Anda di halaman 1dari 12

Nama : Kadek Sandra Putri Saniamarani

NIM : 2004551088
Kelas : B / Reguler Pagi
Mata Kuliah : Hukum Perdata Internasional

Soal

1. Jelaskan apakah istilah 'international private law' adalah paling tepat digunakan untuk
menggambarkan peristiwa perdata yang ada unsur asing?

Jawaban: Sebutan yang diberikan kepada Hukum Perdata Internasional dengan menyebut sebagai
“International Private Law” bukan merupakan sebutan yang tepat hal tersebut perlu dimulai
daripada keberadaan daripada pengertian Hukum Perdata Internasional sendiri dimana seperti
yang disampaikan oleh Sudargo Gautama mendefinisikan Hukum Perdata Internasional sebagai
suatu keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum manakah
yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan atau peristiwa antara
warga (warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik pertalian dengan stelsel
dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan kuasa tempat,
pribadi, dan soal-soal. Serta Kemudian Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa Hukum
Perdata Internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata
yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum
perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional)
yang berlainan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya Hukum Perdata Internasional
memang merupakan hukum yang menyangkut dengan negara lain. Akan tetapi setiap hukum
perdata Internasional berbeda kerena pada dasarnya fungsi Hukum Perdata Internasional adalah
untuk mengatur Warga Negara Asing yang memiliki hubungan keperdataan dimana titik
pertaliannya baik primer atau sekundernya ditemukan di salah satu negara dan berkaitan dengan
Warga Negara di Negara tersebut. Hukum Perdata Internasional pada intinya adalah manifestasi
hukum nasional digunakan untuk hal dimana subjek hukum satu dengan lainnya berbeda negara
karena jelas pasti ada sebuah persyaratan yang tidak bisa dipenuhi WNA sehingga untuk
meningkatkan kepastian, keadilan, dan kebermanfaatan hukum di suatu negara maka Hukum
Perdata Internasional harus ada dan dibentuk untuk menyelesaikan permasalahan yang

1
menyangkut lintas negara sehingga dapat disimpulkan Hukum Perdata Internasional Indonesia
berbeda dengan Hukum Perdata Internasional Inggris, juga bebrbeda dengan Hukum Perdata
Internasional Amerika. Hal ini menjadi dasar karena jika Hukum Perdata Internasional disebutkan
dengan “International Private Law” maka akan memngartikan Hukum Perdata yang berlaku
sebagai Hukum Internasional, padahal sudah digagaskan sebelumnya bahwasanya Hukum Perdata
Internasional adalah bentuk atau manifestasi hukum nasinonal bukan hukum internasional yang
masuk ke Indonesia mengatur hubungan privat dan bukan juga tergantung dengan negara lain
karena benar-benar berasal dari kesepakatan Indonesia. Oleh karena itu sebuta “International
Private Law” tidak tepat digunakan untuk menggambarkan peristiwa perdata yang ada unsur
asing.

2. Jelaskan perbedaan dari prinsip Personal & prinsip Teritorial yang berkembang dalam
sistem hukum di dunia khususnya Civil Law & Common Law?

Jawab: Prinsip Personal sendiri muncul pada abad ke-6 sampai abad ke-10 Masehi. Pada akhir
abad VI Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa “barbar” dari wilayah-wilayah bekas
provinsi jajahan Romawi. Wilayah bekas jajahan Kekaisaran Romawi itu kemudian diduduki oleh
pelbagai suku bangsa yang satu sama lain dibedakan secara genealogis dan bukan teritorial. Masa
ini pola hubungan internasional mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara Warga
Romawi dengan penduduk provinsi-provinsi atau municipia dan Penduduk provinsi atau orang-
orang yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah kekaisaran Romawi. Dalam hubungan-
hubungan tersebut muncul pertanyaan tentang hukum apa yang harus diberlakukan untuk
menyelesaikan sengketa-sengketa hukum yang mungkin timbul. Dalam penyelesaian sengketa-
sengketa tersebut dibentuk peradilan khusus yang disebut Praetor Peregrinis. Para hakim pada
Preator Peregrinis menggunakan Ius Civile hingga berkembang menjadi Ius Gentium memuat
kaidah-kaidah hukum yang dapat dikategorikan ke dalam ius privatum (yang mengatur persoalan-
persoalan hukum perorangan) dan ius publicum (yang mengatur persoalan-persoalan kewenangan
negara sebagai kekuasaan publik.

Keberadaan Prinsip Personal ini sendiri mempengaruhi perkembangan dalam tradisi hukum Eropa
Kontinental. Sedangkan bagian ius publicum dari ius gentium berkembang menjadi sekumpulan
asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara Kekaisaran Romawi
dan negara-negara lain (cikal bakal hukum internasional publik). Prinsip-prinsip hukum yang

2
berkembang pada masa ini adalah dilandasi asas teritorial, dalam arti bahwa untuk perkara-perkara
yang menyangkut warga-warga provinsi (yang dianggap orang asing itu) akan ditundukkan pada
ius gentium sebagai bagian dari hukum kekaisaran dan tidak berkaitan dengan kaidah-kaidah
hukum provinsi tempat para pihak berkediaman. Pada masa ini kedudukan ius civile menjadi
kurang penting dan masing-masing suku bangsa itu kembali memberlakukan kaidah-kaidah
hukum adat, hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama mereka (tribal laws atau system
of personal laws) di dalam wilayah yang mereka duduki. Persoalan yang agak mendekati masalah
HPI mulai muncul pada saat timbul perkara-perkara yang menyangkut dua atau lebih suku bangsa.
Pada masa ini tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar genealogis, yaitu:

a. Asas umum bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum hukum yang
digunakan adalah hukum dari pihak tergugat.
b. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak.
c. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
d. Peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak
transferor.
e. Penyelesaian perkara tentang perbuatan melawan hukum harus dilakukan berdasarkan
hukum personal dari pihak pelaku perbuatan melanggar hukum.
f. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.

Sedangkan Prisnip Teritorial merupakan prinsip hukum yang tumbuh di romawi pada abad ke-11
sampai ke-12 Masehi dimana pada prinsipnya saat wilayah bekas jajahan Kekaisaran Romawi
kemudian diduduki oleh pelbagai suku bangsa, yang satu sama lain dibedakan secara genealogis
dan bukan teritorial. Dengan penaklukan ini sistem teritorial yang tadinya berlaku di wilayah
Kerajaan Roma diganti dengan sistem personal. Setiap suku bangsa tunduk pada sistem hukumnya
sendiri-sendiri, jadi tidak ada lagi hukum teritorial yang berlaku bagi semua orang yang berada di
dalam wilayah tertentu. Setelah melalui masa 300-an (tiga ratusan) tahun, pertumbuhan asas
personal genealogis atau prinsip teritotial ini semakin sulit dipertahankan mengingat terjadinya
transformasi struktur masyarakat yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik
(keterikatan atas dasar wilayah yang sama) di seluruh wilayah Eropa. Namun, di dua kawasan
Eropa tumbuh perbedaan yang cukup mencolok dalam proses transformasi yang sama itu, yaitu

3
• Eropa Utara

Seperti Kawasan Jerman, Perancis, dan Inggris yang menetapkan bahwasaya susunan masyarakat
genealogis yang berkembang menjadi masyarakat teritorialistik melalui tumbuhnya masyarakat
Feodal maka Unit-unit masyarakat yang berada di bawah kekuasaan feodal (tuan-tuan tanah)
cenderung untuk memberlakukan hukum mereka (tuan tanah) secara eksklusif terhadap siapa pun
di dalam wilayah teritorial mereka. Tidak ada pengakuan terhadap hak asing yang ada bahkan
penguasa setempat dapat mengabaikan atau mencabut hak-hak asing berdasarkan kaidah-kaidah
hukum asing. Dalam situasi seperti ini, tidak ada perkembangan HPI yang berarti di kawasan ini
sampai dengan abad XVI.

• Eropa Selatan

Seperti Italia Transformasi dari asas personal-genealogis ke asas territorial di kawasan ini
berlangsung bersamaan dengan pertumbuhan pusatpusat perdagangan (khususnya di Italia). Dasar
ikatan antar manusia di sini bukanlah rasa tau feodalisme seperti pada kota-kota yang memiliki
daerah perdagangan yang maju di Eropa seperti Florence, Pisa, Perugia, Venetia, Milan, Padua,
Bolognia yang mempunyai sifat otonom (batas territorial sendiri dan sistem hukum yang berlainan
seperti hukum Lombardi dan Romawi). Keanekaragaman (diversity) hukum lokal (municipal
laws) ditambah dengan tingginya intensitas perdagangan antarkota seringkali menimbulkan
masalah tentang pengakuan terhadap hukum dan hak-hak asing (kota lain) di dalam wilayah suatu
kota. Secara langsung atau tidak langsung, situasi ini mendorong perkembangan hukum perdata
internasional.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya perkembangan Prinsip Personal sangatlah


berpengaruh dalam perkembangan hukum pada Eropa Kontinental atau berkembang dalam Civil
Law hal ini dapat dibuktikan dengan bagaimana pada penjelasan diatas bahwasanya seseorang
yang harus diadili dalam negara dengan Personal menggunakan patokan bahwasanya dimana
seseorang tersebut tinggal dan diadili sesuai posisi kependudukan orang tersebut yang merupakan
ciri daripada Civil Law, selain itu pada prinsip personlatitas dapat dilihat bahwasanya . Sedangkan
prinsip teritorial lebih cenderung kepada sistem hukum Common Law hal ini dibuktikan dengan
bagaimana suatu tempat dijadikan penentu hukum apa yang harus digunakan, karena berprinsip
pada teritorialnya. Lalu perkembangan lain yang dapat kita lihat bagaimana pada prinsip territorial

4
lebih membutuhkan adanya hukum dengan bentuk kodifikasi yang tidak mengikat atau sesuai pada
prakteknya, mengapa dikatakan demikian? Karena pada dasarnya prinsip teritorial hanya
menggunakan Patokan seperti hukum feudal atau bagaimana tuan tanah mereka memberikan
aturan, atau bagaimana kondisi pasar dengan jumlah pengunjung yang ramai bisa membuat aturan
sendiri sehingga dihormati demi kepentingan ekonomi. Berbeda halnya dengan bagaimana pada
prinsip personalia kodifikasi hukum harus selalu ditegakan, bahkan walau itu adalah hal yang sulit
karena setiap hukum yang berlaku harus sesuai dengan domisili daripada orang yang terkena kasus
tersebut. Walaupun pada dasarnya adanya perbedaan territorial harus ditekankan bahwa dalam
prinsip personalia masyarakat yang bukan bangsa “bar-bar” menggunakan sepenuhnya bentuk ius
gentium dalam menyelesaikan masalah mereka di peradilan sehingga daripad prinsip territorial
yang langsung melihat penerapannya, prinsip personalia memusatkan penyelesaian permasalahan
hukum dengan kodifikasi suatu hukum yang ada.

3. Jelaskan subyek & sumber hukum dr HPI yang relevan saat ini?

Jawab: Hukum Perdata Internasional sebagai hukum perdata nasional yang mengurusi bidang
perdata yang melewati urusan satu negara membuktikan bahwasanya Hukum Perdata Internasional
sesungguhnya merupakan Hukum Perdata Nasional sehingga tentu subjek hukumnya akan sama
dengan subjek hukum perdata dimana terdapat 2 subjek hukum yaitu Orang atau Natuulijk Persoon
dan Badan Usaha (Korporasi) atau Rechtspersoon.

a. Orang (Natuurlijk Persoon)

Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban
atau sebagai subjek hukum ini sendiri, kecuali dinyatakan tidak cakap hukum menurut hukum
perdata pada negaranya. Dalam pengaturan Natuurlijk Person sebagai subjek hukum ada asas yang
berkembang dalam Hukum Perdata Internasional:

• Asas Nasionalitas

Berdasarkan asas ini, status personal seseorang ditetapkan berdasarkan hukum nasionalnya (lex
patriae); asas ini digunakan dalam Pasal 16 AB. Berdasarkan atas asas dalam hukum keperdataan,
yaitu asas Mobilia Sequntuur Personam, maka asas lex patriae ini berlaku pula dalam penentuan
status benda-benda bergerak (movables), dalam arti bahwa status suatu benda bergerak ditetapkan
berdasarkan hukum yang berlaku untuk menetapkan status personal orang yang memiliki atau

5
menguasai benda itu. Asas ini diletakkan pada titik berat segi personalitas. Sistem hukum Eropa
Kontinental mengandung lebih banyak mengedepankan segi personalitas. Menurut teori
personalitas ini hukum-hukum yang bersangkutan dengan status personal seseorang adalah erat
sekali hubungannya dengan orang-orang tersebut. Oleh karena ada ikatan antara orang dan
hukumnya itu, maka hukum asal orang tersebut dikaitkan kepadanya seerat-eratnya. Hukum asal
atau hukum nasionalnya ini tetap mengikutinya di mana pun orang itu pergi. Jadi di sini, hukum
personil dari seseorang adalah hukum nasionalnya, hukum yang ditentukan oleh nasionalitasnya.
Setiap warga negara ini tetap tunduk di bawah hukum nasionalnya di mana pun orang itu pergi
mengenai status personalnya. Penerapan asas ini memiliki keuntungan seperti cocok untuk
perasaan hukum seseorang, artinya hukum nasional yang dihasilkan oleh warga dari suatu negara
tertentu itu adalah lebih cocok bagi warga negara bersangkutan, nasionalitas lebih permanen,
artinya nasionalitas tidak demikian mudah untuk diubah, nasionalitas membawa kepastian lebih
banyak karena lebih mudah diketahui. Walaupun demikian asas ini memiliki kekurangan karena
problem renvoi dapat timbul bila asas ini hendak diterapkan pada seorang WNA yang berasal dari
negara yang sistem hukumnya menganut asas domisili, Nasionalitas seseorang tidak selalu dapat
menjamin adanya kenyataan bahwa secara faktual seseorang menetap di wilayah negara
nasionalnya, dan asas ini dapat menimbulkan kesulitan teknis karena hakim harus menetapkan
status personal suatu subyek hukum berdasarkan suatu sistem hukum asing yang belum tentu
dikenalnya.

• Asas Domisili

Asas domisili ini yang umum diartikan sebagai Permanent Home (tempat hidup seseorang secara
permanen). Konsep domisili pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga pengertian yaitu:

o Domicile of Origin, yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena kelahiran


orang itu di tempat tertentu.
o Domicile of Dependence, yaitu tempat kediaman permanen seseorang karena
tergantung pada orang lain, misalnya anak-anak di bawah umur mengikuti domisili
orang-tuanya, atau isteri mengikuti domisili suaminya
o Domicile of Choice, yaitu tempat kediaman permanen seseorang yang dipilih orang
itu atas dasar kemauan bebasnya.

6
b. Badan Usaha (Korporasi/Rechtpersoon)

Badan usaha sangat berperan dalam perdagangan internasional menghadapi intensitas semakin
banyaknya pendirian badan hukum oleh pihak asing, dan atau oleh pihak lokal dan pihak asing
dalam suatu joint venture atau joint enterprise, demikian juga merambahnya perusahaan-
perusahaan multinasional ke seluruh dunia. Untuk menangani permasalahan yang terjadi dalam
hukum internasional yang menyangkut masalah perdagangan sendiri diatur, banyak teori yang
melandasinya:

o Asas Nasionalitas atau Domisili Pemegang Saham

Status badan hukum ditentukan berdasarkan hukum dari tempat di mana mayoritas pemegang
sahamnya menjadi warga negara (lex patriae) atau berdomisili (lex domicile). Asas ini dianggap
ketinggalan zaman dan kurang menguntungkan karena kesulitan menetapkan nasionalitas atau
domisili mayoritas pemegang saham, terutama bila komposisi nasionalitas atau domisili itu
ternyata beraneka ragam.

o Asas Centre of Administration atau Business

Status badan hukum tunduk pada kaidah-kaidah hukum di tempat yang merupakan pusat kegiatan
administrasi badan hukum tersebut (tempat di mana badan hukum memusatkan kegiatan bisnis
dan manajemennya). Dari sisi kepentingan negara sedang berkembang yang berkedudukan sebagai
negara tuan rumah (host countries) dalam kegiatan penanaman modal asing, maka penggunaan
asas itu dianggap tidak menguntungkan, karena umumnya perusahaan-perusahaan asing yang
menanamkan modal memiliki perusahaan induk di luar negeri. Tempat yang dianggap sebagai
centre of business adalah kantor pusat dari perusahaan itu pada umumnya berada di negara-negara
maju. Akan tetapi permasalahan akan terjadi karena sistem hukum ini akan cenderung pula
melindungi kekayaan dan kepentingan pemilik modal asing itu daripada kepentingan host
countries tersebut walau banyak anak-anak perusahaan di negara lain.

o Asas Place of Incorporation

Status badan hukum ditetapkan berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu secara resmi
didirikan/dibentuk. Asas ini dianut di Indonesia (dan umumnya negara-negara berkembang),
sebagai reaksi terhadap penggunaan Centre of Administration.

7
o Asas Centre of Exploitation

Atau disebut “centre of operations”, yang beranggapan status badan hukum harus diatur
berdasarkan hukum dari tempat perusahaan itu memusatkan kegiatan operasional, eksploitasi, atau
kegiatan produksi barang/jasanya. Teori ini mengalami kesulitan bila dihadapkan pada suatu
perusahaan (multinasional) yang memiliki bidang usaha/bidang eksploitasi dan/atau memiliki
pelbagai anak perusahaan/cabang yang tersebar di pelbagai tempat di dunia. Bila perusahaan
induknya mengalami persoalan hukum yang berkaitan dengan eksistensi yuridisnya (misalnya
pailit, merger, akuisisi, dan sebagainya), maka akan timbul persoalan hukum kompleks yang
menyangkut perusahaan-perusahaan turunannya di pelbagai negara di dunia (cabang atau anak
perusahaan) yang tunduk pada hukum dari pelbagai negara yang beraneka ragam.

4. Berikan contoh titik taut primer & titik taut sekunder yang mencerminkan peristiwa HPI?
(minimal 3 contoh).

Jawab: titik taut primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan atau sekumpulan fakta yang
melahirkan atau menciptakan hubungan Hukum Perdata Internasional atau “Fakta-fakta di dalam
sebuah perkara atau peristiwa hukum, yang menunjukkan peristiwa hukum itu mengandung unsur-
unsur asing dan karena itu, peristiwa hukum yang dihadapi adalah peristiwa Hukum Perdata
Internasional dan bukan peristiwa hukum intern/domestik semata” (Bayu Seto Hardjowahono,
2013: 86). Yang biasanya bergantung pada kewarganegaaraan, bendera kapal atau pesawat,
domisili, tempat kediaman, tempat kedudukan badan hukum, pilihan hukum dan hubungan
internasional, serta tempat dilaksanakannya perbuatan tersebut. contoh-contohnya seperti:

1) Pada permasalahan kewarganegaraan semisalnya, seperti bagaimana Warga Negara


Jerman yang ada di Indonesia memesan kerajinan berlian daripada Warga Negara
Indonesia maka ini akan menjadi permasalahan HPI bukan hukum perdata nasional karena
dengan adanya perikatan yang terbentuk antara WNI dengan pembeli masih menjadi
Warga Negara Jerman.
2) Pada permasalahan tempat kediaman atau residence seperti, bagaimana jika ada dua warga
negara dari India yang menganut ius sanguinis (kewarganegaraan karena garis keturunan)
daripda menentukan kewarganegaraanya sedangkan kedua pasangan tersebut berdomisili

8
di Amerika Serikat yang merupakan negara yang menganut ius soli (kewarganegaraan
berdasarkan tempat kelahiran). Akan tetapi kedua pasangan ini masih menjadi Warga
Negara India tanpa melepaskan kewarganegaraanya sehingga mau tidak mau anak yang
lahir dari pernikahan mereka akan memiliki dua kewarganegaraan walaupun mereka
mengharapkan bahwa anak itu akan berkewarganegaraan India seperti mereka, karena HPI
pada India pun sudah mengakui bahwasanya pasangan itu hidup dan bekerja di Amerika
sehingga harus tunduk pada hukumnya dan anak itu harus pula dianggap memiliki
kewarganegaraan daripada Amerika Serikat juga dan India karena India memang akan
menetapkan seseorang sebagai warga negaranya jika lahir dari orang keturunan India
apalagi di pihak laki-laki. Maka dari itu anak hasil pernikahan dua warga India di Amerika
itu akan memiliki anak yang memiliki 2 kewarganegaraan yaitu India dan Amerika hingga
nantinya ia berusia 18 Tahun dan memilih salah satu.
3) Permasalahan bendera kapal atau pesawat udara, saat kapal penumpang semisalnya
berlayar di Indonesia dengan bendera Vanuatu semisalnya, dan ternyata sang Kapten
Nahkoda dan penumpangnya banyak adalah WNI yang sedang berlibur, Sang Kapten
berpikir bahwa dengan kelengkapan dokumennya sebagai Warga Negara Indonesia sudah
cukup, walau kapalnya kurang memiliki dokumen Vanuatu, sebagai mantan nahkoda yang
ada di Indonesia ia sudah terbiasa untuk berlayar di Indonesia apalagi kedudukannya
sebagai Warga Negara Indonesia yang memiliki banyak Warga Negara Indonesia di
kapalnya. Akan tetapi masuknya ia ke perairan Indonesia dianggap sebagai hal yang ilegal
sehingga menimbulkan permasalahan apalagi dokumen tidak lengkap. Ini jelas menjadi
hubungan Hukum Perdata Internasional karena urusan kapal ini bukan darimana sang
nahkoda berasal, tetapi bendera daripada kapal itu sendiri dengan demikian maka Kapal itu
jelas milik Vanuatu, dan harus digunakan Hukum Perdata Internasional bukan Hukum
Perdata Nasional karena di sini Vanuatu yang memiliki kapalnya.

Sedangkan titik pertalian sekunder atau titik taut sekunder adalah faktor-faktor atau sekumpulan
fakta yang menentukan hukum manakah yang harus digunakan atau berlaku dalam hubungan
Hukum Perdata Internasional. Contoh daripada titik taut sekunder adalah:

1) Permasalahan tempat berlangsungnya perbuatan hukum, contohnya apabila Hotel The


Plaza yang merupakan hotel bintang lima di New York ingin bekerja sama dengan Padma

9
Resort yang ada di Ubud Bali untuk bekerjasama dalam management bersama untuk
memperkuat pasar di Bali, The Plaza memutuskan Hukum Indonesia yang akan digunakan
untuk mengurus kontrak tersebut.
2) Permasalahan dalam Acceptance Theory, dimana keberlakuan hukum akan didasarkan
pada tempat dimana jawaban atas penerimaan penawaran diterima. Semisal contohnya ada
pengusaha di Jepara yang membuat ukiran kayu dan meminta pengusaha di Austria untuk
bekerja sama sehingga pasar produk ukir-ukiran kayu di Jepara bisa melebarkan sayap ke
Eropa dan permintaan tersebut diterima oleh pengusaha Austria tersebut dengan
mengirimkan jawaban berupa surat ke pengusaha di Jepara maka yang berlaku akan hukum
Indonesia karena surat itu dijawab di Indonesia.
3) Permasalahan dalam Lex loci solutionis, dimana keberlakuan hukum berdasarkan dimana
tempat suatu kontrak dilaksanakan dimana saat ada agensi yang mengatur artis dimana
agensi itu berasal dari Jepang bernama JTP Entertaiment namun agar memperluas
kesempatan untuk menjadi terkenal agensi itu berada di Korea Selatan sedangkan saat
merekrut seseorang bernama Philip Huan yang merupakan Warga Negara Australia yang
sebentar lagi akan debut menjadi Idol. Saat penandatananganan kontrak kerja phillip dan
JTP Ent. Berada di Korea Selatan maka kontrak akan diatur dengan aturan kontrak di Korea
Selatan Sendiri, walau Phillip Huan berkewarganegaraan Australia sedangkan JTP
Entertaiment berasal dari Jepang. Hal ini karena mereka memilih menandatangani kontrak
di Korea Selatan.

5. Jelaskan asas-asas HPI yang masih berkembang & relevan saat ini?

Jawab: Dalam Teori yang relevan yang masih berkembang adalah Teori Universal atau Teori
Modern ada abad ke sembilan belas, pemikiran HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha
dari tiga orang pakar hukum, yaitu Joseph Story, Friedrich Carl von Savigny, dan Pasquae
Stanislao Manchini. Untuk membahas teori-teori yang berkembang pada abad ke - 19 ada baiknya
kita uraikan pendapat yang berkembang pada masa itu terutama teori-teori yang dikembangkan
oleh Von Savigny (dengan istilah teori universal) serta pendapat dari Manchini sebagai
perbandingan.

10
Asas hukum yang bersifat universal menurut Savigny itulah yang berkembang menjadi asas HPI
(choice of law rules) yang menurut pendekatan tradisional menjadi titik taut sekunder / penentu
yang harus digunakan dalam menentukan Lex Causae. Menggunakan sebuah asas (yang
ditentukan dengan bantuan titik pertautan) untuk menyelesaikan pelbagai perkara HPI sejenis
itulah yang kemudian menjadi pola dasar penyelesaian perkara HPI di dalam sistem Eropa
Kontinental.

Pendapat selanjutnya yang dapat kita bahas adalah pendapat dari Pasquae Stanislao Manchini.
Manchini berpendapat bahwa hukum personil seseorang ditentukan oleh nasionalitasnya. Pendapat
Manchini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang kemudian. Menurut mazhab Italia ini ada
dua macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu:

a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perseorangan;


b. Kaidah-kaidah hukum untuk melindungi dan menjaga ketertiban umum (public
order).

Berdasarkan pembagian kaidah hukum tersebut Manchini mengemukakan tiga asas HPI, yaitu:

a. Kaidah-kaidah untuk kepentingan perseorangan berlaku bagi setiap warganegara


dimanapun dan kapanpun juga (prinsip personil);
b. Kaidah-kaidah untuk menjaga ketertiban umum bersifat teritorial dan berlaku bagi
setiap orang yang ada dalam wilayah kekuasaan suatu negara (prinsip teritorial);
c. Asas kebebasan, yang menyatakan bahwa pihak yang bersangkutan boleh memilih
hukum manakah yang akan berlaku terhadap transaksi diantara mereka (pilihan
hukum).

Walaupun demikian dapat disaksikan makin bertambah banyaknya perjanjian internasional yang
berusaha menyeragamkan kaidah-kaidah HPI, seperti perjanjian / Konvensi Den Haag salah
satunya tahun 1965 yang mengatur tentang penyampaian dokumen-dokumen judisial dan luar
pengadilan bagi perkara-perkara perdata dan dagang, kemudian tahun 1968 yang mengatur tentang
masalah pengambilan pembuktian di luar negeri dalam perkara-perkara perdata dan dagang. Ada
pula Convention on the Choice of Court yang mengatur prinsip kebebasan para pihak untuk
memilih forum pengadilan seperti konvensi Den Haag tahun 2005. Kemudian Convention on the
Jurisdiction of the Selected Forum in International Sales of Good (1958) yang mengatur persoalan

11
pilihan pengadilan yang telah dipilih oleh para pihak yang berkenaan dengan jual beli
internasional. Serta perkembangan organ / lembaga di bidang perdagangan internasional seperti
International Chamber of Commerce (ICC) dan CISG (the United Nations Conference on
Contracts for the International Sale of Goods) 1980.

12

Anda mungkin juga menyukai