Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH GOA GAJAH

Goa Gajah dibangun pada abad ke-11 M, pada masa pemerintahan Raja Sri
Astasura Ratna Bumi Banten raja Bedulu. Goa ini dijadikan sebagai tempat pertapaan,
yang dibuktikan dengan adanya ceruk-ceruk di dalam goa. Kekunaan disini bisa dilihat
dari Peninggalan Purbakala. Di pelataran Pura Goa Gajah terdapat Petirtaan Kuna 12 x 23
M2, terbagi atas tiga bilik. Dibilik utara terdapat tiga buah Arca Pancuran dan di bilik
Selatan ada Arca Pancuran pula, sedangkan di bilik tengah hanya terdapat apik arca.

Selain itu di sekitar goa juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung
widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Yang tersisa hanya 6 patung saja,
satu patung menurut petugas dipindahkan ke lokasi lain, akibat gempa beberapa tahun
yang lalu.Enam patung ini merupakan symbol dari 7 sungai suci di India, yang
merupakan tempat kelahiran agama Hindu dan Budha.Pura Goa Gajah salah satu obyek
wisata di bali, terletak di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar, Bali, merupakan pusat
Kerajaan Bali Kuna, dan salah satu situs peninggalan sejarah di bumi nusantara, Goa
Gajah lebih tepat disebut pura, namun karena berbentuk goa, maka dinamai Goa Gajah.
Nama Goa Gajah di duga berasal dari kata Lwa Gajah, nama Wihara atau pertapaan
bagi biksu dalam agama Budha. Nama tersebut terdapat pada lontar Negarakertagama
yang disusun oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Kata Lwa atau Lwah (Loh)
memiliki arti sungai. Oleh karena itu, yang dimaksud di sini adalah pertapaan yang
terletak di Sungai Gajah atau di Air Gajah. Dalam prasasti tahun 1103 Saka yang
dikeluarkan oleh Raja Jayapangus disebutkan bahwa Air Gajah adalah pertapaan bagi
Pendeta Siwa. Goa Gajah di kelilingi area persawahan dengan ke indahan ngarai sungai
Petanu, susasananya masi asri dan hijau. Menurut catatan sejarah, tempat wisata Goa
Gajah pertama kali ditemukan oleh sarjana Belanda, Prof. Gorris dan Eting pada tahun
1923. Goa ini berbentuk huruf T dengan Arca Ganesha berbadan manusia namun
berkepala gajah di sebelah kiri goa.Arca ini dipuja dan dipercaya sebagai Dewa
Penyelamat dan Pelindung Ilmu Pengetahuan. Di sebelah kanan goa terdapat Arca
Trilingga (Siwa, Sada Siwa, dan Prama Siwa). Pada zaman tersebut ada peninggalan
Hindu Siwa-Budha. Berdasarkan peninggalan arkeologi dan atas dasar hasil-hasil
ekskavasi yang diadakan tahun 1955, dapat disimpulkan fungsi dari Goa Gajah sebagai
tempat pertapaan dan wihara untuk pendeta untuk pendeta Siwa dan pendeta Budha.

Pembangunannya dimulai abad ke 10 atau 11 berdasarkan prasasti yang


dipahatkan pada dinding timur dari mulut goa berupa tulisan memakai huruf Kediri
Kwadrat. Tempat pertapaan Goa Gajah diyakini merupakan bentuk tiruan dari pertapaan
Kunjarakunja yang ada di India Selatan, maka relief yang dipahatkan pada pertapaan Goa
Gajah adalah pahatan-pahatan alam pegunungan. Pada mulut goa sebagai pintu masuk,
dihiasi pahatan kepala Kala dengan mata melirik ke arah kanan yang diyakini memiliki
fungsi sama dengan Bhoma (relief muka raksasa) yang terdapat di gapura sebuah
bangunan suci yang berfungsi untuk menjaga bangunan tersebut. Di kiri dan kanan pintu
masuk terdapat masing masing dua buah ceruk (lubang) untuk tempat bertapa yang
berada sekitar 1 meter dari tanah. Cahaya temaram yang berasal dari lampu menjadikan
tempat ini tidak terlalu gelap untuk dikunjungi wisatawan tetapi juga tidak terlalu terang,
karena untuk mempertahankan susana pertapaan agar terkesan sepi dan tenang. Bagian
dalam ruangan utama memiliki 11 buah ceruk (tempat bertapa) berbentuk horisontal.
Pada ujung barat terdapat arca Dewa Ganesha, sedangkan di ujung timur terdapat 3 buah
lingga dan masing-masing lingga tersebut di kelilingi lingga kecil. Pada bagian sebelah
timur dapat ditemukan goa alami dan jenis patung-patung Budha serta pahatan-pahatan
batu tebing yang sebagian besar telah jatuh di pinggiran sungai yang juga akibat gempa
bumi.
Di dalam goa juga terdapat patung Ganesha, yang dianggap sebagaidewa
penyelamat dan pelindung ilmu pengetahuan. Di dinding goa terdapat
prasasti. Berdasarkan jenis hurufnya, prasasti ini diperkirakan ditulis pada sekitar abad
ke-11. Pada setiap Purnama sasih Kapat di penanggalan Bali, kira-kira bulan September
atau Oktober, diadakan upacara Piodalan di Pura Goa Gajah. Upacara ini diiringi dengan
tarian dan gamelan tradisional Bali. Pura Hindu Goa Gajah sudah dikenal sejak masa
pemerintahan beberapa raja di pulau Bali, diantaranya yaitu:

Sri Dharmawangsa Wardhana Marakata Pangkajastano Tunggadewa (tahun 1022 Masehi)

Raja Anak Wungsu (tahun 1053 Masehi)

Paduka Sri Maha Guru (tahun 1324 Masehi)


Dan nama candi itu sendiri sebenarnya berasal dari kata "Lwa Gajah", yang ditulis oleh
"Mpu Prapanca" pada tahun 1365 Masehi berdasarkan kitab "Negara Kertha Gama".
Situs purbalaka Pura Goa Gajah dibangun pada abad ke-11, ketika pada saat itu masih
diperintah oleh Raja "Sri Bedahulu". Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk di era
Majapahit menulis bahwa "Lwa Gajah" terletak di desa Bedulu sebagai tempat pertapaan
"Sang Bodadyaksa".

Ada juga disebutkan istilah Kunjarakunjapada yang berarti "Asrama Kunjara" dimana
dalam bahasa Sansekerta berarti "Gajah". Asrama kunjara adalah asramanya "Rsi
Agastya" yang terletak di Mysore (India Selatan), dimana terdapat banyak gajah liar
hidup di sekitar asrama tersebut, jadi ada kemungkinan bahwa Goa Gajah dibangun untuk
mengingatkan tentang Asrama Kunjarakunjapada di India.

Penemuan awal Goa Gajah dimulai dari laporan Hindia Belanda secara resmi oleh L.C.
Heyting pada tahun 1923, yang melaporkan penemuan Arca Ganesha, Patung Tri Lingga,
juga Patung Hariti kepada pemerintahan Hindia Belanda.

Ada sebuah bangunan yang menyimpan patung Ratu Brayut atau Dewi Hariti, yang pada
awalnya memiliki karakter jahat, tapi setelah mendapat pelajaran agama Buddha akhirnya
sifat jahatnya berubah menjadi kasih sayang dan pecinta terhadap anak - anak seperti
terlihat pada patung.

Dan disebelah sisi kanan atas dari dinding gua, terdapat tulisan "Kumon" dan "Shy
Wangsa" yang ditulis dalam huruf kwadrat Kediri, dan artinya yang masih belum bisa
dipastikan dan diketahui oleh sejarawan. Menurut penelitian arkeologi dari bentuk seni
patung dan kolam air suci kuno yang ada di Goa Gajah diyakini dan diwariskan dalam
abad ke-11 masehi.

INI BOLEH DIISIIN BOLEH GAK FREDD


Kompleks Kawasan Candi Goa Gajah terdiri dari dua (2) bagian utama, yaitu:

Kompleks Utara Warisan Hindu - Shivaism dan Artefak yang terdapat di kawasan ini,
yaitu:

ARCA GANESHA

yang terdapat di dalam gua dan dalam mitologi Hindu, Ganesha adalah putra dari Dewa
Siva dengan Dewi Parwati (Uma). Dewa Ganesha juga sering disebut sebagai penolak
bahaya (Ganapati), juga sebagai simbol kebijaksanaan (Vinayaka). Selain itu, Ganesha
memiliki tujuh nama sesuai dengan tugasnya. Dan wajah Ganesha sendiri memiliki wajah
gajah, dengan tubuh manusia, dan dia memiliki 4 lengan, masing - masing tangan
membawa sesuatu yang berbeda yang merupakan simbol dari:

PARACU (kapak): Sebagai simbol untuk menghancurkan semua bahaya (artinya:


memerangi kebodohan yang ada di dalam pikiran kita).

MANGKUK (Semangkuk Air / Permen): dengan belalai menyedot ke dalam mangkuk


(artinya: simbol pengetahuan yang harus diperoleh melalui pendidikan, di mana kita
harus selalu belajar baik di sekolah maupun di masyarakat untuk masa depan yang lebih
baik.

PATAHAN TARING (fraktur gigi taring): simbol dari sifat keganasan (keraksasaan) yang
telah diatasi (kontrol keganasan diri / introspeksi diri).

AKSAMALA (Rantai Tak Terputus): Simbol pengetahuan yang tak terbatas (walaupun
kita merasa pintar tetapi, masih ada banyak hal yang harus kita pelajari ketika kita masih
hidup di dunia, karena pada dasarnya bahwa pengetahuan itu tidak akan pernah berakhir).

PATUNG TRI LINGGA

, di goa ini terdapat 3 (tiga) lingga yang pada dasarnya menjadi simbol "Siwa",
berdasarkan konsep Hindu Tri Murti, yaitu: (Brahma / Pencipta, Wisnu / Pemelihara, dan
Siwa / Pelebur). Masing - masing dari lingga ini dikelilingi oleh 8 lingga kecil dengan
landasan di satu tempat, serta secara umum "Lingga Yoni (batu tegak)" adalah lambang
kekuatan / kekuasaan, kehidupan, kemakmuran, dan kesejahteraan hidup.
PATUNG AIR MANCUR WIDYADARA - WIDYADARI

merupakan deretan patung dengan air yang keluar, menjadi simbol malaikat dari surga
yang memberi kemakmuran. Warisan peninggalan ini, terutama air biasanya digunakan
untuk upacara penyucian terutama pada ritual keagamaan yang diadakan setiap 210 hari
pada kalender Bali atau setiap enam (6) bulan, dan air di tempat ini adalah simbol
"Amerta" (air kehidupan).

Filosofi lainnya tentang mata air yang keluar dari patung juga menjadi simbol "Sapta
Gangga" atau (7) tujuh Sungai Suci seperti: Sungai Gangga, Sungai Yamuna, Sungai
Sindhu, Sungai Saraswati, Sungai Godavari, Sungai Narmada, dan Sungai Serayu.

ARCA MEN BRAYUT / RATU BRAYUT (Patung Dewi Hariti)

keberadaan dari patung ini menceritakan tentang kisah keluarga yang memiliki banyak
anak dengan simbol kemakmuran, mitologi lainnya juga menceritakan tentang kisah-
kisah Dewi Hariti, dalam agama Buddha dikategorikan sebagai "Yaksa" diklasifikasikan
sebagai predator (Pemangsa) anak - anak, yang bernama "Yaksa Pancika", dan suaminya
bernama "Yaksa Atawaka", tapi setelah menerima pelajaran kebaikan dari Budha,
akhirnya Dewi Hariti menjadi pengasuh dan pecinta anak-anak.

ARCA BUDDHA (Dhyani Budha)

patung ini merupakan simbol dari dunia Buddha Amitaba sekarang dengan konsep
"Vajradatu", yang mengontrol sisi barat dengan sikap tangan dalam "Meditasi Tapa
(Dhyana Mudra)".

Kompleks Kawasan Selatan Warisan Buddhism dekat Tukad Petanu / Tukad Pangkung
ditemukan oleh Mr. Concrat Spies (th. 1931), Artefak yang terdapat di area ini yaitu:

TIGA BELAS STUPA BUDHA BERJENJANG (komposisi Catra atau ukiran seperti
payung) dan Tiga stupa bercabang yang dipahat pada batu besar:

merupakan simbol jaman keemasan agama Buddha. Catra ini dibuat pada abad ke-10
masehi, sejaman dengan prasasti Blanjong (Sanur) sekitar tahun 913. Kondisi stupa tidak
lengkap yang disebabkan oleh Bencana yang terjadi di Bali pada tahun 1917.
KUIL PETAPAN RATU BUDDHA

yang terletak di selatan, diatas sungai Petanu (Tukad pangkung), dan terdapat patung
Buddha yang disimpan pada sebuah bangunan. Keberadaan dari patung ini diperkirakan
ada sejak abad ke-9, hal ini merupakan salah satu bukti dari penyebaran agama Buddha di
Bali.

Kawasan Candi Goa Gajah ini dibangun oleh "Raja Sri Bedahulu" tahun 1365 Masehi,
dan Raja ini ditaklukkan oleh Maha Patih Gajah Mada pada tahun 1341 Masehi, serta
menjadi kerajaan bawahan Majapahit.

Dalam prasasti tersebut telah dijelaskan bahwa Raja Sri Bedahulu memiliki nama "Raja
Sri Astasura Ratna Bumi Banten".

Jadi jelas konsep dasar di kuil Goa Gajah adalah budaya campuran agama Hindu dan
agama Budha (Buddism dan Shivaism) adalah bukti arkeologi di Goa gajah yang
merupakan refleksi toleransi beragama di masa lalu yang masih dapat kita temukan saat
ini di Bali.

Menurut informasi sejarah, peninggalan agama Buddha lebih tua sekitar abad ke-9
masehi sampai abad ke-10 masehi, dan agama hindu abad ke-11 masehi.

Pura Goa Gajah sangat terkenal serta sering dikunjungi oleh para wisatawan baik
wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara ketika mereka melakukan
perjalanan wisata ke Gunung berapi Kintamani Bali.

Anda mungkin juga menyukai