Anda di halaman 1dari 15

KEBIJAKAN PERUSAHAAN DALAM MENGAMBIL

TINDAKAN PHK

Nama Kelompok:

Made Sedhana Wedanatha (202110122021)

I Putu Agus Permana Putra (202110122026)

I Nyoman Putra Astama (202110122031)

I Putu Arya Mas Adiwirakesuma (202110122036)

I Ketut Dana Dwija Putranata (202110122043)

Gede Rangga Surya Artika (202110122054)

I Komang Wariana Adi Pranata (202110122057)

I Gede Dwi Arya Pastika (202110122067)

Made Indra Narendra (202110122069)

Ida Bagus Gede Girindra Kusuma (202110122083)

Dosen Pengampu:

Dr. Ni Komang Arini Styawati, S.H.,M.Hum.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

2022
DAFTAR ISI

Judul...............................................................................................I

Daftar Isi........................................................................................II

BAB I PENDAHULUAN.....................................................................1

1.1 Latar Belakang........................................................................1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................2

1.3 Landasan Teori.......................................................................2

BAB II PEMBAHASAN......................................................................4

2.1 Dalam hal apa, perusahaan dilarang melakukan PHK? Dan bagaimana

bila PHK tetap terjadi?............................................................................4

2.2 Apa Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK...........................6

BAB III PENUTUPAN......................................................................11

3.1 Kesimpulan............................................................................11

3.2 Saran.....................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemutusan hubungan kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka (25)

Undang Undang No. 13 tahun 2003 adalah pengakhiran hubungan kerja karena

suatu hal tertentu mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara

pekerja/buruh dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja ini berdasarkan

ketentuan pasal 150 Undang Undang No.13 tahun 2003 meliputi PHK yang terjadi

di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak,milik orang perseorangan,milik

persekutuan atau badan hukum,baik milik swasta maupun milik negara,maupun

usaha usaha sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus dan

memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk

lain. PHK berarti suatu keadaan dimana si buruh berhenti bekerja dari majikannya.

Hakikat PHK bagi buruh merupakan awal dari penderitaan,maksudnya bagi buruh

permulaan dari segala pengakhiran,permulaan dari berakhirnya mempunyai

pekerjaan,permulaan dari berakhirnya kemampuannya membiayai keperluan

hidup sehari-hari baginya dan keluarganya.

Pada umumnya ada empat macam cara teradinya PHK, yaitu PHK demi

hukum, PHK yang datangnya dari pihak buruh, PHK yang datangnya dari pihak

majikan, dan PHK karena putusan pengadilan. Sebenarnya cara terjadinya PHK

cukup ada tiga macam, dengan mengabaikan PHK akibat putusan pengadilan,

karena PHK sebagai akibat putusan pengadilan munculnya sebagai akibat dari

adana sangketa antara buruh dan majikan mengenai perselisihan hubungan

1
industrial. Bentuknya dapat melalui gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri apabila

diduga ada perbuatan yang melanggar hukum dari salah satu pihak atau dapat

melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

1.2 Rumusan Masalah

1. Dalam hal apa, perusahaan dilarang melakukan PHK? Dan bagaimana bila

PHK tetap terjadi?

2. Apa upaya hukum bagi pekerja yang di PHK?

1.3 Landasan Teori dan Konsep

Teori Keadilan John Rawls

John Rawls menegaskan keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi

sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Kalimat ini lebih

menegaskan pada aturan yang elegan dan ekonomis, harus ditolak atau direvisi

jika ia tidak benar dan tidak sesuai dengan keadilan. Dari kalimat kebajikan yang

utama menurutnya, maka keadilan tidak bisa ditawar atau dinego karena keadilan

tersebut adalah nilai yang paten dan tidak bisa ditukar dengan apapun.

Hukum atau aturan yang mempunyai tugas atas jaminan setiap orang yang

ada didalam masyarakat, maka bisa dipastikan bahwa hukum juga mengatur

segala aspek kehidupan manusia, atau lebih mengarah pada tatanan sosial. Tanpa

menghiraukan tujuan dari hukum sendiri, yakni dari aspek keadilan. Dimana

hukum merupakan bagian instrumen atau institusi yang mewujudkan keadilan.

Dalam prinsip teori keadilan, Rawls merumuskan beberapa hal penting

untuk dapat menjawab problematika konsepsi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

2
untuk mencapai keadilan yang adil. Rumusan tersebut salah satunya adalah

“Ketimpangan sosial dan ekonomi ditata sedemikian hingga mereka (a) memberi

keuntungan terbesar pada kelompok yang paling lemah, dan (b) semua posisi dan

jabatan terbuka bagi semua orang dalam kondisi kesetaraan peluang yang fair”.

memiliki makna bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar

memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang

beruntung. Kebebasan dan kesempatan yang sama dan teknis pembagiannya

harus merata sesuai dengan keuntungan terhadap levelnya masing-masing, baik

pendistribusian kekayaan, distribusi kesempatan dan lain sebagainya.

Apabila PHK benar-benar terjadi, perlu adanya kejelasan dalam

pendistribusian pesangon yang akan diberikan. Pasal 40 ayat (4)72 belum

dikatakan mampu memberi pengertian yang jelas dalam pemberian pesangon bagi

pekerja yang telah di berhentikan dari pekerjaannya. Pesangon menjadi peran

penting untuk menjamin kepada pekerja untuk dapat melanjutkan biaya

kehidupannya selama ia belum mendapatkan pekerjaan kembali. Uang pesangon

dirasa penting yang diberikan kepada pekerja yang telah berhenti. Hal ini adalah

bentuk penghargaan selama ia bekerja dalam perusahaan tersebut. Dan pada

dasarnya, pekerja juga harus terpenuhi syarat-syaratnya dalam pemenuhan upah

pokok, tunjangan, dan pesangon yang seharusnya dibayarkan selama bekerja atau

berakhirnya masa kerjanya. Hal ini juga merupakan tindakan perlindungan kepada

pekerja dimana sebelumnya memang harus ada kesepakatan antara kedua belah

pihak yang telah disepakati mengenai upah, asuransi, pesangon, perlakuan adil,

dan tidak adanya perlakuan eksploitasi dari pengusaha.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Dalam hal apa, perusahaan dilarang melakukan PHK. Dan bagaimana

bila PHK tetap terjadi.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah salah satu hal dalam dunia

ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh para pekerja /

buruh yang masih aktif bekerja. PHK merupakan peristiwa yang tidak diharapkan

terjadi, khususnya bagi kalangan pekerja atau buruh karena dengan PHK pekerja

atau buruh yang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk

mengidupi diri dan keluarganya. Dalam hal pemberhentian pegawai, seharusnya

perusahaan bertindak sangat hati-hati dan perlu pertimbangan yang sangat

matang karena dapat membawa pengaruh yang cukup besar bagi perusahaan dan

pegawai itu sendiri. Dalam peraturan dapat dimintakan alasan-alasan untuk

pemberhentian dan sering kali diadakan larangan pemberhentian dalam hal-hal

lain. Kadang-kadang disyaratkan pemberian pesangon (menunjukkan jalan bagi

buruh yang diberhentikan itu untuk dapat dipekerjakan kembali dan memberi

buruh itu hak-hak untuk membantunya mendapatkan pekerjaan baru.

Pemerintah berkepentingan langsung dalam mengatasi PHK karena

pemerintah bertanggung jawab atas berputarnya perekonomian nasional dan

terjaminnya ketertiban umum, oleh karena itu, peraturan perundang undangan

melarang pengusaha melakukan PHK karena alasan alasan tertentu seperti yang

telah diuraikan dalam UU No. 13 tahun 2003 pasal 153 ayat 1. RUU Cipta Kerja

yang telah disahkan dalam Rapat Paripuna DPR mengatur tentang sejumlah

4
ketentuan larangan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)

terhadap buruh atau pekerja.Salah satunya, adalah perusahaan dilarang mem-

PHK buruh yang memiliki ikatan perwakilan dengan buruh. Pasal 153 UU Ciptaker

klaster ketenagakerjaan, yang mengubah Pasal 153 UU Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan. Dikutip dari naskah UU Ciptaker, Pasal 153 Ayat 1

menyatakan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada

pekerja/buruh dengan alasan:1. Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit

menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-

menerus,2. Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi

kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku,3. Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan

agamanya,4. Pekerja menikah,5. Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur

kandungan, atau menyusui bayinya,6. Pekerja mempunyai pertalian darah dan

atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan,7.

Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja

melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas

kesepakatan perusahaan, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,8. Pekerja

yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib mengenai perbuatan

perusahaan yang melakukan tindak pidana kejahatan,9. Karena perbedaan

paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi

fisik, atau status perkawinan,10. Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat

kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat

keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

5
Lebih lanjut ayat (2) dari pasal ini menyebut PHK yang dilakukan dengan

alasan tersebut di atas, atau dengan kata lain PHK tetap terjadi, maka PHK batal

demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/ buruh yang

bersangkutan. Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak

dibenarkan undang-undang, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha

wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU

Ketenagakerjaan). Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, baik pihak

pengusaha maupun pekerja malah diharuskan dengan segala upaya agar jangan

sampai terjadi PHK. Jika segala upaya telah dilakukan tetapi PHK tetap tidak

terhindarkan maka maksud PHK harus dirundingkan antara pengusaha dan pekerja

(Pasal 151 ayat [2] UU Ketenagakerjaan). Apabila perundingan tidak menghasilkan

persetujuan juga, maka pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja

dengan pekerja setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian

perselisihan hubungan industrial (Pasal 151 ayat [3] UU Ketenagakerjaan).

2.2 Apa upaya hukum bagi pekerja yang di PHK.

Pemutusan hubungan kerja yang dapat terjadi karena telah berakhirnya

waktu tertentu yang telah disepakati/diperjanjikan sebelumnya dan dapat pula

terjadi karena adanya perselisihian antara buruh dan majikan, meninggalnya

buruh atau karena sebab lain. Berdasarkan Pasal 1 angka 25 Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan PHK adalah pengakhiran hak dan

kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.

Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sebelum terbentuknya

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan

6
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan

Hubungan Industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya

perdata.

Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui:

upaya Bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang

terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu mencapai kesepakatan

maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Akan tetapi, apabila

perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas

Tenaga Kerja setempat.

Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah satu atau

kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat

diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker

didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional. Apabila di antara

putusan P4D atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke

Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan. Di samping itu, upaya

hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha

dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum

dilakukan langkah awal untuk menghindari efisiensi jumlah tenaga kerja. Secara

perdata, pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri

berdasarkan Pasal 1365 BW, yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang

membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

7
Sejak adanya Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari

2003 (LN. Tahun 2004, No. 6, TLN. No. 4356), upaya hukum bagi pekerja yang

mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid,

mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau ke pengadilan hubungan industrial.

1. Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 UUPPHI, perundingan Bipartid

adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Upaya

bipartid diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Undang Undang Nomor 2

Tahun 2004. Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-

pihak dapat memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.

2. Mediasi

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 UUPPHI, mediasi hubungan

industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja,

dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.

Upaya mediasi diatur dalam pasal 8 sampai dengan pasal 16 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004

3. Konsiliasi

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 13 Undang Undang Nomor 2 Tahun

2004, Konsiliasi hubungan industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah

penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja

8
atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan

melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator. Konsiliasi

diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 28 UUPPHI.13

4. Arbitrase

Lembaga yang berwenang untuk menjadi wasit dalam perselisihan

kepentingan,perselisihan antar serikat pekerja. Yang bertugas menjadi wasit

adalah arbiter. Para arbiter ini dapat dipilih oleh para pihak yang berselisih dari

daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri.

Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15 Undang Undang Nomor 2 Tahun

2004 , arbitrase hubungan industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah

penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, diluar pengadilan hubungan

industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk

menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat

para pihak dan bersifat final. Arbitrase diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal

53 UUPPHI.

5. Pengadilan Hubungan Industrial (Pengadilan HI)

Pengadilan HI merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan

peradilan umum, yang dibentuk pada pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung.

Tugas pokok dari pengadilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

Kewenangan mutlak atau kompetensi absolute dari pengadilan HI disebutkan

dalam pasal 56 UUPPHI, yakni :

9
Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan

memutus :

a. Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak

b. Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan

c. Ditingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja

d. Ditingkat pertama dan terakhur mengenai perselisihan antarserikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat

dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30

hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter. Permohonan pembatalan dilakukan

apabila mengandung unsur-unsur berdasarkan ketentuan Pasal 52 ayat (1) Undang-

Undang No. 2 Tahun 2004.

Berdasarkan ketentuan Pasal 126 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004, masa

berlakunya adalah satu tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada

tanggal 14 Januari 2004. Jadi, lembaga penyelesaian perselisihan hubungan

industrial ini akan menggantikan kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari

2005.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Berdasarkan pada uraian hasil analisis data dan hasil penelitian di atas,yaitu

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah salah satu hal dalam dunia

ketenagakerjaan yang paling dihindari dan tidak diinginkan oleh para pekerja /

buruh yang masih aktif bekerja. pemberian pesangon (menunjukkan jalan bagi

buruh yang diberhentikan itu untuk dapat dipekerjakan kembali dan memberi

buruh itu hak-hak untuk membantunya mendapatkan pekerjaan baru).Pemerintah

berkepentingan langsung dalam mengatasi PHK karena pemerintah bertanggung

jawab atas berputarnya perekonomian nasional dan terjaminnya ketertiban umum,

oleh karena itu, peraturan perundang undangan melarang pengusaha melakukan

PHK karena alasan alasan tertentu seperti yang telah diuraikan dalam UU No. 13

tahun 2003 pasal 153 ayat 1. RUU Cipta Kerja yang telah disahkan dalam Rapat

Paripuna DPR mengatur tentang sejumlah ketentuan larangan perusahaan

melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh atau pekerja.Salah

satunya, adalah perusahaan dilarang mem-PHK buruh yang memiliki ikatan

perwakilan dengan buruh. Dikutip dari naskah UU Ciptaker, Pasal 153 Ayat 1

menyatakan pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada

pekerja/buruh dengan alasan seperti yang dikutip diatas.

Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh buruh-buruh yang dikenakan PHK

yaitu Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sebelum terbentuknya

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan

11
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan

Hubungan Industrial maka dapat dilakukan upaya ipartitetive atau upaya perdata.

Upaya hukum melalui upaya ipartitetive, penyelesaiannya dapat melalui: upaya

Bipartid (musyawarah antara pekerja dan pengusaha) yang dilakukan antara

pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Akan

tetapi, apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta

anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat.

Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah satu atau

kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat

diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker

didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional. upaya hukum

bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan

secara bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrase, atau ke pengadilan hubungan

industrial.

3.2 SARAN

Berdasarkan pada hasil kesimpulan dan berbagai macam uraian dalam

paper ini,maka penulis dapat memberikan saran,yaitu dalam hal ini para

pengusaha harus memperhatikan hak-hak yang diterima oleh buruh yang sesuai

seperti pesangon. Dan apabila buruh tidak mendapatkan haknya dari phk tersebut

dapat melakukan upaya-upaya yang telah disebutkan diatas dan kami memiliki

saran,dimana perkembangan teknologi semakin pesat,jika dilakukan phk yang

dilakukan secara sepihak dan tak berkemanusiaan, bisa diviralkan dimana viralnya

kasus tersebut dapat membuat masyarakat "netizen" menekan perusahaan dan

kemungkinan besarnya hak-hak buruh dapat didapatkan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Wijayanti,Asri.2013.Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Jakarta : Sinar

Grafika

Yahdiani,Mahran.2019.PHK Pemutusan Hubungan Kerja.Malang (Diakses tanggal


16 November 2022)
https://eprints.umm.ac.id/52375/2/2.%20BAB%20I.pdf
Saputra,Hendry.2015.Sumber Daya Manusia Pemutusan Hubungan Kerja.
( Diakses tanggal 16 November 2022)

https://www.academia.edu/12445092/makalah_PHK
Irmina,Anna.2015.Sumber Daya Manusia Pemberhentian
Pegawai.Malang.(Diakses tanggal 16 November 2022)
http://herususilofia.lecture.ub.ac.id/files/2016/02/Kel-11-
PEMBERHENTIAN-PEGAWAI.pdf
Cintya,Anak Agung.2016.Upaya Hukum Bagi Pekerja Yang Mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Tidak Dipenuhi Hak-Haknya Oleh
Perusahaan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomer 2 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.Bali.
(Diakses tanggal 17 November 2022)
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article/download/36818/22
304/

13

Anda mungkin juga menyukai