Anda di halaman 1dari 19

Puja-bhakti dalam Mahayana

A. Pengertian Puja-bhakti dalam Mahayana

Puja-bhakti adalah upacara sembahyang (kebaktian), dalam Mahayana pujabhakti


bermaksud untuk menguatkan keyakinan iman dengan cara mudah dalam menghayati
Buddha, Dhamma. Setiap hari memohon agar guru junjungan dapat memberikan
bimbingan, dan para umatnya bertekat mengikuti jejak beliau dalam mengasihi semua
makhluk. Tekat ini dilatih secara terus-menerus. Umat telah banyak mengetahui bahwa
terdapat berbagai cara untuk merealisasikan Buddha, Dharma. Di dalam upaya-kausalya
merealisasikan Buddha Dharma apakah dengan berupa Pujabhakti atau membaca
berulang-ulang kali (Liam-kheng) sutra, dharani, matra semua itu dimanifestasikan oleh
umat Buddha Mahayana dengan penuh sraddha atau penuh keyakinan dan pada akhirnya
pada dirinya terlatih maītri-karuna dan prajna. Jadi Pujabhakti adalah kunci penting
untuk masuk pintu Dharma, artinya dipakai untuk membuka hati melihat kebenaran.

Puja sebenarnya berarti hanya menghormati yang dimengerti dengan perbuatan


menyembah. penyampaian sembah ini ada dua macam, yakni material dan mental.
Penyampaian material ini yang paling penting adalah lilin (penerangan), dupa, secarik
kain, berbagai makanan sayur-sayuran, dan satu kulit kerang yang telah kosong, masing
masing menunjukan walaupun simbol-simbol adalah bukan cara yang tetap sebagai satu
dari lima Panca Indera. Bunga, buah, air, padi yang belum dimasak dan bahkan uang juga
dipersembahkan. Yang perlu diingat bahwa prinsip puja macam ini adalah sangat jelas.
Umat yang mengapdi memusatkan pada satu tujuan panca-inderanya untuk memperoleh
penerangan.

Macam puja yang kedua adalah, umat lebih jauh menginspirasikan dirinya sendiri
sebagai persembahan kepada Buddha dengan segala cara yang luar biasa dan barang-
barang berharga sampai pada yang terkhir, dia menyembah “Dia’ seluruh alam semesta,
termasuk alam dari para Deva, ditempatkan di atas altar. Dengan melakukan persembahan
material dan mental, umat mengucapkan janji dengan memperkuat sikap penyembahanya
terhadap Buddha (Suwarto, 1995:318).

Puja-bhakti dalam Mahayana tidak semata ditunjukan kepada Buddha Sakyamuni


melainkan juga tehadap Bodhisattva maupun terhadap Buddha-Buddha lainya. Adanya
pujabhakti memperlihatkan bahwa Mahayana disamping mengandung ajaran-ajaran yang
filosofis, juga merupakan suatu bangunan keagamaan yang utuh dan lengkap. Tidak saja
segi kecendikiawan religiusitas yang perlu, namun juga segi efektif religius dan tindak
devosi puja-bhakti.

Anuttarapuja Santideva menguraikan kebaktian tertinggi (anuttarapuja) atau


ibadah/pemujaan tertinggi ini terdiri dari:

1. Vandana dan Puja + Hormat dengan membungkukkan badan’ dan kebaktian”.


Vandana = Bodhisattva setiap hari masih mengulangi kewajiban-kewajibannya
dihadapan yang berkesan Buddha, apakah itu berupa rupang Buddha yang terbuat
dari tanah liat, kayu, batu, atau metal, atau bahkan dari berlian. Kesan Buddha boleh
ditempatkan diatas altar di dalam vihara atau tempat suci Buddha apakah untuk
umum atau milik pribadi. Pada dasarnya teradisi Mahayana telah mendorong pikiran
Bhiksu dan umat awam yang sungguh-sungguh (semua berpotensi Bodhisattva)
dengan merawat sebuah tempat suci miniatur milik pribadi masing-masing. Umat
Buddha saat memasuki tempat suci demikian juga calon Bodhisattva melakukan
ketaatannya dalam satu cara, yakni jari kaki, alis, dan kepala menyentuh tanah secara
simulat.Bentuk ketaatan yang lebih berat adalah bagian dada juga menyentuh tanah.
Jadi tubuh umat yang terbaring itu terbaring dihadapan kaki yang telah ber-
penerangan. Ketaatan semacam ini mempunyai efek yang sungguh baik untuk
kesehatan juga. Dalam semua cabang Buddhisme, melakukan ketaatan tersebut telah
menjadi suatu bagian internal, tidak hanya dalam agama tetapi juga dalam kebiasaan
sosial.
Bilamana mengunjungi sebuah vihara, stupa atau pohon Bodhi umat itu akan
memberi hormatnya dengan cara tradisional. Buku-buku tentang Buddhisme, karena
mereka itu mewakili Dharma, yang kedua dari Tri-Ratna, haruslah sama dihormati.
Pada saat memegang satu atau sejumlah Kitab Suci atau teks kanon, umat harus
segera menempatkan buku-buku tersebut diatas kepalanya dan tidak memegangnya
dibawah tangan, atau diapit dibawah ketiak atau sampai menyentuh tanah/lantai,
ataupun ditaruh diatas meja secara sembarangan dan terbalik-balik bagaikan barang
yang tidak berharga.
2. Sarana-Gamana = mendapatkan perlindungan.
Berarti berlindung kepada Tri-Ratna, yaitu: Buddha, Dharma, dan Sangha.
Melakukan perlindungan kepada Tri-Ratna bukanlah suatu ucapan belaka yang
dilakukan sekali-kali atau selamanya. Mahayana memiliki keyakinan yang
mendalam daripada Hinayana mengenai Tri-Ratna, maknanya yang melekat pada
perbuatan dengan berlindung pada dasarnya lebih mendalam. Bagi Mahanist,
berlindung di dalam Buddha berarti berlindung, bukan d idalam Nirmana-kaya-Nya
tetapi di dalam Dharma kaya-Nya. Yang serupa itu adalah berlindung di dalam
Saṅgha, ini berarti bukan berlindung di dalam ‘Yang ikut di dalamnya’. Yang
kembali dengan satu kali lahir, ‘Yang tidak terlahir kembali’, dan arahat. Dalam
praktik disemua Buddhist melakukan Tiga perlindungan dan Pancasila Buddhis
mengambil hal yang pertama dari semua tindakan yang lain dari agama.
Umunya berlindung itu diambil dari seorang bhiksu, bila tidak ada bhiksu, satu
kelompok atau majelis boleh mengambil dari umat awam senior untuk Tri-Ratna.
Calon Bodhisattva, dirinya mungkin bukan seorang bhiksu berlindung di dalam Tri-
Ratna di dalam praktik sehari-hari atas kewajibannya itu boleh menganggap
mengambilnya langsung dari Buddha.
Mahayana mempunyai pengertian yang lebih mendalam daripada Hinayana
mengenai Tri-Ratna, maknanya yang melekat pada perbuatan dengan berlindung
pada dasarnya lebih mendalam. Bagi Mahayanist, berlindung di dalam Buddha
berarti berlindung, bukan di dalam Nirmana- kaya-Nnya tetapi di dalam Dharma-
Kaya-Nya. Yang serupa itu adalah berlindung di dalam Saṅgha, ini berarti bukan
berlindung di dalam “Yang ikut di dalamnya”. “Yang kembali dengan satu kali
terlahir”, “yang tidak terlahir lagi” dan arahat’ siapakah bitu bagi Mahayana
melambangkan spiritual individu, tetapi di dalam persamuan Bodhisattva’.
Pengertian ini harus dicamkan baik-baik, walaupun perbedaan itu bagi Mahayana
mencoba untuk menyimpan semangat dari ajaran asli. Dalam praktinya disemua
Negeri Buddhist melakukan tiga perlindungan dalam Pañcasila Buddhis mengambil
hal yang mendahului dari semua tindakan yang lain dari agama. Ketiadaan dari
ketatan ini berarti tiada fungsi Buddhist, apakah secara umum atau pribadi, dapat
dianggap tidak lengkap.
3. Papa-desana = pengakuan dosa.
Papa-desana (pengakuan dosa) adalah ketaatan bentuk lain yang telah ada sejak
permulaan Buddhisme. Dalam Vinaya-Pitaka mengenai pengakuan Dosa atau Papa-
desana, pengertian tekhnisnya mengenai pegakuan yang terang-terangan dari
kesalahan seseorang dihadapan sesama bhiksu, merupakan penalty yang menyentuh
pada dua tingkat pelanggaran atau kesalahan secara keseluruhan yang dinamakan
Patidesaniya dan Pacitiya : Bhiksu yang diminta itu mendengarkan pengakuan dosa
dengan menasehati orang yang melakukan kesalahan dengan mengharapkan dia
tidak mengulangi kesalahan tersebut, dan disana masalah tersebut berakhir.
Pengakuan dosa semacam ini pada umunya sama, yang senior mengaku dosanya
kepada yunior demikian juga yang yunior kepada senior. Santideva menyatakan
dengan penuh kasih sayang:
“Apa saja dosa yang ada bahwa saya yang malang dan tidak berperasaan, di
dalam tiada permulaan milik saya memutari kelahiran masa lampau atau di dalam
kelahiran kini ada terdapat perbuatan saya yang terlalu bodoh atau membuat orang
lain melakukan atau menyetujui atas nama dengan tidak langsung saya perbuat
secara sendiri, saya mengaku dosa atas perbuatan melanggar hukum yang berkaitan
dengan itu, dan menderita dengan penyesalan. Kesalahan apa saja yang telah saya
perbuat dengan dosa melawan Tri-Ratna atau ayah dan ibu atau yang lebih tua lainya
dengan perbuatan kata-kata atau ucapan, atau pikiran apa saja perbuatan kejahatan
yang mengerikan telah saya tempa, seorang berdosa mengotori, banyak yang
ternoda, O para Guru, saya mengaku dosa semua itu. Bagaimana mungkin saya
melarikan diri dari kesalahan itu? Cepatlah selamatkan saya. Supaya kematian tidak
datang terlalu cepat pada saya sebelum dosa-dosa saya hilang.” (The Path of Light;
By A.D. Barnett ‘John Murray, London, 1947’hal, 41-42).
Tetapi dosa dari Santideva yang menghukum dirinya sendiri bukan dosa
pembawaan lahir, namun perbuatannya sendiri di dalam kehidupan sekarang dan
yang lainya. Selanjutnya, umat Mahayana tidak mengakui dosa atu dosa-dosanya
dihadapan seorang pendengar yang dikagumi, tidak juga menjatuhkan tuntutan
kepada yang dihormati dari orang berdosa terbesar yang pernah hidup. Dia mengaku
dosa kepada Buddha dan Bodhisattva, dan tujuan dari pengakuan dosa itu ialah
menyadarkan ia dari akibat yang mengerikan, menurut hukum kamma, tidak akan
terhindarkan menyeret dia di dunia yang akan datang. Kesadaran ini mendorong
spiritual dia berusaha mengalami, dia mencari pertolongan dari para anggota Hirarki
Transedental.
Walaupun Buddhisme tindakan menempati terlebih dulu tidak sehat dengan dosa,
sudah pasti sangat memerlukan kesadaran yang jelas mengenai pikiran milik
seseorang yang tidak sehat, suatu perasaan penyesalan karena perbuatan salah
terhadap mereka, merupakan langkah pendahulu yang sangat dibutuhkan dalam
kehidupan spiritual. Pengakuan dosa mengenai dosa, sebagai mana dimengerti oleh
Mahayana ialah ungkapan lisan dari sikap ini. Disamping manfaat psykologi sebagai
suatu cara dari menolong umat itu untuk latihan mengenai Papa-desana adalah di
dalam intisarinya lagi pula metode lain dimana Mahayana melakukan untuk
mengarahkan kesadarannya di dalam tujuan dari penerangan sempurna atau
pencerahan.
4. Punyanumodana = bergembira menyalurkan jasa.
Bergembira menyalurkan jasa dalam makna yang sebenarnya sangat sama dengan
mudita-bhavana, yang ketiga empat brahma-vihara. Mudita terdapat di dalam
menyalurkan kemakmuran atau kesejahteraan duniawi dan kebaikan atau
keberuntungan bagi orang lain, Punyanumodana ialah tindakan menyalurkan
perolehan spiritual. Sementara dengan jelas latihan yang pertama diuraikan sebagai
suatu pencegahan terhadap iri hati itu tidaklah lebih jelas bahwa tujuan dari latihan
yang kedua itu tidak dapat dijelaskan. Hanyalah seseorang punya keadaan fisik
psychology khusus dapat merasakan iri hati dari kesucian orang lain yang
sebenarnya. Punyanumodana setelah Papa-desania, latihan ini lebih diperuntungkan
guna menetralkan suatu perasan depresi atau keputuasaan dalam makna operasi dari
kekejaman perbuatan melukai perasaan seseorang yang mungkin menjerumuskan
pengikutnya. Pengumpulan kembali dari perbuatan baik milik orang lain, dan dari
perolehan yang mulia atau agung dari arahant, Bodhisattva dan Buddha, akan
melayanai guna memastikan penggoyahaannya, jikalau tidak dimusnahkan,
kepercayaan agama dalam kemungkinan mengalami suatu kehidupan spiritual
kehidupan diatas bumi ini. Bagaimanapun dalamnya mungkin dia tenggelam dalam
lumpur dari eksistensi keduniawian, suara welas-asih terus memanggil dia, tangan
welas-asih diulurkan kepada dia, dan dengan bantuan mereka dia akhirnya dapat
membebaskan dirinya sendiri dari pencapaian pantai yang lebih jauh. Jalan di dalam
Punyanumodana dibuat dibuat untuk memberhasilkan Papa-desana bolehkah dipuji
sebagai suatu contoh yang baik dan metode keseimbangan luar biasa yang dilakukan
leh kereta Besar/Mahayana untuk kesejahteraan spiritual bagi para pengikutnya.
5. Adhyesana dan yacana = ‘doa’ berdoa’dan ‘doa permohonan.
Dimaksud bukan permohonan berkat material atau hadiah spiritual, jika
permohonan ini dinikmati pemohon sendiri, tapi pembuat permintaan yang sama
dalam minggu ke-5 oleh Brahma Sahampati berlutut dihadapan yang telah Mencapai
Peneranagan setelah kemenangan tingginya, permohonannya demi kepentingan
semua makhluk hidup memohon dia memutar Roda Dharma. Dengan mentaati suatu
teradisi kuno, disebutkan dalam Mahaparinibbana Suttta dengan memperhatikan
hari-hari terakhir dari Sang Buddha meminta dia untuk tetap tinggal di bumi ini
hingga akhir kalpa, Umat Mahayana menurut Santideva memohon kepada yang telah
mencapai Penerangan jangan menghilang ke dalam parinirvana supaya dunia tidak
menjadi buta.
Welas asih, aspek dinamis dari kebijaksanaan adalah spontanitas bermunculan di
dalam kepenuhan semua penerangan yang cepat diperoleh. Permohonan Brahma
Sahampati bukanlah sebab atas welas asih Buddha yang amat besar, karena
kesemptan mewarisi ke dalam sistem dunia sebagai tujuannya untuk mengepali yang
melampaui kedewaan. Para Buddha tidak perlu diingatkan atas kebajikan mereka.
Berdoa dan doa permohonan sesungguhnya suatu cara dari memperkuat keyakinan
memiliki umat itu sendiri untuk mneyebarkan universal dengan cara menuju
pencerahan.
6. Parinamana dan atma-bhavadi-parityagah = Penyaluran jasa/penyerahan jasa’ dan
‘pasrahkan diri dicapai sebagai klimaks dari latihan-latihan kebaktian pendahuluan.
Dengan cara ketaatan pada lima Ibadat/pemujaan tertinggi terlebih dulu, umat
yang taat itu telah mengumpulkan sejumlah jasa yang dikenal sebgaai punya. Setiap
tindakan yang diniginkan, dengan tubuh, ucapan ataupun pikiran/ mental, adalah
produk dari akibat atau hasil tertentu yakni vipaka. Dalam hal tindakan atau
perbuatan dari kerakusan, kemarahan dan penipuan atau khayalan, hasilnya adalah
penderitaan, dalam hal tindakan atau perbuatan yang berlawanan dari pikiran yang
seperti itu adalah menyenangkan. Bukan saja imbalan hadiah mengikuti perbuatan
baik, begitu juga hukuman yang pantas diterima sebagai telah berbuat salah atau
‘buruk’ menyusul orang tersebut dan dia pasti mengalami pada suatu waktu.
Punya yang lebih populer dari pada konsepsi filosofi merupakan spiritual dengan
kredit point atas perbutan baik sampai dengan waktu karma dan faktor lain
mengijinkannya menjadikan dalam kebahagiaan apakah di bumi ini atau dalam salah
satu alam bahagia. Terdapapat beberapa kelompok Buddhist mengenai konsepsi ini
bahwa kehidupan spirtual seperti itu dicatat dan tujuannya dengan keyakinan bahwa
pada saat meninggal, umat yang taat itu mempunyai kredit point atas sejumalah
Punya yang cukup untuk membelikan tumimbal lahir yang bahagia. Demikian juga
bila umat tersebut ada dosanya maka kredit point tersebut dapat diimbangkan juga
sesuai dengan kredit point terhadap dosanya. Punya terus dikumpulkan atau ditabung
dari perbuatan baik, seperti mendirikan vihara atau memberikan sumbangan kepada
Saṅgha , dapat juga kepada seseorang atau sekelompok orang.
Konsep ganda mengenai punya dapat secara individu lagi pula non-individu,
akhirnya memperoleh sambutan yang luas dan kini penyaluran jasa Parinamana
adalah suatu kegiatan yang popular. Dapat juga menyalurkan jasa bagi keluarga
umat tersebut yang meninggal.
Umat Mahayana pada kenyataannya memberikan pertanda bahwa perbuatan tetinggi
dari altuisme azas yang mengutamakan kepentingan orang lain, hal yang tidak
mementingkan dirinya sendiri dari pada pembebasan individu, yang pada akhirnya
akan membawa pada suatu kesimpulan kemenangan atas karirnya sebagai seorang
Bodhisattva.
B. Jenis-Jenis Puja
Ada dua jenis Puja dalam Mahayana yakni:
1. Material
Jenis Puja yang pertama dengan cara memberikan persembahan dalam bentuk
materi antara lain dupa, lilin, bunga, buah-buahan, sayur-sayuran, secarik kain,
air, padi yang belum dimasak, dan manisan. Hal terpenting disini adalah lilin,
sebagai simbol penerangan.
2. Mental
Jenis puja yang kedua ini, umat lebih mengimajinasikan dirinya sendiri sebagai
penyembahan kepada Buddha. mendorong pikiran bhiksu dan umat yang
sungguh-sungguh. Seperti vandana, dan puja: Hormat dengan membungkukan
badan dan kebaktian. Vandana: Boddhisattva setiap hari masih mengulangi
kewajiban-kewajiabanya dihadapan yang terkesan Buddha atau Buddha rupang
untuk melakukan ketaatannya. (jari kaki, alis, dan kepala, menyentuh tanah
secara simultan, bentuk puja yang lebih berat adalah bentuk ketaatan, yang juga
menyentuh tanah jadi umat yang mengapdi tertelungkup dihadapan kaki yang
berpenerangan.

C. Barang-Barang Persembahan Beserta Makna-Nya


1. Dupa atau hio
Bermakna dengan wangi yang khasnya (wangi dupa) dapat berguna untuk
membersihkan udara serta lingkungan (Dharma-dhatu). Selain itu dupa juga
digunakan untuk mengundang langsung secara batin atau hati nurani kehadapan
Hyang Thatagata, Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha, para Boddhisattva
Mahasattva, dan para Deva-Devi (Mahkluk halus yang suci).
2. Lilin merah
lilin merah yang telah dinyalakan memberikan penerangan, yang memiliki makna
agar diberikan, penerangan menerangi jalan kehidupan dan penghidupan diwaktu
sekarang. Buddha Dharma menerangi rohani, pikiran, secara perlahan-lahan
dibawa kejalan peneragan, pencerahan. Dengan Buddha Dharma sebagai
pembimbing manusia agar selalu berada dijalan yang benar, menerangi semua
jalan kehidupan.
3. Air mineral
Persembahan air mempunyai makna agar pikiran, ucapan, dan perbuatan selalu
bersih. Membersihkan kekotoran batin dari ketidaktahuan. Menghapuskan kilesa,
avidya dan prajna terpancar keluar dari batin atau hati nurani. Seseorang juga
bisa belajar dari sifat air, seperti kerendahan hati, sabar tetapi mempunyai prinsip
untuk maju dalam hal rohani atau spiritual. Seseorang juga belajar untuk bersabar
(Khasanti), sebagai gambaran bahwa air selalu mengalir dari tempat yang tinggi
menuju ketempat yang lebih rendah. Bila ada suatu benda yang menghalanginya,
air akan mencari jalan lain untuk mengalir.
4. Bunga
Bunga yang mekar menebarkan keharuman, melambangkan kehidupan dan
ketidakekalan. Keharuman bunga juga diibaratkan nama dari nama seseorang.
Karena harumnya perbuatan dan kebajikan yang telah dilakukan akan menyebar
keseluruh penjuru dan tidak dapat terhalang oleh ruang dan waktu. Bunga juga
melambangkan ketidak kekalan semua yang berkondisi adalah tidak kekal atau
tidak abadi.
5. Buah
Buah mempunyai makna agar seseorang tidak melakukan pembunuhan kepada
mahkluk lain. Secara filsafat sunyata dapat memberi pengertian dari buah sebagai
eksis. Daripada perbuatan yang telah dilakukan.

D. Susunan Altar dalam Tradisi Mahayana


Altar merupakan tempat yang mempunyai nilai-nilai religius bagi umat untuk
melaksanakan penghayatan, perenungan, dan pegamalan Buddha Dharma melaui
kegiatan sembahyang/kebaktian, meditasi, dan persembahan puja, susunan
pratima/rupang. Pratima yang terdapat di altar biasanya terdiri dari Pratima Buddha,
Boddhisattva, arahat, atau deva, dengan susunan yang bervariasi sesuai dengan
keyakinan masing-masing umat atau pengurus vihara/cetiya, diantaranya dengan
susunan:
a. Tri-Ratna, yaitu: Sakyamuni Buddha (ditengah), Bhaisajya Guru Buddha
(dikiri), dan Amitabha Buddha (dikanan).
b. Sakyamuni Buddha (ditengah), Maha Kasyapa (dikiri), dan Ananda (dikanan).
c. Sakyamuni Buddha (ditengah), Manjusri Boddhisattva (dikanan), dan
Samantabhadra Boddhisattva (dikanan).
d. Amitabha Buddha (ditengah) Avalokitesvara Bodhisattva (dikiri), dan
Mahasthamaprapta Bodhisattva (dikanan).
e. Vairocana Tathagata (dikanan), Manjusri Bodhisattva (dikiri), dan
Samantabhadra Boddhisattva (dikanan).
f. Sahasrabhuja Sahasranetra Avalokitesvara Bodhisattva atau Avalokitesvara
Bodhisattva belengan seribu dan bermata seribu.
Yang paling umum terdiri dari Pratima (1) Buddha dan (2) dan Avalokitesvara
Bodhisattva Mahasattva. Adakala ditambah Maitreya Boddhisattva, Ksitigarbha
Bodhisattva. Deva Sangharama/Viharapala, Deva Sakandha.
E. Pemujaan dalam Tradisi Mahayana
1. Pemujaan terhadap Dhyani Buddha, Dhyani Boddisattva, dan Manussi
Buddha.
Dalam Mahayana selain memberikan penghormatan pemujaan terhadap Sakyamuni
Buddha yang merupakan Manussi Buddha untuk kehidupan kurun waktu masa kini, juga
dikenal dan dilakukan penghormatan dan pemujaan terhadap Dhyani Buddha dan
Dhyani Boddhisattva.
2. Dhyani Buddha disebut juga Cosmic Buddha
Karena jumlahnya ada lima, biasanya mereka disebut Panca Dhyani Buddha dengan
mudra mereka masing-masing. Mudra adalah suatu gerakan tangan yang mempunyai arti
dan lambang Cau, Ming (1994:30).
Kelima Dhyani Buddha tersebut adalah:
a. Vairocana Dhyani Buddha
Kedudukannya berada ditengah atau dipusat. Dengan Witara mudra yaitu;
telapak tangan kiri terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan diatas lutut
kanan, tiga jari tengah, manis dan kelingking diatas, ibu jari dan jari telunjuk
membentuk lingkaran, artinya mempunyai tiga loka, (Triloka). Wairocana berarti
sumber cahaya, dan memiliki warna biru tua.
b. Aksobhaya Dhyani Buddha
Kedudukannya ditimur, dengan Bhumisparsa Mudra yaitu: telapak tangan kiri ke
atas di atas pangkuan, telapak tangan kanan menelungkup diatas lutut kanan,
menunjukan bumi sebagai saksi. Aksobhaya berarti sumber ketenangan dengan
warna yang dimilikinya adalah putih.
c. Ratnasambhava Dhayani Buddha
Kedudukan berada diselatan. Dengan Wara Mudra yaitu: telapak tangan kiri
terbuka diatas pangkuan, telapak tangan kanan menelungkup diatas lutut kanan,
memberikan anugrah dan berkah. Ratnasambhava berarti permata alam semesta,
dan warna yang dimiliki adalah kuning emas.
d. Amitabha Dhyani Buddha
Kedudukannya berada dibarat. Dengan Dhayana Mudra yaitu: telapak tangan
kanan diatas telapak tangan kiri dipangkuannya, sedang bermeditasi. Amitabha
berarti cahaya tanpa batas, dan memiliki warna merah.
e. Amoghasidhi Dhyani Buddha
Kedudukannya berada diutara. Dengan Abhayamudra yaitu: telapak tangan kiri
terbuka diatas pangkuan telapak tangan kanan diatas lutut kanan dengan jari-jari
terbuka diatas, ibu jari kedalam atinya jangan takut. Amoghasidhi berarti juga
maha jadi yang tidak mengenal kegelapan, dengan warna hijau.
Dhyani Buddha, Dhyani Biddhisattva, dan Manussi Buddha dapat dipahami
dengan latar belakang konsep Trikaya, yang terdiri atas:
 Dharmakaya atau tubuh realitas yang sebenarnya yang bersifat absolut.
 Sambhogakaya atau tubuh kenikmatan cahaya yang merupakan pancaran
Dharmakaya.
 Nirmanakaya atau tubuh perubahan, perwujudan yang berlaku seperti
manusia biasa.
3. Pemujaan Terhadap Buddha Maitreya
Maitrea yang berarti yang maha pengasih dan penolong, adalah Buddha yang
dinantikan kemunculannya, dan juga merupakan satu-satunya Boddhisattva yang dikenal
dalam kalangan Theravada Cau, Ming (1994:32).Umat yang meyakininya akan
beranggapan bahwa siapa saja dapat memperoleh pertolongannya asal mau memusatkan
pikiran dalam samadhi dan menyebut namanya berulang kali. Maitrea dipercaya sebagai
manusia Buddha yang akan datang dan akan melanjutkan tugas Sakyamuni Buddha. Saat
ini beliau berdiam di Surga Tusita menanti masaknya masuk dalam rahim manusia dan
turun kedunia bertugas dengan didampingi oleh Dhyani Buddha Amoghasidhi dan
Dhyani Bodhisattva Vicvapani.
4. Pemujaan Terhadap Bhaisajya Guru Buddha
Adalah salah satu Buddha dari masa yang paling awal. Dikenal sebagai Buddha yang
ahli dalam menyembuhkan penyakit. Para pemuja yang meyakininya banyak yang
memperoleh berkah dalam bentuk kesembuhan secara ajaib dari penyakitnya. Karena itu
Bhaisjya Guru yang dalam Bahasa Tionghoa disebut Tao Shi Fo dianggap sebagai guru
pengobatan dan amat dekat dihati masyarakat luas Cau, Ming (1994:33).
5. Pemujaan Terhadap Aksobhaya
Aksobhaya yang berarti ketenangan yang tak tergoyahkan adalah nama Dhyani
Buddha yang tinggal disurga sebelah timur. Arti namanya itu sesuai denan janjinya
untuk berbuat tanpa disetai kemarahannya. Di Tibet namanya Mi bskyod-pa atau
Khurugs-pa, sedangkan di Cina adalah Pu-tung-fu, dan di Jepang Ashuku Nyorai. Di
Jawa Aksobhaya dikenal seperti terdapat dalam Candi Borobudur dan Mendut seturut
dengan paham Siwa-Buddha yang berkembang di Jawa. Pada umumnya aksobhaya lebih
banyak dikenal dialiran-aliran esoteric seperti Tantra, Mantrayana atau Lamaisme di
Nepal dan Shen Yen di Cina maupun Shingon di Jepang.
6. Pemujaan Terhadap Ksitigarbha Bodhisattva.
Ksitigarbha Bodhisattva disebut juga Di Zang Wang Pu Sa ( Tee Cong Ong Po Sat)
merupakan Bodhisattva yang paling banyak dipuja oleh umat Buddha Mahayana
disamping Guan Yin. Pemujaanya tidak hanya terbatas di Tiongkok saja tetapi menyebar
ke Korea dan Jepang. Cau Ming (1994:39).
Di Zang berarti semua kekayaan yang disimpan dalam Bumi. Ksitigarha adalah
salah satu dari 4 Bodhisattva yang sangat dihormati oleh kaum Mahayana. Ke-empat
Bodhisattva itu masing-masing memili kualitas dasar:
1. Guan Yin atau Avalokitesvara sebagai lambang welas asih.
2. Wen Shu atau Manjusri Bodhisattva sebagai lambang kebijaksanaan
3. Pu Xian atau Samantabhadra Bodhisattva sebagai lambang kasih dan
kegiatan
4. Di Zang atau Ksitigarbha Bodhisattva sebagai lambang keagungan dalam
sumpahnya untuk menolong dan melepaskan roh-roh yang sengsara.
7. Pemujaan Terhadap Manjusri Bodhisattva
Adalah pencerminan watak kebijaksanaan yang luar biasa, atau kesempurnaan
kebijaksanaan. Manjusri Bodhisattva dikatakan Bodhisattva yang pertama dan bersama
dengan Avalokitesvara Bodhisattva adalah dua Bodhisattva terpenting dalam kalangan
Mahayana. Bijak dan Welas asih adalah dua watak pasangan yang sangat penting.
menurut versi Mahayana, ia telah memperoleh petunjuk dari Sakyamuni Buddha bahwa
tanggung jawab dan tugas utamanya adalah untuk mengajar dan menunjukan jalan
keselamatan bagi setiap mahkluk yang menderita Cau, Ming (1994:40).
Manjusri dianggap sebagai arsitek surgawi yang memberi penerangan dan
kecerdasan bagi siapa saja yang giat menjalankan Dharma. Di jawa Tengah terdapat
pemujaan terhadap Manjusri Bodhisattva. Hal ini terungkap di dalam Prasasti Klurak
yang berangka tahun 782 tentang pembuatan arca Manjusri yang mengandung Buddha,
Dharma dan Sangha dalam dirinya. Kemungkinan pemujaan arca Manjusri Bodhisattva
ini terletak disebelah utara bangunan Candi Prambanan.
8. Pemujaan Terhadap Samantabhadra Bodhisattva
Samantabhadra Bodhisattva terkenal dengan karena persembahannya yang tidak
terbatas kepada para Buddha dan sepuluh sumpah agungnya yang tertunjukan kepada
orang-orang sengsara, yaitu untuk memuja para Buddha, Tathagatha; mengaturkan
sembah kepada para Buddha; mengakui dosa-dosa pada masa kehidupanya yanglalu dan
berbuat kebajikan; bergembira dalam kebajikan dan kebaikan orang lain; memohon
kepada para Buddha mengkhotbahkan Dharma-Nya; memohon Buddha untuk tetap
tinggal di dunia; mempelajari Dharma dan mengajarkan kembali; membantu semua
makhluk yang sengsara; menyalurkan hal-hal baik kepada pihak lain.
f. Penghormatan dalam Tradisi Mahayana
1. Pratima
Pratima yang terdapat di altar mempunyai arti dan makna religius yang sangat
mendalam, mencangkup nilai-nilai rohani Agama Buddha dan keyakinan hakiki umatnya.
Masing-masing pratima memiliki manfaat dan makna yang sangat sulit dijelaskan, oleh
karena bersifat esoteric (rahasia dan gaib) dan empiric (berdasarkan
pengamatan/penghayatan dan pengamalan individu) yang tidak dapat diterangkan secara
harfiah (Tim LPUB Majabumi, 1999:XXViii).
Bagi umat yang memiliki keyakian mengetahui bahwa pratima yang terdapat di altar
bukanlah untuk disembah, untuk mendapatkan sesuatu yang inginkan. akan tetapi makna
yang terkandung ketika melakukan persembahyangan meditasi adalah sebagai obyek
perenungan. Dengan demikian pikiran akan terpusat pada Buddha atau Bodhisattva yang
terdapat di altar. Pratima atau Patung Buddha ini dipergunakan utnuk memberikan
penghormatan atas rasa terima kasih umat Buddha atas ajara-ajaran suci dan luhur serta
bimbingan dan teladan yang telah diberikan oleh mereka.
2. Anjali.
Merupakan penghormatan yang dilakukan dengan cara sepasang tangan dan
kesepuluh jari dirapatkan menjadi satu didepan dada. Ini disebut rangkap sepuluh.
Kesepuluh jari melambangkan kesepuluh alam:
- Alam Buddha
- Alam Bodhisattva
- Alam Pratyeka Buddha
- Alam Sravaka
- Alam Devata
- Alam Manusia
- Alam Asura
- Alam Preta
- Alam Binatang
- Alam Penguni Neraka

Beranjali mengandung makna bersatu atau menyatukan seluruh hati dan pikiran
memberi penghormatan atau sebagai tanda pengapdian (Tim LPUB Majabumi,
1999:XXXVi). “Janganlah berbuat jahat perbanyaklah kebajikan, sucikan hati dan
pikiran, itulah inti ajaran para Buddha” Dhammapada (Buddha Vagga:183).
3. Namaskara.
Ketika namaskara kedua tangan, kedua lutut, dan dahi menyentuh menyentuh bumi;
kelima titik anggota tubuh menyentuh bumi, melambangkan taat pada ajaran Buddha,
dengan menjauhkan diri dari kelima nafsu, setulus hati berpaling kepada Hyang Buddha.
Namaskara yang demikian adalah yang paling hormat.
Namaskara satu kali artinya kita menjunjung tinggi Tri-Ratna; Buddha, Dharma, dan
Saṅgha. Namaskara kedua kali artinya masa lampau, masa kini, dan masa yang akan
datang, pikiran ucapan, dan perbuatan, harus selalu dibersihkan. Namaskara tiga kali
artinya masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, setiap pagi, siang, sore,
malam, tengah malam, dan subuh, harus menjalankan kebajikan (Tim LPUB Majabumi,

1999:XI).

Cara ber- namaskara


 Kedua telapak tangan dirangkapkan didepan dada (anjali). Berdiri tegak di depan
alas-namaskara (bantalan untuk bersujut).
 Tangan kanan diturunkan dan ditaruh ditengah-tengah alas namaskara, disebut satu
telapak. Tangan kiri tidak bergerak. Kedua turut diturunkan menekan disudut
bawah.

Arti membalikan telapak tangan pada saat ber-namaskara :


Berpaling kepada Buddha, namaskara kepada Buddha, menerima kebajikan, dan
pengetahuan tertinggi dari para Buddha, inilah satu anugrah yang berharga, patut
dijunjung dan dihormati.
a. Mudra vairocana (Wensin)
Setelah namaskara, kedua tangan tetap beranjali didepan dada, langkah
kedua, telapak tangan kanan diletakan diatas telapak tangan kiri membentuk
setengah kepalan, kedua ujung ibu jari disatukan. Bersamaan dengan itu
badan dibungkukkan, tangan diturunkan sampai sebatas 1 cm di bawah lutut.
Sewaktu akan menegakkan badan kembali, kedua jari telunjuk, ujung dengan
ujung disatukan, dan jari-jari yang lainnya tetap membentuk setengah
kepalan. Bersamaan waktu dengan menegakkan badan, jari telunjuk diangkat
ditunjukan di antara kedua alis mata. Terakhir seluruh jari direntangkan
kembali beranjali. Mudra vairocana melambangkan kedamaian dalam bathin
b. Dhyana mudra
Telapak tangan kanan diletakan diatas telapak tangan kiri, kedua ibu jari,
ujung dengan ujung dipertemukan dan diletakan dibawah hati (diatas pusar),
cara ini diartikan sebagai memapah dan mengendalikan diri.
4. Pradaksina
Merupakan salah satu cara penghormatan yang dilakukan dengan cara tangan tetap
dalam posos dhayani mudra, yang kemudian berkeliling tiga kali mengelingi obyek
pemujaan, dari kiri kekanan searah jarum jam, sambil membaca matra yang sering
dilakukan dalam ibadah atau upacara Mahayana. Hal ini bertujuan memusatkan hati, dan
merenungkan sifat-sifat dari seorang Bodhisattva yang penuh dengan welas asih dan
kasih sayang. Pradaksina diartikan sebagai salah satu cara perenungan, penghayatan
(meditasi) terhadap Hyang Buddha atau Bodhisattva Mahasattva.

g. Pelaksanaan Puja Bhakti Mahayana


Dewasa ini yang dapat dilihat bagi pelaksanaan yang umum dari puja-bhakti dalam
Mahayana yaitu; umat pergi ke cetiya/ vihara pada setiap tanggal 1 dan 15 menurut
penanggalan Lunar Calender yang disebut hari-hari Uposatha (Ce It dan Cap Go). Ini
merupakan salah satu pelaksanaan puja-bhakti yang dapat diterapkan oleh umat awam
dan ini merupakan salah satu dari metode upaya kausalya yang mudah dimengerti oleh
umat awam dimana umat pergi ke vihara/ ceitiya hanya membakar dupa, menyalakan
lilin, memberikan persembahan bunga atau persembahan lainnya. Dengan hati yang
ikhlas dan tulus mereka melakukan Puja-bhakti kendatipun hanya sedikit pengetian
Dharma yang diperoleh, namun hal tersebut dianggap cukup praktis bagi umat yang sibuk
dengan pekerjaan sehari-hari Cau, Ming (1994:42-43).
Di samping itu adanya sebahyang atau upacara besar bagi keluarga yang
ditinggalkan yang lazimnya di adakan dirumah jenazah atau Vihara dengan sbeutan Cuo
Cai. Inipun salah satu manifestasi dari sifat Maitri Karuna yang dimiliki oleh para umat
Buddha dan Bodhisattva agar dengan kekuatan mereka memberikan pertolongan pada
yang meninggal, tentu saja hal ini menyangkut biaya upacara yang cukup besar dimana
tidak semua umat bisa menjangkaunya. Namun ketika hal ini bisa diluweskan karena
merupakan salah satu penampilan dari sifat upaya kausalya.
Disamping pelaksanaan puja-bhakti terdapat terdapat pengulangan pembacaan sutra
(Nie Cing/Liam Keng) dikenal juga adanya manta-mantra yang tidak dapat diterjemahkan
secara harfiah namun mempunyai kekuatan tertentu. Manta-mantra itu misalnya; Om
Mani Padme Hum, Om Muni-muni Mahamuni Sakyamunisvaha!.
Dharani adalah mantra yang agak panjang. Inipun tidak dapat diterjemahkan secara
harfiah. Pembacaan Dharani biasanya dilakukan ditempat-tempat tertentu seperti vihara
atau ceitiya sedangkan orang membacakan dharani harus dengan pikiran yang memusat
serta diiringi nada maitri dan karuna yang kuat, dengan harapan agar semua mahkluk
dapat hidup bahagia.

h. Manfaat-Manfaat Memberikan Persembahan


Ajaran Mahayana penuh dengan berbagai doktrin yang tidak mudah untuk
dimengerti. Begitu banyak ritual dilakukan untuk menghormat kepada yang patut
dihormati baik seorang Bodhisattva dan Para Buddha yang diyakini dalam tradisi
Mahayana. Tidak hanya melakukan penghormatan, akan tetapi yang paling terpenting
adalah bagaimana mendedikasikan diri untuk melakukan apa yang dilakukan seorang
Bodhisattva agar tercapainya kebahagiaan semua makhluk.
Dalam tradisi Mahayan dikenal adanaya upaya kausalya. Upaya kausalya
merupakan jalan atau cara yang mudah atau praktis untuk mengerti dan menghayati
Dharma Sang Buddha. Menurut Prof. Sawada Kensho da dalam Karya Michael Pye
Skilful Means A Concept in Mahayana Buddhism, dikemukakan ada dua pengertian
tentang Upaya Kausalya, yaitu:
1. Upaya kausalya yang dibabarkan Snag Buddha demi kepentingan setiap insan.
2. Upaya kausalya yang dipakai oleh makhluk hidup utnuk mencapai pembebasan.

Menurut filsafat Mahayana, upaya kausalya adalah kunci untuk mengerti ajarang\
Sang Buddha secara umum. Makna upaya kausalya dapat diartikan sebagai Samvrti
Satya (kebenanaran umum) untuk menerangakan hal-hal yang sulit dimengerti atau
Paramartha Satya (kebenaran Mutlak).
Upaya kausalya yang paling mudah diterapkan bagi umat awam yaitu dengan
melakukan Pujabhakti. Hal ini tercermin dalam kutipan dibawah ini:

”Bagi mereka yang melakukan Pujabhakti dengan hati yang tulus bernamaskara
serta merangkapkan kedua tangan atau dengan satu tangan atau hanya dengan
menganggukan kepala menghormat arca Buddha, akan berangsur-angsur
menjumpai para Buddha dan mencapai pembebasan dan mencapai ke-Buddha-an.

“Bagi mereka yang mendengarkan Dharma kemudian melaksanakn Dana, Sila,


Ksanti, Virya, dan Dhyana akan mencapai pembebasan dan mencapai Ke-
Buddha-an.

Dengan demikian jelaslah bahwa Sang Buddha mengajarkan Dharma sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan seseorang hal ini terlihat dalam kutipan ini: “Sang Buddha
mencurahkan hujan Dharma untuk memuaskan hati mereka yang mencari jalan”

Seseorang dapat meningkatkan kesungguhan dalam puja-bhakti dengan mengerti


manfaat dan arti saat memberikan persembahan? Hal tersebut dapat diketahui
sebagaimana tatacara terperinci dan penuh kehati-hatian saat memberikan persembahan
seperti saat menyalakan lilin, dupa, dan peralatan lainya. Dari penjelasan dan makna dari
masing-masing persembahan diatas memang memiliki makna filsafat yang sangat
mendalam dan bisa dipahami dan dimengerti makna persembahan tersebut.
Kesimpulan

Puja-bhakti dalam Mahayana merupakan kegiatan yang bertujuan menguatkan


keyakinan atau iman terhadap Buddha, Dharma, dan Saṅgha. Dalam upacara ini sangat
banyak perlengkapan yang penting untuk dipersiapan baik yang berupa materi maupun
mental. Perlengkapan material diantaranya; Dupa, Lilin, Bunga, Buah, Air Mineral,
sedangkan yang bersifat mental yakni Konsdisi batin yang siap untuk menerima Dharma,
dan melatih Konsentrai melakukan perenungan terhadap Buddha. Segala bentuk
persembahan ini masing-masing mempunyai arti untuk merenungan sifat dari kehidupan
ini dan merenungkan sifat dari ketidakekalan, penderitaan, dan tiada inti. Sangat penting
untuk diingat, puja-bhakti dalam tradisi Mahayana, semata-semata bukan hanya
dilakukan untuk mengormat Sakyamuni Buddha, akan tetapi penghormatan juga
ditujukan kepada para Boddhisattva yang memiliki cita-cita membantu semua makhluk
agar dapat terbebaskan dari penderitaan. dengan melakukan penghormatan dikatan akan
berangsur-angsur bertemu dengan Buddha dan akan mencapai tingkat Ke-Buddha-an.

Saran

Dalam melakukan penghormatan terutama tradisi Mahayana, sangat banyak yang


perlu untuk diketahui. Semuanya dilakukan agar lebih cepat mengerti Dharma, sebagai
bentuk upaya kausalya. Dengan demikian melalui tulisan ini semoga dapat memberikan
pemahaman tentang maksud dari semua persembahan dan penghormatan tersebut.
Daftar Pustaka

Cau Ming. 1994. Materi Pokok Mahayana II. Direktorat Jedral Bimbingan Masyarakat
Hindu Buddha dan Universitas Terbuka. Jakarta.

Suwito. 1995. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia.
Palembang.

Tim LPUB Majabumi. 1999. Penuntun kebaktian & Upacara. LPUB Majabumi. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai