Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH HUKUM KETENAGAKERJAAN

(Alih Daya / Outsourcing)

Dosen Pengampu :
Dr. I Made Sarjana, S.H., M.H.

Disusun Oleh : Kelompok 5


Nama Anggota Kelompok :

1. Gede Bagus Artha Danindra 2004551064


2. Mira Widiantary 2004551065
3. Ni Made Cahyani Indiraswari 2004551066
4. Anisetus Mario Situmorang 2004551067
5. Ni Kadek Masri Swandari 2004551068

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa, atas anugerah-
Nya, kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah hukum ketenagakerjaan tepat pada
waktunya.

Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah
satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca dan menambah wawasan/pengetahuan tentang
matakuliah hukum ketenagakerjaan yaitu materi tentang Alih daya/Outsourcing dalam lingkup
ketenagakerjaan baik yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan ataupun dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,
Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Sebagai penulis, kami mengakui bahwasanya masih banyak kekurangan yang terkandung
di dalamnya. Oleh sebab itu, kami berharap kepada para pembaca untuk memberikan kritik dan
saran yang bersifat membangun agar penulis nantinya dapat memperbaiki makalah ini menjadi
lebih baik demi karya yang lebih baik kedepannya.

Denpasar, 30 November 2021

(Penyusun)

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang 1


1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dari Outsourcing 3


2.2 Hak-Hak Pekerja Outsourcing 3
2.3 Perbedaan Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja 4
2.4 Pengaturan Outsourcing Dalam UU No. 13 Tahun 2003 5
2.5 Pengaturan Outsourcing/Alih Daya Dalam PP No. 35 Tahun 2021 6
2.6 Perlindungan Hukum Tenagakerja Outsourcing Menurut UU No. 13 Tahun 2003 6
2.7 Perlindungan Hukum Tenagakerja Outsourcing/Alih Daya Menurut PP No. 35 Tahun 2021
7
2.8 Syarat-Syarat Sistem Kerja Alih Daya (Outsourcing) 7
2.9 Jenis-Jenis Pekerjaan yang Diizinkan di Outsourcing 9
2.10 Bentuk Perjanjian Dalam Sistem Tenaga Kerja Outsourcing 10
2.11 Berakhirnya Perjanjian Kerja Sistem Tenaga Kerja Outsourcing 11
2.12 Dampak Sistem Tenaga Kerja Outsourcing 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan 13
3.2 Saran 13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Outsourcing (alih daya) adalah salah satu pilihan strategis dalam mendukung proses
bisnis di perusahaan. Selain dalam rangka efisiensi, perusahaan pengguna dimanjakan
dengan beberapa keuntungan / manfaat dari kegiatan outsourcing. Satu yang terpenting
diantaranya adalah perusahaan pengguna dapat lebih fokus pada strategi perusahaan,
sehingga proses pencapaian tujuan perusahaan dapat terkontrol, terukur dan akhirnya
tercapai. Dalam outsourcing, khususnya outsourcing tenaga kerja di Indonesia, dari sisi
regulasi dan penerapannya selalu menjadi fenomena menarik. Isu outsourcing selalu hangat,
dan bahkan menghangat. Hal ini terjadi karena dampak kehidupan ketenagakerjaan yang
sangat dinamis. Di satu sisi, perusahaan ingin memberdayakan sumber daya dari luar
(Outsourcing), tetapi di sisi lain pekerja (buruh) keberatan dan menolak, karena praktiknya
diduga merugikan pihak tertentu.

Negara Indonesia melindungi setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan sesuai
dengan ketentuan yang terdapat didalam Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945.Didalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.
Keberadaan pemerintah sebagai pemegang otoritas dalam penyelenggaraan negara untuk
mengatur segala aspek kehidupan, seharusnya menjadi perlindungan, pembinaan,
pengawasan dan penyidik sekaligus menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja melalui
peraturan perundang-undangan yangpro terhadap pekerja. Tetapi yang terjadi malah
sebaliknya, kehadiran negara terkesan memberikan keleluasaan kepada perusahaan untuk
mengurus seluruh persoalan ketenagakerjaan. Salah satu contohnya adalah legalisasi praktek
outsourcing oleh negara melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yang mensyaratkan bahwa perusahaan outsourcing harus berbadan hukum

1
yang ditujukan dalam rangka menjamin perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang
dipekerjakan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dari Outsourcing ?


2. Apa Saja Hak-Hak Pekerja Outsourcing ?
3. Apa Perbedaan Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja ?
4. Bagaimana Pengaturan Outsourcing Dalam UU No. 13 Tahun 2003 ?
5. Bagaimana Pengaturan Outsourcing/Alih Daya Dalam PP No. 35 Tahun 2021 ?
6. Bagaimana Perlindungan Hukum Tenagakerja Outsourcing Menurut UU No. 13 Tahun
2003 ?
7. Bagaimana Perlindungan Hukum Tenagakerja Outsourcing/Alih Daya Menurut PP No.
35 Tahun 2021 ?
8. Apa Saja Syarat-Syarat Sistem Kerja Alih Daya (Outsourcing) ?
9. Apa Saja Jenis-Jenis Pekerjaan yang Diizinkan di Outsourcing ?
10. Apa Saja yang Bentuk Perjanjian Dalam Sistem Tenaga Kerja Outsourcing ?
11. Bagaimana Berakhirnya Perjanjian Kerja Sistem Tenaga Kerja Outsourcing ?
12. Apa Saja Dampak Sistem Tenaga Kerja Outsourcing ?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dan penyusunan makalah ini adalah sebagai tugas kelompok pada mata
kuliah hukum ketenagakerjaan semester ganjil (tiga). Dalam penulisan dan penyusunan makalah
ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta memberikan telaah materi pada
mata kuliah hukum tata negara khususnya materi tentang Alih daya/Outsourcing.

1.4 Metode Penulisan

2
Metode penulisan yang diterapkan penulis adalah studi kepustakaan dimana penulis
membaca buku-buku, jurnal, dan kumpulan materi sumber online yang berkaitan dengan materi
Alih daya/Outsourcing.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Outsourcing

Alih daya (outsourcing) merupakan penyerahan penerima pemborongan pekerjaan atau


perusahaan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Pendapat lain yang menyebutkan bahwa outsourcing
merupakan pemindahan atau pendelegasian operasi dan managemen harian dari suatu proses
bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Melalui pendelegasian operasi
ini, maka pengelolaan urusan perusahaan tidak lagi dilaksanakan oleh perusahaan yang
bersangkutan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.

Alih daya (Outsourcing) dalam bidang ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat


menggunakan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan, dengan
melalui perusahaan penyedia tenaga kerja. Dari pengertian diatas maka terdapat perusahaan yang
secara khusus mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan
perusahaan lain, perusahaan inilah yang mempunyai hubungan kerja secara langsung dengan
pekerja/buruh yang diperkerjakannya.

2.2 Hak-Hak Pekerja Outsourcing

3
a) Berhak mendapatkan perlindungan hak, misal pada Pasal 19 Ayat 2 PP Nomor 35 Tahun
2021. Dimana pada pasal tersebut diatur hak pekerja/buruh Outsourcing/Alih Daya yang
bekerja berdasarkan PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) mendapatkan
perlindungan kelangsugan bekerja dalam Perusahaan Alih Daya.
b) Berhak mendapatkan waktu istirahat, misal pada Pasal 22 PP Nomor 35 Tahun 2021 yang
mengatur mengenai waktu istirahat mingguan bagi pekerja/buruh Outsourcing/Alih Daya
yang bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PP Nomor 35 Tahun 2021.
c) Berhak mendapatkan upah lembur, misal pada Pasal 27 Ayat 1 PP Nomor 35 Tahun 2021
yang mengatur bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu
kerja pada Pasal 21 Ayat 2, wajib membayar Upah Kerja Lembur.
d) Berhak untuk mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja, misal pada Pasal 36 huruf G PP
Nomor 35 Tahun 2021 yang mengatur bahwa pekerja/buruh dapat melakukan
permohonan Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan yang telah ditentukan dalam
Pasal 36 Huruf G angka 1 sampai 6.
e) Berhak mendapatkan Uang Pesangan, misal pada Pasal 40 PP Nomor 35 Tahun 2021
mengatur mengenai hak buruh/pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja
dengan diberikannya Uang Pesanga dan/atau Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang
Penggantian Hak.
2.3 Perbedaan Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja
UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mengubah sebagian ketentuan UU No.13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satunya terkait ketentuan outsourcing. Selama ini
outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai penyerahan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Tapi, UU Cipta Kerja
mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal dengan istilah alih
daya. PP No.35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja
dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan
perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk

4
melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan perusahaan
pemberi pekerjaan.
Kasubdit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kementerian Ketenagakerjaan,
Reytman Aruan, menerangkan UU Cipta Kerja mengatur hak dan kewajiban perusahaan alih
daya dengan pekerjanya. Intinya, perusahaan alih daya bertanggung jawab penuh terhadap semua
yang timbul akibat hubungan kerja. Pelindungan buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan
perselisihan yang muncul dilaksanakan sesuai peraturan dan menjadi tanggung jawab perusahaan
alih daya. Berbagai hal itu diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Selain itu, hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan buruh yang
dipekerjakan didasarkan pada PKWT atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).
Dalam hal perusahaan alih daya mempekerjakan buruh berdasarkan PKWT, perjanjian kerja itu
harus mencantumkan syarat pengalihan pelindungan hak-hak bagi buruh ketika terjadi pergantian
perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaannya tetap ada. Hal ini sesuai dengan amanat
putusan MK No.27/PUU-IX/2011 terkait uji materi terhadap Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.
Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan mengatur batasan jenis kegiatan yang dapat
dikerjakan oleh buruh outsourcing. Misalnya, tidak boleh melaksanakan kegiatan pokok atau
berhubungan langsung dengan proses produksi; buruh outsourcing hanya mengerjakan kegiatan
penunjang atau tidak berhubungan langsung dengan proses produksi. Tapi, dalam UU Cipta
Kerja menghapus batasan tersebut.

2.4 Pengaturan Outsourcing Dalam UU No. 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan tidak menyebutkan istilah


outsourcing secara spesifik, akan tetapi berdasarkan pasal 64 dinyatakan bahwa perusahaan
dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau melalui penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis. Pengaturan terhadap tenagakerja Outsourcing/Alih Daya menurut UU Nomor 13
Tahun 2003 lainnya yaitu diatur dalam beberapa Pasal sebagai berikut:

5
a) Pasal 35 Ayat 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur bahwa Pemberi Kerja (Menurut
Pasal 35 Ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003) wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga
kerja.
b) Pasal 66 Ayat 2 Huruf C UU Nomor 13 Tahun 2003 mengatur Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi harus memberikan perlindungan terhadap upah dan
kesejahteraan pekerja/buruhnya.
c) Pasal 67 Ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003 mewajibkan pengusaha untuk memberikan
perlindungan kepada tenaga kerja yang cacat sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
d) Pasal 70 Ayat 3 Huruf b UU Nomor 13 Tahun 2003, mengatur mengenai kewajiban
pemberi kerja terhadap pekerjanya yang masih anak-anak, dimana kewajiban pemberi
kerja salah satunya adalah memberikan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
e) Pasal 80 Ayat 1 UU Nomor 13 Tahun 2003, mengatur mengenai kewajiban pemberi kerja
atau perusahan alih daya untuk melindungi hak pekerja/buruhnya untuk memperoleh
perlindungan hak atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan
perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.

2.5 Pengaturan Outsourcing / Alih Daya Dalam PP Nomor 35 Tahun 2021

Dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya,
Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK)
menyebutkan perusahaan alih daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi
syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan
perusahaan pemberi pekerjaan. Pada UU No. 11 Tahun 2020 jo PP No. 35 Tahun 2021, Alih
Daya tidak lagi dibedakan antara Pemborongan Pekerjaan (job supply) atau Penyediaan Jasa
Pekerja (labour supply). Alih Daya tidak lagi dibatasi hanya untuk pekerjaan penunjang (non
core business process) sehingga tidak ada lagi pembatasan jenis pekerjaan yang dapat
dialihdayakan. Jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan, tergantung pada kebutuhan sektor.

6
Pengaturan mengenai alih daya sendiri dijelaskan dalam pasal-pasal yang terdapat dalam PP
No.35 Tahun 2021

a. Berdasarkan Pasal 18 PP No. 35 Tahun 2021 dijelaskan hubungan kerja antara


perusahaan alih daya d engan pekerja yang dipekerjakan, didasarkan pada PKWT atau
PKWTT. Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesehjateraan, syarat kerja, dan perselisihan
diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama
b. Berdasarkan Pasal 19 PP No. 35 Tahun 2021 dijelaskan PKWT harus mensyaratkan
pengalihan pelindungan hak bagi Pekerja/Buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan
Alih Daya dan sepanjang obyek pekerjaan tetap ada. Pesyaratan tersebut merupakan
jaminan atas kelangsungan bekerja bagi Pekerja/Buruh. Jika Pekerja/ Buruh tidak
memperoleh jaminan atas kelangsungan bekerja, maka Perusahaan Alih Daya
bertanggung jawab atas pemenuhan hak Pekerja/Buruh.
c. Berdasarkan Pasal 20 PP No. 35 Tahun 2021 dijelaskan jika perusahaan Alih Daya harus
berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha yang di terbitkan
Pemerintah Pusat. Syarat dan tata cara memperoleh perizinan berusaha dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai norma, standar, prosedur dan
kriteria perizinan berusaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
2.6 Perlindungan Hukum Tenagakerja Outsourcing Menurut UU No. 13 Tahun 2003

Outsourcing merupakan bisnis kemitraan yang tujuannya untuk memperoleh keuntungan


bersama, salah satu bentuk pelaksanaan outsourcing yaitu melalui suatu perjanjian pemborongan
pekerjaan. Dasar dari outsourcing yaitu Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang berbunyi perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.

Secara garis besar ada dua jenis karyawan, yakni karyawan kontrak dan tetap. Karyawan
kontrak didasarkan pada Pasal 59 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi KEP.100/Men/VI/2004

7
tentang Ketentuan Pelaksanaan Pekerjaan Waktu Tertentu (PKWT). Sementara karyawan tetap
merupakan mereka yang dipekerjakan dengan tanpa adanya batasan atau jangka waktu.

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ditemukan kata


outsourcing secara langsung, namun Undang-undang ini merupakan tonggak baru yang mengatur
dan mendelegasi permasalahan outsourcing. Istilah yang dipakai dalam undang-undang ini
adalah perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja atau buruh. Istilah tersebut
diadopsi dari istilah yang dipakai dalam KUHPerdata. Lebih spesifik ketentuan yang mengatur
outsourcing dapat ditemukan dalam Pasal 64 sampai dengan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Pasal 64 disebutkan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia
jasa pekerja/buruh. Selanjutnya dalam Pasal 65 yang menyatakan bahwa penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Dan dalam Pasal 66 mengatakan bahwa pekerjaan yang
dapat dijadikan dalam perjanjian outsourcing adalah pekerjaan yang tidak berhubungan langsung
dengan kegiatan pokok atau proses produksi dari suatu perusahaan, kecuali untuk kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
2.7 Perlindungan Hukum Tenagakerja Outsourcing/Alih Daya Menurut PP No. 35 Tahun
2021

Perlindungan hukum terhadap tenaga kerja Outsourcing / Alih Daya menurut PP Nomor 35
Tahun 2021, diatur dalam Pasal 18 Ayat 3. Dimana pembebanan tangung jawab / perlindungan
hukum terhadap pekerja/buruh dibebankan kepada Perusahan Alih Daya dan hal ini diatur dalam
Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. Menurut Pasal 19 Ayat 1
PP Nomor 35 Tahun 2021, maka jika pekerja.buruh dari Perusahaan Alih Daya bekerja
berdasarkan PKWT maka Perjanjian Kerjanya harus mensyaratkan pengalihan perlindungan hak
pekerja/buruh apabila terjadi pergantian Perusahaan Alih Daya dan sepanjang objek pekerjaanya
tetap ada.

2.8 Syarat-Syarat Sistem Tenaga Kerja Outsourcing

8
Outsourcing pekerjaan dikenal juga sebagai perjanjian pemborongan pekerjaan hal
tersebut dapat dilihat di dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan, tetapi didalam Undang-undang Ketenagakerjaan tidak menjelaskan pengertian
tentang perjanjian pemborongan pekerjaan. Pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan dapat
kita lihat dalam Pasal 1 angka 4 Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat
Penyerahan. Adapun syarat-syarat penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain berdasarkan pasal 65 ayat (2) undang-undang No. 13 Tahun 2003, sebagai
berikut:
1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;dan
4. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain yang
menyatakan bahwa pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan
adalah sebagai berikut :

1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan
pelaksanaan pekerjaan;

2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai
dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;

3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan

4. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Syarat-syarat pengalihan pekerjaan dari penyedia jasa pekerja/buruh, diatur dalam Pasal
66 ayat (1) undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, ditentukan pula
bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak dibolehkan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi. Syarat-syarat tersebut juga diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Peraturan Menteri

9
Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor 19 Tahun 2012 tentang Syarat-syarat Penyerahan
Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan lain salah satunya yaitu perusahaan
pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.

Syarat-syarat mempekerjakan karyawan dari perusahaan penyedia jasa pekerja sesuai dengan
pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah
sebagai berikut:

1. Antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memiliki


hubungan kerja.

2. Dalam hubungan kerja terdapat perjanjian kerja yang berlaku yaitu perjanjian kerja untuk
waktu tertentu yang telah memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 59 Undang-
Undang Ketenagakerjaan

3. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memiliki tanggung jawa untuk memberikan


perlindungan terhadap upah, syarat-syarat kerja, dan adanya perselisihan yang timbulkan
oleh pekerja.

2.9 Jenis-jenis Pekerjaan Yang Diizinikan Di-Outsourcing

Merujuk pada ketentuan Pasal 64 UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dapat


dipahami bahwa praktek yang dikenal dengan sistem tenaga kerja outsourcing ini memiliki dua
jenis, sebagai berikut:

Jenis pertama, penyerahan sebagian pekerjaan/pemborongan pekerjaan, yakni penyerahan


sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima
pemborongan pekerjaan (yang di-outsource adalah pekerjaannya). Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan pemborong pekerjaan harus memenuhi syarat-syarat sesuai
ketentuan Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :

10
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Jenis kedua, penyedia jasa tenaga kerja, yakni perusahaan berbadan hukum yang dalam
kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan di perusahaan pemberi
pekerjaan (outsourcing tenaga kerja atau agen penyalur tenaga kerja). Berdasarkan ketentuan
Pasal 66 UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan diatur penyerahan pelaksanaan
pekerjaan melalui perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, yakni sebagai berikut :

1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak oleh digunakan oleh pemberi
kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi.
2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.

Ketentuan tentang jenis pekerjaan yang diizinkan di-outsourcing tidak dipaparkan pada
ketentuan UU, melainkan dipaparkan pada bagian penjelasan UU Pasal 66. Penjelasan pasal 66
ayat (1) UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan klasifikasi tentang jenis
pekerjaan sistem tenaga kerja outsourcing sebagai kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi

2.10 Bentuk Perjanjian Dalam Sistem Tenaga Kerja Outsourcing.

Hubungan kerjasama antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan


pegguna jasa pekerja/buruh tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian–

11
perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian seperti yang
tercantum dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yakni
sebagai berikut :

1. Sepakat, bagi para pihak.


2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan
3. Suatu hal tertentu.
4. Sebab halal.

Sesuai dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan bahwa perjanjian dalam sistem
tenaga kerja outsourcing terdapat 2 (dua) tahapan, yakni sebagai berikut :

1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa


pekerja/buruh.

Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui


perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI Nomor : KEP.101/MEN/VI/2004, kedua belah
pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat beberapa
ketentuan, yakni sebagai berikut :

a. Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh.
b. Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf a,
hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
c. Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima
pekerja/buruh di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis
pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan
2. Perjanjian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh.

12
Perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh
dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu
Tidak Tertentu (PKWTT). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja
antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu
tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu
(PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan
hubungan kerja yang bersifat tetap

2.11 Berakhirnya Perjanjian Kerja Sistem Tenaga Kerja Outsourcing

Secara umum berakhirnya perjanjian kerja diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU No 13 Tahun
2003 tentang ketenagakerjaan yakni sebagai berikut :

Perjanjian kerja berakhir apabila :

1. Pekerja meninggal dunia;


2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
3. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
4. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan
kerja.

Ketentuan berakhirnya perjanjian kerja diatur pula dalam Pasal 62 UU No 13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, yakni apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum
berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau
berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat
(1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak
lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian
kerja. Sehingga dengan adanya ketentuan UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
tersebut membuat perusahaan tidak serta merta dapat memutuskan hubungan kerja dengan para
pekerja/buruh.

13
2.12 Dampak Sistem Tenaga Kerja Outsourcing
Pengaruh globalisasi yang mengidolakan instanisasi menyebabkan adanya perubahan pola
hubungan kerja. Pola hubungan kerja tersebut melalui sistem tenaga kerja outsourcing. Sistem ini
memberikan kemudahan terutama bagi perusahaan-perusahaan yang ingin fokus pada
kompetensi utamanya (core business). Iftida Yasar dalam bukunya “Outsourcing Tidak Akan
Pernah Bisa Dihapus” menyebutkan praktik sistem tenaga kerja outsourcing memiliki banyak
manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat bagi pemerintah. Dapat membantu mengembangkan dan mendorong pertumbuhan
serta mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan perekonomian nasional.
2. Manfaat bagi masyarakat dan pekerja/buruh. Mengurangi pengangguran dan mencegah
urbanisasi.
3. Manfaat bagi perusahaan. Meningkatkan fokus perusahaan inti. Jika semua kegiatan
dilakukan sendiri oleh perusahaan, maka perhatian perusahaan dan energi perusahaan akan
terserap pada hal-hal yang bukan core business. Dengan menyerahkan sebagian pekerjaan
kepada pihak lain yang lebih ahli maka perusahaan bisa lebih fokus pada bisnis inti.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Outsourcing merupakan pemindahan atau pendelegasian operasi dan managemen harian dari
suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing). Disimpulkan jika
terdapat perusahaan yang secara khusus mempersiapkan, menyediakan, mempekerjakan tenaga
kerja untuk kepentingan perusahaan lain, perusahaan inilah yang mempunyai hubungan kerja
secara langsung dengan pekerja/buruh yang diperkerjakannya. Selama ini outsourcing yang
diatur dalam UU Ketenagakerjaan diartikan sebagai penyerahan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain. Penyerahan sebagian pekerjaan itu dilakukan melalui 2 mekanisme yaitu
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Tapi, UU Cipta Kerja

14
mengubah ketentuan outsourcing dengan menghapus Pasal 64 dan Pasal 65 serta mengubah
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

Outsourcing dalam UU Cipta Kerja dikenal dengan istilah alih daya. PP No.35 Tahun
2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan
Pemutusan Hubungan Kerja (PP PKWT-PHK) menyebutkan perusahaan alih daya adalah badan
usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu
berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Sehingga
berdasarkan hal tersebut terdapat perubahan yang tentunya mengubah sistem pengaturannya dan
perlindungannya bagi pekerja.

3.2 Saran

Penulis sadar bahwa isi dari makalah ini belum sempurna seperti apa yang diharapkan, maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum
Universitas Udayana, atas ketidaksempurnaan penulisan makalah ini agar kedepannya bisa lebih
baik.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

15
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih
Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Buku

Lalu Husni, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajawalai Pers, 2012).

Maimun, Hukum Ketenagakerjaan : Suatu Pengantar, (Jakarta : PT Pradnya Paramita, Cet. II,
2007.

Muhammad Syaifuddin. 2012. Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat
Teori Dogmatikdan Praktik Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Jurnal

Julianti, Lis. "Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Outsourcing Di Indonesia." Jurnal


Advokasi 5.1 (2015): 29388.

Suyoko, Suyoko, and Mohammad Ghufron AZ. "Tinjauan yuridis terhadap sistem alih daya
(outsourcing) pada pekerja di Indonesia." Jurnal Cakrawala Hukum 12.1 (2021): 99-109.

Triyono, N. F. N. "Outsourcing Dalam Perspektif Pekerja Dan Pengusaha." Jurnal


Kependudukan Indonesia 6.1 (2016): 45-62.

Internet

DA, Ady Thea. 2021. “Ini Bedanya Outsourcing di UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja”.
Diakses di: https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60657d8d20b58/ini-bedanya-
outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja/?page=all, (Diakses pada: 28
Nopember 2021). https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt60657d8d20b58/ini-
bedanya-outsourcing-di-uu-ketenagakerjaan-dan-uu-cipta-kerja/

16
Adikusuma, O. (2019). BAB I Pendahuluan. 1-2. http://repository.unissula.ac.id/16122/5/bab
%20I.pdf

17

Anda mungkin juga menyukai