tepat
pada waktunya Amin.
Penyusun juga mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh aspek yang
telah membantu dalam pembuatan makalah ini, terutama kepada Dosen Mata Kuliah
yang telah memberikan amanah kepada kami untuk menyusun makalah ini serta
selalu membimbing kami dan terutama rekan-rekan kelompok yang selalu senatiasa
mencurahkan waktunya.
Penyusun juga sangat mengharapkan banyak kritikan dan saran dari pihak
manapun yang telah membaca makalah yang sifatnya membagun dan penyusun
terbuka tangan untuk menerima segala sumbangsinya

Makassar , 6 Mei 2007

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................................1
B. Ruang Lingkup.................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian PHK...............................................................................................4
B. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dari PHK...................................................6
C. Sifat Dari PHK.................................................................................................8
D. PHK secara Massal........................................................................................10
E. PHK Ditinjau Dari Hukum Perburuhan.........................................................12
F. Penyelesaian PHK Ditingkat Perusahaan dan Pemerantaraan ......................14
.............................................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................16
B. Saran...............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................18
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya merupakan masalah yang
kompleks karena mempunyai kaitan dengan pengangguran, kriminalitas, dan
kesempatan kerja. Seiring dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya
jumlah angkatan kerja yang bekerja dalam hubungan kerja, maka permasalahan
pemutusan hubungan kerja merupakan topik permasalahan karena merupakan
masalah kehidupan manusia.
Pemutusan hubungan kerja bagi tenaga kerja merupakan awal
kesengsaraan karena sejak saat itu penderitaan akan menimpa tenaga kerja itu
sendiri maupun keluarganya dengan hilangnya penghasilan. Namun dalam
praktek adanya pemutusan hubungan kerja masih saja terjadi dimana-mana.
Bagi perusahaan terjadinya pemutusan hubungan kerja sebenarnya
merupakan suatu kerugian karena harus melepas tenaga kerjanya yang selama ini
sadar atau tidak sadar sudah dilatih dengan menggunakan ongkos yang banyak
dan sudah mengetahui cara-cara kerja yang dibutuhkan perusahaan. Namun
terkadang perlu diadakan pemutusan hubungan kerja untuk menyelamatkan
perusahaan serta untuk mencegah korban yang lebih besar.
Dengan demikian terjadinya pemutusan hubungan kerja bukan hanya
menimbulkan kesulitan dan keresahan bagi tenaga kerja, tetapi juga akan
menimbulkan kesulitan dan keresahan bagi perusahaan . oleh karena itu masing-
masing pihak harus bisa saling menjaga agar tidak terjadi pemutusan hubungan
kerja (PHK) dan perusahaan dapat berjalan dengan baik.
Masalah mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) selalu menarik
untuk dikaji dan ditelaah lebih mendalam. Tenaga kerja selalu menjadi pihak
yang bila diperhadapkan pada pemberi kerja yang merupakan pihak yang
memiliki kekuatan. Sebagai pihak yang selalu dianggap lemah, tak jarang para
tenaga kerja selalu mengalami ketidakadilan bila diperhadapkan dengan dengan
kepentingan perusahaan. Sebagai contoh banyak sekali kasus-kasus yang terjadi
seperti yang baru-baru ini kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI), Texmaco, dan
lain-lain.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) telah memiliki pengaturan tersendiri.
Namun undang-undang yang mengatur mengenai PHK tersebut juga memiliki
beberapa kelemahan. Namun law inforcement yang terdapat dilapangan juga
masih sangat rendah. Sehingga, infrastruktur penegakan hukum tidak mampu
untuk melaksanakan apa yang sudah diatur dalam UU nya. Pemerintah dalam hal
ini telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan kerja dimana pengaturan pelaksanaan selalu disempurnakan secara
terus-menerus. Maksud peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan kerja selain untuk melindungi pekerja dari kehilangan pekerjaan, juga
memberikan perhatian kepada pengusaha atas kesulitannya menghadapi
perkembangan ekonomi yang tidak menentu.
Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk melindungi kepentingan
buruh (tenaga kerja). Tujuan tersebut dilandasi oleh filosofi besar bahwa buruh
selalu merupakan sub ordinat dari pengusaha. Karena itu, hukum perburuhan
dibentuk untuk menetralisir ketimpangan tersebut, maka hal tersebut terjadi
karena kegagalan secara substansi dan kepentingan di lapangan yang lebih
berpihak pada pengusaha ketimpang buruh.
Adapun undang-undng yang mengatur pemutusan hubungan kerja
adalah undang-undang No.12 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di
perusahaan swasta, undang-undang ini telah mencabut ”Regeling Ontslgrecht
Voor Bepaalde Niet Europese Arbeiders ” atau peraturan tentang pemutusan kerja
bagi bukan buruh Eropa dan peraturan-peraturan lain mengenai pemutusan
hubungan kerja seperti tersebut didalam kitab undang-undang Hukum perdata
pasal 1601 sampai dengan 1603. yang berlawanan dengan ketentuan-ketentuan
tersebut didalam undang-undang ini.
B. RUANG LINGKUP
Adapun ruang lingkup dari makalah pemutusan hubungan kerja (PHK)
yang dapat kami bahas disini adalah mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Menjelaskan tentang pengertian pemutusan hubungan kerja
b. Menjelaskan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemutusan
hubungan kerja
c. Dapat menjelaskan tentang sifat pemutusan hubungan kerja
d. Menjelaskan tentang adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara
massal
e. Menjelaskan tentang pemutusan hubungan kerja jika ditinjau dari
hukum perburuhan
f. Menjelaskan tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja di
tingkat perusahaan dan di tingkat pemerantaraan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)


Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan
dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling
membutuhkan dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya
pada saat mereka mulai menjalin kerjasama. Dengan adanya keterikatan bersama
antara perusahaan (manajemen perusahaan), khususnya manager tenaga kerja
dengan para tenaga kerja, berarti masing-masing pihak telah memiliki hak dan
kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja
berarti manajer perusahan dituntut untuk memenuhi hak dan kewajiban terhadap
tenaga kerja sesuai dengan kondisi pada saat terjadi kontrak kerja. Kontrak kerja
antara manager tenaga kerja dapat secara tertulis atau tidak tertulis. Dapat pula
ditentukan dalam jangka waktu tertentu atau dapat tidak ditentukan pula berapa
lama tenaga kerja tersebut harus bekerja pada perusahaan.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah suatu proses pelepasan
keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik atas
permintaan tenaga kerja bersangkutan maupun atas kebijakan perusahaan yang
karenanya tenaga kerja tersebut dipandang sudah tidak mampu memberikan
produktifitas kerja lagi atau karena kondisi perusahaan yang tidak
memungkinkan. Berdasarkan peraturan Menteri tenaga kerja RI No:
PER-150/Men/2000 tentang penyelesaian pemutusan hubungan kerja dan
penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian di
Perusahaan Swasta bahwa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah
pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan izin
Panitia Daerah (P4D) atau Panitia pusat (P4P). Pemutusan hubungan kerja ini
dapat dilakukan secara besar-besaran (massal) yang berarti bahwa pemutusan
hubungan kerja terhadap 10 orang pekerja atau lebih pada satu perusahaan
dalam satu Bulan atau terjadi rentetan pemutusan hubungan kerja yang dapat
menggambarkan suatu iktikad pengusaha untuk mengadakan pemutusan
hubungan kerja secara besar- besaran.
Dari pengertian tersebut maka dapat disimpulkan yang dimaksud dengan
Pengusaha adalah :
Orang, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri
Orang, persekutuan atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya
Orang, persekutuan atau badan hukum yang berada di Indonessia
mewakili perusahaaan yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.
sementara yang dimaksud pekerja adalah orang yang bekerja pada pengusaha
dengan menerima upah.
1. Uang Pesangon
Penerimaan uang pesangon didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang
berlaku. Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa tidak selalu suatu
pemberhentian hubungan kerja itu berakibat adanya pemberian uang pesangon
bagi karyawan yang bersangkutan. Pada umumnya besarnya uang pesangon,
menurut Drs. Manullang, sebagai contoh sebagai berikut :
a. Masa kerja sampai satu Tahun : uang pesangonnya adalah satu bulan upah
bruto.
b. Masa kerja satu sampai dua Tahun : dua bulan upah bruto.
c. Masa kerja dua sampai tiga Tahun : tiga bulan upah bruto
d. Masa kerja tiga Tahun dan seterusnya : empat bulan upah bruto.
2. Uang Jasa
Demikian pula halnya uang jasa, tidak setiap pemutusan hubungan kerja
berakibat adanya pemberian uang jasa bagi karyawan yang bersangkutan.
Adapun contoh besarnya uang jasa, agak berbeda dengan uang pesangon
tersebut diatas, yakni sebagi berikut :
a. Masa kerja 5-10 tahun = satu bulan upah bruto
b. Masa kerja 10-15 = dua bulan upah bruto
c. Masa kerja 15-20 tahun = tiga bulan upah bruto
d. Masa kerja 20-25 tahun = empat bulan upah bruto
e. Masa kerja 25 ke atas = lima bulan upah bruto.
3. Uang Ganti Rugi
Suatu pemberian uang ganti rugi antara lain untuk keperluan-keperluan
sebagai berikut :
a. Ganti rugi untuk keperluan istrahat tahunan yang belum diambil.
b. Ganti rugi untuk istrahat panjang bagi karyawan yang belum
mengambilnya dan memang hal itu berlaku diperusahaan yang
bersangkutan
c. Ongkos pulang untuk karyawan dan keluarganya ketempat dimana
karyawan yang bersangkutan diterima bekerja
d. Dan lain sebagainya berdasarkan ketentuan yang berlaku, seperti :
karena akibat kecelakaan, meninggal dunia karena tugas dan lain-lain
semacam itu.

B. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMUTUSAN


HUBUNGAN KERJA (PHK)
Dalam setiap pemutusan hubungan kerja di perusahaan harus
mendapatkan izin dari panitia daerah untuk pemutusan hubungan kerja
perorangan dan panitia pusat untuk pemutusan hubungan kerja massal. Namun,
hal ini dapat disamaratakan untuk seluruh pekerja karena suatu perusahaan dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa izin kepada panitia daerah dan
panitia pusat dalam kondisi sebagai berikut :
1. Pekerja dalam masa percobaan. Masa percobaan ini dinyatakan secara
tertulis dan diberitahukan kepada pekerja yang bersangkutan. Lamanya masa
percobaan ini paling lama 3 bulan dan hanya boleh diadakan untuk satu kali
percobaan.
2. Pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis atas
kemauan sendiri tanpa syarat
3. Pekerja telah mencapai usia pensiun yang telah ditetapkan dalam
perjanjian kerja atau kesepakatan kerja bersama
4. Pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan kesepakatan kerja waktu
tertentu karena masa berlakunya telah berakhir atau karena pekerjaan yang
diperjanjikan telah selesai.
Berdasarkan undang-undang No. 12 tahun 1964 dan ketentuan-
ketentuan dalam Bab 7A Buku KUH Perdata yang masih berlaku, maka ada 4
cara terjadinya pemutusan hubungan kerja yaitu :
a) Pemutusan Hubungan Kerja Demi Hukum
Pemutusan hubungan kerja demi hukum berarti hubungan kerja antara
buruh dengan pengusahan berakhir dengan sendirinya dimana kedua belah
pihak hanya pasif saja. Pemutusan hubungan kerja demi hukum dapat terjadi
pada :
 Perjanjian kerja untuk waktu tertentu
 Buruh meninggal dunia
b) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Buruh
Pemutusan hubungan kerja oleh buruh, dalam hal ini buruh yang aktif
dalam artian memohon untuk diputuskan hubungan kerjanya. Dipihak
pengusah hanya bersikap pasif saja. Pemutusan hubungan kerja oleh buruh
terjadi pada :
 Dalam masa percobaan
 Dengan meninggalnya majikan/pengusaha
 Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu
 Buruh dapat memutuskan hubungan kerja sewaktu-
waktu

c) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Majikan/Pengusaha


Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/pengusaha yang banyak diatur
oleh pemerintah dengan maksud agar buruh tidak kehilangan pekerjaan
dimana kesempatan kerja sangat minim. Oleh karena itu selain diadakan
Undang-undang No. 12 Tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja
diperusahaan swasta, juga peraturan Menteri Tenaga Kerja No.
PER-04/MEN/1986 tentang tata cara pemutusan hubungan kerja dan
penetapan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian serta Keputusan
Menteri Tenaga Kerja No. KEP-1108/MEN/1986 tentang pedoman
pelaksanaan perselisihan industrial dan pemutusan hubungan kerja.
Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/pengusah merupakan hal yang
tidak dapat dihindari baik demi penyelamatan perusahaan maupun karena
sikap mental dai para buruh. Menurut Undang-undang No. 12 Tahun 1964
dikenal ada 2 macam pemutusan hubungan kerja yaitu :
 Pemutusan hubungan kerja secara perorangan
 Pemutusan hubungan kerja secara massal/besar-besaran
d) Pemutusan Hubungan Kerja Oleh Pengadilan
Masing-masing pihak baik pengusaha maupun buruh berhak minta
kepada Pengadilan Negeri agar hubungan kerjanya yang terjadi karena adanya
perjanjian kerja yang diputuskan. Menurut pasal 1603 v KUH Perdata : tiap
pihak setiap waktu, juga sebelum pekerjaan dimulai, berwenang berdasarkan
alasan penting mengajukan permintaan tertulis kepada pengadilan ditempat
kediamannya yang sebenarnya untuk menyatakan perjanjian kerja putus.
C. SIFAT PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
Dalam pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dengan tenaga
kerja, sebenarnya tidaklah mutlak berada pada tangan manajer perusahaan, tetapi
harus pula mengikuti dan berpedoman pada kebijakan pemerintah, baik berupa
peraturan pemerintah, instruksi Presiden, undang-undang, dan sejenisnya serta
badan-badan yang berwewenang. Jadi, pemutusan hubungan kerja harus ada
persetujuan manager perusahaan dengan pemerintah atau organisasi
berwewenang.
Sebenarnya proses PHK sangat bergantung pada sifat pemutusan
hubungan kerja. Menurut sifatnya, PHK dapat dibedakan menjadi PHK secara
hormat, PHK sementara dan PHK secara tidak terhormat.
1. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Terhormat
Pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja
terjadi karena beberapa hal sebagai berikut :
 Keinginan tenaga kerja yang
bersangkutan
 Telah mencapai batas waktu kontrak
kerja yang telah disepakati antara perusahaan dengan tenaga kerja yang
bersangkutan
 Akibat ekonomi, hasil produksi sulit
dipasarkan sehingga terjadi penurunan hasil produksi yang jumlah tenaga
targetkan. Untuk itu perlu pengurangan kerja dengan jalan menempuh
pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja
 Perkembangan teknologi dan
komputerisasi seringkali menuntut tenaga kerja cakap dan memiliki bekal
pendidikan formal sebelumnya tentang teknologi dan komputerisasi.
 Kondisi fisik-psikologis tenaga kerja
yang bersangkutan sudah tidak cakap lagi sehingga mereka tidak mampu
lagi melaksanakan pekerjaannya sebagaimana mestinya.
 Tenaga kerja yang bersangkutan
meninggal dunia.
2. Pemutusan Hubungan Kerja Sementara
Pemutusan hubungan kerja sementara antara perusahaan dengan tenaga
kerja terjadi manakala tenaga kerja yang bersangkutan dikenakan tahanan
sementara oleh yang berwewenang karena diduga melakukan suatu tindak
pidana kejahatan, baik secra langsung maupun tidak langsung merugikan
individu, kelompok, perusahaan, organisasi, maupun pemerintah. Dengan
demikian, berjalanya proses penyelidikan kebenaran atas dugaan tersebut,
hubungan kerja tenaga yang bersangkutan diputuskan sementara. Apabila
ternyata dugaan tersebut tidak benar, mungkin saja tenaga yang bersangkutan
mengikat kerjasama lagi dengan perusahaan. Akan tetapi, kalau ternyata
bahwa dugaan tersebut benar, maka akan dilakukan pemutusan hubungan
kerja antara perusahaan dengan tenaga kerja tersebut secara tidak terhormat.
3. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Tidak Terhormat
Pemutusan hubungan kerja dengan hormat dapat juga dikatakan PHK
melalui kompromi. Sebaliknya, PHK dengan tidak terhormat dikatakan PHK
tanpa kompromi. PHK secara tidak terhormat dapat dilakukan karena hal-hal
sebagai berikut :
a. Tenaga kerja yang bersangkutan
melanggar kontrak kerja serta janji yang telah disepakati pada saat
mengadakan ikatan kerjasama
b. Bertindak dan berperilaku yang
merugikan perusahaan baik dalam kuantum besar maupun kecil secara
langsung maupun tidak langsung dan merupakan alternatif terbaik atas
pengambilan yang dilakukan manager
c. Tenaga kerja yang bersangkutan
dinyatakan melakukan tindak pidana sehingga mengakibatkan yang
bersangkutan dihukum penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang
sudah memiliki kekuatan hukum yang pasti.
d. Kemangkiran yang terus-
menerus dan sudah diperingatkan berkali-kali

D. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA SECARA MASSAL


Pemutusan Hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran/massal dalam
peraturan pelaksanaannya sering disebut PHK secara massal. Menurut pasal 3
ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta
menyebutkan :
”Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika
dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja
dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan
hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan
pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran”
Adapun tahap-tahap yang dilakukan dalam PHK secara massal adalah
sebagai berikut :
Tahap I : Penyelamatan melalui usaha peningkatan efisiensi dan penghematan
antara lain dengan :
 Mengurangi shift
 Membatasi/
menghapuskan kerja lembur
 Mengurangi jam kerja
 Peningkatan usaha-usaha,
efisiensi dan penghematan lainnya
 Meliburkan karyawan
secara bergiliratau merumahkan karyawan untuk sementara
waktu.
Tahap II : Izin prinsip dari Menteri Tenaga Kerja tidak diperlukan lagi. (surat
edaran Menteri Tenaga Kerja no. 1820/M/XI/1987 tertanggal 7
November 1987 tentang kiat pelaksanaan putusan P4 pusat.
Tahap III : Proses pelaksanaan pemutusan hubungan kerja. Dimana apabila
usaha-usaha tersebut diatas telah ditempuh dan ternyata belum
berhasil maka di mulai proses PHK melalui ketentuan UU No. 12
Tahun 1964 yaitu secara Bipartit, Tripartit, (dengan perantaraan),
P4P dan Menteri Tenaga Kerja. Dengan demikian prosesnya sama
dengan PHK perorangan, sedangkan perbedaannya hanya mengenai
masalah izin bahwa izin permohonan PHK dari pengusaha harus
ditujukan kepada P4 Pusat bukan p4 Daerah.
TahapIV : Penyaluran dan penampungan. Pendaftaran kepada bursa
Kesempatan kerja dan diusahakan kesempatan kerja baru atau di
didik melalui latihan kerja sesuai dengan kebutuhan.
E. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DITINJAU DARI HUKUM
PERBURUHAN
Seperti yang dikemukakan diawal tadi bahwa tujuan utama hukum
perburuhan adalah untuk melindungi kepentingan buruh. Tujuan tersebut
dilandasi oleh filosofis dasar bahwa buruh selalu merupakan sub ordinat dari
pengusaha. Ketentuan terbaru mengenai tenaga kerja adalah UU Nomor 13 Tahun
2003. Apabila kita membahas UU 13 Tahun 2003, maka tidak bisa terlepas dari
UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK diperusahaan swasta. Hal tersebut
dikarenakan UU No. 13 Tahun 2003 tidak mencabut secara pasti UU No. 12
Tahun 1964. UU No. 13 Tahun 2003 memang tidak dimaksudkan untuk tidak
mencabut seluruhnya, karena UU No. 13 Tahun 2003 dan memang dimaksudkan
untuk tidak mencabut seluruhnya, karena UU No. 13 Tahun 2003 belum punya
hukum acara. Sehingga hukum acara yang masih digunakan adalah sebagaimana
yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1964. kedua UU tersebut secara umum
sama, yakni bahwa PHK baru apabila sudah memiliki izin dari sebuah lembaga
yang ditunjuk. Lembaga tersebut adalah P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah) untuk perorangan, dan P4P untuk yang jumlahnya 10 orang
ke atas.
Kedua UU diatas pada prinsipnya sama, yaitu melarang PHK. Sehingga
dengan demikian, terdapat proteksi terhadap buruh agar buruh tidak kehilangan
pekerjaannya. Namun apabila prinsip tersebut harus disimpangi, maka pengusaha
harus mengajak pihak buruh untuk berunding. Apabila buruh memiliki organisasi,
serikat buruh, maka pengusaha harus mengajak organisasi buruh tersebut untuk
berunding. Dengan demikian buruh dan pengusaha memiliki kewajiban yang
sama. Hal-hal yang dibicarakan dalam perundingan tersebut antara lain adalah
alasan-alasan diberikannya PHK, kompensasi serta mekanisme pemberian
kompensasi. Perundingan tersebut wajib dilakukan sehingga apabila dilanggar,
maka UU No. 13 Tahun 2003menentukan bahwa lembaga yan gseharusnya
berwenang untuk menyelesaikan perselisihan, maka lembaga tersebut menjadi
tidak boleh menerima permohonan PHK oleh swasta.
Dalam perundingan tersebut, seringkali terjadi kesalahpahaman oleh
buruh. Apabila pihak perusahaan mengatakan bahwa seorang buruh di PHK,
maka buruh tersebut benar-benar menganggap bahwa buruh tersebut akan di
PHK. Padahal bukan seperti itu maksudnya. Apabila perusahaan mengeluarkan
sebuah kertas PHK dengan SK perusahaan tanpa izin, maka surat tersebut
sebetulnya tidak sah secara hukum. Dengan demikian, si pengusaha tetap harus
membayarkan upah kepada si buruh walaupun pengusaha tidak mau menerima si
buruh bekerja lagi ketika proses penyelesaian PHK berlangsung.
UU tidak mengatur tentang hal-hal apa saja yang boleh dilakukan
sehubungan dengan pemberian PHK. Namun UU justru mengatur hal-hal apa saja
yang tidak boleh dilakukan. Misalnya PHK dilarang apabila menyangkut masalah
kehamilan dan menyusui. Hal lainnya adalah bahwa pengusaha dilarang mem-
PHK pekerja yang sedang sakit. Apabila si pekerja sakit selama 12 bulan terus-
menerus maka pengusaha dilarang untuk mem-PHK pekerja tersebut.
Hal lain yang patut mendapat mendapat perhatian besar adalah PHK
yang disebabkan oleh kejahatan (kesalahan berat) seperti mencuri. Pada peraturan
perburuhan terdahulu, PHK bagi buruh yang melakukan kesalahan berat tetap
harus mendapat izin dari P4D/P4P. Kesalahan berat masuk dalam lingkup pidana,
oleh karena itu tetap harus minta izin. Dengan demikian, sebelum PHK diberikan,
harus sudah ada putusan pengadilan yang final dan sesuai dengan azas praduga
tak bersalah. Namun dalam regulasi perburuhan yang berlaku saat ini, PHK bagi
buruh yang melakukan kesalahan berat dapat langsung diberikan oleh perusahaan.
Pemberian PHK langsung tersebut dapat diberiakn dengn syarat bahwa buruh
bersangkutan terbukti tertangkap tangan atau ada pengakuan dan bukti berupa
laporan kejadian yang didukung oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi. Dengan
demikian, UU perburuhan terbaru tidak menghargai azas praduga tak bersalah.
Buruh yang di PHK tersebut dapat mengajukan gugatan.
Departemen Tenaga Kerja memegang peranan penting dalam hal
pengawasan tenaga kerja. UU perburuhan di Indonesia menganut Tripartit, yaitu
musyawarah yang melibatkan tiga pihak, yaitu pengusaha, buruh dan pengusaha.
Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh petugas dari Depnaker yang bertindak
sebagai penengah. Selain sebagi penengah antara buruh dengan pengusaha,
Depnaker juga berperan sebagi pengawas regulasi perburuhan, yaitu apakah
regulasi perburuhan telah dilaksanakan dengan benar atau tidak

F. PENYELESAIAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) DI


TINGKAT PERUSAHAAN DAN DI TINGKAT PEMERANTARAAN
Pengusaha dengan segala daya upayanya harus mengusahakan agar
jangan terjadi pemutusan hubungan kerja dengan memebrikan pembinaan
terhadap pekerja dan melakukan langkah-langkah efisiensi untuk penyelematan
perusahaan. Pembinaan terhadap pekerja dapat dilakukan pengusaha dengan cara
memberikan peringatan kepada pekerja baik lisan maupun tertulis sebelum
melakukan pemutusan hubungan kerja. Surat peringatan tertulis yang diberikan
kepada pekerja dapat berupa surat peringatan tertulis pertama, kedua dan ketiga
kecuali dalam hal pekerja melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Setelah 3 hari berturut-turut pekerja tetap menolak untuk menaati perintah
atau penugasan yang layak sebagaimana tercantum dalam perjanjian kerja
atau peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama.
2. Dengan sengaja atau lalai mengakibatkan dirinya tidak dapat melakukan
pekerjaan yang diberikan kepadanya
3. Tidak cakap melakukan pekerjaan meskipun sudah dicoba dibidang tugas
yang ada.
4. Melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja atau
peraturan perusahaan atau kesepakatan kerja bersama yang dapat dikenakan
peringatan terakhir.
Setelah mendapatkan surat peringatan terakhir pekerja masih tetap
melakukan pelanggaran maka perusahaan dapat mengajukan izin pemutusan
hubungan kerja kepada panitia daerah untuk PHK perorangan atau panitia pusat
untuk PHK massal.
Masa berlaku masing-masing surat peringatan tersebut selama 6 bulan,
kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
kesepakatan kerja bersama.
Jika pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha,
pekerja, dan serikat pekerja yang terdaftar di Departemen/Dinas Tenag Kerja
tempat pekerja menjadi anggotanya, memusyawarahkan untuk mencapai
kesepakatan mengenai penyelesaian pemutusan hubungan kerja tersebut.
Selanjutnya serikat pekerja dalam merundingkan penyelesaian pemutusan
hubungan kerja terhadap pekerja yang bukan anggotanya harus mendapat kuasa
secara tertulis dari pekerja yang bersangkutan. Setiap perundingan dilakukan
sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama 30 hari takwim
dan setiap perundingan dibuat risalah yang ditandatangani oleh semua pihak.
Penyelesaian perselisihan perburuhan sebetulnya berhenti di P4P, dalam
arti hubungn antara pengusaha dan buruh berhenti di P4P. Apabial kedua pihak
merasa tidak puas denagn putusan P4P maka dia bisa mengajukan ke PTUN. Di
PTUN buruh aka mempermasalahkan lagi putusan P4P. Jadi bukan
mempermasalahkan PHK nya langsung, tetapi masuk melalui ”putusan itu tidak
benar”. Sehingga dalam PTUN, maka dia kan meminta SK pembatalan PHK dan
pembuatan SK baru yang menolak PHK terhadap dirinya.
Salah satu contoh kasus perburuhan yang ramai dibicarakan kemarin
adalah kasus PT. Garuda yang menyuruh karyawannya untuk segera pindah ke
anak perusahaan dan terdapat beberapa karyawan yang tidak mau untuk
dipindahkan. Sebelumnya harus jelas apakah anak perusahaan tersebut memang
masih memiliki hubungan dengan Garuda sebagai perusahaan induk. Apabial
tidak terdapat hubungan, maka sebetulnya pihak Garuda tidak boleh
memmindahkan karyawannya begitu saja.harus ada penyelesian dulu tentang
kerja yang lama.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat kami tarik dari pembahasan diatas
adalah sebagai berikut :
1. Pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah suatu
proses pelepasan keterikatan antara sama antara perusahaan dengan tenaga
kerja, baik atas permintaan tenaga kerja bersangkutan maupun atas
kebijakan perusahaan yang karenanya tenaga kerja tersebut dipandang sudah
tidak mampu memberikan produktifitas kerja lagi atau karena kondisi
perusahaan yang tidak memungkinkan
2. Berdasarkan undang-undang No. 12 tahun 1964
dan ketentuan-ketentuan dalam Bab 7A Buku KUH Perdata yang masih
berlaku, maka ada 4 cara terjadinya pemutusan hubungan kerja yaitu :
a. Pemutusan Hubungan Kerja
Demi Hukum
b. Pemutusan Hubungan Kerja
Oleh Buruh
c. Pemutusan Hubungan Kerja
Oleh Majikan/Pengusaha
d. Pemutusan Hubungan Kerja
Oleh Pengadilan
3. Menurut UU No. 12 Tahun 1964 ada 2 macam
pemutusan hubungan kerja yaitu :
a. PHK secara perseorangan/perorangan
b. PHK secara besar-besaran/massal
4. Menurut sifatnya, PHK dapat dibedakan
menjadi :
a. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Terhormat
b. Pemutusan Hubungan Kerja Sementara
c. Pemutusan Hubungan Kerja Secara Tidak Terhormat

5. Tujuan utama hukum perburuhan adalah untuk


melindungi kepentingan buruh (tenaga kerja). Tujuan tersebut dilandasi oleh
filosofi besar bahwa buruh selalu merupakan sub ordinat dari pengusaha.
Karena itu, hukum perburuhan dibentuk untuk menetralisir ketimpangan
tersebut, maka hal tersebut terjadi karena kegagalan secara substansi dan
kepentingan di lapangan yang lebih berpihak pada pengusaha ketimpang
buruh.
6. Ketentuan terbaru mengenai tenaga kerja adalah
UU Nomor 13 Tahun 2003. Apabila kita membahas UU 13 Tahun 2003,
maka tidak bisa terlepas dari UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK
diperusahaan swasta. Hal tersebut dikarenakan UU No. 13 Tahun 2003 tidak
mencabut secara pasti UU No. 12 Tahun 1964. UU No. 13 Tahun 2003
memang tidak dimaksudkan untuk tidak mencabut seluruhnya, karena UU No.
13 Tahun 2003 dan memang dimaksudkan untuk tidak mencabut seluruhnya,
karena UU No. 13 Tahun 2003 belum punya hukum acara
B. Saran
1. Kepada para pemerintah agar lebih memperhatikan nasib para tenaga kerja
baik yang ada dalam negeri maupun yang di luar negeri.
2. Kepada para pengusaha agar lebih bersikap bijak dan tidak sewenang-wenang
dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan PHK.
3. Kepada para karyawan/tenaga kerja agar senantiasa meningkatkan prestasi
kerja dan mentaati aturan-aturan dimana ia bekerja.

DAFTAR PUSTAKA

Hadiwiryo, Siswanto Sastro. Manajemen Tenaga Kerja Di Indonesia (pendekatan


administrasi dan operasional). 2003. Bumi Aksara. Jakarta
Djumialdi, F.X. Perjanjian Kerja. 2001. Bumi Aksara. Jakarta
Martoyo, Susilo. Manajemen Sumber Daya Manusia. 2003. PT BPFE. Yogyakarta.
Rosdiana. Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata.
2001. www.google.com. Bandar Lampung
Asfinawati. Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Hukum Perburuhan. 2005.
www.google.com. Jakarta
Riminder. Info Workshop Pemutusan Hubungan Kerja yang Baik dan Benar
Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan. 2001.
www.google.com. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai