Anda di halaman 1dari 2

KEWANGEN

Dalam upacara atau persembahyangan dalam Agama Hindu khususnya di Bali dan umumnya di
Indonesia. Ada yang namanya Kewangen yang merupakan sarana pelengkap dalam
persembahyangan atau upacara.

Makna dan Pengertian Kewangen


Kewangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu kata “Wangi” yang artinya harum. Mendapat awalan
‘ke’ dan akhiran ‘an’ menjadi kewangian , i + a = e, menjadi Kewangen. Oleh karena kata dasarnya
adalah “Wangi”, yang mana wangi itu identik dengan bau yang disenangi dan bau yang dicintai,
mungkin dibutuhkan oleh setiap manusia yang normal (Kewangen), maka itu pula yang
menyebabkan kewangen itu disebut dan digunakan sebagai simbul yang dapat mewakili Tuhan
dalam pikiran umat. Jadi kesimpulannya Kewangen itu adalah simbul Tuhan juga disebut simbul dari
huruf Ongkara (hurup Bali) yang juga disebut simbul Tuhan dalam bentuk huruf.

Penggunaan Kewangen
Kewangen dalam penggunaanya lebih sering digunakan dalam persembahyangan, selain itu
kewangen juga sebagai pelengkap dalam upakara untuk upacara Panca Yadnya. Yaitu sebagai
berikut:
1. Dewa Yadnya, sebagai pelengkap Banten Tetebasan, prascita, dan berbagai jenis sesayut.
2. Rsi Yadnya, juga sebagai pelengkap Banten Tetebasan.
3. Pitra Yadnya, dipakai dalam upacara menghidupkan mayat secara simbolis untuk
diupacarakan yaitu pada setiap persendian tubuhnya.
4. Manusia Yadnya, digunakan pada setiap upacara ngotonin, potong gigi, perkawinan, dan
pelengkap banten.
5. Bhuta Yadnya, digunakan dalam upacara memakuh, macaru, dll

Makna dari Sarana Kewangen


1. Kojong, biasanya dibuat dari daun pisang, dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk
kojong. Kojong ini bila kita tekan sampai lempeh maka dia akan berbentuk segi tiga, maka
kojong menyimbulkan angka tiga Huruf Bali (lihat huruf Ongkara Bali).
2. Pekir, dibuat sedemikian rupa menyerupai hiyasan kepala dari tarian jangger (tarian muda-
mudi di Bali).dibuat dari daun janur. Bentuknya bisa kelihatan bermacam-macam , itu sangat
tergantung dari seninya yang membuat. Ini merupakan simbul dari ULU ARDHA CANDRA dan
NADA (tulisan huruf Bali).
3. Uang Kepeng (pipis bolong), bila tidak ada uang kepeng, maka bisa digunakan uang logam,
sebab uang kepeng itu yang dipentingkan adalah bentuknya yang bundar, sebagai simbul
WINDU (nol). Perlu ditekankan disini jangan menggunakan uang kertas yang diplintir akan
mengurangi arti dan makna.
4. Porosan, ini ditempatkan di dalam kojong tadi hampir tidak kelihatan dari luar. Porosan ini
yang terpenting adalah terdiri dari tiga unsur yaitu; daun sirih (daun lain yang wajar
digunakan), daun ini yang dicari maknanya adalah warnanya yaitu berwarna Hijau,
merupakan simbul dari dewa Wisnu, Huruf Balinya adalah UNGKARA, Kemudian buah sirih
yang disisir sedemikian rupa, ini mewakili warna merah, simbul dari Dewa Brahma, huruf
Balinya ANGKARA. Selanjutnya unsur yang ketiga adalah kapur sirih warnanya putih sibul
dari dewa Iswara (Siwa), Huruf Balinya adalah MANGKARA. Ketiga-tiganya itu dijarit semat
atau diikat pakai menang menjadi satu, artinya seperti uraian dibawah ini.
Jadi tiga huruf itu; A.+ U + M = AUM MENJADI ONG ( A dan U kasewitrayang dalam tata
bahasa Bali). Maka ONG itu adalah huruf sebagai simbul dari Tuhan.
5. Bunga, ini sembul dari rasa cinta dan rasa bhakti.

Kesimpulannya Kewangen (bisa dibaca kwangen) adalah merupakan simbul dari Tuhan dalam bentuk
tetandingan (sarana upacara).

Cara Menggunakan Kewangen Saat Sembahyang


Dalam penerapan penggunaan Kewangen, bisa dikatakan bahwa setiap umat Hindu berbeda-beda
dalam menggunakannya, terutama pada posisi kewangen. Ada yang uang kepeng (sebagai
mukanya/depannya) ada yang menghadap kedepan, ada yang menghadap kekiri/kekanan, ada pula
yang menghadap ke belakang (menghadap ke yang sembahyang/orang). Jadi manakah yang benar
dari itu semua? Menurut sumber yang kami telusuri, dalam lontar paniti gama tirtha pawitra, uang
kepengnya menghadap kebelakang/ menghadap ke orang yang sembahyang itu yang benar.

Anda mungkin juga menyukai