PENDAHULUAN
dilaksakan setalah upacara hari raya kuningan berakhir. Tentunya tradisi ini memiliki
sejarah dan makna yang sangat berpengaruh bagi kehidupan warga desa Munggu
sehingga tetap dilaksanakan secara turun menurun hingga saat ini.
Tradisi Mekotek sama halnya dengan berperang di zaman dulu. Tradisi Mekotek
dilaksanakan dengan cara dan sarana perlengkapan yang unik dan masih tradisional.
Tidak heran tradisi ini menarik minat para wisatawan domestik maupun mancanegara
sebagai salah satu sektor pariwisata. Perkembangan pariwsata di bali sangat memberikan
pengaruh terhadap tradisi budaya yang meberikan dampak positif dan negatif. Sehingga
diharapkan masyarakat bali dapat menyaring dampak-dampak tersebut.
Pada kesempatan ini penulis memaparkan Hari Raya kuningan beserta Tradisi
Mekotek di Desa Munggu sebagai daya tarik pariwata di Bali yang diharapkan beruguna
untuk pembaca.
BAB II
PEMBAHASAN
Tidak
dengan
jauh berbeda
Hari
Raya
Galungan,
pelaksanaan
hari raya kuningan juga terdapat rangkaiannya. Sehari sebelum Hari Raya Kuningan
adalah Hari Raya Penampahan Kuningan.Hari Raya ini Jatuh pada Jumat Wage Wuku
Kuningan. Dinamakan hari Penampahan Kuningan karena hari tersebut memiliki
kekuatan sebagai pemagpag kala dari Tumpek Kuningan. Oleh karena itu, pada hari
tersebut tidak ada kegiatan persembahyangan. Umumnya umat Hindu di Bali melakukan
kegiatan menyembelih hewan ternak dan membuat sesejan pada hari penampahan
kuningan ini yang nantinya dihaturkan pada hari raya Kuningan. Sehari setelah hari raya
Kuningan
yaitu
hari
Umanis
Kuningan.
Pada
hari
inipun
tidak
dilakukan
persembhyangan. Sebagian besar masyarakat dibali memaknai hari ini sebagai hari untuk
bersilahturahmi ke rumah kebarabat. Menjaga hubungan baik dan meningkatkan rasa
sosial.
Diyakini masyarakat Hindu bahwa saat Hari Raya Kuningan ini Ida Sang Hyang
Widhi diiringi oleh para pitara turun ke dunia memberikan berkah bagi umat di dunia,
dan pelaksanaan upacara ini hanya sampai setengah hari saja. Dikutip dari Bhagawan
Dwija mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji atau pemberitahuan
atau nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi,
bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan
mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta
amangkurat). Dengan perayaan Hari Raya Kuningan, Pemeluk agama Hindu, khususnya
di Bali diharapkan untuk mempertahankan kehidupan yang damai.
Berbeda dari Galungan, pada Hari Raya Kuningan tidak diwajibkan untuk berdoa
di pura di sekitar desa mereka terutama jika jarak dari pura dan rumah jauh.Perayaan
Hari raya Kuningan ini juga bisa dilakukan di rumah karena hal itu berkaitan dengan
durasi pendek dari hari raya ini yang hanya sampai tengah hari. Namun, beberapa orang
masih datang dan berdoa ke pura-pura di sekitar desa mereka seperti pada hari raya
Galungan, meskipun harus dimulai pagi sehingga mereka tidak lewat tengah hari.Dan
juga dapat disimpulkan bahwa makna utama dari Hari raya Kuningan adalah untuk
memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan, dan bimbingan dari
Hyang Widhi Wasa dan para leluhur.
2. Endongan
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan
perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu
pengetahuan dan bhakti (jnana).
3. Ter
Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah.
4. Nasi Kuning
Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning.Pembuatan nasi kuning
ini(ada yang berupa tumpeng) sebagai lambang kemakmuran. Nasi kuning ini
dihaturkan dalam bentuk sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning
idep kita sebagai manusia. Sebagai umat manusia, kita menerima anugrah dari Ida
Sang Hyang Widhi Wasa berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya
itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.
Dalam
batin,
diri
manusia
dengan
konteks
perang
mesti membentengi
tamiang
berupa
pengendalian diri
(indria).
(tameng)
Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan hakikat dan jati diri
sang Diri (uning tahu atau eling sadar). Mungkin itu sebabnya yang mendasari
lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada
lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa
pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan,
manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya.
Namun, untuk senantiasa memenangkan peperangan dalam hidup, manusia harus
memiliki bekal yang cukup.Bekal itu disimbolkan dengan endongan. Isi endongan tiada
lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi juga dengan ter (panah) sebagai senjata. Senjata
7
utama manusia dalam hidup tiada lain ketajaman pikiran atau kualitas pikiran. Ketajaman
pikiran ditopang oleh jnana (ilmu pengetahuan).
Gerebeg
atau
Makotek
di desa
Adat
Munggu, sangat erat kaitannya dengan zaman kerajaan dahulu kala, yakni keberadaan
kerajaan Mengwi disekitar abad ke- 17.Raja Mengwi yang I adalah I Gusti Agung Putu
disebut juga I Gusti Agung Sakti dengan abhiseka Gusti Ngurah Made Agung.
Pada masa kerajaan Mengwi, terjadi perselisihan antara raja Buleleng Ki Gusti
Panji Sakti dengan raja Mengwi, tetapi pada akhirnya terjadilah suatu perdamaian,
dengan menyerahkan seorang putri Buleleng yang bernama Gusti Ayu Panji dan
beberapa pengiringnya warga Mayong yang menjadi anggota balawadwa/prajurit Truna
Goak. Disamping itu kira-kira pada tahun 1717 daerah Blambangan dan Jembrana yang
saat itu di bawah kekuasaan Buleleng diserahkan ke Mengwi.
10
Setelah raja Mengwi Gusti Ngurah Made Agung menerima ke dua daerah itu lalu
beliau diberi gelar Cokorda Sakti Blambangan. Gelar yang baru ini menunjukkan akan
kebesaran dan kemuliaan baginda raja, mencapai kekuasaan sampai ke daerah
Blambangan. Pada masa itulah kerajaan Mengwi mencapai puncak kebesarannya dan
disegani oleh kerajaan lainnya di Bali.
Kerajaan Mengwi mempunyai balawadwa atau prajurit yang terkenal teguh dan
sakti yakni Truna Batantanjung dan Truna Munggu.Truna Batantanjung mempunyai
tugas menjaga keamanan di daerah pesisir selatan dan Truna Munggu bertugas menjaga
keamanan kerajaan Mengwi.Pada saat itu penjajah atau yang sering disebut kompeni
melakukan aksi politik devide et empera atau politik adu domba yang dilancarkan kepada
raja Mataram, untuk merebut kembali Blambangan dari raja Mengwi, niscaya
kesejahtraan dan kemakmuran rakyat akan terjamin. Oleh karena itu baginda raja
Mataram lalu mengambil keputusan hendak membebaskan seluruh Jawa Timur dari
kekuasaan orang-orang Bali.
Sesudah selesai mengatur segala persiapan dan perlengkapan, pada penghabisan
tahun 1729, pasukan Mataram yang jumlahnya cukup besar mulai bergerak menuju
Blambangan. Gusti Ngurah Panji Made, yang menjadi kepala daerah di Blambangan,
melihat kedatangan musuh dengan tiba-tiba itu dan tidak sempat melapor baik ke
Mengwi maupun ke Buleleng.Terpaksa mengadakan perlawanan sekuat tenaga, dengan
pasukan pengawal dengan jumlah kurang lebih 600 orang.Oleh karena jumlah pasukan
musuh jauh lebih besar, sehingga Blambangan dapat dikuasai oleh Mataram.
Kepala daerah gugur, hampir segenap pasukan pengawal juga mengalami nasib
yang sama. Hanya tinggal 8 orang yang masih hidup, mereka dapat menyeberang Selat
Bali. Mereka pergi ke Buleleng melaporkan keadaan di Mataram ke pada Gusti Ngurah
Panji Gde, yakni putra mahkota raja Buleleng yang telah wafat
Seketika itu juga raja Buleleng Gusti Ngurah Panji Gde, menyikapinya dengan
menyampaikan kepada raja Mengwi, bahwa Blambangan telah jatuh ke tangan Mataram
dan adiknya selaku penguasa daerah mati terbunuh. Raja Mengwi dan Buleleng dengan
pernyataan baginda akan menuntut balas. Sementara itu kekuatan balawadwa/prajurit
Buleleng dan Mengwi, siap sedia untuk berangkat ke menuju Blambangan, melakukan
pembalasan.
Pada tahun 1730 pasukan atau angkatan perang Buleleng dan Mengwi bersatu
menyeberangi Selat Bali, termasuk juga bantuan dari kerajaan Sukawati sebanyak 700
orang. Namun kekuatan Mataram yang dibantu oleh pihak Kompeni dengan persenjataan
11
yang lengkap pasukan Bali dapat dipukul mundur.Walaupun demikian kerajaan Mengwi,
Buleleng dan Sukawati selalu bersatu dan bertekad menguasai Blambangan.
Namun pada akhir tahun 1731, gerakan itu mengalami hambatan, karena raja
Mengwi ke II yang bernama Gusti Agung Made Alangkajeng, dengan gelar resminya
Gusti Ngurah Made Agung, wafat.Hal itu menyebabkan Mengwi didalam kesibukan
karena menyelenggarakan upacara palebon baginda raja yang baru wafat itu.Bahkan
sampai berbulan-bulan menyiapkan upacara yang besar, banyak menghabiskan tenaga,
harta untuk kepentingan itu.Peristiwa inilah yang merintangi langkah Mengwi untuk
menyerang Blambangan.
Setelah para pembesar Mengwi melakukan sidang untuk menetapkan raja
pengganti, lalu diambil keputusan mengangkat Gusti Agung Nyoman Alangkajeng,
menjadi raja Mengwi yang ke III. Gusti Agung Nyoman Alangkajeng adalah saudara
muda dari baginda raja almarhum, beliau dinobatkan dengan gelar Cokorda Munggu,
karena sebelum diangkat menjadi raja beliau tinggal di desa Munggu.
Cokorda Munggu setelah dilantik, lalu menyatakan hasratnya untuk merebut
kembali daerah Blambangan. Maka itu beliau memilih sebagai pimpinan pasukan yang
awalnya sebagai penyelidik adalah Gusti Agung Made Kamasan, yang mempunyai
pengetahuan politik yang amat tinggi, dengan disertai oleh pasukan Munggu yang
dikenal denganTruna Munggu. Sebelum berangkat ke Blambangan para Truna Munggu
lengkap dengan persenjataannya, mohon anugrah di Pura Dalem Kahyangan Wisesa,
dengan maksud agar mendapatkan kemenangan dengan mamasupati persenjataan.
Dalam perjalanan ke Blambangan yang diketuai oleh Gusti Agung Made Kamasan,
berpesan
kepada
pasukannya
agar
melakukan
kegiatan
perang,
sebelum ada
perintahnya,
karena
melihat situasi
di
Dengan taktik
dan
tidak
lapangan.
daya
12
upaya yang matang pasukan Mengwi dapat mengasut orang-orang Blambangan, agar
mau ikut membantu perlawanan Mengwi melawan Kompeni dan Mataram. Semua tipu
daya itu berhasil dengan mulus maka pasukan Mengwi bersama-sama dengan
masyarakat Blambangan dapat menguasai Blambangan dengan tiada perlawanan yang
berarti.
Mulai saat itulah Blambangan kembali dapat dikuasai oleh Mengwi dan
menetapkan Gusti Agung Made Kamasan, diangkat menjadi kepala daerah di
Blambangan. Karena kemampuan dan kebijaksanaannya, rakyat Blambangan merasa
dapat pengayoman sehingga merasa aman dan kesejahtraan terjamin. Kekuasaan
terhadap Blambangan, diperkirakan sampai tahun 1764, dengan terjadinya insiden di
Mengwi dan di Jembrana, sebagai pertanda Mengwi tidak terfokus pada kekuasaan di
Blambangan.
Kemenangan
di
Mengwi
yang membuat,
di Singhasari
(Blahkiuh) dan
di
diadakanlah
Munggu
upacara
kemenangan,
yakni dengan
sebutan
Gerebeg/Makotek, yakni permainan tombak. Awalnya memakai tombak yang sungguhsungguh yang terbuat dari besi, tetapi ada kekhawatiran dari pihak pemerintah Belanda,
maka mulai sekitar tahun 1940, permainan itu dilarang. Dengan terjadi pelarangan yang
amat keras dari Belanda, maka kegiatan itu dihentikan, namun terjadilah keanehankeanehan di masyarakat khususnya di desa Munggu, yakni munculnya wabah penyakit
yang tidak dapat disembuhkan yang menyerang penduduk, hingga banyak warga yang
meninggal, dan di sawah tegalan diserang oleh hama. Di lingkungan masyarakat itu
sendiri hal seperti ini lebih dikenal dengan istilah gerubug
Sehubungan dengan hal tersebut maka masyarakat mohon petunjuk kepada orang
pintar dan memohon pengampunan kepada beliau yang dilinggakan di Pura Dalem
13
Kahyangan Wisesa, atas anugrah dan petunjuk itulah kembali digelar upacara
Gerebeg/Makotek. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta
yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari
bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura. Mekotek sendiri
diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga
menimbulkan bunyi.
Disamping upacara Gerebeg/Makotek itu sebagai lambang kemenangan atas
keberhasilan menguasai Blambangan dan akhirnya juga untuk mengusir mrana/marana,
agar masyarakat khususnya desa Munggu mengalami kesejahtraan dan kemakmuran.
Kini oleh masyarakat setempat, pelaksanaan tradisi mekotek tersebut diyakini sebagai
salah satu ritual penolakbala. Tak hanya itu, sekarang ini tradisi mekotek telah
dimasukkan ke dalam agenda wisata oleh masyarakat desa setempat. Sehingga
diharapkan banyak wisatawan asing maupun domestik yang tertarik untuk menyaksikan
pagelaran tradisi unik dan langka ini.
14
tersebut hingga membentuk kerucut menyerupai gunungan kayu lalu mereka berputar,
berjingkrak. Dalam pelaksanaannya, tradisi mekotek ini biasanya di laksanakan dengan
diiringi musik gamelan untuk menyemangati para peserta mekotek itu sendiri.
Pada saat yang tepat seorang yang merasa tertantang dan punya nyali akan
mendaki puncak gunungan kayu kotekan ini sambil melakukan atraksi entah mengangkat
tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, berteriak laksana panglima perang
yang mengkomandoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh, gunungan kayu ini
ditabrakkan dengan kelompok lain yang juga
Kegiatan ini akan terus berulang terjadi sampai akhirnya para peserta mekotek kembali
menuju Pura Puseh/Desa Adat Munggu.
16
18
daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia akan terus
berkembang. Ini disebabkan oleh adanya wisatawan yang datang berkunjung untuk
melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli tersebut. Hal ini tentunya juga
menyebabkan terjadinya penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan
dilestarikan.
3. Adanya berbagai bentuk kesenian yang dikomersilkan sebagai konsumsi bagi
wisatawan menjadi suatu sumber pendapatan baru yang terbuka bagi masyarakat
dan juga kegiatan ini dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan itu sendiri.
4.
Dampak negatif:
20
21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dalam pembuatan makalah
ini iyalah :
1. Hari Raya Kuningan yang dilaksakan setiap Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku
Kuningan memiliki makna bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha
memenangkan dharma dan mengalahkan adharma untuk memohon keselamatan,
kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan, dan bimbingan dari Hyang Widhi Wasa
dan para leluhur sehingga tercipta kehidupan yang damai.
2. Sarana khas dalam pelaksanaan hari raya Kuningan yaitu tamiang dan endongan.
Tamiang merupakan simbol untuk perlindungan diri dan penolak bala dalam
menjalani perputaran roda kehidupan. Sedangkan endongan adalah wadah untuk
tempat perbekalan. Dalam kehidupan perbekalan yang utama adalah ilmu
pengetahuan dan bhakti.
3. Waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan bersembahyang sebelum tengah
hari karena energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa)
bangkit dari pagi hingga mencapai klimaknya di bajeg surya. Ini disebut masa uttpti
dan shtiti. Jadi disaat itu sangat tepat bagi kita menyerahkan diri memohon
perlindungan kepadaNya.
4. Tradisi Gerebeg atau Makotek dirayakan rutin setiap 6 bulan sekali (210 hari sesuai
kalender hindu) merupaka sebagai lambang kemenangan atas keberhasilan menguasai
Blambangan dan akhirnya juga untuk mengusir mrana/marana, agar masyarakat
khususnya desa Munggu mengalami kesejahtraan dan kemakmuran. Kini oleh
masyarakat setempat, pelaksanaan tradisi mekotek tersebut diyakini sebagai salah satu
ritual penolakbala.
5. Tradisi Mekotek diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu
satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi.
6. Pada tradisi Mekotek saat ini tidak lagi menggunakan besi sebagai sarananya namun
menggunakan kayu pulet. Kayu ini memiliki daya lentur yang tinggi untuk
meminimalkan bayaha yang ditimbulkan seperti orang terluka.
7. Tradisi mekotek ini dilakukan dengan cara peserta dibagi menjadi beberapa kelompok
lalu setiap peserta memegang pangkal kayu dengan erat dan menggabungkan ujung
kayu-kayu tersebut hingga membentuk kerucut menyerupai gunungan kayu lalu
22
23