Anda di halaman 1dari 112

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA PADA CERITA RAKYAT BATU

DEBATA IDUP DI DESA SIMANGULAMPE KECAMATAN


BAKTIRAJA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN

SKRIPSI

DISUSUN OLEH

IRNA SULASTRI

S. NIM: 160703022

PROGRAM STUDI SASTRA BATAK

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA

UTARA MEDAN

2020

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Irna Sulastri S, 2020. Judul Skripsi : Analisis Sosiologi Sastra Pada Cerita Rakyat
Batu Debata Idup di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja Kabupaten
Humbang Hasundutan.
Dalam penelitian ini penulis membahas ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA CERITA
RAKYAT BATU DEBATA IDUP. Masalah dalam penelitian ini adalah unsur
intrinsik cerita rakyat Batu Debata Idup, nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung
dalam cerita rakyat Batu Debata Idup dan pandangan masyarakat terhadap cerita
Batu Debata Idup. Cerita rakyat Batu Debata Idup merupakan salah satu bentuk
cerita yang dimiliki masyarakat Batak Toba, yang tepatnya berada di desa
Simangulampe, Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur cerita dan mengetahui nilai-
nilai sosiologi sastra cerita rakyat Batu Debata Idup. Susunan cerita dan peristiwa
yang terjadi dalam cerita rakyat Batu Debata Idup terstruktur dan diterjemahkan
menjadi sebuah cerita serta menggali nilai budaya didalamnya.
Metode yang dipergunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah
metode deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan
teori strukturan dan teori sosiologi sastra. Adapun unsur-unsur intrinsik yang ada
dalan cerita ini meliputi: tema, alur atau plot, latar atau setting, dan perwatakan
atau penokohan. Cerita rakyat Batu Debata Idup dipercayai pada zaman dulunya
memiliki kekuatan super natural serta dijadikan sebagai tempat penyembahan.
Berdasarkan penelitian ini, hingga kini Batu Debata Idup masih terletak di desa
Simangulampe Kecamatan Baktiraja.

Kata Kunci : Analisis Sosiologi Sastra, Cerita Rakyat Batu Debata Idup
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan rahmat yang telah diberikan-Nya, dan telah memberikan kesehatan dan

kekuatan pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “Analisis Sosiologi Sastra Pada Cerita Rakyat Batu

Debata Idup di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja Kabupaten

Humbang Hasundutan”. Judul ini penulis ambil berdasarkan sejarah dan cerita

masyarakat di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja. Sesuai dengan judul

skripsi diatas maka yang dibahas adalah mengenai struktur cerita Batu Debata

Idup di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja dan juga membahas tentang

nilai-nilai sosiologi sastra yang terdapat pada cerita tersebut.

Untuk memudahkan pembaca memahami tentang apa saja yang akan

dibahas dalam skripsi ini dimulai dari :

Bab I merupakan pendahuluan, yang mecakup latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

Bab II merupakan tinjauan kepustakaan, yang mencakup kepustakaan

yang relevan, pengertian sastra, pengertian sosiologi, pengertian sosiologi sastra,

pengertian cerita rakyat dan teori yang digunakan.

Bab III merupakan metode penelitian, yang terdiri dari : metode dasar,

lokasi data penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode

pengumpulan data dan metode analisis data.


Bab IV merupakan pembahasan yang terdiri dari tahapan unsur intrinsik,

pandangan masyarakat, dan nilai-nilai sosiologi sastra.

Bab V berisikan kesimpulan dan saran.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Untuk itu, dengan

kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

dari para pembaca.

Atas segala bantuannya, saya ucapkan terimakasih dan semoga skripsi ini

berguna bagi semua pembacanya.

Medan, November 2020


Penulis

Irna Sulastri S.
Nim. 160703022
HATA PATUJOLO

Mauliate ma dipasahat panurat tu Tuhan Debata disiala asi dohot holong


na dilehonna, dilean do hasehaton tu panurat dohot hagogoon umbahen boi
pasaehon skripsi on.

Judul ni skripsi on ima “Analisis Sosiologi Sastra Pada Cerita Rakyat Batu

Debata Idup di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja Kabupaten Humbang

Hasundutan” judul on dibahen panurat sian turi-turian dohot sarita ni halak di huta

Simangulampe Kecamatan Baktiraja. Tudos tu judul ni skripsi na di ginjang ima

na manghatahon tu taringot ni sarita Batu Debata Idup di Desa Simangulampe

Kecamatan Baktiraja jala muse manghatahon taringot ni nilai-nilai sosiologi sastra

na adong di sarita i.

Lahu mamurahon panjaha mangantusi taringot tu angka aha na dihatahon

di skripsi on dibuhai ma i sian:

Bindu sada ima pendahuluan na marisi latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian dohot manfaat penelitian.

Bindu dua ima tinjauan kepustakaan na marisi kepustakaan yang relevan,

pengertian sastra, pengertian sosiologi, pengertian sosiologi sastra, pengertian

cerita rakyat dohot teori na dipake.

Bindu tolu ima metode penelitian na marisi metode dasar, lokasi

penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitian, metode pengumpulan

data dohot metode analisis data.

Bindu opat ima pembahasan na marisi unsur intrinsik, nilai-nilai sosiologi

sastra dohot pandangan ni masyarakat.


Bindu lima ima kesimpulan dohot saran.

Tangkas do diboto panurat skripsi on hurang singkop dope. Isiala ni i

dohot serep roha ni panurat mangido kritik dohot saran na boi pasingkophon sian

sude panjaha.

Mauliate ma dipasahat panurat tu sude jala sai marlapatan ma skripsi on tu

angka na manjaha.

Medan, November 2020


Panurat,

Irna Sulastri S.
Nim. 160703022
ht pTjolo

mUliatemdipsht\pNrt\TThn\debt disial holo^


nN<dilEhno\jldilEhno\hsEhtno\dohot\gogoTpNrt\Um\bhnE\boIpsaE
hno\sikirip\siaon\

JdL\nisikirpi\siano\aimanlissi\sosiaologiss\t\rpdsritb
T dEbt IdP\di dEs sim<ulm\pe hesmtn\ bh\tirj kBptne\
Hm\b^hsN\Dtn\JdL\ano\ dobhnE\
pNrt\sian\TriTrian\dohto\sritnihlh\diHtsim<lm\pEhEsmtn\bh\to
rjTdso\TJdL\ni sihirpi\si n di gni\j^ Im n m^hthno\T
tri<to\ ni srit bT dEbt IdP\
didEssim<lm\pEhEsmtn\bh\tirjjlMsEm^hthno\tri<to\ni nilI
nilIsosiaologiss\t\rn ado^ disrit I

LhopMrhno\ pn\jh m<n\Tsi tri<to\ T aa^h ah n di hthno\


do sikirpi\si ano\ di BhI m sian\

bni\DsdImpnE\dHLan\nmrisiltr\bElk^ mslh\,
RMsn\mslh\TJan\pEnElitian\dohto\mn\pat\pEnElitian\
bni\DDaImtni\jUan\hEpS\than\nmrisikEpS\than\nrElEpn\,p
E<rE\tian\sosiaologi,pE<rE\tian\sosiaologiss\t\r,pE<rE\tian\
srit rk\yt\ dohto\ tEaori n di pkE

bni\DtoLImmEtodEpEnElitiannmrisimEtodEdsr\,loksidtpEnE
litian\sM\brE\dtpEnElitian\In\s\t\RmnE\pEnElitian\mEtodE
pe<M\Pln\ dt dohto\ mEtode anlissi\ dt

bni\Daopt\Impmebhsn\nmrisiUn\sR\In\t\rin\ski\pn\d<n\ms
rkt\ dohto\ nilI nilI sosiaologi ss\t\r

bni\D lim Im kEsmi\Pln\ dohto\ srn\

t^hs\ do diboto pNrt\ sihirpi\so ano\ Hr^ si^hpo\ dope


Isial ni I dohto\ serpe\ ni roh pNrt\ m<ido k\ritki\ dohto\
srn\ n boI psi^hpo\hno\ sian\ Sde pn\jh

mUliatemdipsht\ pNrt\ T Sde jl sI mr\lptn\ m


sihirpi\si ano\ T aa^h pn\jh.

Medn\,nopEm\brE\2020
pNrt\

Ir\n Sls\t\ri s\
nmi\ 160703022

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan

kesehatan dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini banyak pihak yang

telah memberikan saran, dukungan dan bantuan baik secara langsung maupun

tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatra Utara, Wakil Dekan I, Wakil Dekan II, Wakil Dekan

III serta semua staff maupun pegawai di jajaran Fakultas Ilmu Budaya.

2. Bapak Drs.Warisman Sinaga, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Sastra

Batak serta Bapak Drs. Flansius Tampubolon, M.Hum, selaku Sekretaris

Jurusan Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatra Utara yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada

penulis baik dalam perkuliahan maupun dalam penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Rosita Ginting, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang sudah

mengorbankan waktu dan tenaganya untuk membimbing saya dalam

menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Asni Barus, M.Hum selaku dosen Pembimbing II yang juga

sudah memberikan waktunya untuk mendukung dan membimbing penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Sumurung Simorangkir, SH. M.pd selaku dosen pembimbing

akademik beserta bapak Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum selaku dosen

yang telah banyak memberi dorongan serta arahan kepada penulis dalam

pengerjaan skripsi ini, serta terimakasih juga kepada semua Dosen-Dosen


staff pengajar Program Studi Sastra Batak yang sudah memberi pengajaran

dan didikan kepada penulis selama perkuliahan.

6. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kedua orang tua

saya Ayahanda Pendi Sibagariang, S.Pd dan Ibunda Tiolide Bakara, S.Pd

yang telah mendidik dan mendukung sepenuhnya penulis hingga bisa

sampai ke tahap akhir jenjang perkuliahan saya. Doa dan dukungan

mereka yang senantiasa mengiringi langkah penulis hingga menuju tahap

ini.

7. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada saudari saya

Teresia Sibagariang, A.md yang telah banyak mendukung dan membantu

saya dalam bentuk finansial. Penulis juga mengucapkan terima kasih

kepada semua saudara saya Jhon Anri Sibagariang, S.pd , Erwin

Sibagariang dan Agus Sibagariang yang mendukung penuh penulis dan

memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini

8. Begitu juga kepada Kepala Desa Simangulampe Ramoslin P. Simanullang

beserta semua informan yang ada di desa Simangulampe yang telah

menyempatkan waktunya membantu saya untuk mendapatkan banyak

informasi yang penulis butuhkan untuk penyelesaian skripsi ini.

9. Terima kasih juga kepada teman-teman Sintia Natalia Hutagalung, Kardo

Pariaman Sihite, Hewida Aritonang, beserta semua teman-teman Stambuk

2016 yang tidak bisa saya sebut satu persatu yang telah memberi dorongan

dan dukungan kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini. Semoga

semuanya lulus tepat pada waktunya.


10. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada abangda Alumni

Risdo Saragih, S.S karena telah banyak membantu penulis selama

perkuliahan, banyak memberi motivasi kepada penulis didalam maupun

diluar perkuliahan.

11. Tidak lupa saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Kakanda

Alumni Tio Anggreni Lumban Batu, S.S yang sudah sangat banyak

memberi saran kepada penulis mulai dari pengerjaan proposal hingga

penulis sanggup berada ke tahap pengerjaan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu dan mendukung penulis. Penulis pada kesempatan ini memohon

kepada Tuhan Yang Maha Esa kiranya dapat membalas semua kebaikan mereka,

dan tidak bisa penulis balas. Tuhanlah yang membalas dan memberkati.

Medan, November 2020

Irna Sulastri S.

Nim. 160703022
DAFTAR ISI

ABSTRAK...............................................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

UCAPAN TERIMA KASIH.............................................................................viii

DAFTAR ISI..........................................................................................................xi

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangMasalah.......................................................................1

1.2.Rumusan Masalah.................................................................................3

1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................4

1.4. Manfaat Penelitian................................................................................4

BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Kepustakaan Yang Relevan..................................................................6

2.1.1. Pengertian Sastra.........................................................................

72.1.2. Pengertian Sosiologi....................................................................

82.1.3.Pengertian Sosiologi Sastra..........................................................

92.1.4. Pengertian Cerita Rakyat..........................................................

11

2.2. Teori Yang Digunakan.......................................................................12

2.2.1. Teori Struktural.................................................................12

2.2.2. Teori Sosiologi Sastra........................................................15


BAB IIIMETODE PENELITIAN

3.1. Metode Dasar.....................................................................................21

3.2. Lokasi Data Penelitian......................................................................22

3.3. Sumber Data Penelitian.....................................................................22

3.4. Instumen Penelitian.........................................................................23

3.5. Metode Pengumpulan Data................................................................23

3.6. Metode Analisis Data........................................................................24

BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Unsur-unsur Intrinsik Terhadap Cerita Rakyat Batu Debata Idup......26

4.1.1. Tema..........................................................................................26

4.1.2. Alur atau Plot............................................................................28

4.1.3. Latar atau Setting......................................................................34

4.1.4. Perwatakan...............................................................................39

4.2. Analisis Nilai-Nilai Sosisologi Terhadap Cerita Rakyat....................46

4.2.1. Sistem Kekerabatan..................................................................46

4.2.2. Tanggung Jawab........................................................................49

4.2.3. Tolong Menolong......................................................................51

4.2.4. Kasih Sayang............................................................................53

4.2.5. Pertentangan..............................................................................54

4.2.6. Religius atau Kepercayaan........................................................56

4.2.7.Kesehatan..........................................................................................58

4.2.8. Sistem Pengetahuan..................................................................60

4.2.9. Sistem Mata Pencaharian.........................................................62


4.2.10. Kesenian...................................................................................64

4.3. Pandangan Masyarakat.......................................................................66

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan........................................................................................72

5.2. Saran....................................................................................................74

DAFTAR PUSTAKA 76

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Sinopsis cerita dalam Bahasa Batak......................................78

Lampiran 2 : Sinopsis cerita dalam Bahasa Indonesia................................85

Lampiran 3 : Gambar Batu Debata Idup....................................................92

Lampiran 4 : Daftar Informan....................................................................95

Lampiran 5 : Daftar Pertanyaan.................................................................96

Lampiran 6 : Surat Penelitian.....................................................................97


BAB I

PENDAHULUA

1.1. Latar Belakang Masalah

Negara kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau yang

dihuni oleh berbagai suku, golongan, dan lapisan masyarakat. Mengingat hal itu

tentu menghasilkan berbagai budaya, adat istiadat dan karya sastra yang berbeda.

Karya sastra lahir karena adanya daya imajinasi yang di dalamnya terdapat

ide, pikiran, dan perasaan seorang pengarang yang berasal dari daerah yang

berbeda-beda. Daya imajinasi inilah yang mampu membedakan antara karya

sastra satu dengan karya sastra yang lainya.

Cerita rakyat merupakan suatu konvensi tersendiri dikalangan masyarakat

pemiliknya, karena dianggap sebagai refleksi dari kehidupan baik dari segi moral,

edukasi, ritual dan struktur sosialnya. Namun seperti diketahui pada umumnya

cerita rakyat yang ada pada berbagai etnis di Indonesia tidak diketahui siapa

pengarangnya.

Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu sastra lisan dan

sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampaiannya adalah disampaikan dari mulut

ke mulut yang merupakan warisan budaya yang turun-temurun dan mempunyai

nilai-nilai luhur yang perlu di kembangkan. Misalnya mitos, dongeng, cerita

rakyat (turi-turian), mantra (tabas) dan lain-lainnya.

Universitas Sumatera Utara


Kajian sastra lisan dapat memfokuskan pada dua golongan besar, yaitu :

1. Sastra lisan primer, yaitu sastra lisan dari sumber asli. Misalnya dari

pendongeng atau pencerita.

2. Sastra lisan sekunder, yaitu sastra lisan yang telah disampaikan

menggunakan alat elektronik.

Sastra lisan adalah karya yang penyebarannya dari mulut ke mulut secara

turun-temurun. Oleh karena penyebarannya dari mulut ke mulut, banyak sastra

lisan yang memudar karena tidak dapat bertahan. Seperti Batu Debata Idup

merupakan salah satu diantara banyaknya sastra lisan di kalangan masyarakat

Batak Toba.

Batu Debata Idup merupakan batu yang berbentuk sepanjang anak

manusia. Batu ini merupakan sumber pengetahuan pengobatan, pengobatan adalah

“mangidupi” memberi hidup dari acaman kematian karena penyakit, dahulu batu

ini dipercaya dapat mendatangkan kesusahan bila masyarakat desa tidak

memeliharanya dan akan membawa kesuburan bagi desa tersebut bila benar-benar

dipelihara serta dilestarikan.

Pada kesempatan ini penulis akan mengangkat kembali cerita legenda

Batu Debata Idup, untuk dijelaskan mengenai nilai-nilai sosiologi sastra dan

pandangan masyarakat sekitar tentang cerita Batu Debata Idup. Penelitian

terhadap cerita ini sangat minim meskipun ahli budaya pernah meneliti tentang

Batu Debata Idup di Desa Simangulampe, namun hanya sebatas deskripsi cerita

saja tidak mengkaji tentang nilai-nilai sosiologi sastra dan pandangan masyarakat

mengenai cerita Batu Debata Idup tersebut.


Oleh sebab itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji

nilai-nilai sosiologi sastra dan pandangan masyarakat tentang cerita Batu Debata

Idup di Desa Simangulampe. Penulis akan mengkaji cerita Batu Debata Idup dari

segi sosiologi sastranya, supaya penulis mengetahui nilai-nilai sosiologi dan

pandangan masyarakat terhadap cerita Batu Debata Idup di Desa Simangulampe.

1.2. Rumusan Masalah

Perumusan masalah sangat penting untuk pembuatan skripsi ini, karena

dengan adanya perumusan masalah maka deskripsi masalah akan terarah sehingga

hasilnya dapat dipahami dan dimengeri oleh pembaca. Masalah merupakan suatu

bentuk pertanyaan yang memerlukan penyelesaian atau pemecahan terhadap

masalah tersebut.

Berdasarkan batasan masalah di atas, penelitian ini mengkaji masalah

yang ada dalam cerita rakyat Batu Debata Idup yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Unsur-unsur intrinsik apa sajakah yang terdapat dalam cerita rakyat Batu

Debata Idup di Desa Simangulampe?

2. Nilai -nilai Sosiologi Sastra apa sajakah yang terdapat pada cerita rakyat

Batu Debata Idup di Desa Simangulampe?

3. Apa saja Pandangan masyarakat Desa Simangulampe terhadap cerita

rakyat Batu Debata Idup?


1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini berdasarkan

rumusan masalah yang dikemukakan di atas adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan unsur intinsik pada cerita Batu Debata Idup di Desa

Simangulampe.

2. Untuk Mendeskripsikan nila-nilai Sosiologi Sastra pada cerita rakyat Batu

Debata Idup di Desa Simangulampe.

3. Untuk mendeskripsikan pandangan masyarakat Desa Simangulampe

terhadap cerita rakyat Batu Debata Idup.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian di harapkan dapat menambah salah satu aspek kajian

sastra. Hasil penelitian ini juga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat khususnya

masyarakat Batak Toba. Berdasarkan latar belakang dan masalah yang

dikemukakan di atas, maka manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk mendokumentasikan cerita tersebut dan memberikan pemahaman

kepada masyarakat Baktiraja supaya tidak melupakan cerita rakyat Batu

Debata idup.

2. Memberikan pemahaman tentang unsur intrinsik dan nilai sosiologi sastra

serta menambah wawasan tentang fungsi sosial yang terdapat pada cerita

Batu Debata Idup


3. Menambah wawasan tentang fungsi sosial yang terdapat dalam cerita

tersebut.

4. Memberikan dorongan kepada para peneliti untuk memberikan perhatian

dalam penelitian budaya daerah Batak khususnya cerita rakyat.

5. Menunjang program pemerintah dalam upaya menggali, mengembangkan

dan melestarikan budaya daerah.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Kepustakaan yang Relevan

Pada penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari beberapa buku- buku

pendukung yang relevan. Buku-buku yang digunakan dalam pengkajian skripsi

ini adalah buku yang isinya memahami tentang sastra dan sosiologi. Namun,

selain daripada itu pengkajian skripsi ini juga digunakan sumber bacaan lainnya

yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Adapun buku-buku yang digunakan

adalah :

1. Ratna (2004) yang berjudul Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Buku ini menjelaskan tentang pemahaman teori dan cara kerja teori dalam

menganalisis objek. Kontribusi buku tersebut dalam penulisan proposal ini

adalah membantu penulis dalam memahami teori, sehingga memudahkan

penulis dalam menganalisis cerita rakyat Batu Debata Idup.

2. D. Damono (2005) yang berjudul Sosiologi Sastra Buku ini menjelaskan

tentang pemahaman kesusasteraan dengan masyarakat . Buku ini memberi

pemahaman tentang sosiologi sastra dengan sosial masyarakat melalui

sebuah karya sastra sehingga memudahkan penulis dalam menganalisis

nilai – nilai sosial yang terdapat pada cerita rakyat Batu Debata Idup.

3. Endraswara (2003) yang berjudul Metodologi Penelitian Sastra. Buku ini

menjelaskan tentang sasaran penelitian Sosiologi sastra , Fungsi sosial

sastra, dan sastra sebagai cermin masyarakat. Buku ini memberi

pemahaman tentang sastra sebagai cerminan masyarakat sehingga


memudahkan penulis untuk menganalisis pandangan masyarakat terhadap

objek karya sastra.

4. Nurgiyantoro (2007) yang berjudul Teori Pengkajian Fiksi. Buku ini

menjelaskan tentang unsur-unsur intrinsik pada sebuah karya sastra,

sehingga memudahkan penulis untuk memahami teori struktural untuk

menganalisis cerita rakyat Batu Debata Idup.

5. Purba (2015) dalam skripsinya yang berjudul Analisis Sosiologi Sastra

Terhadap Cerita Rakyat Aek Sipaulak Hosa. Skripsi ini membahas tentang

teori sosiologi sastra, unsur intrinsik dan nilai-nilai sisiologi sastra yang

terkandung dalam cerita rakyat Aek Sipaulak Hosa. Kontribusi skripsi

tersebut dalam penulisan proposal ini adalah membantu penulis dalam

memahami teori sosiologi sastra serta menemukan unsur intrinsik dan

nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam suatu legenda.

2.1.1. Pengertian Sastra

Sastra merupakan cabang seni, yaitu hasil cipta dan ekspresi manusia yang

estetis (indah). Seni sastra sama kedudukannya dengan seni-seni lainnya, seperti

seni musik, seni lukis, seni tari dan seni patung yang diciptakan untuk

menyampaikan keindahan kepada para penikmatnya. Namun demikian, sekalipun

tujuannya sama, dari aspek media penyampaian estetikanya, antara satu cabang

seni dengan seni yang lainnya itu berbeda. Seni musik keindahanya disampaikan

melalui media bunyi dan suara, seni lukis keindahannya disampaikan dengan

media warna, seni tari keindahannya disampaikan dengan media gerak, seni
patung keindahannya disampaikan melalui media pahatan, sedangkan seni sastra

keindahannya disampaikan dengan media bahasa. Dari sinilah, bahasa mempunyai

peran yang istimewa dalam sastra karena sastra mewujudkan dirinya dengan

bahasa, dan bahasa dalam perkembangannya juga di tentukan oleh sastra, yaitu

sastra melakukan eksplorasi kreativitas bahasa, baik dalam kata, frasa, klausa dan

kalimat yang tujuannya untuk mencapai aspek nilai estetis.

Definisi sastra juga banyak mengarah pada pengertian sastra ditinjau

secara etimologi, asal-muasal kata. Menurut (Teeuw 1988 :22) sastra sebagai hasil

cipta yang berupa “pikir” dan “rasa’ dalam bentuk artefak tulisan yang secara

general merupakan perwujudan budaya.

2.1.2. Pengertian Sosiologi

Sastra memiliki hubungan yang khas dengan sistem sosial dan budaya

sebagai basis penulisnya, maka sastra selalu hidup dan dipenuhi oleh masyarakat,

dan masyarakat sebagai disiplin ilmu dengan sosiologi sebagai disiplin ilmu

lainya. Secara lebih teknis, sosiologi adalah analisis mengenai struktur hubungan

sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial (Abercrombie, 2010 : 535).

Menurut (Faruk 2010 : 3) Sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang

masyarakat yang melandaskan pada tiga paradigma ; (1) paradigma fakta sosial

yang berupa lembaga-lembaga dan struktur sosial yang dianggap sebagai sesuatau

yang nyata, yang berada di luar individu; (2) paradigma definisi sosial yang

memusatkan perhatian kepada cara-cara individu dalam mendefinisikan situasi

sosial; (3) paradigma perilaku manusia sebagai subjek yang nyata.


Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi merupakan

disiplin ilmu tentang kehidupan masyarakat yang objek kajiannya mencakup fakta

sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial yang menunjukkan hubungan interaksi

sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan masyarakat sendiri adalah sekumpulan

manusia yang saling berinteraksi, memiliki adat istiadat, norma-norma, hukum,

serta aturan yang mengatur semua pola tingkah laku, terjadi kontinuitas dalam

waktu dan diikat dengan rasa identitas yang kauat mengikat warganya

(Koentjaraningrat, 2005: 121).

2.1.3. Pengertian Sosiologi Sastra.

Sosiologi sastra adalah penelitian yang berfokus pada masalah

kemanusiaan, karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia

untuk menentukan masa depannya berdasarkan imajinasi, perasaan dan antuisi

(Endaswara 2009 : 13)

Sosiologi sastra hakikatnya adalah interdisiplin antara sosiologi dengan

sastra, yang menurut (Ratna 2007 : 3) keduanya memiliki objek yang sama, yaitu

manusia dalam masyarakat. Akan tetapi, hakikat sosiologi dan sastra sangat

berbeda, bahkan bertentangabn secara diametral.

Sementara itu (Damono 2005 : 2) menjelaskan kecenderungan telaah

sosiologi dalam sastra adalah : Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada

anggapan bahwa sastra merupakan cermin proses sosial-ekonomis belaka.

Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra untuk membicarakan

sastra ; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar


sastra itu sendiri. Jelas bahwa pendekatan ini teks sastra tidak dianggap sebagai

objek yang utama, sastra hanya sebagai gejala kedua. Kedua, pendekatan yang

mengutamakan sastra sebagai bahan penelaahan. Metode ini yang dipergunakan

yaitu sosiologi sastra adalah analisis teks sastra untuk mengetahui strukturnya,

untuk kemudian dipergunakan untuk memahami lebih dalam lagi gejala sosial

yang ada dalam sastra.

Hubungan antara sastra dan sosiologi adalah sosiosastra yang

mempersentasekan hubungan interdisiplin yang masuk ke dalam rana sastra, yaitu

1. Pemahaman terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-

aspek kemasyarakatan.

2. Pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai dengan aspek-

aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalam.

3. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan

masyarakat yang melatarbelakanginya.

4. Hubungan dialektif antara sastra dengan masyarakat.

Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat

tiga perspektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra.

1. Penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang

didalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut

diceritakan.

2. Penelitian yang mengungkapkan sastra sebagai cermin situasi sosial

penulisnya.
3. Penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah

dan keadaan sosial budaya.

2.1.4. Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat adalah salah satu karya sastra yaitu berupa cerita yang lahir ,

hidup dan berkembang pada beberapa generasi dalam masyarakat tradisional, baik

masyarakat itu telah mengenal huruf atau belum, disebarkan secara lisan,

mengandung survival, bersifat anonim, serta disebarkan diantara kolektif tertentu

dalam kurun waktu yang cukup lama (Sisyono, dkk 2008:4).

Dalam KBBI 2005 : “Cerita rakyat atau legenda merupakan cerita pada

zaman dahulu yang dianggap ada hubungannya dengan peristiwa sejarah”.

2.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan hal yang sangat perlu didalam menganalisis suatu karya

sastra yang diajukan sebagai objek penelitian. Menurut (Siswoyo 2003 : 42)

“sebagai seperangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang

mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan

menerangkan hubungan antar variabel , dengan tujuan untuk menerangkan dan

meramalkan fenomena”. Berdasarkan penelitian ini, maka penulis menggunakan

teori struktural dan teori sosiologi sastra untuk mengkaji Cerita Rakyat Batu

Debata Idup.
2.2.1. Teori Struktural

Secara umum, teori utama dan terpenting yang dilahirkan atau yang

berinduk pada pendekatan objektif adalah teori strukturalisme. Secara etimologis,

kata struktur berasal dari bahasa latin structura yang berarti bentuk atau

bangunan. Asal usul teori struktural dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus

lagi dalam pembicaraan mengenai plot. Konsep plot harus memiliki ciri-ciri yang

terdiri atas; Kesatuan, keseluruhan, kebulatan dan keterjalinan (Ratna 2005 : 88).

Struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antar unsur

intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling memepengaruhi,

yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.

Pada skripsi ini penulis menggunakan teori struktural yang dipaparkan

oleh Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya yang berjudul teori pengkajian fiksi

untuk menelaah unsur-unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita Batu Debata

Idup. Nurgiyantoro (2007 : 38-38) menyatakan analisis struktural tidak cukup

dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya

tema, alur, latar/setting dan perwatakan/penokohan. Namun yang lebih penting

adalah menunjukkan bagaimana hubungan antar unsur itu, dan sumbangan apa

yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin

dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah

struktur yang kompleks dan unik, disamping setiap karya mempunyai ciri

kekompleksan dan keunikannya sendiri, dan hal inilah antara lain yang

membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain.


1. Tema

Tema merupakan dasar cerita atau gagasan umum dari sebuah novel

(Nurgiyantoro 2007: 67). Kenny (via Nurgiyantoro 2007: 67 ) menjelaskan bahwa

tema merupakan makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Berdasarkan dasar

cerita atau ide utama, pengarang akan mengembangkan cerita .

Penulis menyimpulkan bahwa tema adalah pokok persoalan atau pokok

pikiran ataupun pikiran utama pada suatu karya sastra yang diungkap oleh

pengarang.

2. Alur/ Plot

Plot merupakan hubungan antarperistiwa yang bersifat sebab akibat, tidak

hanya jalinan peristiwa secara kronologis (Nurgiyantoro 2007: 112). Stanton (via

Nurgiyantoro 2007: 113) juga berpendapat bahwa plot adalah cerita yang berisi

urutan kejadiann namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,

peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

Plot juga dapat berupa cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam

bertindak, berpikir, berasa, dan mengambil sikap terhadap masalah yang dihadapi.

Menurut Richard (via Nurgiyantoro 2007 : 149). Alur berkembang dari

awal hingga akhir. Dalam perkembangan menunjukkan tingkatan-tingkatan

tertentu, membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, yakni :

1. Tahap Situasi/ Situation

2. Tahap Pemunculan Konflik/ Generating Ciscumstances

3. Tahap Peningkatan Konflik/ Rising Action


4. Tahap Klimaks/ Climax

5. Tahap Penyelesaian/ Denouement

3. Latar/ Setting.

Menurut (Nurgiyantoro 2007 : 216) latar atau setting disebut juga sebagai

landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan

sosial tempat terjadinya peristiwa – peristiwa yang diceritakan.

Unsur-unsur latar menurut (Nurgiyantoro 2007 : 227) dapat dibedakan

menjadi tiga, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Berikut ulasan tentang unsur-unsur

latar tersebut.

a. Latar Tempat

Latar tempat adalah suatu unsur latar yang mengarah pada lokasi dan

menjelaskan dimana peristiwa itu terjadi. Bila latar tersebut termasuk latar

tipikal, akan disebutkan nama dari tempat tersebut.

b. Latar Waktu

Latar waktu merupakan unsur latar yang mengarah pada kapan terjadinya

suatu peristiwa di dalam sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro 2007: 230).

Waktu dalam latar dapat berupa masa terjadinya peristiwa tersebut

dikisahkan, waktu dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun,

dan lain sebagainya.

c. Latar Sosial

Latar sosial adalah latar yang menjelaskan tata cara kehidupan sosial

masyarakat yang meliputi masalah-masalah dan kebiasan-kebiasaan pada


masyarakat tersebut. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat

istiadat, tradisi, keyakinan, cara berpikir, dan lain sebagainya

(Nurgiyantoro 2007: 233).

4. Perwatakan/ Penokohan

Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan

karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu

dengan watak tertentu dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro 2007 : 165).

Perwatakan tokoh-tokoh dalam sebuah karya sastra ada beberapa watak :

a. Tokoh Protagonis

Tokoh yang dikagumi yang salahn satunya secara populer yang

merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi

pembaca/penikmat karya sastra.

b. Tokoh Antagonis

Tokoh penyebab terjadinya konflik, beroposisi dengan tokoh protagonis.

c. Tokoh Trigonis

Tokoh yang tidak memiliki sifat Protagonis dan Antagonis atau tokoh

yang berada diluar kedua tokoh/ pihak ketiga.

2.2.2. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra yaitu mempermasalahkan suatu karya yang menjadi pokok

permasalahan tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan

serta amanat yang hendak disampaikan.


Dalam menganalisis Cerita rakyat Batu Debata Idup, penulis

menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Ratna (Dalam

Nababan, 2004 : 339) model analisis karya sastra dalam kaitannya dengan

masyarakat dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu :

1. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya

sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang

pernah terjadi. Pada umumnya disebut juga aspek ekstrinsik, model

hubungan yang terjadi disebut refleksi.

2. Menemukan hubungan antar struktur dengan model hubungan yang

bersifat dialektika.

3. Menganalisis karya sastra dengan tujuan untuk memperoleh informasi

tertentu.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisis yang pertama yaitu

dengan (a) menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya

sastra itu sendiri dan (b) menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah

terjadi sebelumnya.

1) Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung didalam karya

sastra. Masalah sosial yang terkandung dalam karya sastra adalah unsur-

unsur budaya. Menurut Naibaho unsur-unsur budaya (Nababan 2016 : 22)

yaitu :

a. Unsur Sistem Sosial

Sistem sosial ini terdiri pada sistem kekeluargaan, sistem politik,

sistem pendidikan, dan sistem undang-undang. Struktur dalam setiap


sistem ini yang dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia

yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang

lain dalam jalinan hidup bermasyarakat.

b. Sistem Nilai dan Ide

Sistem nilai dan ide yaitu sistem yang memberi makna kepada

kehidupan masyarakat, bukan saja terhadap alam sekitar, bahkan juga

terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut

upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari yang

lain, sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan

yang terdapat dalam sebuah masyarakat.

c. Peralatan Budaya

Peralatan budaya yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan

peralatan yang diperlukan untuk menunjang keperluan.

d. Menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi atau latar

belakan sosial yang tergambar dalam karya sastra. Sosiologi karya

sastra yang mempermasalahkan tentang suatu karya yang kita jumpai

dalam kehidupan masyarakat sehari-hari serta memperhatikan

peristiwa-peristiwa yang merupakan proses kemasyarakatan yang

timbul dari hubungan manusia dengan situasi yang berbeda.

Sosiologi sastra yaitu mempermasalahkan tentang suatu karya sastra yang

dijumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan juga memperhatikan

peristiwa-peristiwa yang merupakan proses kemasyarakatan yang timbul dari

hubungan antara manusia dengan situasi dan kondisi yang berbeda.


Kenyataan atau latar belakang sosial yang tergambar dalam karya sastra

yakni :

1. Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam stuktur

sosial. Sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk

menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga

yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan.

2. Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah suatu kesadaran manusia akan tingkah laku atau

perbuatannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab

juga berarti berbuat sebagai wujudan dan perbuatannya.

3. Tolong Menolong

Tolong menolong adalah sikap saling membantu untuk meringankan

beban atau kesulitan orang lain dengan melakukan sesuatu. Bantuan yang

dimaksud dapat berbentuk bantuan tenaga, waktu maupun dana. Tujuan

dalam tolong menolong adalah menghasilkan keuntungan untuk pihak

lain.

4. Kasih Sayang

Kasih sayang adalah suatu perasaan cinta atau sayang dan akan

menunjukkan rasa perhatian yang mungkin akan berlebihan. Rasa kasih

sayang tak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan oleh individu tertentu yang

mempunyai perasaan itu, kasih sayang adalah suatu perasaan yang

menyenangkan.
5. Pertentangan

Pertentangan merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku

dalam berbagai keadaan akibat daripada timbulnya keadaan ketidak

setujuaan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih

pihak secara berketerusan.

6. Religi/Kepercayaan

Religi sebagai sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercaya dan

menjadi keyakinan secara mutlaka suatu umat beragama dan upacara-

upacara beserta pemuka-pemuka agama yang melaksanakannya. Sistem

religi mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan dunia gaib,

antara sesama manusia dengan lingkungannya yang dijiwai oleh suasana

kekerabatan oleh yang menganutnya.

7. Kesehatan

Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang produktif secara sosial dan ekonomis . upaya

kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.

8. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan merupakan ruang lingkup untuk mengetahui tentang

alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan sifat-sifat serta tingkah

laku sesama manusia hingga tubuh manusia. Sistem Pengetahuan timbul

karena keingin tahuan sesorang dalam sebuah objek.


9. Sistem Mata Pencaharian

Sistem mata pencaharian merupakan cara seseorang ataupun sekelompok

orang yang dilakukan sehari-hari guna untuk bertahan hidup ataupun

pemenuhan hidup baginya. Sistem mata pencaharian juga tingkat sebagai

usaha pemajuan otak manusia.

10. Kesenian

Kesenian merupakan keahlian membuat karya yang bermutu, seni meliputi

banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau

pertunjukan yang mengungkapkan imajinasi, gagasan untuk dihargai

keindahannya. Kesenian bisa berupa seni lukis, seni tari, seni panggung,

seni musik, seni ukir dll.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara yang dipergunakan untuk mendapatkan

data dan dapat memecahkan masalah yang diteliti, berdasarkan fenomena-

fenomena yang ada secara objektif (Pradopo 2003: 191).

Metode penelitian mencakup enam aspek yakni : Metode dasar, lokasi

penelitian, sumber data, instrument penelitian, metode pengumpulan data dan

analisis data.

3.1. Metode Dasar

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun oleh penulis maka pada

skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif sebagai metode untuk

menganalisis cerita rakyat Batu Debata idup.

Menurut (Sugiyono 2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah

suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu

hasil penelitian yang digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.

Dapat dikatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha

mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa yang terjadi pada saat sekarang atau

masalah aktual.

Pada penelitian ini penulis mendeskripsikan struktur dan susunan

sosiologis yang terdapat pada cerita rakyat Batu Debata idup pada masyarakat

etnik toba khususnya di daerah Baktiraja.


3.2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian disebutkan rencana tempat dan waktu dilaksanakannya

penelitian. Lokasi penelitian menurut (Iskandar 2008:219) adalah situasi dan

kondisi lingkungan tempat yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Penelitian terhadap skripsi ini dilakukan di Desa Simangulampe,

Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan. Dengan alasan lokasi

Batu Debata Idup terletak di daerah tersebut. Di daerah ini penulis akan mencari

dan menemukan informan supaya penulis dapat lebih mudah untuk

mengumpulkan data penelitian sesuai objek yang akan diteliti.

Daerah Desa Simangulampe ini juga merupakan daerah yang mudah

dijangkau dan mudah dilewati oleh banyak masyarakat, karena sudah adanya

transportasi dan jalan yang memudahkan penulis dalam meneliti objek tersebut.

3.3. Sumber Data Penelitian

Sumber data terkait dengan subjek penelitian darimananya data diperoleh.

Subjek penelitian sastra adalah teks-teks novel, cerita rakyat/ legenda, drama dan

puisi. Dalam skripsi ini adalah Cerita rakyat.

Sumber data menurut (Zuldafrial 2012:46) “adalah subjek dari mana data

dapat diperoeh”. Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah

subjek darimana data diperoleh yang terbagi atas dua bagian, yaitu :

1. Sumber Data Primer

Sumber data primer adalah sumber data data mentah yang diperoleh

dari lapangan dan belum pernah di analisis.


2. Sumber Data Sekunder

Sumber Data Sekunder adalah sumber data yang sudah pernah diteliti

dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya dari sudut pandang

orang lain.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis, menggunakan sumber data primer

berupa hal-hal yang mencakup keterangan nilai-nilai sosial dalam cerita rakyat

Batu Debata Idup di Kecamatan Baktiraja, Kabupaten Humbang Hasundutan.

3.4. Instrumen Penelitian

Instrumen berarti alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data , pada

penelitian ini instrumen yang digunakan adalah :

1. Alat Perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai

informan saat pengumpulan data sesuai dengan objek penelitian

2. Kamera yang digunakan untuk mengambil gambar dari objek

penelitian apabila saat melakukan penelitian upacara adat tersebut.

3. Alat tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat segala hal yang

dianggap penting yang diterima dari informan dan berhubungan

dengan objek penelitian guna menunjang kelengkapan data dalam

penyelesaian skripsi ini.

3.5.Metode Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang

dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian (Juliansyah Noor, 2011 :

138). Umumnya cara mengumpulkan data dapat menggunakan beberapa teknik,

yakni :
1. Metode Wawancara

Metode wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data

yang dilakukan berhadapan secara langsung dengan yang

diwawancarai tetapi dapat juga diberikan daftar pertanyaan dahulu

untuk dijawab oleh informan yang telah dipilih untuk memberikan

informasi yang mendukung objek cerita rakyat yang akan diteliti.

2. Metode Observasi

Metode kepustakaan adalah teknik yang menuntut adanya pengamatan

dari peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap

objek penelitian (Bungin 2007 : 115). Alasan peneliti menggunakan

observasi yaitu untuk menyajikan gambaran realistis, perilaku atau

kejadian.

3. Metode Kepustakaan

Metode kepustakaan adalah mengumpulkan data dengan membaca

buku-buku yang relavan untuk membantu menyelesaikan dan

melengkapi data yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

3.6. Metode Analisis Data

Analisis data merupakan serangkaian kegiatan yang terkait dengan

pengumpulan data , seperti redukasi data, penarikan kesimpulan serta

pengabsahan data kegiatan lainnya. Analisis dilakukan dengan pemaparan dalam

bentuk deskriptif terhadap masing-masing data secara fungsional dan relasional

(Miles dan Huberman 1984 : 21).


Untuk metode struktural dan teori sosiologi sastra, penulis menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Mengumpulkan dan menulis data yang diperoleh dari lapangan.

2. Data yang diperoleh dari lapangan kemudian diterjemahkan kedalam

Bahasa Indonesia.

3. Menganalisis data sesuai dengan Rumusan Masalah.

4. Mangaplikasikan hasil analisis tersebut kedalam laporan skripsi dan

memaparkannya dengan baik.

5. Membuat kesimpulan.
BAB IV

PEMBAHASA

4.1 Unsur-unsur Intrinsik Pada Cerita Batu Debata Idup.

4.1.1 Tema

Tema merupakan pokok pikiran atau gagasan utama yang terdapat atau

terkandung pada sebuah cerita. Tema juga merupakan gagasan umum yang

menopang sebuah karya sastra yang terkandung dalam karya sastra itu sendiri

yang menyangkut persamaan dan perbedaan.

Pada sebuah karya sastra harus memiliki tema yang merupakan sasaran

tujuan pada sebuah cerita. Sebuah karya sastra yang baik yang tertulis maupun

yang diungkapkan secara lisan pasti mengandung tema, karena sebuah karya

sastra pasti mempunyai pokok pikiran utama atau isi pembicaraan yang hendak

disampaikan kepada si pembaca ataupun si pendengar.

Didalam cerita Batu Debata Idup, Penulis menyatakan bahwa tema cerita

adalah: Batu yang diukir menyerupai bentuk manusia dan dijadikan menjadi

tempat penyembahan, batu itu disembah sebagai Dewa/Debata. Batu itu diberi

nama Debata Idup yang dimana juga dipercayai sebagai dewa pengobatan yang

mampu memberi hidup dari ancaman kematian.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Patung na di gorga nai di goari mai Debata Idup. Alai manjua do


Datu Pangabang di goar i ala di pingkiran na Debata Idup ima Dewa
Pangobatan.
Botul doi ninna Datu Sontang Banua “Debata Idup ima dewa ni ubat, jala
dang ubat, alai ditangan na adong ubat. Ibana ma bona ni parbinotoan ni
parubaton. Pangubaton ima ‘mangidupi’ mangalean ngolu sian angka
hamatean alani angka parsahiton.

Digorga Datu Pangabang ma sapulu parlapihan laho umbahen inganan

ni ubat na di pulungnai. Jala di pahat ibana ma tong batu sarupa songon

parlapihan inganan ni ubat i. Didok ma parlapihan i tu angka gelleng nai

Debata Idup jala batu i di goari Batu Debata Idup. Dipatorang Datu

Pangabang i ma tu angka gelleng na “Sude parlapihan on unang be di

bolongkon hamu manang di tiopi hamu, dohot batu na hu pahat on unang

be di parmeam-meam hamu. On ma na gabee batu si sombaon ta bahen

Debata ta”. Dang be disungkun manang aha, di olohon gelleng naima

jala dang hea be adong mangganggu pulungan ubat ni pandaoni i.”

Terjemahan:

“...Patung yang di ukir itu diberi nama Debata Idup. Akan tetapi Datu

Pangabang menolak pemberian nama itu karena Debata Idup adalah Dewa

Pengobatan. Benar, kata Datu Sontang Banua. “Debata Idup adalah dewa

obat, dan bukan obat, tapi ditangannya ada obat. Dia adalah sumber

pengetahuan pengobatan. Pengobatan adalah “mangidupi” memberi hidup

dari ancaman kematian karena penyakit”.

Datu Pangabang kemudian menempa 10 wadah penyimpanan bahan obat

racikannya dan juga mengukir batu membentuk persis seperti wadah

penyimpanan obat tersebut. Kepada anak-anaknya disebut itu Debata Idup

dan batu itu disebut Batu Debata Idup. Datu Pangambang menjelaskan

kepada anak-anaknya “Semua wadah ini jangan lagi kalian buang atau

kalian pegang, dan batu yang telah saya ukir ini jangan kalian main-
mainkan. Ini akan menjadi batu yang akan kita sembah sebagai dewa

kita” Tanpa bertanya panjang lebar, mereka mengiyakan dan tidak pernah

lagi terjadi gangguan terhadap bahan obat racikan sang tabib.

4.1.2 Alur / Plot

Alur atau plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit

orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara berbagai unsur fiksi

yang lain. Tanpa alur kita tidak akan tau bagaimana jalan cerita tersebut, apakah

alur maju, alur mundur atau alur bolak balik.

Alur atau plot dalam cerita Batu Debata Idup adalah sebagai berikut :

1. Tahap Situasi (Situation)

Pada tahap ini pengarang mulai melukiskan suatu keadaan. Tahap ini

merupakan tahap pembukaan cerita, pemberi informasi awal, dan lain-lain yang

terutama, berfungsi untuk melandas tumpui cerita yang dikisahkan pada tahap

berikutnya. Dalam bagian ini pengarang menceritakan tentang tambar dan taor

yang sudah di buat dan dikumpulkan oleh Datu Pangabang selalu dibuang oleh

anak-anaknya :

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Datu Pangabang ima sahalak pandaoni ni halak batak naung godang

ditanda halak. Tung mancai nunut do ibana mambahen angka pulungan ubat

laho mangobati angka sahit. Lao do ibana mandiori tu tombak, mambuat


angka ramba bulung, parbue ni hau, urat ni hau dohot lampak ni hau, di

papungu mai. Ima dibahen gabe ubat laho pamalumhon angka sahit ni jolma

na marsahit. Angka abak ni pulungan i ima nadigoari “tambar” dipabuni mai

dibagas parlapihan bulu. Sian angka mansam ni bulung-bulung dohot parbue

ni hau dohot pati ni angka urat ni hau, di pulung mai gabe dasor ni obat ima

digoari “taor” dipabuni mai di parlapihan ni bulu dohot dibagas ni hudon

tano. Ala pandaoni na baru dope, tontu ibana sai lalap dope mambhen hobim

sian angka na dapot na laho mambahen angka pulungan na lebih mangkan

mangobati angka sahit.”

Terjemahan :

“...Datu Pangabang seorang tabib batak yang mulai populer. Dia sangat ulet

melakukan penelitian bahan obat untuk berbagai penyakit yang ditemukannya.

Dia pergi ke hutan menjelajah, beragam tanaman, akar kayu dan kulitnya

dikumpulkan. Semua itu dikumpulkan kemudian itu dijadikan menjadi ramuan

obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita orang lain. Hasil

racikannya kemudian disebut “tambar” disimpan dalam wadah sederhana.

Dari beragam dedaunan dan buah serta sari pati akar-akaran kemudian diracik

menjadi bahan dasar obat cair yang disebut “taor”. Disimpan dalam wadah

bambu dan periuk tanah. Sebagai tabib pemula, tentu saja dia masih tetap

melakukan evaluasi dari setiap penemuannya untuk mendapatkan bahan yang

lebih ampuh mengobati penyakit tertentu.”


2. Tahap Pemunculan Konflik (Generating Circumstances)

Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik itu sendiri dan konflik itu

sendiri akan berkembang dan atau akan dikembangkan menjadi konflik-konflik ke

tahap berikutnya. Pada peristiwa selanjutnya mulai bergerak dimana ketika

Rumintang membuang ramuan obat .

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Jotjot do diremengi among nai si Rumintang ala torus pasisihon masam ni

angka pulungan na di peangkon di maribar inganan ni jabu. Tingki si

Rumintang padengganhon asa denggan di inganan na asing pikkirna. Momar

ma Datu Pangabang , dirimpu ibana nunga dibolongkon boru nai sude angka

pulungan i ala dirimpu si Rumintang i sude raup-raup.”

Terjemahan :

“Rumintang sering sekali kena dampratan ayahandanya karena sering

mengasingkan ragam bahan obat yang terletak sembarangan di ruangan

rumah. Ketika Rumintang hendak ingin menata lebih rapi di lain

tempat,pikirnya. Datu Pangabang kebingungan, dia menyangka bahan itu

dibuang putrinya karena Rumintang menganggap semua itu adalah sampah.”

3. Tahap Peningkatan Konflik (Rising Action)

Tahap peningkatan konflik, konflik yang telah dimunculkan pada tahap

sebelumnya semakin berkembang dan di kembangkan kadar intensitasnya.


Keadaan pada cerita ini mulai memuncak ketika ramuan obat Datu Pangabang

tidak lagi ada ditempat penyimpanannya.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita:

“...Disada tingki jimburma muruk ni Datu Pangabang i tu si Rumintang.

Didok ma “didia pulungan ni ubat na hupeakhon di bagas ni bulu on.

Boasa dang dison be? Ise mambuat?”

Dilausi borunai ma “jadi nadibagasan ni bulu i, pulungan ni ubat ni among

do hape? Hurippu do dang pulungan ni ubat i, makana hubolonghon tingki

paias jabu au”. Tingki i paias para-para dohot telate ni jabu batak, inganan

ni nasida tinggal. Dapot ni ibana ma buntalan ni bulung pisang na marisi

songon hirta ni coklat naung marbirong di bagas ni hudon. Dirimpu ibana

mai sambal na lupa di pangan jala naung basi, jadi di bolongkon ibana.

Tung so dirimpu ibana doi “tambar” pulungan ni ubat na laho mangubati

sahit sampu-sampu.”

Terjemahan :

“...Suatu ketika, Datu Pangabang benar-benar kecewa dan marah kepada

Rumintang. Dan berkata “dimana ramuan obat yang kuletakkan di dalam

bamboo ini, kenapa tidak lagi disini? Siapa yang mengambil?”

Kemudian putrinya menjawab “Apakah yang didalam periuk itu ramuan obat

ayah? Saya pikir itu bukan ramuan obat, sehingga saya sudah membuangnya

saat saya membersihkan rumah.” Saat itu Rumintang melakukan

pembersihan langit-langit rumah dan talete rumah batak tempat mereka


tinggal. Dia menemukan bungkusan daun pisang berisi benda seperti kotoran

coklat kehitaman didalam periuk. Dia menyangka itu adalah sambal yang lupa

dimakan dan tentu saja sudah basi. Dia membuangnya. Samaselaki dia tidak

menduga benda itu adalah “tambar” hasil racikan ayahnya yang terbaru obat

penyakit sampu-sampu.”

4. Tahap Klimaks (Climax)

Tahap klimaks, konflik dan atau pertentangan yang terjadi yang dilakukan

atau ditimpakan kepada para tokoh cerita mencapai titik intensitas puncak.

Peristiwa mencapai puncak ketika Datu Pangabang sudah sangat marah.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Tung mancai muruk hian do Datu Pangabang tu si Rumintang, umbahen

muruk among nai alani ubat i na dilului do i marbulan-bulan sian tombak na

maol hian didalani jala maol dimasuki angka jolma. “Nunga tung mancai

loja situtu au mangalului angka pulungan i sian angka harangan na lomak,

boasa ingkon bolongkonon mu i” ninna Datu Pangabang ma mamuruki boru

nai. Alai dibahen Datu Pangabang ma muse mangatasi halensen ni si

Rumintang, di bahen Datu Pangabang ma parlapihan sian bulu. Tubagas ni

bulu i ma di pamasuk pulungan ni ubat i, di tutup Datu Pangabang ma ujung

ni bulu i dohot lampak ni gaol jala di ikat mai gomos.”

Terjemahan:

“...Datu Pangabang betul-betul sangat marah kepada putrinya Rumintang.

Yang membuat dia marah karena ramuan obat yang dibuang Rumintang itu
dicari berbulan-bulan lamanya dari hutan yang sulit dimasuki orang-orang .

“Saya sudah terlalu lelah mencari semua ramuan itu dari hutan yang rimbun

yang sulit di jelajah oleh banyak orang, kenapa kamu harus membuang itu?”

Ucapnya dengan nada memarahi Rumintang. Kemudian Datu Pangabang

membuat wadah dari bambu, kedalam bambu itulah ramuan obat tersebut di

masukkan. Datu pangabang kemudian menutupnya dengan pelepah pisang dan

mengikatnya dengan kuat.”

5. Tahap Penyelesaian (Denouement)

Tahap penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar.

Pada tahap penyelesaian ini Datu Sontang Banua memberi penjelasan kepada

putrinya Rumintang.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Jadi dipatorang among nai ma tu boru nai “parlapian ni bulu on gabe

inganan ni pulungan ni ubat, unang be dibolongkon manang di papinda tu

inganan na asing, jala unang diparmeam-meam manang ditiopi hamu molo

sosian parbinotoan hu” “Olo among” ninna si Rumintang ma mangalusi, jala

si Rumintang pe nunga mangantusi.”

Terjemahan :

“...Kemudian ayahnya menjelaskan kepada putrinya itu “ Wadah bambu ini

akan menjadi tempat ramuan obat, maka jangan dibuang lagi atau dipindahkan ke

tempat lain dan jangan dimainkan atau pun dipegang tanpa sepengetahuan ayah.”

“baik ayah” kata Rumintang, dan tentu Rumintang sudah mengerti.”


4.1.3 Latar atau
Setting

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada

pengertian tempat, hubungan waktu sejarah dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting adalah tempat

berlangsungnya peristiwa dalam suatu cerita atau tempat kejadian yang terdapat

dalam sebuah karya sastra. Latar bukan hanya merupakan daerah atau tempat,

namun waktu, peristiwa penting dan bersejarah. Dengan mengetahui dan

memahami latar dalam sebuah karya sastra yang dituangkan menjadi cerita akan

memudahkan pembaca untuk memahami latar dalam sebuah karya sastra yang

dituangkan dalam bentuk cerita.

Latar tempat dalam cerita rakyat ini adalah terjadi di Baktiraja. Cerita ini

terjadi di Huta Godang, terletak di Desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja

Kabupaten Humbang Hasundutan.

Dalam cerita Batu Debata Idup ini terdapat tiga latar, yaitu :

1. Latar Tempat

2. Latar Waktu

3. Latar Sosial

1. Latar Tempat

Latar tempat menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya sastra. Cerita Batu Debata Idup ini dilatarkan pada 3 tempat

yakni : Sawah, Huta Goduk, Huta Godang dan Simangulampe.


Latar tempat di Sawah dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Disada tingki, manggorai ma among nai sian balian manjou si Togap na

marmeam diparmahanan. Disuruh among nai ma si Togap mangalului bulu

laho mambahen ponot dalan ni aek di balian.”

Terjemahan :

“...Suatu ketika, ayahnya berteriak dari sawah memanggil Togap yang asik

bermain di penggembalaannya tidak jauh dari ayahnya bekerja. Dia minta agar

Togap sudi mencarikan sepotong bambu untuk digunakan saluran air di

pematang sawah.”

Latar tempat di Huta Goduk terdapat pada sinopsis cerita :

“...Di sada tingki naeng papindahon huta ma Datu Pangabang, di tingki i

huta maringanan di robean manang dolok-dolok huta i di goari mai Huta

Sigoduk, naeng di papindah ma i tu toru dolok. Disiala tingki najolo dope

halak batak maringanan manang marhuta di ginjang ni robean do.”

Terjemahan :

“...Namun pada suatu waktu Datu Pangambang ingin memindahkan

perkampungan yang saat itu masih berada diatas gunung dimana

perkampungan itu disebut dengan Huta Sigoduk, dan ingin memindahkannya

ke kaki gunung. Kerena pada zaman dahulu masyarakat batak bermukim di

atas gunung.”
Latar Tempat di Huta Godang terdapat sinopsis cerita :

“...Ditingki mangalandas huta, di papindah ma Batu Debata Idup i, dibahen

ma batu i di harbangan ni huta na di landas nai. di goari ma huta i “huta

godang”. Na papindahon batu i ima Datu Sontang Banua, di papindah sian

dolok-dolok i tu huta godang.”

Terjemahan :

“...Pada saat ingin merintis atau membuat perkampungan baru, Batu Debata

Idup tersebut dipindahkan. Kemudian Batu tersebut diletakkan di pintu

masuk desa yang baru dirintis. Desa itu diberi nama dengan nama Huta

Godang. Yang berperan dalam pemindahan batu tersebut adalah Datu Sontang

Banua. Datu Sontang Banua memindahkannya dari gunung perkampungan

awal ke Huta Godang.”

Latar Tempat di Simangulampe terdapat sinopsis cerita:

“...Na papindahon batu i ima Datu Sontang Banua, di papindah sian dolok-

dolok i tu huta godang. Huta i sahat tu nuaeng di ingani masyarakat

simangulampe. Tingki i huta Simangulampe tano kosong do naso di ingani

jolma dope, didok najolo i tao toba di ninna i, alai lam marsik ma tao i gabe

mambahen tano kosng ma bogas i, laos di landas ma huta simangulampe disi.

Di peangkon ma Batu Debata Idup i di harbangan ni huta godang.”


Terjemahan:

“...Datu Sontang Banua memindahkannya dari gunung perkampungan awal ke

Huta Godang. Desa yang sampai saat ini masih di huni Masyarakat

Simangulampe. Dimana dulunya desa Simangulampe merupakan tanah tidur

yang sama sekali belum pernah disentuh oleeh manusia, konon katanya dahulu

desa tersebut masih merupakan genangan Danau Toba, akan tetapi semakin

surutnya Danau Toba membuat tanah itu menjadi kosong. Batu Debata Idup

diletakkan tepat di pintu masuk desa Huta godang.”

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Latar yang terdapat pada

cerita ini menunjukkan suatu peristiwa pada zaman itu.

Latar waktu terjadi pada pagi hari yakni ketika Datu Sontang Banua

memindahkan batu tersebut kemudian menyembahnya :

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Di sada tingki di parnaik ni mata niari, dung di paindah Batu Debata Idup

i tu harbangan ni huta, marpangidoan ma Datu Sontang Banua. Marsomba

ma ibana tu Batu Debata Idup i. “Diharbangan ni huta on ma ho dipeakhon,

ho ma nagabe manjaga huta on, padao ma huta on sian angka parmaraan na

naeng mancoba ro manegai huta on. Ho ma na gabe Debata si sombaon di

huta on” ninna Datu Sontang Banua.”


Terjemahan :

“...Pada suatu hari saat ketika matahari mulai terbit, setelah Batu Debata Idup

itu dipindahkan ke pintu masuk perkampungan, Datu Sontang Banua

kemudian membuat permintaan. Dia menyembah Batu Debata Idup itu

“Engkau diletakkan dipintu masuk ini, engkaulah yang menjadi penjaga

perkampungan ini, jauhkan dari marabahaya yang hendak mencoba

mendatangi perkampungan ini, engkaulah yang akan menjadi dewa sebagai

tempat penyembahan di perkampungan ini” ucap Datu Sontang Banua.”

3. Latar Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam suatu karya

sastra. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam

lingkup yang cukup kompleks yaitu berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

spritual dan lain sebagainya. Latar sosial yang menyebabkan terjadinya cerita ini

adalah keberadaan Batu Debata Idup yang dipercayai dapat membawa berkat bagi

masyarakat di perkampungan itu.

Hal ini dapat dilihat dalam kutipan cerita :

“...Dung di papindah batu i tu harbangan ni Huta Godang, molo marsoma

marpangidoan, di haporseai ma batu i boi manjaga huta i, manjaga sian

halisunsung, ronggur manang sillam, banjir dohot sian angka jolma na ro

laho mambahen hajahaton tu huta i. Alai molo dang di somba be batu i, na

jolo di haporseai ma gabe mambahen hasusaan tu angka parhuta

godang,
songon angka suansuanan dang be marparbue, dang adong be si panenon na

mambahen haleon tu angka parhuta i.”

Terjemahan :

“...Setelah dipindahkan ke pintu masuk Huta Godang, Batu Debata Idup jika

disembah dipercayai dapat menjaga perkampungan tersebut, menjaga dari

angin putting beliung, petir besar, banjir dan orang orang yang dating untuk

berbuat jahat ke perkampungan tersebut. Namun jika batu tersebut tidak lagi

disembah maka dipercayai dapat mendatangkan kesusahan bagi masyarakat

desa Huta Godang, seperti tanam-tanaman tidak lagi mempunyai hasil panen

sehingga membuat masyarakat desa mengalami kelaparan.”

4.1.4 Perwatakan

Perwatakan dapat disebut juga sebagai penokohan. Perwatakan dapat

digambarkan secara langsung dan tidak langsung dari tokoh-tokoh cerita

Batu Debata Idup. Perwatakan dalam cerita Batu Debata Idup ini dapat

dibagi berdasarkan sifat-sifat tokoh dalam cerita :

1. Datu Pangabang

2. Datu Sontang Banua

3. Rumintang

4. Togap Pangalapan
Skripsi ini akan membahas watak-watak tokoh cerita Batu Debata Idup yang

sangat mendasar dalam cerita.

1. Datu Pangabang

Datu pangabang merupakan pemeran utama dalam cerita Batu Debata Idup.

Datu Pangabang merupakan ayah daripada Rumintang dan Togap Pangalapan dan

juga merupakan murid dari Datu Sontang Banua yang mempunyai sifat yang

sangat ulet, dia peduli dengan orang-orang yang memiliki penyakit.

Watak dari Datu Pangabang ini dapat dilihat dari kutipan berikut :

“...Datu Pangabang ima sahalak pandaoni ni halak batak naung godang

ditanda halak. Tung mancai nunut do ibana mambahen angka pulungan ubat

laho mangobati angka sahit. Lao do ibana mandiori tu tombak, mambuat

angka ramba bulung, parbue ni hau, urat ni hau dohot lampak ni hau, di

papungu mai. Ima dibahen gabe ubat laho pamalumhon angka sahit ni jolma

na marsahit.”

Terjemahan :

“...Datu Pangabang seorang tabib batak yang mulai populer. Dia sangat ulet

melakukan penelitian bahan obat untuk berbagai penyakit yang ditemukannya.

Dia pergi ke hutan menjelajah, beragam tanaman, akar kayu dan kulitnya

dikumpulkan. Semua itu dikumpulkan kemudian itu dijadikan menjadi ramuan

obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita orang lain.”


2. Datu Sontang Banua

Datu Sontang Banua merupakan guru yang telah mengajari Datu Pangabang.

Datu Sontang Banua mempunyai sifat yang baik dan bertanggung jawab, dia

menjelaskan tentang apa yang di kesalkan oleh Datu Pangabang.

Watak Datu Sontang Banua dapat dilihat pada kutipan cerita.

“...Ditogihon Datu Sontang Banua ma ibana tu bagas ni jabu. Dipatudu

ma sude angka inganan ni pulungan ni ubat na binahen na i. Adong mai

hira-hira dua puluh inganan na margorga sian hau. Ala songon gorga do,

dirimpu mai mare-mare ni jabu, umbahen dang di tiopi pangisi ni jabu i,

gabe aman ma ubat na adong di bagas i.

Patung na di gorga nai di goari mai Debata Idup. Alai manjua do Datu

Pangabang di goar i ala di pingkiran na Debata Idup ima Dewa

Pangobatan.

Botul doi ninna Datu Sontang Banua “Debata Idup ima dewa ni ubat, jala

dang ubat, alai ditangan na adong ubat. Ibana ma bona ni parbinotoan ni

parubaton. Pangubaton ima ‘mangidupi’ mangalean ngolu sian angka

hamatean alani parsahitan.”

Terjemahan :

“...Datu Sontang Banua mengajak rekannya itu naik kerumah. Dia

menunjukkan susunan benda tempat penyimpanan bahan obat yang

dibuatnya. Ada sekitar duapuluh benda berukir yang terbuat dari kayu.
Dengan bentuk berukir itu, kesannya menjadi hiasan sehingga seisi rumah

tidak mengusiknya. Amanlah bahan obat yang ada didalamnya.

Patung mini itu disebutnya Debata Idup. Akan tetapi Datu Pangabang

menolak pemberian nama itu karena Debata Idup adalah Dewa

Pengobatan.

Benar, kata Datu Sontang Banua. “Debata Idup adalah dewa obat, dan

bukan obat, tapi ditangannya ada obat. Dia adalah sumber pengetahuan

pengobatan. Pengobatan adalah “mangidupi” memberi hidup dari ancaman

kematian karena penyakit”.

3. Rumintang

Rumintang merupakan putri dari Datu Pangabang , Rumintang memiliki sifat

atau watak yang rajin dan juga baik. Rumintang juga merupakan sosok yang

penurut.

Watak Rumintang dapat dilihat pada kutipan cerita :

“...Rumintang ima sada anak boru na marbaju na torus paiashon dohot

padenggan bagas ni jabu. Boru ni Datu Pangabang do ibana, jotjot do di

remengi among nai ibana ala torus pasisihon masam ni pulungan na di

peangkon di maribar inganan ni jabu. Tingki si Rumintang padengganhon

asa denggan di inganan na asing. Momar ma Datu Pangabang dirimpu

ibana nunga di bolongkon boru nai pulungan i ala dirimpu raup-raup.

Disada tingki jimbur ma muruk ni Datu Pangabang I tu si Rumintang,


didok ma “didia pulungan ni ubat na hupeakhon dibagas ni hudon on,

boasa dang dison be? Ise hamu mambuat?”

Dialusi boru nai ma “jadi na dibagas hudon i pulungan ni obat ni among

do? Hurimpu dang pulungan ni ubat I, umbahen hubolongkon tingki paias

jabu au”. Tingki I paias para-para dohot telate ni sopo manang jabu

batak ma si Rumintang, inganan ni nasida I tinggal. Dapot ni ibana ma

buntalan ni bulung pisang na marisi songon hirta ni coklat naung

marbirong dibagas hudon. Dirimpu ibana mai sambal na lupa dipangan

jala na naung basi. Jadi dibolongkon ibana, tung so dirimpu ibana doi

tambar pulungan ni ubat na laho mangubati sahit sampu-sampu.”

Terjemahan :

“...Rumintang adalah seorang gadis menanjak remaja yang mulai aktif

melakukan penataan sisi rumah. Dia adalah putri Datu Pangabang. Dia sering

kena dampratan ayahandanya karena sering mengasingkan ragam bahan obat

yang terletak sembarangan di ruangan rumah. Ketika Rumintang menata lebih

rapi di lain tempat, Datu Pangabang kebingungan. Dia menyangka bahan itu

dibuang anaknya karena dianggap sampah. Suatu ketika, Datu Pangabang

benar-benar kecewa dan marah kepada Rumintang. Dan berkata “dimana

ramuan obat yang kuletakkan di dalam bamboo ini, kenapa tidak lagi disini?

Siapa yang mengambil?”

Kemudian putrinya menjawab “Apakah yang didalam periuk itu ramuan obat

ayah? Saya pikir itu bukan ramuan obat, sehingga saya sudah membuangnya
saat saya membersihkan rumah.” Saat itu Rumintang melakukan

pembersihan langit-langit rumah dan talete rumah batak tempat mereka

tinggal. Dia menemukan bungkusan daun pisang berisi benda seperti kotoran

coklat kehitaman didalam periuk. Dia menyangka itu adalah sambal yang lupa

dimakan dan tentu saja sudah basi. Dia membuangnya. Samaselaki dia tidak

menduga benda itu adalah “tambar” hasil racikan ayahnya yang terbaru obat

penyakit sampu-sampu.”

4. Togap Pangalapan

Togap Pangalapan merupakan putra dari Datu Pangabang yang juga

merupakan adik Rumintang. Togap Pangalapan merupakan anak yang penurut dan

cerdas.

Watak Togap Pangalapan dapat dilihat dari kutipan cerita :

“...Togap Pangalapan ima sahalak baoa na bijak jala na ligat. Ibana ito ni si

Rumintang na marumur ualu taon. Dang mangantusi dope ibana di

hadengganon ni bagas jabu, tarlumobi ma di pandaoni ni among nai. Ullomo

do rohana marmahan horbo, marmeam dohot angka dongan na dibalian.

Disada tingki, manggorai ma among nai sian balian manjou si Togap na

marmeam diparmahanan. Disuruh among nai ma si Togap mangalului bulu

laho mambahen ponot dalan ni aek di balian. “amang boi do luluan mu bulu?

Asa tabahen majo ponot dalan ni aek di balian” ninna among nai. Dang

apala disungkun didia, si Togap langsung marlojong tu huta mangalului bulu

na didok ni among nai. Nunga loja be si Togap, di taba bulu alai dang tolap
na, dang adong muse bulu naung maruppak dapotsa. Jadi di ingot ibana ma

di hombung ni jabu na adong sada bulu peak, lao ma ibana marlojong tu

jabuna jala di bereng ma bului, dibereng ma isi na “bumbu ni juhut” na

naung leleng dang di allang ima pikkiran na.”

Terjemahan :

“...Togap Pangalapan adalah seorang lelaki cerdas dan lincah. Dia adalah adik

Rumintang yang berusia delapan tahun. Kurang peduli pengaturan seisi rumah

apalagi ketabiban ayahnya. Di lebih gemar menggembala kerbau sambil

bermain dengan teman sebayanya di sawah dan ladang. Suatu ketika, ayahnya

berteriak dari sawah memanggil Togap yang asik bermain di

penggembalaannya tidak jauh dari ayahnya bekerja. Dia minta agar Togap

sudi mencarikan sepotong bambu untuk digunakan saluran air di pematang

sawah. “anakku, bisa kah kamu mencarikan sepotong bambu? Supaya kita

membuatkan saluran air disini” Tanpa tanya apa dan dimana, Togap langsung

berlari menuju perkampungan mencarikan bambu dimaksud. Togap

kewalahan, menebang bambu tidak mampu, bambu yang tumbang tidak

ditemukan. Dia teringat disamping hombung di rumahnya ada terletak

potongan bambu. Dia langsung menuju rumah dan memeriksa bambu itu,

ternyata isinya “bumbu masakan” yang sudah lama tidak dimakan, begitu

pikirnya.”
4.2 Analisis Nilai-Nilai Sosiologi Sastra pada Cerita Rakyat Batu Debata

Idup.

Berdasarkan tinjauan dan unsur-unsur intrinsik di atas, dapat lah dianalisis

nilai-nilai sosiologis cerita Batu Debata Idup dengan menggunakan pendekatan

sosiologis tanpa menghilangkan konteks sastra karena tidak terlepas dari unsur-

unsur karya sastra tersebut.

Karya sastra ini lebih menekankan pada pembahasan nilai-nilai sosiologis

maka objek bahasannya adalah interaksi daripada tokoh-tokoh dalam cerita

tersebut sehingga menghasilkan nilai-nilai sosiologis yang terdapat dalam karya

itu sendiri.

4.2.1 Sistem Kekeraban

Kekerabatan pada masyarakat batak memiliki dua jenis, yaitu : a)

kekerabatan yang berdasarkan pada garis keturunan dan b) geneologis yang

berdasarkan pada sosiologi. Semua suku Batak memiliki marga, inilah yang biasa

disebut dengan garis keturunan. Kekerabtan merupakan pihak yang dekat kepada

seseorang setelah keluarga sendiri, untuk itulah menjalin hubungan baik dengan

kerabat menjadi sangat penting. Dalam cerita Batu Debata Idup sistem

kekerabatan sangat terlihat jelas dari Datu Pangabang yang memiliki dua orang

anak yaitu : Rumintang dan Togap Pangalapan. Datu Pangabang juga merupakan

murid dari Datu Sontang Banua, inilah yang menjelaskan sistem kekerabatan yang

terdapat pada cerita Batu Debata Idup tersebut.


Hal ini dapat dilihat pada kutipan cerita :

“...Rumintang ima sada anak boru na marbaju na torus paiashon dohot

padenggan bagas ni jabu. Boru ni Datu Pangabang do ibana.”

“...Togap Pangalapan ima sahalak baoa na bijak jala na ligat. Ibana ito

ni si Rumintang na marumur ualu taon.”

“. . .Datu Sontang Banua ima pandaoni naung tarbarita di huta i, inganan

ni Datu Pangabang. Sian pandaoni bolon on do Datu Pangabang

mandapot godang parbinotoan.”

“...Dipatorang Datu Pangabang i ma tu angka gelleng na “Sude

parlapihan on unang be di bolongkon hamu manang di tiopi hamu, dohot

batu na hu pahat on unang be di parmeam-meam hamu. On ma na gabee

batu si sombaon ta bahen Debata ta”.

Terjemahan :

“...Rumintang adalah seorang gadis menanjak remaja yang mulai aktif

melakukan penataan sisi rumah. Dia adalah putri Datu Pangabang.”

“....Togap Pangalapan adalah seorang lelaki cerdas dan lincah. Dia adalah

adik Rumintang yang berusia delapan tahun.”

“....Datu Sontang Banua adalah tabib tersohor ni negeri dimana Datu

Pangabang berada. Dari tabib tua ini pula dia banyak mendapatkan ilmu

pengetahuan.”
“...Datu Pangambang menjelaskan kepada anak-anaknya “Semua wadah

ini jangan lagi kalian buang atau kalian pegang, dan batu yang telah saya

ukir ini jangan kalian main-mainkan. Ini akan menjadi batu yang akan

kita sembah sebagai dewa kita”

Kutipan diatas menunjukkan bahwa hubungan darah tetap selalu ada pada

masyarakat Batak khususnya Batak Toba. Batak Toba merupakan salah satu

prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang dalam kelompok sosial,

peran, kategori dan silsilah. Dalam cerita Batu Debata Idup sangatlah terlihat jelas

dimana Datu Pangambang memiliki dua keturunan dan satu guru yang merupakan

kekerabatan melalui kelompok sosial yang merupakan sama sama masyarakat

1. Rumintang yang merupakan putri dari Datu Pangabang yang mulai

beranjak dewasa. Rumintang merupakan darah daging dari Datu

Pangabang, inilah yang merupakan kekerabatan sedarah.

2. Togap Pangalapan yang merupakan Putra dari Datu Pangabang yang rajin

serta lincah. Togap juga merupakan darah daging dari Datu Pangabang,

dimana seorang anak merupakan garis keturunan paling penting pada

masyarakat batak, khususnya Batak Toba karena anaklah yang akan

membawa silsilah kekerabatan hingga ke keturunan berikutnya melalui

marga dari ayahnya.

3. Datu Sontang Banua yang merupakan Guru yang telah mengajari Datu

Sontang Banua banyak ilmu. Kekerabatan antara Datu Sontang Banua dan

Datu Pangabang merupakan sistem kekrabatan yang berasal dari sesama


masyarakat yang dimana sistem kekrabatan ini di sebut dengan sistem

kekerabatan sosial.

4. Juga serta Datu Pangabang yang membuat Batu Debata Idup sebagai

pedoman untuk disembah oleh masyarakat huta godang. Sistem

kekerabatan yang terdapat pada Datu Pangabang dimana dia membuat

batu tempat penyembahan untuk masyarakat.

4.2.2 Tanggung Jawab

Tanggung jawab adalah suatu kesadaran manusia akan tingkah laku atau

perbuatannya baik disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab merupakan

sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang

seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat dan lingkungan (alam,

sosial, dan budaya, negara dan Tuhan Yang Maha Esa). Tanggung jawab juga

berarti berbuat sebagai wujutan atas perbuatannya . Sebagai Guru Datu Sontang

Banua memberi penjelasan tentang Debata Idup.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

“...Ditogihon Datu Sontang Banua ma ibana tu bagas ni jabu. Dipatudu

ma sude angka inganan ni pulungan ni ubat na binahen na i. Adong mai

hira-hira dua puluh inganan na margorga sian hau. Ala songon gorga do,

dirimpu mai mare-mare ni jabu, umbahen dang di tiopi pangisi ni jabu i,

gabe aman ma ubat na adong di bagas i.


Patung na di gorga nai di goari mai Debata Idup. Alai manjua do Datu

Pangabang di goar i ala di pingkiran na Debata Idup ima Dewa

Pangobatan.

Botul doi ninna Datu Sontang Banua “Debata Idup ima dewa ni ubat, jala

dang ubat, alai ditangan na adong ubat. Ibana ma bona ni parbinotoan ni

parubaton. Pangubaton ima ‘mangidupi’ mangalean ngolu sian angka

hamatean alani parsahitan.”

Terjemahan :

“...Datu Sontang Banua mengajak rekannya itu naik kerumah. Dia

menunjukkan susunan benda tempat penyimpanan bahan obat yang

dibuatnya. Ada sekitar duapuluh benda berukir yang terbuat dari kayu.

Dengan bentuk berukir itu, kesannya menjadi hiasan sehingga seisi rumah

tidak mengusiknya. Amanlah bahan obat yang ada didalamnya.

Patung mini itu disebutnya Debata Idup. Akan tetapi Datu Pangabang

menolak pemberian nama itu karena Debata Idup adalah Dewa

Pengobatan.

Benar, kata Datu Sontang Banua. “Debata Idup adalah dewa obat, dan

bukan obat, tapi ditangannya ada obat. Dia adalah sumber pengetahuan

pengobatan. Pengobatan adalah “mangidupi” memberi hidup dari ancaman

kematian karena penyakit”.


4.2.3 Tolong Menolong

Tolong menolong merupakan sikap saling membantu antar sesama

manusia dan juga makhluk hidup lainnya. Tolong menolong merupakan sikap

membantu untuk meringankan beban seseorang dan mempermudah cepatnya

selesai sebuah pekerjaan. Tolong menolong tidak hanya berupa bantuan tenaga

tetapi juga bisa berupa bantuan waktu ataupun bantuan dana. Sikap tolong dalam

cerita Batu Debata Idup terlihat ketika Togap Pangalapan membantu ayahnya

Datu Pangabang mencari bambu.

Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut:

“...Di sada tingki, manggorai ma among nai siang balian manjou si Togap

marmeam diparmahanan. Disuruh among nai ma si Togap mangalului

bulu laho mambahen ponot dalan ni aek di balian. “amang boi do luluan

mu bulu? Asa tabahen majo ponot dalan ni aek di balian” ninna among

nai. Dang apala disungkun didia, si Togap langsung marlojong tu huta

mangalului bulu na didok ni among nai. Nunga loja be si Togap, di taba

bulu alai dang tolap na, dang adong muse bulu naung maruppak dapotsa.

Jadi di ingot ibana ma di hombung ni jabu na adong sada bulu peak, lao

ma ibana marlojong tu jabuna jala di bereng ma bului, dibereng ma isi na

“bumbu ni juhut” na naung leleng dang di allang ima pikkiran na.

Dibolongkon ibana ma isi ni bulu i, jala dang sadia leleng lao ma ibana

marlojong tu balian mangalean bulu i tu among na “na among, bulu na

dipangido mi” huhut ma di lean si Togap bulu i tu among nai. Didok


rohana taruli pujion ni among nai do ibana ala hatop sae ulaon nai, hape

hona murukan do ibana.”

Terjemahan:

“...Suatu ketika ayahnya berteriak dari sawah memanggil Togap yang asik

bermain di tempat penggembalaanya yang tidak jauh dari ayahnya bekerja.

Dia minta agar Togap sudi mencarikan sepotong bambu untuk digunakan

saluran air di pematang sawah. “anakku, bisa kah kamu mencarikan

sepotong bambu? Supaya kita membuatkan saluran air disini” Tanpa tanya

apa dan dimana, Togap langsung berlari menuju perkampungan

mencarikan bambu dimaksud. Togap kewalahan, menebang bambu tidak

mampu, bambu yang tumbang tidak ditemukan. Dia teringat

disamping hombung di rumahnya ada terletak potongan bambu. Dia

langsung menuju rumah dan memeriksa bambu itu, ternyata isinya

“bumbu masakan” yang sudah lama tidak dimakan, begitu pikirnya.

Dia membuang isi bambu, dan tanpa pikir panjang berlari ke sawah

memberi hasil pekerjaannya itu kepada ayahnya. “ini bambu yang ayah

minta” sembari Togap menyerahkan bambu itu kepada ayahnya.

Harapannya mendapat pujian karena kerjanya cepat, ternyata dampratan

yang dia terima dari ayahnya.”


4.2.4 Kasih Sayang

Kasih sayang adalah suatu perasaan cinta atau sayang dan akan

menunjukkan rasa perhatian yang mungkin akan berlebihan. Kasih sayang juga

merupakan sikap, tindakan, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain

merasa senang dan aman. Kasih sayang dalam cerita Batu Debata Idup terlihat

ketika Datu Pangabang tidak mau memukul anaknya walaupun sudah melakukan

kesalahan.

Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut :

“...Dibolongkon ibana ma isi ni bulu i, jala dang sadia leleng lao ma

ibana marlojong tu balian laho mangalean bulu i tu among na “na

among, bulu na pinangidomi” huhut ma dilean si Togap bulu i tu among

na i. Di dok rohana taruli pujion ni among nai do ibana ala hatop sae

ulaon nai, hape hona murukan do ibana. Di tanda Datu Pangabang

ima

bului, inganan ni tambar pulungan na. Tung mansai muruk do Datu

Pangabang. Alai nang pe mansai muruk Datu Pangabang, tung so olo do

ibana mandoltuk manang marhata risi tu angka ianakkon na.

Mengkel martata ma Datu Sontang Banua, tung mansai losok ma roha ni

Datu Pangabang mamereng Datu Sontang Banua ala diparekeli

ibana.Naeng muruk ma Datu Pangabang alai di ingot ibana ma, guru na

do na mamparekeli ibana, gabe sip ma ibana ditabunihon ma hajengkelon

na i maradophon guru nai.”


Terjemahan :

“...Dia membuang isi bambu, dan tanpa pikir panjang berlari ke sawah

memberikan hasil pekerjaannya itu kepada ayahnya. “Ini bambu yang ayah

minta” sembari Togap menyerahkan bambu itu kepada ayahnya.

Harapannya mendapat pujian karena kerjanya cepat, ternyata dampratan.

Datu Pangabang mengenal bambu itu tempat penyimpanan tambar hasil

olahannya. Bukan main kesalnya dia. Akan tetapi Datu Pangabang tidak

memukul atau berkata kasar kepada anaknya itu.

Datu Sontang Banua tertawa terbahak-bahak. Datu Pangabang sangat

kesal karena ditertawakan oleh Datu Sontang Banua. Datu Pangabang

sangan ingin marah kepada Datu Sontang Banua, meningat yang

mentertawakan itu sudah dianggap sebagai gurunya maka dia diam saja

berusaha tidak memperlihatkan kejengkelannya.”

4.2.5 Pertentangan

Pertentangan dapat disebabkan oleh perbedaan pendapat, salah paham, dan

tidak menerima kondisi. Pertentangan juga dapat diartikan akibat perselisihan

pihak yang satu dengan pihak yang lain. Secara umum pertentangan itu adalah

luapan emosional dari satu orang dengan orang lain karena kesalahan ataupun

batasan emosional melebihi dari kesabaran yang dimilikinya.


Dalam cerita Batu Debata Idup ada pertentangan yang disebabkan karena

Datu Pangabang yang tidak menerima kondisi terhadap Datu Sontang Banua.

Hal ini dapat dilihat pada kutipan cerita berikut:

“...Di sada tingki, marhebat ma Datu pangabang tu bagas ni datu

Sontang Banua. Marhamemebat ma ibana tusi laho padenghanton gogo

manang parbinotoan na i. “Tung mancai losok do rohakku mida angka

ianakkon ku, angka pulungan naung hu pulung i totop do dibolongkon

halaki, hape nunga tung mancai loja au mangalului pulungan i sian

tombak jala sian robean, ima hubahen gabe tambar asa boi ubat” ninna

Datu Pangambang tu Datu Sontang Banua

Mengkel martata ma Datu Sontang Banua, tung mansai losok ma roha ni

Datu Pangabang mamereng Datu Sontang Banua ala diparekeli

ibana.Naeng muruk ma Datu Pangabang alai di ingot ibana ma, guru na

do na mamparekeli ibana, gabe sip ma ibana ditabunihon ma hajengkelon

na i maradophon guru nai.”

Terjemahan :

“...Pada suatu hari Datu Pangabang berkunjung ke rumah Datu Sontang

Banua. Kunjungannya kesana dalam rangka penyempurnaan tenaga

dalamnya yang belum sempurna dan masih jauh dibawah Datu Sontang

Banua. Dia mencurahkan segala kekesalan di hatinya akibat ulah kedua

anaknya. “Saya terlalu kesal dengan kedua anak saya, dimana ramuan

yang sudah saya olah selalu saja mereka buang, padahal saya sudah lelah
mencari ramuan itu dari hutan dan bukit bukit dan kemudian meracikanya

(tambar) supaya bisa menjadi obat” cetus datu Pangambang kepada Datu

Sontang Banua.

Datu Sontang Banua tertawa terbahak-bahak. Datu Pangabang sangat

kesal karena ditertawakan oleh Datu Sontang Banua. Datu Pangabang

sangan ingin marah kepada Datu Sontang Banua, meningat yang

mentertawakan itu sudah dianggap sebagai gurunya maka dia diam saja

berusaha tidak memperlihatkan kejengkelannya.”

4.2.6 Religius/ Kepercayaan

Nilai religius adalah nilai kerohanian yang bersifat mutlak karena

bersumber pada kepercayaan dalam diri manusia. Kepercayaan tersebut

ditampakkan dalam agama yang dianut, hubungan kepercayaan tidak hanya

sekedar hubungan manusia dengan Tuhannya akan tetapi juga hubungan manusia

dengan manusia lainnya dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sikap

dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,

toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan

memeluk agama lain. Nilai kepercayaan dalam cerita Batu Debata Idup yakni

Batu Debata Idup dijadikan sebagai patung penyembahan yang dianggap Dewa.
Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerita berikut :

“...Dipahat Datu pangabang ma batu i bahen laho gabe batu sisombaon

di tingki halak batak dang mananda haporseaon dope. Haporseaon ni

halak batak na ujui ima tu batu na balga, hau na bolon, dohot manang

aha pe na dihaporseai boi di somba. Haporseaon i di goari mai

“parmalim” manang sipele begu. Jadi angka parhuta i dipillit ma Batu

Debata Idup i gabe Debata mula jadi na bolon di nasida. Di somba ma

batu i. Tingki laho marsomba, mamboan napuran ma angka parhuta i,

molo borua ingkon mamake mandar. Di sada tingki di parnaik ni mata

niari, dung di paindah Batu Debata Idup i tu harbangan ni huta,

marpangidoan ma Datu Sontang Banua. Marsomba ma ibana tu Batu

Debata Idup i. “Diharbangan ni huta on ma ho dipeakhon, ho ma nagabe

manjaga huta on, padao ma huta on sian angka parmaraan na naeng

mancoba ro manegai huta on. Ho ma na gabe Debata si sombaon di huta

on” ninna Datu Sontang Banua.”

Terjemahan:

“...Datu Pangambang mengukir batu debata idup itu dibuat untuk sebagai

patung penyembahan pada saat masyarakat Batak belum mempunyai atau

mengenal agama, sehingga kepercayaan masyarakat ada pada batu besar,

pohon besar dan apapun itu yang mereka sembah. Kepercayaan ini disebut

sebagai “Parmalim”. Sehingga masyarakat desa memilih batu Debata Idup

itu sebagai Dewa mereka. Batu tersebut digunakan untuk disembah, pada

saat menyembah, masyarakat membawa sirih dan harus menggunakan


sarung bagi perempuan. Pada suatu hari saat ketika matahari mulai terbit,

setelah Batu Debata Idup itu dipindahkan ke pintu masuk perkampungan,

Datu Sontang Banua kemudian membuat permintaan. Dia menyembah

Batu Debata Idup itu “Engkau diletakkan dipintu masuk ini, engkaulah

yang menjadi penjaga perkampungan ini, jauhkan dari marabahaya yang

hendak mencoba mendatangi perkampungan ini, engkaulah yang akan

menjadi dewa sebagai tempat penyembahan di perkampungan ini” ucap

Datu Sontang Banua.”

4.2.7. Kesehatan

Kesehatan merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang

memungkinkan setiap orang produktif secara sosial dan ekonomis . upaya

kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan

yang dilakukan oleh pemerintah atau masyarakat.

Hal ini dapat dilihat dari kutipan cerita berikut:

“...Datu Sontang Banua ima pandaoni naung tarbarita di huta i, inganan

ni Datu Pangabang. Sian pandaoni bolon on do Datu Pangabang

mandapot godang parbinotoan. Di sada tingki, marhebat ma Datu

pangabang tu bagas ni datu Sontang Banua. Marhamemebat ma ibana

tusi laho padenghanton gogo manang parbinotoan na i. “Tung mancai

losok do rohakku mida angka ianakkon ku, angka pulungan naung hu

pulung i totop do dibolongkon halaki, hape nunga tung mancai loja

au
mangalului pulungan i sian tombak jala sian robean, ima hubahen gabe

tambar asa boi ubat” ninna Datu Pangambang tu Datu Sontang Banua

Mengkel martata ma Datu Sontang Banua, tung mansai losok ma roha ni

Datu Pangabang mamereng Datu Sontang Banua ala diparekeli

ibana.Naeng muruk ma Datu Pangabang alai di ingot ibana ma, guru na

do na mamparekeli ibana, gabe sip ma ibana ditabunihon ma hajengkelon

na i maradophon guru nai.

Tambar dohot Taor ima bongbong ni hangoluan, ima didok Datu Sontang

Banua patoranghon. “hahipason do lopok ni daging. Porlu do di

bongbong daging ima dohot angka ubut. Songon dia hita manjaga

hangoluan songoni ma tong hita manjaga pulungan ni ubat. Ingkon

sarupa do parmudu-mudu ni nadua i”.

Terjemahan :

“...Datu Sontang Banua adalah tabib tersohor ni negeri dimana Datu

Pangabang berada. Dari tabib tua ini pula dia banyak mendapatkan ilmu

pengetahuan. Pada suatu hari Datu Pangabang berkunjung ke rumah Datu

Sontang Banua. Kunjungannya kesana dalam rangka penyempurnaan

tenaga dalamnya yang belum sempurna dan masih jauh dibawah Datu

Sontang Banua. Dia mencurahkan segala kekesalan di hatinya akibat ulah

kedua anaknya. “Saya terlalu kesal dengan kedua anak saya, dimana

ramuan yang sudah saya olah selalu saja mereka buang, padahal saya

sudah lelah mencari ramuan itu dari hutan dan bukit bukit dan kemudian
meracikanya (tambar) supaya bisa menjadi obat” cetus datu Pangambang

kepada Datu Sontang Banua.

Datu Sontang Banua tertawa terbahak-bahak. Datu Pangabang sangat

kesal karena ditertawakan oleh Datu Sontang Banua. Datu Pangabang

sangan ingin marah kepada Datu Sontang Banua, meningat yang

mentertawakan itu sudah dianggap sebagai gurunya maka dia diam saja

berusaha tidak memperlihatkan kejengkelannya.

Tambar dan taor adalah pagar kehidupan, begitu Datu Sontang Banua

memberi keterangan. “Kesehatan adalah keutamaan tubuh. Tubuh yang

perlu dipagari dengan ketersediaan obat. Sebagaimana pentingnya kita

menjaga kehidupan sebegitu pentingnya juga kita menjaga bahan obat.

Keduanya harus dipelihara dengan seimbang.”

42.8. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan merupakan ruang lingkup untuk mengetahui tentang

alam sekitar, flora dan fauna, waktu, ruang dan sifat-sifat serta tingkah laku

sesama manusia hingga tubuh manusia. Sistem Pengetahuan timbul karena

keingin tahuan sesorang dalam sebuah objek. Sikap dan tindakan yang selalu

berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang

dipelajarinya, dilihat dan didengar. Sikap dan tindakan yang selau berupaya

mencegah kerusakan pada lingkungan alam disekitarnya, dan mengembangkan

upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.


Sistem pengetahuan yang terdapat pada cerita Batu Debata Idup ini

terdapat ketika Datu Pangabang sangat ulet dalam melakukan penelitian terhadap

tumbuh-tumbuhan untuk dijadikan obat

Hal ini dapat dilihat dalam sinopsis cerita :

“...Datu Pangabang ima sahalak pandaoni ni halak batak naung godang

ditanda halak. Tung mancai nunut do ibana mambahen angka pulungan

ubat laho mangobati angka sahit. Lao do ibana mandiori tu tombak,

mambuat angka ramba bulung, parbue ni hau, urat ni hau dohot lampak

ni hau, di papungu mai. Ima dibahen gabe ubat laho pamalumhon angka

sahit ni jolma na marsahit.

Angka abak ni pulungan i ima nadigoari “tambar” dipabuni mai dibagas

parlapihan bulu. Sian angka mansam ni bulung-bulung dohot parbue ni

hau dohot pati ni angka urat ni hau, di pulung mai gabe dasor ni obat ima

digoari “taor” dipabuni mai di parlapihan ni bulu dohot dibagas ni

hudon tano.

Ala pandaoni na baru dope, tontu ibana sai lalap dope mambhen hobim

sian angka na dapot na laho mambahen angka pulungan na lebih

mangkan mangobati angka sahit.”

Terjemahan:

“...Datu Pangabang seorang tabib batak yang mulai populer. Dia sangat

ulet melakukan penelitian bahan obat untuk berbagai penyakit yang

ditemukannya. Dia pergi ke hutan menjelajah, beragam tanaman, akar


kayu dan kulitnya dikumpulkan. Semua itu dikumpulkan kemudian itu

dijadikan menjadi ramuan obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit

yang diderita orang lain.

Hasil racikannya kemudian disebut “tambar” disimpan dalam wadah

sederhana. Dari beragam dedaunan dan buah serta sari pati akar-akaran

kemudian diracik menjadi bahan dasar obat cair yang disebut “taor”.

Disimpan dalam wadah bambu dan periuk tanah.

Sebagai tabib pemula, tentu saja dia masih tetap melakukan evaluasi dari

setiap penemuannya untuk mendapatkan bahan yang lebih ampuh

mengobati penyakit tertentu.”

4.2.9. Sistem Mata Pencaharian

Sistem mata pencaharian merupakan cara seseorang ataupun sekelompok

orang yang dilakukan sehari-hari guna untuk bertahan hidup ataupun pemenuhan

hidup baginya. Sistem mata pencaharian juga tingkat sebagai usaha pemajuan

otak manusia. Masyarakat Batak sebagian besar bermata pencaharian dari

bercocok tanam dan juga beternak.

Dalam cerita rakyat Batu Debata Idup, setting tempat yang digunakan

adalah di sawah yang bisa jadi mempengaruhi jenis pekerjaan oleh tokoh dalam

cerita.
Hal tersebut dapat dilihat dari sinopsis cerita :

“...Togap Pangalapan ima sahalak baoa na bijak jala na ligat. Ibana ito

ni si Rumintang na marumur ualu taon. Dang mangantusi dope ibana di

hadengganon ni bagas jabu, tarlumobi ma di pandaoni ni among nai.

Ullomo do rohana marmahan horbo, marmeam dohot angka dongan na

dibalian.

Disada tingki, manggorai ma among nai sian balian manjou si Togap na

marmeam diparmahanan. Disuruh among nai ma si Togap mangalului

bulu laho mambahen ponot dalan ni aek di balian. “amang boi do luluan

mu bulu? Asa tabahen majo ponot dalan ni aek di balian” ninna among

nai. Dang apala disungkun didia, si Togap langsung marlojong tu huta

mangalului bulu na didok ni among nai. Nunga loja be si Togap, di taba

bulu alai dang tolap na, dang adong muse bulu naung maruppak dapotsa.

Jadi di ingot ibana ma di hombung ni jabu na adong sada bulu peak, lao

ma ibana marlojong tu jabuna jala di bereng ma bului, dibereng ma isi na

“bumbu ni juhut” na naung leleng dang di allang ima pikkiran na.

Dibolongkon ibana ma isi ni bulu i, jala dang sadia leleng lao ma ibana

marlojong tu balian laho mangalean bulu i tu among na “na among, bulu

na pinangidomi” huhut ma dilean si Togap bulu i tu among na i.”

Terjemahan:

“...Togap Pangalapan adalah seorang lelaki cerdas dan lincah. Dia adalah

adik Rumintang yang berusia 8 tahun. Kurang peduli pengaturan seisi


rumah apalagi ketabiban ayahnya. Di lebih gemar menggembala kerbau

sambil bermain dengan teman sebayanya di sawah dan ladang.

Suatu ketika, ayahnya berteriak dari sawah memanggil Togap yang asik

bermain di penggembalaannya tidak jauh dari ayahnya bekerja. Dia minta

agar Togap sudi mencarikan sepotong bambu untuk digunakan saluran air

di pematang sawah. “anakku, bisa kah kamu mencarikan sepotong

bambu? Supaya kita membuatkan saluran air disini” Tanpa tanya apa dan

dimana, Togap langsung berlari menuju perkampungan mencarikan bambu

dimaksud oleh ayahnya. Togap kewalahan, menebang bambu tidak

mampu, bambu yang tumbang tidak ditemukan. Dia teringat

disamping hombung di rumahnya ada terletak potongan bambu. Dia

langsung menuju rumah dan memeriksa bambu itu, ternyata isinya

“bumbu masakan” yang sudah lama tidak dimakan, begitu pikirnya.

Dia membuang isi bambu, dan tanpa pikir panjang berlari ke sawah

memberikan hasil pekerjaannya itu kepada ayahnya. “Ini bambu yang ayah

minta” sembari togap menyerahkan bambu itu kepada ayahnya.”

4.2.10. Kesenian

Kesenian merupakan keahlian membuat karya yang bermutu, seni meliputi

banyak kegiatan manusia dalam menciptakan karya visual, audio, atau

pertunjukan yang mengungkapkan imajinasi, gagasan untuk dihargai


keindahannya. Kesenian bisa berupa seni lukis, seni tari, seni panggung, seni

musik, seni ukir dll.

Dalam cerita Batu Debata Idup memiliki nilai sosial kesenian ketika Datu

Sontang Banua menunjukkan beberapa ukiran dirumahnya.

Hal ini dapat dilihat dari sinopsis cerita :

“...Ditogihon Datu Sontang Banua ma ibana tu bagas ni jabu. Dipatudu

ma sude angka inganan ni pulungan ni ubat na binahen na i. Adong mai

hira-hira dua puluh inganan na margorga sian hau. Ala songon gorga do,

dirimpu mai mare-mare ni jabu, umbahen dang di tiopi pangisi ni jabu i,

gabe aman ma ubat na adong di bagas i.”

“...Digorga Datu Pangabang ma 10 parlapihan laho umbahen inganan ni

ubat na di pulungnai. Jala di pahat ibana ma tong batu sarupa songon

parlapihan inganan ni ubat i. Didok ma parlapihan i tu angka gelleng nai

Debata Idup jala batu i di goari Batu Debata Idup.”

Terjemahan :

“...Datu Sontang Banua mengajak rekannya itu naik kerumah. Dia

menunjukkan susunan benda tempat penyimpanan bahan obat yang

dibuatnya. Ada sekitar duapuluh benda berukir yang terbuat dari kayu.

Dengan bentuk berukir itu, kesannya menjadi hiasan sehingga seisi rumah

tidak mengusiknya. Amanlah bahan obat yang ada didalamnya.”


“...Datu Pangabang kemudian menempa 10 wadah penyimpanan bahan

obat racikannya dan juga mengukir batu membentuk persis seperti wadah

penyimpanan obat tersebut. Kepada anak-anaknya disebut itu Debata Idup

dan batu itu disebut Batu Debata Idup.”

4.3 Pandangan Masyarakat terhadap cerita Batu Debata Idup

Masyarakat Desa Simangulampe merupakan sebuah desa yang terdapat di

Kecematan Baktiraja, merupakan salah satu desa yang berada dipinggiran Danau

Toba. Wilayah Desa Simangulampe dihuni oleh kebanyakann marga Sinambela

dan marga Simanullang. Desa Simangulampe merupakan salah satu desa yang

memiliki banyak situs atau ikon ikon bersejarah, salah satunya adalah Batu

Debata Idup.

Pandangan masyarakat terhadap Batu Debata Idup dewasa ini sangatlah

minim tidak lagi merawat Batu Debata Idup, ketidak pedulian masyarakat sangat

terlihat dari lokasi letaknya Batu Debata Idup tersebut tidak terawat. Akan tetapi

pemerintah setempat berupaya ingin melakukakan kembali pencagaran budaya

terhadap batu tersebut setelah adanya penelitian ini. Letak Batu Debata Idup ini

terletak di Huta Godang sosor parriaan desa Simangulampe Kecamatan Baktiraja

Kabupaten Humbang Hasundutan.

Batu Debata Idup adalah sebuah cerita rakyat yang relevan bagi

masyarakat desa Simangulampe yang dipandang dari segi pola kehidupan

masyarakat pada zaman dahulunya. Hal ini dapat dilihat dari cara pandang
masyarakat terhadap cerita rakyat tersebut. Menurut masyarakat setempat, nenek

moyang mereka percaya akan keajaiban yang terdapat pada Batu Debata Idup

tersebut, akan tetapi masyarakat desa dewasa ini tidak lagi mempercayai hal

tersebut dengan alasan telah munculnya agama kedalam masyarakat Batak

sehingga melupakan kepercayaan terhadap Batu Debata Idup tersebut.

Setelah melakukan penelitian, pemerintahan setempat ingin melakukan

upaya pelestarian terhadap Batu Debata Idup, karena itu merupakan salah satu

situs budaya yang terdapat di desa Simangulampe tersebut. Pemerintahan desa

tersebut mencoba memperbaiki tata letak dan menjadikannya sebagai salah satu

cagar budaya yang diketahui banyak orang, supaya cerita Batu Debata Idup

tersebut tidak dilupakan oleh masyarakat Batak, termasuk masyarakat

Simangulampe tersebut. Masyarakat desa Simangulampe pada dewasa ini banyak

yang sudah tidak lagi mengetahui tentang Batu Debata Idup, tidak lagi

mengetahui cerita dan tempat beradanya batu tersebut. Dengan adanya penelitian

ini itulah yang membuat pemerintahan setempat berencana ingin memperbaiki

tata letak dari Batu Debata Idup. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang

mengetahui letak dan alur cerita Batu Debata Idup sehingga penulis dapat

mengetahui info tentang batu tersebut kemudian dapat menyelesaikan penelitian

tentang skripsi ini.

Pada dahulunya masyarakat desa Simangulampe mempercayai bahwa

Batu Debata Idup merupakan tempat penyembahan masyarakat sekitar, dan

adapun peraturan-peraturan ataupun persyaratan yang dilakukan ketika

masyarakat hendak melakukan ritual penyembahan pada Batu Debata Idup antara

lain ialah:
1. Ketika hendak melakukan pemujaan penyembahan maka masyarakat

tersebut harus membawa sirih.

2. Bagi perempuan yang hendak melakukan ritual penyembahan maka

diwajibkan harus menggunakan sarung.

Pandangan masyarakat terhadap Batu Debata Idup dipercayai dapat menjaga

perkampungan tersebut, menjaga dari angin puting beliung, petir besar, banjir dan

orang orang yang datang untuk berbuat jahat ke perkampungan tersebut. Namun

jika batu tersebut tidak lagi disembah maka dipercayai dapat mendatangkan

kesusahan bagi masyarakat desa Huta Godang, seperti tanam-tanaman tidak lagi

mempunyai hasil panen sehingga membuat masyarakat desa mengalami

kelaparan.

Akan tetapi setelah Agama muncul pada masyrakat batak, kepercayaan

tentang keajaiban Batu Debata Idup sudah musnah. Masyarakat Desa

Simangulampe khususnya Huta Godang sudah tidak lagi memiliki rasa

kepercayaan terhadap Batu Debata Idup tersebut.

Masyarakat Simangulampe khususnya masyarakat desa Huta Godang

sudah lebih mempercayai agama yang sudah datang kedalam lingkup masyarakat

batak dan menjadikan itu menjadi kepercayaan yang di ikuti selama hidupnya.

Sehingga dewasa ini Batu Debata Idup tersebut sudah sangat tidak terawat

lagi. Kepedulian masyarakat serta pemerintahan daerah terhadap Batu Debata

Idup sangat minim. Akan tetapi setelah diadakannya penelitian ini, membuka

mata batin pemerintah setempat untuk kembali membangkitkan dan melestarikan


Batu Debata Idup tersebut menjadi salah satu icon desa serta situs bersejarah yang

dimiliki oleh Desa Simangulampe . Kepala Desa yang merupakan pemerintahan

setempat serta masyarakat desa sangat antusias untuk mengembangkan kembali

situs bersejarah di Desa Simangulampe, termasuk salah satunya adalah Batu

Debata Idup. Ketidak terawatan Batu Debata Idup dapat dilihat pada gambar

berikut :

Menurut keterangan Masyarakat Desa Huta Godang, Batu Debata Idup

tersebut diukir menyerupai sepasang manusia, dimana disebelah kanan adalah

laki-laki dan disebelah kiri adalah perempuan. Setelah dilakukannya penelitian,

peneliti dan masyarakat serta kepada desa juga mencoba meyakinkan hal tersebut

dengan mengukur kedalaman pusar dari kedua batu tersebut. Batu yang berjenis

perempuan yang berada disebelah kiri memiliki pusar yang lebih dalam daripada

batu yang berjenis laki-laki yang berada di sebelah kanan.


Menurut informasi dari masyarakat setempat, pada dahulunya Batu Debata

Idup ini memiliki Mangkok (sawan) yang juga diukir dari batu yang terletak

dikepala batu berjenis perempuan yang letaknya disebelah kiri tersebut. Mangkok

(sawan) tersebut merupakan tempat diletakkannya obat kemudian didoakan

supaya obat tersebut lebih mujarap jika digunakan untuk mengobati penyakit.

Akan tetapi menurut informasi, mangkok (sawan) tersebut telah dicuri oleh

oknum yang tidak diketahui sampai saat ini.

Dan bukan hanya itu saja, menurut pandangan masyarakat batu ini

dulunya pernah berpindah tempat, dan tidak diketahui dimana letak

perpindahannya. Namun, pada suatu saat seorang masyarakat desa mencoba

berdoa untuk diberi petunjuk dimana letak batu tersebut. Dan pada akhirnya batu

tersebut ditemukan, dan beberapa masyarakat mencoba mengangkat batu tersebut

untuk dipindahkan kembali ke tempat semula dimana batu itu berada. Akan tetapi

beberap dari mereka tidak sanggup memindahkan batu itu. Hanya ada satu orang

yang bisa mengangkatnya yaitu oppung Saor marga Sinambela. Hanya dialah

yang sanggup mengangkat Batu Debata Idup Tersebut.

Batu Debata Idup merupakan salah satu peninggalan sejarah yang terdapat

di desa Simangulampe dimana pada zaman dahulu batu itu merupakan batu yang

dikeramatkan oleh masyarakat setempat. Hal ini diketahui oleh penulis menurut

informasi yang didapat daripada beberapa informan. Pandangan dari informan

mewakili beberapa masyarakat desa batu ini sangat dipercayai dengan

kekuatannya dan kemistisan batu yang disembah pada zaman dahulu sebelum

masyarakat batak mengenal agama.


Dengan dipercayainya kemistisan Batu Debata Idup tersebut, hingga pada

saat itu, menurut informasi dari masyarakat sekitar ada warga samosir yang ingin

mencuri batu tersebut. Akan tetapi tidak berhasil karena Batu Debata Idup

tersebut tidak bisa diangkat oleh sembarang orang.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Cerita terhadap Batu Debata Idup memaparkan cerita hidup dari aktifitas

yang dilakukan oleh Datu Pangabang. Dalam cerita ini dikisahkan Batu Debata

Idup merupakan batu yang diukir oleh Datu Pangabang untuk dijadikan sebagai

tempat penyembahan masyarakat pada dulunya. Dan batu ini juga membawa

kepercayaan kepada penduduk.

Dalam cerita ini menceritakan sifat Datu Pangabang yang memiliki sifat

penyabar dan juga baik dan juga kisah batu ini bersifat membawa kepercayaan.

Penulis menggunakan pendekatan sosiologi dalam membahas cerita terhadap Batu

Debata Idup, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Sosiologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat karena lahir dari

masyarakat dan untuk masyarakat. Sosiologi mempunyai objek dari

berbagai kehidupan masyarakat yang terjadi dalam masyarakat begitu juga

dengan sastra yang mempelajari masyarakat khususnya budaya.

2. Tema dalam cerita terhadap Batu Debata Idup menggambarkan kisah Datu

yang membuat ramuan pengobatan untuk mengobati orang sakit serta batu

penyembahan untuk disembah oleh masyarakat sekitar.

3. Perwatakan dalam cerita Batu Debata Idup terdiri dari beberapa tokoh

yakni : Datu Pangabang, Datu Sontang Banua, Rumintang dan Togap

Pangalapan.
4. Latar atau setting yang terdapat pada cerita Batu Debata Idup yaitu:

a) Latar Tempat

Meliputi Desa Huta Goduk, Persawahan, Huta Godang dan Desa

Simangulampe.

b) Latar Waktu

Latar waktu yang terdapat pada cerita Batu Debata Idup yaitu pada

pagi hari.

5. Perwatakan yang terdapat pada cerita Batu Debata Idup dari semua tokoh

yaitu:

a) Datu Pangabang

Datu Pangabang merupakan tokoh dalam cerita yang memiliki watak

yang ulet dan peduli.

b) Datu Sontang Banua

Datu sontang Banua merupakan tokoh dalam cerita yang memiliki

watak baik dan bertanggung jawab.

c) Rumintang

Rumintang merupakan tokoh cerita yang memiliki watak baik dan

rajin.

d) Togap Pangalapan

Togap pangalapan merupakan tokoh yang memiliki watak yang

penurut dan juga cerdas.

6. Adapun nilai-nilai sosiologi yang ada dalam cerita Batu Debata Idup

yakni:
a. Sistem Kekerabatan

b. Tanggung Jawab

c. Tolong Menolong

d. Kasih Sayang

e. Pertentangan

f. Religi/Kepercayaan

g. Kesehatan

h. Sistem Pengetahuan

i. Sistem Mata Pencaharian

j. Kesenian

7. Pandangan masyarakat terhadap Batu Debata Idup adalah sebuah cerita

rakyat yang relevan bagi masyarakat desa Simangulampe yang dipandang

dari segi pola kehidupan masyarakat pada zaman dahulunya. Hal ini dapat

dilihat dari cara pandang masyarakat terhadap cerita rakyat tersebut.

Menurut masyarakat setempat, nenek moyang mereka percaya akan

keajaiban yang terdapat pada Batu Debata Idup tersebut, akan tetapi

masyarakat desa dewasa ini tidak lagi mempercayai hal tersebut dengan

alasan telah munculnya agama kedalam masyarakat Batak sehingga

melupakan kepercayaan terhadap Batu Debata Idup tersebut.

5.2 Saran

Ada banyak cerita rakyat yang terdapat pada Suku Batak, dan cerita rakyat

pasti ditemukan di setiap daerah. Salah satunya di Desa Simangulampe

Kecamatan Baktiraja yang memiliki banyak cerita rakyat dan Batu Debata Idup
merupakan salah satu cerita rakyat yang terdapat di Desa Simangulampe. Akan

tetapi banyaknya cerita rakyat tersebut hanya melintas dan banyak juga sudah

dilupakan oleh masyarakat sekitar.

Hal ini diakibatkan karena masyarakat tidak lagi mengetahui pesan-pesan

yang terdapat pada cerita rakyat tersebut yang disampaikan pada zaman dahulu.

Dan juga diakibatkan oleh minimnya keingin tahuan masyarakat terhadap situs-

situs tersebut, sehingga masyarakat melupakan tentang cerita rakyat tersebut.

Adapun saran yang penulis simpulkan dari penulis skripsi ini antara lain

sebagai berikut:

1. Dilakukannya penelitian terhadap karya sastra tulisan dan lisan agar

kelestariannya tidak punah dimakan atau dikikis perkembangan zaman.

2. Pemerintahan setempat agar lebih meningkatkan kepedulian terhadap

cagar budaya di lingkungannya.

3. Meramu hasil penelitian dalam bentuk buku-buku, audio, dan audiovisual.

4. Pembugaran cagar budaya terhadap budaya-budaya tradisional agar tidak

hilang keaslian dan keutuhannya.


DAFTAR PUSTAKA

Almazaki. 1990. Ilmu Sastra Teori dan Terapan. Padang : Angkasa Raya.

Anwar, Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra, Yogyakarta : Perpustakaan Nasional,

Penerbit Ombak.

Anggreni, Tio. 2019. “ Legenda Uruk Gumbelin di Desa Lingga, Kabupaten Karo

Kajian Sosiologi sastra” (Skripsi). Medan : Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatra Utara.

Damono, Sapardi D. 2005. Sosiologi sastra : Sociologie de la litterature,

Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Endraswara, Suwardi 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka

Widyatama.

Faruk . 1994. Pengantar Sosiologi Sastra : Dari Strukturalisme Genetik

sampai Post- Modernisasi, Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Iskandar. 2008. Metodelogi Penelitian dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif).

Jakarta: GP Press.

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Nababan, Astina Octavia. 2016 “Tinjauan Sosiologi Sastra Terhadap Cerita

Rakyat Sionom Hudon di Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang

Hasundutan” (skripsi). Medan : Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.
Noor, Juliansyah. 2011. Metodelogi Penelitian: Skripsi, Tesis Disertasi dan

Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana.

Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press.

Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan

Penerapan. Yogyakarta : Pustaka Belajar

Purba, Jainal. 2015. “ Legenda Aek Sipaulak Hosa di Desa Silalahi, Kajian

Sosiologi Sastra” (Skripsi). Medan : Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

Sugiyono, 2005. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sisyono,dkk. 2008. Pengertian Cerita Rakyat Menurut Para Ahli.

https://www.Indonesiastudents.com/.

Siswoyo. 2003. Pengertian Teori Menurut Para Ahli. http://dosenpendidikan.co.id

Sitompul, A. Eden.2015. Diktat Sanggar Bahasa, Medan : Fakultas Keguruan dan


Ilmu Pendidikan Universitas HKBP Nomensen.

Teeuw.A. 1998. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka
Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra.


Jakarta : Pustaka Jaya.

Zuldafrial. 2012 . Penelitian Kualitatif . Surakarta: Yuma Pustaka.


Lampiran 1 : Sinopsis Cerita Rakyat

Turi-turian Sarita ni Batu Debata Idup

Datu Pangabang ima sahalak pandaoni ni halak batak naung godang

ditanda halak. Tung mancai nunut do ibana mambahen angka pulungan ubat

laho mangobati angka sahit. Lao do ibana mandiori tu tombak, mambuat angka

ramba bulung, parbue ni hau, urat ni hau dohot lampak ni hau, di papungu mai.

Ima dibahen gabe ubat laho pamalumhon angka sahit ni jolma na marsahit.

Angka abak ni pulungan i ima nadigoari “tambar” dipabuni mai dibagas

parlapihan bulu. Sian angka mansam ni bulung-bulung dohot parbue ni hau

dohot pati ni angka urat ni hau, di pulung mai gabe dasor ni obat ima digoari

“taor” dipabuni mai di parlapihan ni bulu dohot dibagas ni hudon tano.

Ala pandaoni na baru dope, tontu ibana sai lalap dope mambhen hobim

sian angka na dapot na laho mambahen angka pulungan na lebih mangkan

mangobati angka sahit.

Rumintang ima sada anak boru na marbaju na torus paiashon dohot

padenggan bagas ni jabu. Boru ni Datu Pangabang do ibana, jotjot do di remengi

among nai si Rumintang ala torus pasisihon masam ni pulungan na di peangkon

di maribar inganan ni jabu. Tingki si Rumintang padengganhon asa denggan di

inganan na asing pikkirna. Momar ma Datu Pangabang dirimpu ibana nunga di

bolongkon boru nai sude angka pulungan i ala dirimpu si Rumintang i sude raup-

raup.
Disada tingki jimbur ma muruk ni Datu Pangabang I tu si Rumintang,

didok ma “didia pulungan ni ubat na hupeakhon dibagas ni hudon on, boasa

dang dison be? Ise hamu mambuat?”

Dialusi boru nai ma “jadi na dibagas hudon i pulungan ni obat ni among do?

Hurimpu dang pulungan ni ubat I, umbahen hubolongkon tingki paias jabu au”.

Tingki I paias para-para dohot telate ni sopo manang jabu batak ma si

Rumintang, inganan ni nasida I tinggal. Dapot ni ibana ma buntalan ni bulung

pisang na marisi songon hirta ni coklat naung marbirong dibagas hudon.

Dirimpu ibana mai sambal na lupa dipangan jala na naung basi. Jadi

dibolongkon ibana, tung so dirimpu ibana doi tambar pulungan ni ubat na laho

mangubati sahit sampu-sampu.

Tung mancai muruk hian do Datu Pangabang tu si Rumintang, umbahen

muruk among nai alani ubat i na dilului do i marbulan-bulan sian tombak na

maol hian didalani jala maol dimasuki angka jolma. “Nunga tung mancai loja

situtu au mangalului angka pulungan i sian angka harangan na lomak, boasa

ingkon bolongkonon mu i” ninna Datu Pangabang ma mamuruki boru nai. Alai

dibahen Datu Pangabang ma muse mangatasi halensen ni si Rumintang, di bahen

Datu Pangabang ma parlapihan sian bulu. Tubagas ni bulu i ma di pamasuk

pulungan ni ubat i, di tutup Datu Pangabang ma ujung ni bulu i dohot lampak ni

gaol jala di ikat mai gomos.

Jadi dipatorang among nai ma tu boru nai “parlapian ni bulu on gabe

inganan ni pulungan ni ubat, unang be dibolongkon manang di papinda tu

inganan na asing, jala unang diparmeam-meam manang ditiopi hamu molo


sosian parbinotoan hu” “Olo among” ninna si Rumintang ma mangalusi, jala si

Rumintang pe nunga mangantusi.

Togap Pangalapan ima sahalak baoa na bijak jala na ligat. Ibana ito ni si

Rumintang na marumur ualu taon. Dang mangantusi dope ibana di hadengganon

ni bagas jabu, tarlumobi ma di pandaoni ni among nai. Ullomo do rohana

marmahan horbo, marmeam dohot angka dongan na dibalian.

Disada tingki, manggorai ma among nai sian balian manjou si Togap na

marmeam diparmahanan. Disuruh among nai ma si Togap mangalului bulu laho

mambahen ponot dalan ni aek di balian. “amang boi do luluan mu bulu? Asa

tabahen majo ponot dalan ni aek di balian” ninna among nai. Dang apala

disungkun didia, si Togap langsung marlojong tu huta mangalului bulu na didok

ni among nai. Nunga loja be si Togap, di taba bulu alai dang tolap na, dang

adong muse bulu naung maruppak dapotsa. Jadi di ingot ibana ma di hombung ni

jabu na adong sada bulu peak, lao ma ibana marlojong tu jabuna jala di bereng

ma bului, dibereng ma isi na “bumbu ni juhut” na naung leleng dang di allang

ima pikkiran na.

Dibolongkon ibana ma isi ni bulu i, jala dang sadia leleng lao ma ibana

marlojong tu balian laho mangalean bulu i tu among na “na among, bulu na

pinangidomi” huhut ma dilean si Togap bulu i tu among na i. Di dok rohana

taruli pujion ni among nai do ibana ala hatop sae ulaon nai, hape hona murukan

do ibana. Di tanda Datu Pangabang ima bului, inganan ni tambar pulungan

na. Tung mansai muruk do Datu Pangabang. Alai nang pe mansai muruk Datu
Pangabang, tung so olo do ibana mandoltuk manang marhata risi tu angka

ianakkon na.

Datu Sontang Banua ima pandaoni naung tarbarita di huta i, inganan ni

Datu Pangabang. Sian pandaoni bolon on do Datu Pangabang mandapot godang

parbinotoan. Di sada tingki, marhebat ma Datu pangabang tu bagas ni datu

Sontang Banua. Marhamemebat ma ibana tusi laho padenghanton gogo manang

parbinotoan na i. “Tung mancai losok do rohakku mida angka ianakkon ku,

angka pulungan naung hu pulung i totop do dibolongkon halaki, hape nunga tung

mancai loja au mangalului pulungan i sian tombak jala sian robean, ima hubahen

gabe tambar asa boi ubat” ninna Datu Pangambang tu Datu Sontang Banua

Mengkel martata ma Datu Sontang Banua, tung mansai losok ma roha ni Datu

Pangabang mamereng Datu Sontang Banua ala diparekeli ibana.Naeng muruk

ma Datu Pangabang alai di ingot ibana ma, guru na do na mamparekeli ibana,

gabe sip ma ibana ditabunihon ma hajengkelon na i maradophon guru nai.

Tambar dohot Taor ima bongbong ni hangoluan, ima didok Datu Sontang

Banua patoranghon. “hahipason do lopok ni daging. Porlu do di bongbong

daging ima dohot angka ubut. Songon dia hita manjaga hangoluan songoni ma

tong hita manjaga pulungan ni ubat. Ingkon sarupa do parmudu-mudu ni nadua

i”.

Ditogihon Datu Sontang Banua ma ibana tu bagas ni jabu. Dipatudu ma

sude angka inganan ni pulungan ni ubat na binahen na i. Adong mai hira-hira

dua puluh inganan na margorga sian hau. Ala songon gorga do, dirimpu mai
mare-mare ni jabu, umbahen dang di tiopi pangisi ni jabu i, gabe aman ma ubat

na adong di bagas i.

Patung na di gorga nai di goari mai Debata Idup. Alai manjua do Datu

Pangabang di goar i ala di pingkiran na Debata Idup ima Dewa Pangobatan.

Botul doi ninna Datu Sontang Banua “Debata Idup ima dewa ni ubat, jala dang

ubat, alai ditangan na adong ubat. Ibana ma bona ni parbinotoan ni parubaton.

Pangubaton ima ‘mangidupi’ mangalean ngolu sian angka hamatean alani

parsahitan.

Digorga Datu Pangabang ma 10 parlapihan laho umbahen inganan ni

ubat na di pulungnai. Jala di pahat ibana ma tong batu sarupa songon

parlapihan inganan ni ubat i. Didok ma parlapihan i tu angka gelleng nai Debata

Idup jala batu i di goari Batu Debata Idup. Dipatorang Datu Pangabang i ma tu

angka gelleng na “Sude parlapihan on unang be di bolongkon hamu manang di

tiopi hamu, dohot batu na hu pahat on unang be di parmeam-meam hamu. On ma

na gabee batu si sombaon ta bahen Debata ta”. Dang be disungkun manang aha,

di olohon gelleng naima jala dang hea be adong mangganggu pulungan ubat ni

pandaoni i.

Dipahat Datu pangabang ma batu i bahen laho gabe batu sisombaon di

tingki halak batak dang mananda haporseaon dope. Haporseaon ni halak batak

na ujui ima tu batu na balga, hau na bolon, dohot manang aha pe na dihaporseai

boi di somba. Haporseaon i di goari mai “parmalim” manang sipele begu. Jadi

angka parhuta i dipillit ma Batu Debata Idup i gabe Debata mula jadi na bolon di
nasida. Di somba ma batu i. Tingki laho marsomba, mamboan napuran ma angka

parhuta i, molo borua ingkon mamake mandar.

Di sada tingki naeng papindahon huta ma Datu Pangabang, di tingki i huta

maringanan di robean manang dolok-dolok huta i di goari mai Huta Sigoduk,

naeng di papindah ma i tu toru dolok. Disiala tingki najolo dope halak batak

maringanan manang marhuta di ginjang ni robean do. Ditingki mangalandas

huta, di papindah ma Batu Debata Idup i, dibahen ma batu i di harbangan ni huta

na di landas nai. di goari ma huta i “huta godang”. Na papindahon batu i ima

Datu Sontang Banua, di papindah sian dolok-dolok i tu huta godang. Huta i sahat

tu nuaeng di ingani masyarakat simangulampe. Tingki i huta Simangulampe tano

kosong do naso di ingani jolma dope, didok najolo i tao toba di ninna i, alai lam

marsik ma tao i gabe mambahen tano kosng ma bogas i, laos di landas ma huta

simangulampe disi. Di peangkon ma Batu Debata Idup i di harbangan ni huta

godang.

Di sada tingki di parnaik ni mata niari, dung di paindah Batu Debata Idup i

tu harbangan ni huta, marpangidoan ma Datu Sontang Banua. Marsomba ma

ibana tu Batu Debata Idup i. “Diharbangan ni huta on ma ho dipeakhon, ho ma

nagabe manjaga huta on, padao ma huta on sian angka parmaraan na naeng

mancoba ro manegai huta on. Ho ma na gabe Debata si sombaon di huta on”

ninna Datu Sontang Banua.

Dung di papindah batu i tu harbangan ni Huta Godang, molo marsoma

marpangidoan, di haporseai ma batu i boi manjaga huta i, manjaga sian

halisunsung, ronggur manang sillam, banjir dohot sian angka jolma na ro laho
mambahen hajahaton tu huta i. Alai molo dang di somba be batu i, na jolo di

haporseai ma gabe mambahen hasusaan tu angka parhuta godang, songon angka

suansuanan dang be marparbue, dang adong be si panenon na mambahen haleon

tu angka parhuta i.

Alai dung ro haporseaon manang agama tu halak batak, mago do

haporseaon tu halongangan ni Batu Debata Idup i. Dang be di haporseai par

huta godang i be Batu Debata Idup i.


Lampiran 2 : Sinopsis Cerita

Cerita Rakyat Batu Debata Idup

Datu Pangabang seorang tabib batak yang mulai populer. Dia sangat ulet

melakukan penelitian bahan obat untuk berbagai penyakit yang ditemukannya.

Dia pergi ke hutan menjelajah, beragam tanaman, akar kayu dan kulitnya

dikumpulkan. Semua itu dikumpulkan kemudian itu dijadikan menjadi ramuan

obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit yang diderita orang lain.

Hasil racikannya kemudian disebut “tambar” disimpan dalam wadah

sederhana. Dari beragam dedaunan dan buah serta sari pati akar-akaran kemudian

diracik menjadi bahan dasar obat cair yang disebut “taor”. Disimpan dalam wadah

bambu dan periuk tanah.

Sebagai tabib pemula, tentu saja dia masih tetap melakukan evaluasi dari

setiap penemuannya untuk mendapatkan bahan yang lebih ampuh mengobati

penyakit tertentu.

Rumintang adalah seorang gadis menanjak remaja yang mulai aktif

melakukan penataan sisi rumah. Dia adalah putri Datu Pangabang. Rumintang

sering sekali kena dampratan ayahandanya karena sering mengasingkan ragam

bahan obat yang terletak sembarangan di ruangan rumah. Ketika Rumintang

hendak ingin menata lebih rapi di lain tempat,pikirnya. Datu Pangabang

kebingungan, dia menyangka bahan itu dibuang putrinya karena Rumintang

menganggap semua itu adalah sampah.


Suatu ketika, Datu Pangabang benar-benar kecewa dan marah kepada

Rumintang. Dan berkata “dimana ramuan obat yang kuletakkan di dalam bamboo

ini, kenapa tidak lagi disini? Siapa yang mengambil?”

Kemudian putrinya menjawab “Apakah yang didalam periuk itu ramuan obat

ayah? Saya pikir itu bukan ramuan obat, sehingga saya sudah membuangnya saat

saya membersihkan rumah.” Saat itu Rumintang melakukan pembersihan langit-

langit rumah dan talete rumah batak tempat mereka tinggal. Dia menemukan

bungkusan daun pisang berisi benda seperti kotoran coklat kehitaman didalam

periuk. Dia menyangka itu adalah sambal yang lupa dimakan dan tentu saja sudah

basi. Dia membuangnya. Samaselaki dia tidak menduga benda itu adalah

“tambar” hasil racikan ayahnya yang terbaru obat penyakit sampu-sampu.

Datu Pangabang betul-betul sangat marah kepada putrinya Rumintang. Yang

membuat dia marah karena ramuan obat yang dibuang Rumintang itu dicari

berbulan-bulan lamanya dari hutan yang sulit dimasuki orang-orang . “Saya sudah

terlalu lelah mencari semua ramuan itu dari hutan yang rimbun yang sulit di

jelajah oleh banyak orang, kenapa kamu harus membuang itu?” Ucapnya dengan

nada memarahi Rumintang. Kemudian Datu Pangabang membuat wadah dari

bambu, kedalam bambu itulah ramuan obat tersebut di masukkan. Datu

pangabang kemudian menutupnya dengan pelepah pisang dan mengikatnya

dengan kuat.

Kemudian ayahnya menjelaskan kepada putrinya itu “ Wadah bambu ini akan

menjadi tempat ramuan obat, maka jangan dibuang lagi atau dipindahkan ke
tempat lain dan jangan dimainkan atau pun dipegang tanpa sepengetahuan ayah.”

“baik ayah” kata Rumintang, dan tentu Rumintang sudah mengerti.

Togap Pangalapan adalah seorang lelaki cerdas dan lincah. Dia adalah

adik Rumintang yang berusia 8 tahun. Kurang peduli pengaturan seisi rumah

apalagi ketabiban ayahnya. Di lebih gemar menggembala kerbau sambil bermain

dengan teman sebayanya di sawah dan ladang.

Suatu ketika, ayahnya berteriak dari sawah memanggil Togap yang asik

bermain di penggembalaannya tidak jauh dari ayahnya bekerja. Dia minta agar

Togap sudi mencarikan sepotong bambu untuk digunakan saluran air di pematang

sawah. “anakku, bisa kah kamu mencarikan sepotong bambu? Supaya kita

membuatkan saluran air disini” Tanpa tanya apa dan dimana, Togap langsung

berlari menuju perkampungan mencarikan bambu dimaksud. Togap kewalahan,

menebang bambu tidak mampu, bambu yang tumbang tidak ditemukan. Dia

teringat disamping hombung di rumahnya ada terletak potongan bambu. Dia

langsung menuju rumah dan memeriksa bambu itu, ternyata isinya “bumbu

masakan” yang sudah lama tidak dimakan, begitu pikirnya.

Dia membuang isi bambu, dan tanpa pikir panjang berlari ke sawah

memberikan hasil pekerjaannya itu kepada ayahnya. “Ini bambu yang ayah minta”

sembari togap menyerahkan bambu itu kepada ayahnya. Harapannya mendapat

pujian karena kerjanya cepat, ternyata dampratan. Datu Pangabang mengenal

bambu itu tempat penyimpanan tambar hasil olahannya. Bukan main kesalnya

dia. Akan tetapi Datu Pangabang tidak memukul atau berkata kasar kepada

anaknya itu.
Datu Sontang Banua adalah tabib tersohor ni negeri dimana Datu

Pangabang berada. Dari tabib tua ini pula dia banyak mendapatkan ilmu

pengetahuan. Pada suatu hari Datu Pangabang berkunjung ke rumah Datu Sontang

Banua. Kunjungannya kesana dalam rangka penyempurnaan tenaga dalamnya

yang belum sempurna dan masih jauh dibawah Datu Sontang Banua. Dia

mencurahkan segala kekesalan di hatinya akibat ulah kedua anaknya. “Saya

terlalu kesal dengan kedua anak saya, dimana ramuan yang sudah saya olah selalu

saja mereka buang, padahal saya sudah lelah mencari ramuan itu dari hutan dan

bukit bukit dan kemudian meracikanya (tambar) supaya bisa menjadi obat” cetus

datu Pangambang kepada Datu Sontang Banua.

Datu Sontang Banua tertawa terbahak-bahak. Datu Pangabang sangat

kesal karena ditertawakan oleh Datu Sontang Banua. Datu Pangabang sangan

ingin marah kepada Datu Sontang Banua, meningat yang mentertawakan itu

sudah dianggap sebagai gurunya maka dia diam saja berusaha tidak

memperlihatkan kejengkelannya.

Tambar dan taor adalah pagar kehidupan, begitu Datu Sontang Banua

memberi keterangan. “Kesehatan adalah keutamaan tubuh. Tubuh

perlu dipagari dengan ketersediaan obat. Sebagaimana pentingnya kita menjaga

kehidupan sebegitu pentingnya juga kita menjaga bahan obat. Keduanya harus

dipelihara dengan seimbang.”

Datu Sontang Banua mengajak rekannya itu naik kerumah. Dia

menunjukkan susunan benda tempat penyimpanan bahan obat yang dibuatnya.

Ada sekitar duapuluh benda berukir yang terbuat dari kayu. Dengan bentuk
berukir itu, kesannya menjadi hiasan sehingga seisi rumah tidak mengusiknya.

Amanlah bahan obat yang ada didalamnya.

Patung mini itu disebutnya Debata Idup. Akan tetapi Datu Pangabang

menolak pemberian nama itu karena Debata Idup adalah Dewa Pengobatan.

Benar, kata Datu Sontang Banua. “Debata Idup adalah dewa obat, dan bukan obat,

tapi ditangannya ada obat. Dia adalah sumber pengetahuan pengobatan.

Pengobatan adalah “mangidupi” memberi hidup dari ancaman kematian karena

penyakit”.

Datu Pangabang kemudian menempa 10 wadah penyimpanan bahan obat

racikannya dan juga mengukir batu membentuk persis seperti wadah

penyimpanan obat tersebut. Kepada anak-anaknya disebut itu Debata Idup dan

batu itu disebut Batu Debata Idup. Datu Pangambang menjelaskan kepada anak-

anaknya “Semua wadah ini jangan lagi kalian buang atau kalian pegang, dan batu

yang telah saya ukir ini jangan kalian main-mainkan. Ini akan menjadi batu yang

akan kita sembah sebagai dewa kita” Tanpa bertanya panjang lebar, mereka

mengiyakan dan tidak pernah lagi terjadi gangguan terhadap bahan obat racikan

sang tabib.

Datu Pangambang mengukir batu debata idup itu dibuat untuk sebagai

patung penyembahan pada saat masyarakat Batak belum mempunyai atau

mengenal agama, sehingga kepercayaan masyarakat ada pada batu besar, pohon

besar dan apapun itu yang mereka sembah. Kepercayaan ini disebut sebagai

“Parmalim”. Sehingga masyarakat desa memilih batu Debata Idup itu sebagai
Dewa mereka. Batu tersebut digunakan untuk disembah, pada saat menyembah,

masyarakat membawa sirih dan harus menggunakan sarung bagi perempuan.

Namun pada suatu waktu Datu Pangambang ingin memindahkan

perkampungan yang saat itu masih berada diatas gunung dimana perkampungan

itu disebut dengan Huta Sigoduk, dan ingin memindahkannya ke kaki gunung.

Kerena pada zaman dahulu masyarakat batak bermukim di atas gunung. Pada saat

ingin merintis atau membuat perkampungan baru, Batu Debata Idup tersebut

dipindahkan. Kemudian Batu tersebut diletakkan di pintu masuk desa yang baru

dirintis. Desa itu diberi nama dengan nama Huta Godang. Yang berperan dalam

pemindahan batu tersebut adalah Datu Sontang Banua. Datu Sontang Banua

memindahkannya dari gunung perkampungan awal ke Huta Godang. Desa yang

sampai saat ini masih di huni Masyarakat Simangulampe. Dimana dulunya desa

Simangulampe merupakan tanah tidur yang sama sekali belum pernah disentuh

oleeh manusia, konon katanya dahulu desa tersebut masih merupakan genangan

Danau Toba, akan tetapi semakin surutnya Danau Toba membuat tanah itu

menjadi kosong. Batu Debata Idup diletakkan tepat di pintu masuk desa Huta

godang.

Pada suatu hari saat ketika matahari mulai terbit, setelah Batu Debata Idup itu

dipindahkan ke pintu masuk perkampungan, Datu Sontang Banua kemudian

membuat permintaan. Dia menyembah Batu Debata Idup itu “Engkau diletakkan

dipintu masuk ini, engkaulah yang menjadi penjaga perkampungan ini, jauhkan

dari marabahaya yang hendak mencoba mendatangi perkampungan ini, engkaulah


yang akan menjadi dewa sebagai tempat penyembahan di perkampungan ini” ucap

Datu Sontang Banua.

Setelah dipindahkan ke pintu masuk Huta Godang, Batu Debata Idup jika

disembah dipercayai dapat menjaga perkampungan tersebut, menjaga dari angin

putting beliung, petir besar, banjir dan orang orang yang datang untuk berbuat

jahat ke perkampungan tersebut. Namun jika batu tersebut tidak lagi disembah

maka dipercayai dapat mendatangkan kesusahan bagi masyarakat desa Huta

Godang, seperti tanam-tanaman tidak lagi mempunyai hasil panen sehingga

membuat masyarakat desa mengalami kelaparan.

Akan tetapi setelah Agama muncul pada masyrakat batak, kepercayaan

tentang keajaiban Batu Debata Idup sudah musnah. Masyarakat huta godang

sudah tidak lagi memiliki rasa kepercayaan terhadap Batu Debata Idup tersebut.
Lampiran 3 : Gambar Batu Debata Idup

Gambar Batu Debata Idup


(informan bapak Jamaruli sedang menjelaskan tentang Batu Debata Idup)

(pemerintah setempat/kepala desa sedang menjelaskan tentang sejarah Batu Debata Idup)
(peneliti bersama dengan pemerintahan setempat dan salah satu informan)

(penelitian terhadap batu Debata Idup yang di pandu oleh beberapa informan di desa setempat)
Lampiran 4 : Daftar Informan

1. Nama : Nelson Simanullang


Umur : 58 Tahun
J.Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik

2. Nama : Jamaruli Simanullang


Umur : 71 Tahun
J.Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik

3. Nama : Sintaurita Banjar Nahor


Umur : 70 Tahun
J.Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik

4. Nama : Misti Simanullang


Umur : 67 Tahun
J.Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik

5. Nama : Diasolin Sinambela


Umur : 54 Tahun
J.Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Petani
Agama : Katolik
Lampiran 5 : Daftar Pertanyaan

1. Siapakah yang membentuk batu tersebut?


2. Bagaimana proses terbentuknya batu itu?
3. Adakah tujuan batu itu diciptakan?
4. Bagaimana perkembangan terhadap cerita batu itu?
5. Apakah batu itu sakral?
Seperti namanya, Batu Debata Idup, apakah memang batu tersebut
disembah sebagai Debata pada zaman dahulu?
6. Bagaimana tanggapan atau pandangan masyarakat Desa
Simangulampe terhadap cerita batu itu?
7. Adakah fungsi batu itu bagi masyarakat desa Simangulampe?
8. Adakah nilai-nilai sosial yang terdapat disaat terbentuknya cerita
Batu Debata Idup tersebut?
9. Apakah pernah orang-orang atau masyarakat desa melakukan atau
membuat permohonan terhadap batu tersebut?
Lampiran 6 : Surat Penelitian

Anda mungkin juga menyukai