Macam puja yang kedua adalah, umat lebih jauh menginspirasikan dirinya sendiri
sebagai persembahan kepada Buddha dengan segala cara yang luar biasa dan barang-
barang berharga sampai pada yang terkhir, dia menyembah “Dia’ seluruh alam semesta,
termasuk alam dari para Deva, ditempatkan di atas altar. Dengan melakukan persembahan
material dan mental, umat mengucapkan janji dengan memperkuat sikap penyembahanya
terhadap Buddha (Suwarto, 1995:318).
Beranjali mengandung makna bersatu atau menyatukan seluruh hati dan pikiran
memberi penghormatan atau sebagai tanda pengapdian (Tim LPUB Majabumi,
1999:XXXVi). “Janganlah berbuat jahat perbanyaklah kebajikan, sucikan hati dan
pikiran, itulah inti ajaran para Buddha” Dhammapada (Buddha Vagga:183).
3. Namaskara.
Ketika namaskara kedua tangan, kedua lutut, dan dahi menyentuh menyentuh bumi;
kelima titik anggota tubuh menyentuh bumi, melambangkan taat pada ajaran Buddha,
dengan menjauhkan diri dari kelima nafsu, setulus hati berpaling kepada Hyang Buddha.
Namaskara yang demikian adalah yang paling hormat.
Namaskara satu kali artinya kita menjunjung tinggi Tri-Ratna; Buddha, Dharma, dan
Saṅgha. Namaskara kedua kali artinya masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang, pikiran ucapan, dan perbuatan, harus selalu dibersihkan. Namaskara tiga kali
artinya masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, setiap pagi, siang, sore,
malam, tengah malam, dan subuh, harus menjalankan kebajikan (Tim LPUB Majabumi,
1999:XI).
Menurut filsafat Mahayana, upaya kausalya adalah kunci untuk mengerti ajarang\
Sang Buddha secara umum. Makna upaya kausalya dapat diartikan sebagai Samvrti
Satya (kebenanaran umum) untuk menerangakan hal-hal yang sulit dimengerti atau
Paramartha Satya (kebenaran Mutlak).
Upaya kausalya yang paling mudah diterapkan bagi umat awam yaitu dengan
melakukan Pujabhakti. Hal ini tercermin dalam kutipan dibawah ini:
”Bagi mereka yang melakukan Pujabhakti dengan hati yang tulus bernamaskara
serta merangkapkan kedua tangan atau dengan satu tangan atau hanya dengan
menganggukan kepala menghormat arca Buddha, akan berangsur-angsur
menjumpai para Buddha dan mencapai pembebasan dan mencapai ke-Buddha-an.
Dengan demikian jelaslah bahwa Sang Buddha mengajarkan Dharma sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan seseorang hal ini terlihat dalam kutipan ini: “Sang Buddha
mencurahkan hujan Dharma untuk memuaskan hati mereka yang mencari jalan”
Saran
Cau Ming. 1994. Materi Pokok Mahayana II. Direktorat Jedral Bimbingan Masyarakat
Hindu Buddha dan Universitas Terbuka. Jakarta.
Suwito. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Palembang.
Tim LPUB Majabumi. 1999. Penuntun kebaktian & Upacara. LPUB Majabumi. Jakarta.