Anda di halaman 1dari 10

LINGGA BERHIAS PADMA AÛÞADALA

Lingga Flowers in Padma Aûþadala

Nyoman Rema dan Nyoman Sunarya


Balai Arkeologi Denpasar
Jl. Raya Sesetan No. 80 Denpasar 80223
Email: nyomanrema@yahoo.co.id; sunaryainyoman@gmail.com

Naskah diterima: 02-03-2015; direvisi: 30-03-2015; disetujui: 28-07-2015

Abstract
Worship of Lord Siwa with medium lingga is very popular in Bali, evidenced by the large number
of lingga on holy places in Bali, with various forms. The purpose of this study was to determine
the form, function, and meaning of the lingga in the region. Results of this study are different
forms of the lingga, which is spread over the area in Penebel District. However, as object of
research is decorated with padma aûþadala lingga at Jambe Langu and Puseh Sunantaya Temple.
The lingga is the lingga pseudo lingga consisting of Siwabhaga, rectangular pedestal decorated
with padma aûþadala. Lingga is used as a medium of worship of Lord Siwa to invoke safety.
Lingga is meaningful as a symbol of inner purity, creation and freedom.
Keywords: lingga, padma aûþadala, form, function, meaning.

Abstrak
Pemujaan Dewa Siwa dengan media lingga sangat populer di Bali, dibuktikan dengan bayaknya
jumlah lingga pada tempat-tempat suci di Bali, dengan berbagai bentuk. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui bentuk, fungsi, dan makna lingga di kawasan tersebut. Hasil penelitian
ini berupa berbagai bentuk lingga, yang tersebar di kawasan Kecamatan Penebel. Namun, yang
dijadikan objek penelitian adalah lingga yang berhiaskan padma aûþadala di Pura Jambe Langu
dan Pura Puseh Sunantaya. Lingga tersebut adalah lingga semu yang terdiri atas Siwabhaga,
lapik segi empat yang berhiaskan padma aûþadala. Lingga ini digunakan sebagai media pemujaan
kepada Dewa Siwa untuk memohon keselamatan. Lingga ini bermakna sebagai simbol kesucian
batin, penciptaan dan kebebasan.
Kata Kunci: lingga, padma aûþadala, bentuk, fungsi, makna.

PENDAHULUAN dilakukan, diantaranya di Gunung Panulisan


Pemujaan kepada Dewa Siwa melalui menemukan beberapa lingga, yakni lingga
Úiwalingga sangat populer di India, demikian yang hanya terdiri atas Úiwabhaga, ada juga
pula di Indonesia di masa yang silam, banyak yang terdiri atas tiga bagian yani Bràhmabhaga,
peninggalan purbakala berupa Saila lingga atau Wiûóubhaga, dan Úiwabhaga. Dari penelitian
lingga dari batu, bahkan dari permata. Di Bali tersebut, terdapat suatu temuan yang unik,
banyak ditemukan tinggalan arkeologi berupa berupa lingga dobel yaitu sepasang lingga yang
lingga, yang juga dibuat dalam bentuk upacara dipahatkan di atas satu lapik padma ganda dan
terdapat bentuk sesajen atau upakara yang menempel pada sandaran. Selain itu terdapat
disebut Déwa-déwi sebagai penggambaran juga lingga yang terdiri atas dua bagian yang
sebuah lingga (Titib 2003, 267). Penelitian sering disebut sebagai lingga semu, serta lingga
sebelumnya tentang lingga di Bali telah semu dobel yang di belakangnya terdapat

Lingga Berhias Padma Aûþadala 79


Nyoman Rema
inskripsi yang berbunyi: i úaka 996 bulan jyésta seperti bentuk mukha lingga di Pura Pegening
úukla trayodaúi pasar bijamanggala. Artinya; dengan relief delapan Dewa Siwa Mahadewa
pada tahun Saka 996, bulan Jyesta, paro terang, berfungsi sebagai sarana pemujaan kepada
tanggal 13 pada hari pasar Wijayamanggala Dewa Siwa dengan delapan manifestasinya
(Pusat Penelitian Arkeologi Nasional 1994, 19- yang menguasai arah mata angin. Dengan
20). pertimbangan tersebut mukha lingga yang ada
Penelitian di Pura Goa Gajah menemukan di Pura Puseh Kanginan Carangsari diduga
tri lingga, yakni lingga yang dibuat berjejer tiga menggambarkan dewa utama dalam mitologi
dalam satu lapik. Lingga tersebut dibuat dari Hindu yaitu Tri Mùrti (Suantika 2013, 161).
batu padas, terdiri atas tiga bagian, yaitu bagian Pertimbangan itu mengarahkan pemikirannya
bulatan, bagian yang terdiri atas delapan lingga Suantika, sehingga mukha lingga tersebut
kecil dan bagian segi empat. Lingga bagian kiri disebut sebagai Tri Mùrti Lingga (Suantika
dan kanan berhiaskan karawiûþa sedangkan 2013, 162). Lukisan Dewa Siwa pada sebuah
yang ditengah tidak terdapat hiasan tersebut. lingga juga dihubungkan dengan bangunan
Lingga ini dikaitkan dengan pemujaan kepada suci. Apabila sebuah bangunan suci pusat hanya
Dewa Siwa dalam aspeknya secara vertikal, memiliki satu pintu masuk di bagian timur,
yakni Úiwa, Sadaúiwa dan Paramaúiwa maka akan dilukiskan satu muka Dewa Siwa
(Suantika 1989, 42; Badra 1997, 56). pada bagian depan lingga searah pintu masuk.
Penelitian di Pura Puseh Kangin Desa Apabila bangunan itu memiliki dua pintu
Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten masuk di arah timur dan barat, maka dilukiskan
Badung, menemukan sebuah lingga yang dua mukha Dewa Siwa di bagian depan dan
memiliki pahatan tiga tokoh dewa pada bagian belakang (Rao dalam Suantika 2013, 161).
depannya, disebut tri mukha lingga. Lingga ini Penelitian lingga juga dilaksanakan
oleh Suantika disebut dengan Tri Mùrti Lingga, di Kecamatan Penebel, yakni di Pura Jambe
terbuat dari tanah liat yang dikeraskan. Lingga Langu, Pura Puseh Babahan, Pura Besi
ini berbentuk silindris yang terdiri atas tiga Kalung, yang berada di Desa Babahan. Pura
bagian dengan puncaknya berbentuk bulatan. Puseh Sunantaya, Pura Puseh Bale Agung,
Bagian yang paling bawah memiliki hiasan yang berada di Desa Penebel. Pura Puseh Bale
berupa pahatan delapan kelopak padma dan Agung Yeh Panes Belulang, Pura Puseh Batu
bagian tengah memiliki relief tiga tokoh dewa. Aya Paselatan, Pura Luhur Batu Panes, yang
Tokoh dewa yang di tengah memiliki posisi berada di Desa Mangesta.
paling tinggi dibandingkan dengan tokoh dewa Lingga di Pura Jambe Langu, berstana
di sebelah kiri dan kanannya, bagian puncaknya pada tahta batu atau bebaturan yang disebut
juga berupa bulatan yang lebih kecil, polos, Palinggih Ageng, merupakan palinggih utama
tanpa hiasan. Tokoh dewa yang ditengah di Pura Jambe Langu, terdapat sebuah lingga
dipahatkan dalam posisi berdiri, sedangkan dua sebagai media pemujaan kepada Dewa Siwa.
tokoh pengapitnya dipahatkan dengan sikap Lingga ini terdiri atas dua bagian yakni berbentuk
duduk bersimpuh (Suantika 2013, 141, 160). bulatan dan bagian bawahnya berbentuk segi
Muka lingga sangat langka di Bali, empat behiaskah bunga padma dengan delapan
sampai saat ini baru dua buah ditemukan yaitu helai kelopak bunga. Lingga di Pura Puseh,
di Pura Pegening dan di Pura Penataran Panglan Babahan pada Pelinggih Pesimpangan Sad
Dewa, Pejeng, Gianyar. Mukha lingga baik Khayangan Jagad Bali, terdapat 3 buah lingga
konsep maupun bentuk merupakan pengaruh yoni, lengkap dengan ceratnya. Pada Palinggih
India. Dalam perkembangannya di Indonesia, Ratu Gede Desa terdapat 3 buah lingga, 3 buah
khususnya di Bali, Dewa Siwa dianggap dewa lingga kembar dengan ukuran yang lebih kecil
tertinggi dan menguasai seluruh arah mata angin dari lingga yang lain, yang diletakkan di depan

80 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 2, Agustus 2015 (79 - 88)


masing-masing lingga. Pelinggih Ratu Pande: 2 buah yoni lengkap dengan ceratnya. Di atas
terdapat 2 buah lingga dan 1 fragmen. masing-masing yoni ini diletakkan komponen
Lingga di Pura Besi Kalung berstana bangunan, dan 1 buah lingga distanakan di
pada pelinggih utama berada pada halaman antara dua buah yoni, karena letaknya tinggi dan
jeroan. Pelinggih utama disebut sebagai berada di atas bebaturan, sehingga tidak dapat
pelinggih Ageng berupa bebaturan 3 tingkat, diamati secara detail. Lingga di Pura Puseh
menghadap ke arah selatan dengan lingga pada Bale Agung Yeh Panes Belulang, Mangesta
puncaknya dan beberapa batu alam. Lingga ini berada pada halaman jeroan berbentuk tahta
berhiaskan bulatan-bulatan menyerupai rantai batu atau bebaturan, yang telah dipugar. Di
pada bagian bulatannya. Lingga ini tidak dapat pura ini masyarakat melaksanakan upacara
diamati secara langsung karena posisinya tinggi pacaruan menggunakan sapi setiap 2 tahun
di atas tahta batu atau bebaturan dan terbungkus sekali, saat hari raya Pangrupukan yakni sehari
kain. Hal inilah yang menjadi awal penyebutan sebelum hari raya Nyepi. Berkaitan dengan
pura ini sebagai Pura Besi Kalung. Pelinggih aktivitas pertanian, masyarakat melaksanakan
ini merupakan tempat pemujaan manisfestasi upacara di pura ini pada saat musim tanam,
Tuhan sebagai Siwa Geni Pasupati. Aktivitas terutama setelah padi mulai berbulir. Pada saat
keagamaan yang berkaitan dengan pertanian itu masyarakat meminta sarana upacara berupa
dilakukan oleh 16 subak di Pura Besi Kalung, minyak yang disebarkan di persawahan melului
upacara itu diantaranya adalah magpag toya, saluran air atau andungan. Tinggalan lainnya
nangluk mraóa dan upacara tertentu bila sawah adalah lingga, yang terdiri dari bulatannya saja
terserang hama. yang ditempatkan pada pelinggih pesimpangan
Lingga di Pura Puseh Sunantaya berstana pura luhur batu panes.
pada pelinggih utama yang disebut pelinggih Lingga di Pura Puseh Batu Aya Paselatan,
Pasarén, di mana disimpan beberapa buah Mangesta berstana pada halaman jeroan
lingga, lingga yoni. Lingga Yoni: bagian terdapat sebuah tahta batu yang cukup besar,
lingganya terdiri dari tri bagha. Bràhmabhaga terdapat tinggalan arkeologi berupa 2 buah
berbentuk segi empat, Wiûóubhaga berbentuk lingga, 1 buah lingga yoni, arca nandi, 2 buah
oktagonal dan Úiwabhagha berbentuk bulatan, kompenen bangunan. Tinggalan ini diletakkan
sedangkan yoni berbentuk segi empat. Lingga berjejer dari barat ke timur, yakni: 1). Lingga ini
dengan lapik padma ganda di atas yoni. lingga diletakkan diatas kompenen bangunan, bahan
telah pecah dan aus. Lingga yang terdiri atas andesit, kondisi utuh. Hanya berupa bagian
bagian Úiwabhagha sebanyak 5 buah. Lingga bulatan saja, terdapat hiasan berupa tri nétra.
yang diletakkan di atas kemuncak bangunan, 2). Lingga yoni: yoni berbentuk segi empat
dengan yoni dibawahnya. Pura ini berkaitan lengkap dengan ceratnya, letakkan menghadap
dengan upacara nangluk mraóa yang dilakukan ke utara. bahan andesit. Lingga diletakkan
oleh masyarakat Sunantaya. Sedangkan diatas yoni, yoni terdiri dari segi delapan dan
penyungsung pengarep, yaitu keturunan dari bulatan dengan hiasan garis pada lingganya. 3).
Arya Damar memfungsikan pura ini untuk Lingga 2; lingga ini berdiri dengan posisi agak
memohon tirta pemuput karya dan pemujaan miring ke kiri. Kondisi utuh, bahan andesit.
leluhur. Tinggalan berupa dua buah lingga dan sebuah
Lingga di Pura Puseh Bale Agung, Penebel yoni difungsikan sebagai pelinggih dari Dewa
berstana pada Palinggah Puseh merupakan Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa yang
pelinggih utama, berbentuk bebaturan atau lazim disebut Tri Mùrti. Pura ini merupakan
tahta batu yang telah diganti dengan bahan pasimpangan Pucak Petali dan Watu Karu saat
baru namun dengan bentuk yang menyamai melakukan pasiraman ke Pura Penaringan, juga
bentuk aslinya, pada bagian atasnya terdapat saat melakukan paneduh nanggluk mrana. Pura

Lingga Berhias Padma Aûþadala 81


Nyoman Rema
ini juga diyakini merupakan titik pertemuan Penggunaan lingga sebagai media
empat arah dari desa Mangesta. Lingga di Pura pemujaan, didasarkan atas adanya getaran
Luhur Batu Panes, Mangesta pada pelinggih jiwa, berkaitan dengan kepercayaan terhadap
utamanya berupa tahta batu atau bebaturan, bentuk dunia, alam gaib, hidup dan mati, dan
yang saat ini telah direnovasi dengan semen lain sebagainya merupakan manifestasi Tuhan,
namun tidak meninggalkan bentuk aslinya. sebagai wujud Dewa Siwa. Atas getaran
Menurut informasi dari pemangku, di atas tersebut mereka melakukan ritus keagamaan
bebaturan pada palinggih utama terdapat dua yang bertujuan mencari hubungan dengan
buah lingga yang telah ditanam, sehingga tidak dunia gaib. Lingga adalah suatu simbol yang
diketahui bagaimana bentuknya. Di pura ini didalamnya terdapat konsep kepercayaan akan
dipuja manisfestasi Tuhan dalam wujud Tri Dewa Tertinggi, pencipta alam semesta beserta
Mùrti. segala isinya, penjaga ketertiban alam, dan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di ahlak (Koentjaraningrat 2005, 200-202). Lingga
Kawasan Penebel, terdapat tinggalan arkeologi dalam konteks ini, dilihat sebagai tanda. Tanda
berupa lingga dengan bentuk yang beragam. memiliki fungsi membuat sesuatu menjadi
Secara umum dapat dibedakan menjadi; lingga efesien, baik dalam berkomunikasi dengan
yang hanya terdiri atas Úiwabhaga dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan
dasarnya yang disebut lingga semu; lingga memahami dunia. Sifat representatif dari tanda
yang terdiri atas tri bhaga: Bràhmabhaga, berupa lingga mempunyai hubungan langsung
Wiûóubhaga, dan Úiwabhaga; lingga semu dengan sifat interpretatif, karena pada kata
dobel, lingga tri bhaga tanpa yoni; lingga lingga, terlihat adanya media pemujaan, simbol
tribhaga dengan yoni; dan lingga semu kosmos, simbol Tuhan yang dapat mencerahkan
dengan lapik padma, serta lingga dengan pikiran dalam mencapai kebebasan. Hal ini juga
hiasan padmaganda dengan batu segi empat menunjukkan bahwa hasil sebuah interpretasi
sebagai penyangga di bawahnya. Dari berbagai adalah timbulnya tanda baru pada orang yang
temuan arkeologi berupa lingga di kawasan menginterpretasikannya. Lingga adalah tanda-
Penebel tersebut yang menarik adalah temuan tanda ikonis yang penggambarannya bersandar
lingga yang memiliki hiasan dan lapik padma, pada suatu persamaan dengan sesuatu yang
karena berbeda dengan temuan lingga lainnya telah dikenal, yang dapat membantu dengan
di kawasan tersebut. Penggunaan hiasan bunga cepat pengolahan suatu informasi. Pierce
padma pada lingga, tentu memiliki makna, menyebut suatu tanda yang bernilai, terkadang
yang selanjutnya dikaji dalam penelitian ini. mendapatkan penilaian yang sama atau
Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana terkadang lebih tinggi perkembangannya
bentuk, fungsi, dan makna lingga yang yang muncul dalam benak orang yang
berhiaskan padma di kawasan tersebut. Secara menginterpretasikannya (Zoest 1993, 26-28).
umum penelitian ini adalah untuk mengetahui Itulah sebabnya dalam memahami lingga di
religi masyarakat di kawasan Penebel. Secara Penebel sebagai tanda, setelah melalui proses
khusus untuk mengetahui bentuk, fungsi, internalisasi dari apa yang diungkapkan
dan makna lingga yang berhiaskan padma. masyarakat Penebel, kemudian dieksternalisasi
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat berupa ungkapan bahasa atau kata sebagai
bermanfaat untuk kepentingan arkeologi dalam penanda. Penanda ini menjadi petanda yang
usaha membangun rekonstruksi kehidupan akan diinterpretasikan dan dimaknai, sebagai
religi masyarakat Penebel masa silam serta pemandu dalam perilakunya memperlakukan
secara praktis diharapkan dapat dijadikan lingga. Dengan demikian akan didapatkan
referensi untuk mengenal tinggalan budayanya makna pemujaan lingga di kawasan tersebut.
berupa lingga.

82 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 2, Agustus 2015 (79 - 88)


METODE Istilah ikonografi atau iconographi
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif berasal dari kata icon dan graphoo. Icon
dengan pendekatan bentuk, fungsi, dan makna berasal dari kata eicon dalam bahasa Yunani
terhadap lingga yang dijadikan sarana pemujaan Kuno, yang berarti bayangan, potret, gambar
di Pura Jambe Langu dan Pura Puseh Sunantaya. sedangkan graphoo mempunyai arti menulis
Pura Jambe Langu terletak di Dusun Bolangan, dan memerinci. Dengan demikian ikonografi
Desa Babahan, Kecamatan Penebel Tabanan, dapat diartikan sebagai rincian ciri-ciri suatu
secara astronomi terletak pada LS 8° 23’ 17.2” benda yang menggambarkan tokoh dewa atau
BT, 115° 09’ 16.8” dengan ketinggian 490 orang suci, atau simbol-simbol keagamaan
mdpl. Pura Puseh Sunantaya atau Pura Luhur tertentu dalam bentuk lukisan, relief, mosaik,
Kawuh Sunantaya, terletak di Dusun Sunantaya, arca, atau benda lainnya. Dalam arti khusus
Desa/Kelurahan Penebel, Kecamatan Penebel, yang menjadi objek studi ikonografi adalah
Kabupaten Tabanan. Secara astronomi berada pahatan tiga dimensi atau arca dan dua dimensi
pada koordinat 8° 25’ 10.51” LS, 115° 9’ 11.80” atau relief. Ikonografi yang dimaksud dalam
BT, terletak pada ketinggian 14 mdpl (gambar penelitian ini adalah pahatan tiga dimensi
1). berupa lingga dengan hiasan padma. Studi

Gambar 1. Peta Lokasi Pura Jambe Langu dan Pura Puseh Sunantaya,
Kecamatan Penebel, Tabanan.
(Sumber: Google earth)
Data primer penelitian ini adalah data ikonografi secara intesif dapat mengungkapkan
lapangan melalui observasi langsung dengan perubahan-perubahan yang selalu terjadi pada
hasil berupa lingga. Data Sekunder penelitian aktivitas pemujaan, di samping mengungkapkan
ini diperoleh dari perpustakaan, berupa makna pemujaan. Objek ikonografi juga dapat
buku-buku, dan jurnal penelitian. Setelah diteliti dari segi artistiknya, karena objek
data terkumpul, kemudian dianalisis secara tersebut merupakan hasil karya seni yang
ikonografi, dengan pendekatan bentuk, fungsi, bernilai tinggi dan dapat menunjukkan seberapa
dan makna, dalam kerangka mempersatukan tinggi cita rasa seni suatu masyarakat. Analisis
sudut pandang, visi, dan paradigma keilmuan. ikonografi diawali dengan analisis morfologi,
Di pihak lain, mengorganisasikan data dengan yaitu mendeskripsi ikon yang terdiri dari uraian
cara-cara pengolahannya (Ratna 2005, 139). asal, letak, bentuk, yang dilengkapi gambar.

Lingga Berhias Padma Aûþadala 83


Nyoman Rema
Hasil deskripsi tersebut digunakan sebagai
data untuk siap diolah dalam analisis lanjutan
sesuai dengan tujuan penelitian, kemudian
hasilnya diinterpretasikan. Kesimpulan yang
diperoleh merupakan jawaban atau pemecahan
dari masalah yang dirumuskan dalam penelitian
(Puslitbangarkenas 2008, 101). Setelah
dianalisis, kemudian ditarik kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Bentuk
Tipologi lingga ada berbagai jenis,
Gambar 2. Lingga di Pura Jambe Langu.
yakni lingga semu yang hanya terdiri atas
(Sumber: Balai Arkeologi Denpasar)
bulatan yang disebut Úiwabhaga dan segi
empat sebagai lapik. Lingga yang terdiri atas 1985, 39, 41). Sedangkan padma aûþadala yang
tiga bagian yakni bagian bulatan yang juga terdapat di bawah Brahmabhaga mencerminkan
disebut Úiwabhaga, dibawahnya bagian persegi manifestasi Siwa yang menghadap ke delapan
delapan disebut Wisnubhaga, dan dibawahnya arah penjuru mata angin (Dwijendra 2008, 17-
segi empat disebut Wisnubhaga. Selain itu, 18). Lingga dan yoni atau lingga dan pranala
umumnya lingga memiliki pasangan berupa merupakan struktur dualistik dari sebuah bentuk
yoni dibawahnya sebagai dasar. lingga-yoni, yakni bersatunya langit dan bumi,
Soebadio menjelaskan bahwa lingga lingga dengan yoni, hidup-mati, aksara YANG
disebut pula sebagai Sang Hyang Lingga Pranala, dengan ING, penyatuannya berwujud ONG
dengan bagian Brahma dan Wisnubhaga disebut yakni lingga itu sendiri (Stuart-Fox 2010, 103).
Pranala, sedangkan Úiwabhaga disebut lingga. Lingga di Pura Jambe Langu, distanakan
Istilah pranala disebut linggotpada dalam teks pada tahta batu atau bebaturan yang disebut
Úiwa Siddhanta. Linggotpada artinya kaki atau Palinggih Ageng, merupakan palinggih utama
dasar yang menampilkan lingga dan dilengkapi di pura tersebut (gambar 2). Lingga ini terdiri
dengan sebuah saluran untuk menyalurkan air atas bagian-bagian, yakni bagian atas berbentuk
persembahan yang dipercikkan di atas lingga. bulatan, kemudian segi empat, dibawahnya
Ketika lingga dan kakinya berpasangan, disebut
dengan istilah lingga-pranala, yaitu seluruh
konstruksi yang meliputi kaki dan lingga, yakni
lingga-yoni. Pranala, nala, pranalaka dalam
bahasa Sanskerta berarti saluran air, yang
dibuat atau dipahatkan pada kaki lingga, yaitu
yoni, yang mendasari lingga. Lingga Pranala
ini berkaitan dengan tiga serangkai atau Tri
Puruúa yakni Brama, Wisnu, dan Siwa dengan
Siwa sebagai Dewa Utama dibidang kelepasan
atau kemerdekaan hakiki. Siwa disebut lingga
sedangkan Brahma dan Wisnu bersama-sama
diberi nama Pranala. Ini berarti bahwa Brahma
dan Wisnu dianggap sebagai dasar, yaitu yoni
bagi lingga. Pranala disamakan dengan tempat
Gambar 3. Lingga di Pura Puseh Sunantaya.
kelahiran atau tempat sesuatu timbul (Soebadio (Sumber: Dokumen Balai Arkeologi Denpasar)

84 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 2, Agustus 2015 (79 - 88)


berhiaskan bunga padma dengan delapan helai dengan penuh keyakinan melalui mantra-mantra
kelopak atau padma aûþadala. Lingga ini pujaannya akan mencapai tempat kediaman
terbuat dari batu padas, dengan teknik pahat, tertinggi Siwa dan menikmati kebahagiaan
yang kondisinya masih baik dan utuh. Palinggih dengan Siwa selamanya. Dengan mengulang-
tempat distanakannya lingga ini masih asli, ulang atau mendengar Sarwalingga-stawa
karena sikap masyarakat yang peduli terhadap akan memperoleh anak, kekayaan, kelimpahan,
kelestariannya. bhakti, bhukti dan mukti. Pemujaan lingga
Lingga Pura Puseh Sunantaya distanakan juga berguna menghancurkan keinginan, dan
pada palinggih utama disebut Palinggih membinasakan kesombongan, meningkatkan
Pasarén (gambar 3). Lingga ini terdiri atas kekuatan pikiran dan menyalakan sinar wiweka
bagian-bagian; bagian atas berbentuk bulatan, atau akal budi, serta menghancurkan sejumlah
dibawahnya segi empat, dan dibawahnya besar dosa-dosa (Sivananda 2006, 6-9, 24).
terdapat hiasan padma ganda dengan delapan Pemujaan kepada Siwa akan mendekatkan
helai daun bunga atau padma aûþadala. Lingga dirinya kepada Siwa, berbagai karma dalam
ini dimasukkan ke dalam batu penyangga dirinya akan terkendalikan, dan penyembah
berbentuk segi empat, terbuat dari batu padas, akan masuk ke Úiwa Loka. Jika elemen
dengan teknik pahat yang kondisinya telah halus telah terkendalikan, maka pemuja akan
pecah dan aus. mengalami kedekatan dengan Siwa, kemudian
Jadi berdasarkan uraian bentuk di ia akan mencapai kesamaan dengan Siwa dalam
atas, memperhatikan lingga yang terdapat di hal atribut dan kegiatan. Jika penyembah telah
Pura Jambe Langu terdiri atas bagian lingga mencapai anugerah tertinggi, maka kecerdasan
berbentuk bulatan, segi empat, padma aûþadala kosmik atau budhi akan di bawah kendali.
dan penopang dibawahnya, sebagai pranala. Dalam keadaan demikian penyembah telah sama
Sedangkan lingga di Pura Puseh Sunantaya dengan Siwa dan secara perlahan akan mampu
terdiri atas lingga berbentuk bulatan, segi mengendalikan prakreti. Dalam keadaan
empat, Padma astadala, penopang segi empat demikian pemuja Siwa melalu Siwalinggam
sebagai pranala. Penopang lingga di Pura akan mencapai kebebasan (Sanjaya 2010, 125)
Jambe Langu sangat sederhana, dari batu Secara umum pemujaan lingga di
alam, bentuknya tidak beraturan. Sedangkan kawasan Kecamatan Penebel berkaitan dengan
penopang lingga di Pura Puseh Sunantaya telah fungsi untuk memohon keselamatan, ditujukan
dibuat halus berbentuk segi empat, memiliki kepada Dewa Siwa dengan berbagai nama-
motif, memiliki lubang tempat dimasukkannya Nya seperti Dewa Úiwa Gni Paúupati, Tri
lingga bagian padma aûþadala ganda. Hanya Mùrti, serta sebagai suatu wujud penyatuan
saja keduanya penopang tersebut, tidak seperti Úiwa-Úakti, unsur Cétana-Acétana, Langit-
yoni pada umumnya yang memiliki cerat, Bumi, Puruúa-Pradana, Rwa Bhinéda,
dan bibir lonjong tempat mengalirkan air Ardhanaréúwari, Úiwa-Sadaúiwa-Paramaúiwa.
persembahan. Aktivitas yang terkait dengan pemujaan lingga
di kawasan Penebel seperti memohon air suci
Fungsi Media Pemujaan dengan cara membasuh lingga. Air basuhannya
Lingga merupakan sarana pemujaan yang dibagikan kepada masyarakat, kemudian
ditujukan kepada Dewa Siwa dan manifestasi- dipercikkan pada diri dan sawahnya sebagai
Nya, sebagai pelebur dan pemberi kebebasan penolak gangguan hama dalam upacara nangluk
(Soebadio 1985, 39, 41). Harapan yang paling mrana dan keselamatan petani, tanaman
penting melalui pemujaan lingga adalah dan lingkungannya, yang digerakkan oleh
mencapai Siwa yang tanpa wujud (Sivananda organisasi sekaa baik yang ada pada suatu pura,
2006, 133-135). Pemujaan Sadaúiwalingga maupun subak. Khusus mengenai fungsi lingga

Lingga Berhias Padma Aûþadala 85


Nyoman Rema
di Pura Jambe Langu, sebagai sarana memuja Agung, Lingga, Pasupati, ayah dari semua
Dewa Siwa juga untuk memohon keselamatan kemanusiaan, semua simbol pallus. Sebagai
diri, dan kebahagiaan lahir-batin, serta secara pradana adalah Uma, ibu semua alam, Giri
khusus terkait dengan aktivitasnya sebagai Putri, Dewi Pegunungan, Dewi Gangga dan
petani. Demikian juga dengan pemujaan lingga Dewi Danu, dewa-dewa sungai dan danau.
di Pura Puseh Sunantaya untuk mengendalikan Manifestasi pradana atau perempuan ini atau
hama-penyakit yang mengganggu pertanian úakti, dianggap oleh orang awam sebagai istri
dan petani serta lingkungan, yang menghalangi harfiahnya, tetapi kaum terpelajar menafsirkan
kesempatannya meraih kebahagiaan lahir- para istri ini, dan hubungan perkawinan mereka
batin, bahkan bagi peñungsung pengarep, yaitu sebagai dua asas abadi: lelaki dan perempuan,
keturunan dari Arya Damar menggunakan semangat dan materi (Covarrubias 2013, 322).
media ini untuk memohon tirta pamuput karya
dalam pemujaan leluhur. Penciptaan
Penciptaan alam semesta diawali dengan
Makna Penyatuan adanya sebuah titik utama kemudian menyebar
Lingga merupakan simbol kekuatan sempurna secara seimbang ke empat arah mata
kemakmuran, tanda penciptaan, penyebab angin, yaitu utara, timur, selatan, dan barat.
konsentrasi pikiran, Ia adalah wujud tunggal Keempat arah mata angin ini dijadikan sebagai
dan tanpa wujud. Úiwalingga atau Sadaúiwa orientasi berbagai aktivitas ritual keagamaan
adalah manifestasi dari cahaya kesadaran. Hindu-Budha. Ilustrasi proses penciptaan ini
Ia adalah sumber dari segala ciptaan baik juga dipersonifikasikan sebagai perwujudan
bergerak maupun tidak bergerak, Ia juga sosok Dewa Brahma yang memiliki empat
adalah penyebab dari semuanya, Ia juga adalah kepala yang menghadap ke empat arah tersebut.
tempat bersatunya semua dunia, Ia juga adalah Dewa Brahma juga sebagai titik sentral alam
penyebab dari dunia ini. Penopang atau Pitham semesta, yakni Gunung Meru (Paramadhyaksa
adalah Prakerti atau Parwati dan Lingga 2014, 146, 147). Dalam kaitannya dengan lingga
adalah Cinmaya Puruúa, cahaya sinar yang sebagai sarana pemujaan sekaligus sebagai
menyinari sendiri. Persatuan dari Prakrti atau simbol alam semesta, pada bagian bawahnya
Parwati dengan Purusa atau Úiwalingga adalah terdapat bagian yang berbentuk persegi empat
sebab dari dunia. Ini menjelaskan persatuan yang disebut dengan Brahmabhaga, juga
spiritual abadi atas Prinsip Úiwa dan Úakti, menyiratkan hal yang sama sebagai simbol
asal dari fenomena keragaman, menyimbolkan penciptaan alam semesta, dengan segala isinya.
penciptaan alam oleh Úiwa dalam hubungan
dengan Úakti atau kekuatan-Nya (Sivananda Etos Kerja
2006, 133-135). Padma artinya bunga teratai, batin,
Lingga-yoni atau Lingga Pranala atau pusat (Dwijendra 2008, 9). Padma
merupakan simbol puruúa dan pradana. merupakan simbol kesucian, dapat dilihat
Penyatuan ini dianggap sebagai lambang dari kehidupannya yakni, akarnya ada dalam
penciptaan atau kesuburan. Benda ini lumpur, daunya di air dan bunganya di atas
melambangkan kesatuan Siwa dengan saktinya air. Hal ini menandakan bahwa teratai adalah
Parwati. Dewa Siwa dianggap dewa penguasa tumbuhan yang menjangkau tiga loka atau
dan keselamatan kehidupan, kesuburan dan alam, yakni Bhùr Loka atau alam bawah, Bwah
kematian. Saktinya Dewi Parwati dianggap Loka atau alam tengah, dan Swah Loka atau
sebagai dewi kesuburan terhadap sawah dan alam atas. Teratai merupakan simbol kehidupan
ladang (Ardika et al. 2013, 238-239). Siwa yang indah sebagai hasil perjuangan yang sulit
sebagai puruúa adalah gunung, Gunung dan melalui proses yang berlumpur-lumpur.

86 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 2, Agustus 2015 (79 - 88)


Namun, akhirnya berhasil secara indah dan tidak basah oleh air sehingga bunga teratai
harum sehingga dikagumi manusia, bahkan sangat tepat dipakai sebagai perlambang
para dewa. Gagasan ini dapat dipandang sebagai kesucian, seperti Sang Hyang Widhi walaupun
etos kerja bunga teratai, yakni kerja keras dan sebagai pencipta alam ini, namun lepas dari
tidak hanya melihat hasilnya yang indah, tetapi keterikatan duniawi; bunga teratai merupakan
juga prosesnya yang penuh perjuangan. Bunga sarana utama dalam upacara-upacara Pañca
teratai lambang kesempurnaan, pengetahuan, Yajña, dan dipergunakan oleh para pandita
spiritual, kekuatan, dan pelepasan diri dari ketika melakukan Sùryya Séwana (Dwijendra
keduniawian. Bunga teratai hidup dilumpur, 2008, 17-18).
namun bunganya tetap bersih. Demikian
pula dengan orang yang tinggi pengetahuan KESIMPULAN
spiritualnya tidak akan terpengaruh oleh hal-hal Lingga yang terdapat di Pura Jambe
keduniawian (Atmaja 2014, 44). Langu dan Pura Puseh Sunantaya, berdasarkan
bentuknya terdiri atas bagian bulatan, segi
Kesucian Batin empat, berhias padma aûþadala, dengan
Bunga teratai adalah rajanya bunga penopang dibawahnya. Kedua lingga tersebut
sehingga dipilih sebagai simbol yang tepat digunakan sebagai media untuk memuja
menggambarkan stana kesucian, dan keagungan Dewa Siwa, guna memohon keselamatan diri
Hyang Widhi. Hal ini didasarkan atas alasan masyarakat, lingkungannya dan aktivitasnya
bahwa helai daun bunganya berjumlah delapan, sebagai petani dari gangguan wabah penyakit.
sesuai dengan manifestasi Hyang Widhi, pada Bagian bulatan atau Siwabhaga dimaknai
delapan penjuru mata angin atau asta aiúwarya. sebagai simbol Dewa Siwa, alam semesta,
Delapan arah mata angin yang dimaksud penyatuan dan kebebasan. Segi empat atau
adalah: timur atau pùrwa sebagai Dewa Iswara, Brahmabhaga dimaknai sebagai pencipta alam
tenggara atau agnéya sebagai Dewa Mahesora, semesta beserta segala isinya. Padma aûþadala
selatan atau dakûina sebagai Dewa Brahma, bermakna sebagai etos kerja, manifestasi Dewa
baratdaya atau nairitya sebagai Dewa Rudra, Siwa, dan kesucian lahir batin.
barat atau paúcima sebagai Dewa Mahadewa,
baratlaut atau wayabya sebagai Dewa DAFTAR PUSTAKA
Sangkara, uttara atau uttara sebagai Dewa Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A. A. Bagus
Wisnu dan timur laut atau airsanya sebagai Wirawan. 2013. Sejarah Bali. Denpasar:
Dewa Sambhu. Puncak mahkota berupa sari Udayana University Press.
Atmaja, Nengah Bawa. 2014. Saraswati dan
bunga menggambarkan simbol kedudukan
Ganesa sebagai Simbol Paradigma;
Sang Hyang Widhi secara vertikal dalam Interpretativisme dan Positivisme. Denpasar:
manifestasi sebagai, Siwa pada adisthàsana/ Pustaka Larasan bekerjasama dengan IBIKK
dasar, Sadasiwa pada madhyàsana/tengah dan BCCC Undiksha Singaraja dan Universitas
Paramasiwa pada agràsana/puncak; bunga Hindu Indonesia.
teratai hidup di tiga alam, akarnya menancap di Badra, I Wayan. 1997. “Hubungan Konsepsi Tri
tanah/lumpur disebut pratiwi, batangnya di air Lingga di Pura Goa Gajah dengan Padmasana
disebut apah, daun dan bunganya berada di atas Tiga di Pura Penataran Agung Besakih.”
air/udara disebut akàúa. Ida Sang Hyang Widhi Forum Arkeologi (1): 55-66.
bertahta di atas tiga alam ini, sebagai penguasa Covarrubias, Miguel. 2013. Pulau Bali, Temuan
Tri Bhùwana yaitu alam Bhùr, Bwah dan Swah. yang Menakjubkan. Denpasar: Udayana
University Press.
Sehingga bunga teratai adalah simbul dari Tri
Bhùwana; Bunga Teratai hidup di air, tetapi

Lingga Berhias Padma Aûþadala 87


Nyoman Rema
Dwijendra, Ngakan Ketut Aswin. 2008. Arsitektur Sivananda, Sri Swami. 2006. Tuhan Siva dan
Bangunan Suci Hindu, Berdasarkan Pemujaannya, diterjemahkan oleh I Ketut
Asta Kosala-kosali. Denpasar: Udayana Madra. Surabaya: Paramita.
University Press. Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta:
Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi: Djambatan.
Pokok-pokok etnografi II. Jakarta: Rineka Stuart-Fox, David J. 2010. Pura Besakih: Pura,
Cipta. Agama, dan Masyarakat Bali. Denpasar:
Paramadhyaksa, I Nyoman Widya. 2014. Pustaka Larasan.
“Perwujudan Konsep Kerajaan Surga Suantika, I Wayan. 1989. “Peninggalan Siwa-Budha
pada Pusat Kota Kerajaan di Bali.” Forum di Goa Gajah, Bali, dan Wadu Pa’a, Bima.”
Arkeologi 27 (2): 145-154. Forum Arkeologi (2): 41-49.
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. 1994. Pura _______________. 2013. Pura Puseh Kanginan
Gunung Panulisan. Jakarta: Departemen Carangsari, sebagai Salah Satu Pusat
Pendidikan dan Kebudayaan. Keagamaan pada Masa Bali Kuna. Peradaban
__________________________. 2008. Metode Bali-Nusra dalam Perspektif Arkeologi.
Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Disunting oleh I Made Sutaba. Denpasar:
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Nasional, Badan Pengembangan Sumberdaya Balai Arkeologi Denpasar: 140-169.
Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-Simbol
Kebudayaan dan Pariwisata. dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramita.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda,
Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Sanjaya, Gede Oka. 2010. Siva Purana. Surabaya:
Paramita.

88 Forum Arkeologi Volume 28, Nomor 2, Agustus 2015 (79 - 88)

Anda mungkin juga menyukai