Dari hasil wawancara kepada Atu Mangku Adnyana yang merupakan pemangku (Griya
Kongco Dwipayana) tentang sejarah Griya kongco dwipayana atau yang di sebut Ling Xi
Miao (Ling Xu Miao) dan Kelenteng Ong Tay Jen yakni pada tahun 1987 Griya Kongco Dwipayana
berupa bangunan kecil tanpa pagar atau dinding/tembok yang dikelilimgi dikelilingi oleh hutan bakau.
Bangunan Utamanya hanya berupa onggokan batu.
Sekitar tahun 1998 mulai di bangun tempat untuk pemujaan dewa utama berupa pura kecil dan
bangunan Kongco serta Vihara. Setelah itu baru didirikan bangunan-bangunan lain untuk dewa-dewa
pelindung Kongco yaitu untuk Bangunan Tujuh Dewi, untuk Pagoda Tujuh Tingkat dan untuk Griya
(rumah) atau Pasraman Atu Mangku dan keluarganya. Dana pembangunan diperoleh dari sumbangan
(punia) para pengunjung Kongco, baik yang berasal dari etnis Tionghoa Bali ataupun luar negeri
(Taiwan) maupun dari kelompok etnis Bali dan Jawa yang asal agamanya berbeda-beda.
Griya Kongco Dwipayana dikenal sebagai tempat ibadah umat Tri Dharma dan Hindu,
berlokasi di Jl. By Pass I Gusti Ngurah Rai, Tanah Kilap, Denpasar Selatan, Bali. Kongco/Kelenteng
ini adalah salah satu kelenteng di Bali, yang arsitektur dan konsep bangunannya merupakan hasil
akulturasi antara arsitektur tradi-sional Bali ( Hindu) dengan arsitektur Tiongkok. Ciri arsitektur
Tiongkok (China) yang dimaksud di sini adalah seperti ciri-ciri kelenteng (kuil) umumnya di
Tiongkok. Akulturasi kedua budaya itu akan tercermin dari berbagai jenis 4 bangunan pada Griya
Kongco Dwipayana, yang kini mencapai 17 jenis
bangunan, antara lain:
Total seluruh bangunan Griya Kongco Dwipayana memiliki luas 900 M 2. Terdapat beberapa
keunikan dari Kongco ini yakni di dalam kompleks terdapat bangunan Merajan atau Pura dalam skala
yang lebih kecil, dan bangunan Tujuh Dewi Datu atau Cik Niu Ma (Qi Xian Nu) yang tidak terdapat di
kelenteng lain. Selain itu, juga terdapat dua buah wantilan atau balai pertemuan yaitu Bale Sakanem
dan Denah Griya Kongco tanah kilap. 5 Bale Tempat Persembahan. Jumlah dua itu sengaja
dirancang karena yang satu dibuat untuk melambangkan kebudayaan Tionghoa dan yang lainnya
melambangkan kebudayaan Bali. Bangunan-bangunan inilah yang menjadikan Griya Kongco
Dwipayana, Tanah Kilap, Denpasar lebih unik dari kelenteng-kelenteng lain di Bali ataupun di
Indonesia.
Latar belakang didirikannya Griya Kongco Dwipayana, adalah sebagai tempat untuk
melakukan bakti kepada Ida Ratu Bhatara Niang Lingsir yang menjadi penguasa setempat (daerah
lokasi dan sekitarnya) di masa lampau dan kepada Wang Da Ren yaitu seorang ahli pengobatan dan
filsafat berasal dari negeri Tiongkok, serta merupakan salah satu keturunan raja dari Dinasti Qing
(Qing Chao). Menurut penuturan Atu Mangku, Wang Da Ren dan ratusan prajuritnya berlayar dari
negeri Tiongkok dan setelah lama mengarungi lautan luas memutuskan mendarat di tepi pantai Benoa
(Bali). Pendaratan menyebabkan mereka bertemu dengan Batara Hyang Niang Lingsir yang menjadi
penguasa setempat (penguasa wilayah Benoa dan sekitarnya). Kedua tokoh penting ini sering saling
bertukar pengalaman untuk menambah ilmu pengetahuan. Masing-masing kekuatan dan kemampuan
yang didapat digunakan untuk menolong orang banyak. Karena merasa ada kecocokan dengan Batara
Hyang Niang Lingsir, maka Wang Da Ren dan pasukannya memutuskan untuk menetap di pulau Bali
dan tidak pernah kembali lagi ke negeri Tiongkok. Atas pertolongan yang sering diberikan kepada
orang banyak, kedua tokoh ini menjadi sangat terkenal dan harum namanya di kalangan masyarakat
Bali. Berkat kemuliaan dan jasa-jasa besar Ida Ratu Batara Hiang Niang Lingsir dan Wang Da Ren di
masa lampau itu, maka sekarang telah didirikan bangunan Griya Kongco Dwipayana ini, untuk tempat
melakukan sujud bakti kepada beliau berdua dan dewa-dewi pelindung Kongco lainnya. Bersatunya
kedua tokoh penting ini, juga telah memberi ilham dalam pemberian nama Dwipayana kepada
tempat peribadatan ini. Kata dwipayana diambil dari bahasa Sansekerta yang berasal dari kata dwi
artinya dua, dan payana artinya menjadi satu.
Dengan demikiandwipayana berarti bergabungnya dua hal (etnis, kebudayaan) Bali dengan
Tionghoa menjadi satu yang lebih kuat. Menurut Kamus 6 Jawa Kuna-Indonesia, dwipayana berasal
dari kata dwipa artinya pulau, dan yana artinya lahir. Dengan demikian, dwipayana berarti lahir
di pulau (Zoetmulder, 2000: 244-245). Yang dimaksud lahir di sini adalah kekuatan, kemuliaan, rasa
kesatuan dari kedua tokoh penting ini, yang melahirkan akulturasi antara dua budaya (Bali dan
Tionghoa). Dipulau yang dimaksud di sini adalah di pulau Bali.
bangunan
konghuchu
griya tanah kilap
langit warnaFilosofi
emas dari
sedang
menari
salingdiberhadapan
kedari
arah mutiara emas berbentuk api (hulu) ya
Bentuk atapnya yakni mencerminkan nuansa Bali dengan konstruksi payung sebagai simbol
gunung merupakan citra suci (tempat para dewa dan leluhur),subur (penuh dengan hutan hijau
yang menghasilkan humus), makmur (sumber air kehidupan atau amertha bagi manusia di
bumi), damai(sunyi dan tenang jauh dari kebisingan kehidupan duniawi), dunia atas (sorga)
at dengan warna dasar merah menyala merupakan ciri khas kebudayaan Tiongkok yang diberi orna
seribu. Di samping itu, bambu memiliki manfaat yang sangat banyak bagi kehidupan manusia dan
gunan dibuat cukup tinggi mencerminkan nuansa Bali, untuk menimbulkan kesan sakral, megah dan
2. Gedung Buddha
Bentuk atap Gedong Buddha memakai nuansa Bali, dengan memodifi kasi bentuk atap
atau pot.
Pintu masuknya menyerupai pintu kuadi yang menjadi ciri khas pintu meten atau gedong
pemujaan utama di purapura di Bali, dan ornamentasi di sekeliling pintu berupa bebakalan
3. Bangunan
Pura
engan atap dengan
bahan seluruhnya
dari bahan batu lahar gunung Agung dari Selat Karangasem.
Peparuman
Kajeng
Ratu Kidul
isional Bali berbentuk bebakalan kekarangan
dan pepatran di sudut-sudut bagian bangunan dan ba
Padmasana
-
Ciri-ciri
ornamentasi
Padmasana
dari
bagian
belakang
bangunan
serta
Padma
sebagai
budaya Tionghoanya.
Gambar : Padmasana
Sumber : hasil observasi
bentuk
sentuhan
4. Bale Sakenam
aknya memakai dedeleg ditopang oleh sebuah tiang tugeh berdiri di atas punggung patung Singa A
utsudut bubungan memakai ornamen berupa ikut teledu dan ornament puncak bubungannya berbe
g ditopang oleh enam tiang utama (Bale Sakanem), dengan sistem perkuatan berbentuk canggah w
sehingga menciptakan ruang terbuka sehingga cocok dengan fungsinya sebagai tempat pertemua
secara keseluruhan menimbulkan kesan tradisional Bali.
6. Tempat Persembahan
h tugeh.
ak bubungannya memakai bentuk bentala.
hoa.
uan (wantilan) atau tempat menaruh sarana persembahan. Bagian belakang (timur) bangunan dipa
men bebakalan kekarangan dan pepatran, tetapi dicat dengan warna dominan merah dan kuning un
unan di jeroan Kongco Dwipayana. Memberikan simbol dari pusat pat kwa yang menjadi tempat be
n penutup atapnya. Dengan bahan beton memungkinkan untuk menciptakan bentuk penutup atap
tai yang memang menjadi motif ornamen atap bangunan ini.
Puncak bubungan atapnya diberi murdha berbentuk pagoda sebagai identitas kuil-
kuil Tionghoa.
Sisi-sisi samping bangunan mengambil bentuk tembok terbuka dengan jendela
lengkungan besi setengah lingkaran yang membingkai kaca tembus pandang,
kecuali bagian belakang tertutup seluruhnya untuk melindungi patung-patung yang
ada di dalamnya.
Kaca jendela diberi ornamen lukisan cat berbentuk kehidupan biksu dan raja-raja
Hong/merak.
Patung tujuh dewi diletakkan di tengah kolam, yang juga dijadikan tempat untuk
menaruh air suci dari segala penjuru pura-pura atau tempat suci di Bali.
8. Tempat Pembakaran Kim
alam atau batu bata) yang beruang satu beratap batu alam juga.
Bentuk seperti ini adalah ciri khas dari arsitektur tradisional Bali.
Makna di balik bangunan anglurah ini adalah bahwa setiap wilayah ada
penguasanya atau penjaganya, oleh sebab itu setiap orang yang hendak
berkunjung ke wilayah itu harus minta permisi/ijin terlebih dahulu kepada
penguasa wilayah itu, agar diberi jalan yang lapang dan keselamatan.
10. Pagoda
Dari segi konstruksi dan atapnya dibuat dari beton bertulang yang dicat kuning
emas.
denah berbentuk pat kwa persegi delapan berdiri di atas lapik berbentuk bunga
teratai atau padma, yang telah lama menjadi ciri khas arsitektur Tionghoa.
Bentuk pagoda seperti susunan bangunan
Bangunan pagoda bertingkat tujuh pada jaba tengah dari Griya Kongco
Dwipayana di samping berfungsi sebagai tempat pertemuan para Dewa-dewi
dan Batara-batari, juga dapat berfungsi menangkis chi buruk yang masuk ke
dalam Griya Kongco Dwipayana. Chi buruk bukan hanya disebabkan kesalahan
dalam penataan bangunan-bangunan, tetapi juga bisa disebabkan banyaknya
orang yang datang ke Kongco dengan pikiran mereka masing-masing.
Logikanya, pikiran dan maksud buruk akan membawa chi buruk, sedangkan
pikiran dan maksud baik akan membawa chi baik.