Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pulau Bali terkenal dengan namanya Pulau Dewata dan terkenal pula dengan
budaya dan tradisi religius yang unik dan menarik. Hal seperti itu menyebakan pulau
Bali memancarkan karisma dan taksu yang luar biasa. Berkaitan dengan hal itu, maka
tidak heranlah jika wisatawan dari mancanegara berduyun-duyun datang ke pulau bali
untuk menyaksikan Perkembangan zaman bergerak dengan dinamis.
Begitu pesatnya perkembangan zaman yang di pengaruhi oleh tekhnologi dan
informasi yang sangat mudah diperoleh.Pengaruh budaya asing salah satu contohnya, ada
budaya yang berdampak baik atau malah sebaliknya yang berdampak buruk.Melihat hal
ini, perlu adanya kewaspadaan dari masing masing individu untuk dapat menyaring
(filtrasi) setiap budaya asing yang masuk agar supaya tidak berdampak negatif terhadap
kebudayaan asli bangsa.
Banyaknya kebudayaan asli bangsa yang mulai ditinggalkan atau terpengaruh oleh
budaya asing, dikarenakan kurang tertanamnya rasa memiliki dan tidak adanya sikap
peduli. Agar rasa memiliki muncul dari dalam diri masing masing, perlu ditanamkan
nilai nilai kebudayaan sejak dini. Dan dalam pelaksanaan kebudayaan itu sendiri perlu
diberi penjelasan mengenai sejarah budaya tersebut, tujuan dan manfaatnya. Sehingga
dengan demikian kebudayaan tersebut akan sulit untuk terpengaruh oleh budaya asing.
Kebudayaan dan tradisi di bali sangat berpengaruh sebagai daya tarik pariwisata
selain pemandangan alam pulau bali yang indah dan alami. Salah satu upacara dan tradisi
budaya yang berkembang di bali sebagai daya tarik pariwisata adalah pelaksaan Hari
Raya Kuningan. Upacara hari raya kuningan itu sendiri merupakan upacara yang sudah
dilaksanakan secara turun menurun. Pelaksaan upacara kuningan tepatnya 10 hari setelah
hari raya galungan sebagai bentuk rasa syukur umat hindu di bali atas menangnya
dharma melawan adharma. Upacara ini memiliki makna dan persembahan berupa sarana
yang khas dalam pelaksaannya. Sarana tersebut berupa tamiang dan endongan.Biasanya
pelaksanaan Hari Raya kuningan ini hanya berlangsung setengah hari atau sampai pukul
12.00 siang hari.
Di Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung terdapat tradisi unik
yang masih kental dan eksis pada Hari Raya kuningan yaitu adanya Tradisi Gerebek
Mekotek. Oleh warga setempat tradisi ini sering disebut tradisi Mekotek. Tradisi ini
1

dilaksakan setalah upacara hari raya kuningan berakhir. Tentunya tradisi ini memiliki
sejarah dan makna yang sangat berpengaruh bagi kehidupan warga desa Munggu
sehingga tetap dilaksanakan secara turun menurun hingga saat ini.
Tradisi Mekotek sama halnya dengan berperang di zaman dulu. Tradisi Mekotek
dilaksanakan dengan cara dan sarana perlengkapan yang unik dan masih tradisional.
Tidak heran tradisi ini menarik minat para wisatawan domestik maupun mancanegara
sebagai salah satu sektor pariwisata. Perkembangan pariwsata di bali sangat memberikan
pengaruh terhadap tradisi budaya yang meberikan dampak positif dan negatif. Sehingga
diharapkan masyarakat bali dapat menyaring dampak-dampak tersebut.
Pada kesempatan ini penulis memaparkan Hari Raya kuningan beserta Tradisi
Mekotek di Desa Munggu sebagai daya tarik pariwata di Bali yang diharapkan beruguna
untuk pembaca.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa makna dari upacara hari raya kuningan?
2. Apa saja persembahan khas pada hari raya Kuningan?
3. Mengapa Pelaksaan Hari Raya Kuningan hanya berlangsung setengah hari?
4. Bagaimana sejarah dan makna dari tradisi mekotek di Desa Munggu?
5. Bagaimana cara pelaksanaan tradisi Mekotek ?
6. Bagaimana hubungan budaya sebagai penunjang pariwisata?
7. Apa saja dampak perkembangan pariwisata terhadap tradisi budaya yang sudah ada di
Bali?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini iyalah :
1. Menginformasikan mengenai makna dan pelaksaan hariraya kuningan, sebagai salah
satu upacara hari raya besar yang berpengaruh terhadap budaya dan pariwisata
2. Menberikan informasi tentang tradisi mekotek yang hanya ada di desa Munggu,
kecamatan Mengwi, kabupaten Badung sebagai tradisi budaya yang berkembang di
bali yang dilangsungkan secara turun menurun hingga saat ini yang menjadi salah satu
tujuan wisata budaya bagi pariwisata.
3. Memberikan suatu informasi mengenai adanya hubungan antara upacara agama dan
tradisi budaya yang berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata di bali.
1.4 Manfaat
Penulisan makalah ini memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Mendapatkan wawasan tentang hari raya kuningan sehingga dapat dipahami dan
dilaksanakan dengan baik sebagai umat beragama.
2. Sebagai salah satu cara mendalami pentingnya melestarikan tradisi budaya yang
sudah dilaksanakan dari zaman dahulu hingga sekarang sebagai salah satu cara untuk
menghindari efek-efek negatif kerasnya arus globalisasi budaya asing.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hari Raya Kuningan


Hari Raya Kuningan datangnya setiap 6 bulan sekali dalam kalender Bali (210 hari,
1 bulan= 35 hari) tepat 10 hari setelah perayaan Hari Raya Galungan, tepatnya di hari
Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan. Penjor yang dipasang saat penampahan
Galungan di depan rumah masih berdiri tegak sampai Buda (Rabu), Kliwon, Pahang
(hari pegat Tuwakan) selama 42 hari dan saat itu berakhirnya rangkaian upacara
Galungan dan Kuningan.

Tidak
dengan

jauh berbeda

Hari

Raya

Galungan,

pelaksanaan

hari raya kuningan juga terdapat rangkaiannya. Sehari sebelum Hari Raya Kuningan
adalah Hari Raya Penampahan Kuningan.Hari Raya ini Jatuh pada Jumat Wage Wuku
Kuningan. Dinamakan hari Penampahan Kuningan karena hari tersebut memiliki
kekuatan sebagai pemagpag kala dari Tumpek Kuningan. Oleh karena itu, pada hari
tersebut tidak ada kegiatan persembahyangan. Umumnya umat Hindu di Bali melakukan
kegiatan menyembelih hewan ternak dan membuat sesejan pada hari penampahan
kuningan ini yang nantinya dihaturkan pada hari raya Kuningan. Sehari setelah hari raya
Kuningan

yaitu

hari

Umanis

Kuningan.

Pada

hari

inipun

tidak

dilakukan

persembhyangan. Sebagian besar masyarakat dibali memaknai hari ini sebagai hari untuk
bersilahturahmi ke rumah kebarabat. Menjaga hubungan baik dan meningkatkan rasa
sosial.

Diyakini masyarakat Hindu bahwa saat Hari Raya Kuningan ini Ida Sang Hyang
Widhi diiringi oleh para pitara turun ke dunia memberikan berkah bagi umat di dunia,
dan pelaksanaan upacara ini hanya sampai setengah hari saja. Dikutip dari Bhagawan
Dwija mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan janji atau pemberitahuan
atau nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang Parama Kawi,
bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan
mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta
amangkurat). Dengan perayaan Hari Raya Kuningan, Pemeluk agama Hindu, khususnya
di Bali diharapkan untuk mempertahankan kehidupan yang damai.
Berbeda dari Galungan, pada Hari Raya Kuningan tidak diwajibkan untuk berdoa
di pura di sekitar desa mereka terutama jika jarak dari pura dan rumah jauh.Perayaan
Hari raya Kuningan ini juga bisa dilakukan di rumah karena hal itu berkaitan dengan
durasi pendek dari hari raya ini yang hanya sampai tengah hari. Namun, beberapa orang
masih datang dan berdoa ke pura-pura di sekitar desa mereka seperti pada hari raya
Galungan, meskipun harus dimulai pagi sehingga mereka tidak lewat tengah hari.Dan
juga dapat disimpulkan bahwa makna utama dari Hari raya Kuningan adalah untuk
memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan, dan bimbingan dari
Hyang Widhi Wasa dan para leluhur.

2.2 Sarana Khas pada Hari Raya Kuningan


Pada Hari Raya Kuningan banten atau sesajen pada setiap desa belum tentu sama,
karena memang banten itu beraneka ragam versinya. Namun ciri khas sejumlah sarana
untuk pelaksaan hari raya kuningan berupa tamiang dan endongan. Sarana tersebut
dipahami sebagai simbol-simbol yang identik dengan alat-alat perang. Tentunya tamiang
dan endongan memiliki makna yang tersendiri.
1. Tamiang
Sarana paling khas dan simbolik dalam perayaan Hari raya Kuningan tentu
saja tamiang.Kata tamiang mengingatkan kita pada tameng, sebentuk alat perisai
yang lazim digunakan peperangan. Tamiang ini dalam pelaksaan upacara Hari Raya
Kuningan dipasang di pojok-pojok rumah dan di palinggih-palinggih atau bangunan
suci.
Selain itu tamiang juga kerap diartikan sebagai simbol perlindungan diri.
Tamiang, jika melihat bentuknya yang bulat juga sering dipahami sebagai lambang
Dewata Nawa Sangayang menjadi penguasa Sembilan arah mata angin.Tamiang
juga melambangkan perputaran roda alam atau cakraning panggilinganyang
merujuk pada pemahaman tentang kehidupan yang diibaratkan sebagai perputaran
roda.

2. Endongan
Endongan biasanya dimaknai sebagai alat atau wadah untuk menempatkan
perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu
pengetahuan dan bhakti (jnana).
3. Ter
Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah.
4. Nasi Kuning
Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning.Pembuatan nasi kuning
ini(ada yang berupa tumpeng) sebagai lambang kemakmuran. Nasi kuning ini
dihaturkan dalam bentuk sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning
idep kita sebagai manusia. Sebagai umat manusia, kita menerima anugrah dari Ida
Sang Hyang Widhi Wasa berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya
itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya.

Dalam
batin,
diri

manusia
dengan

konteks

perang

mesti membentengi
tamiang

yang tiada lain

berupa

pengendalian diri

(indria).

(tameng)

Kemampuan mengendalikan diri adalah cerminan kesadaran akan hakikat dan jati diri
sang Diri (uning tahu atau eling sadar). Mungkin itu sebabnya yang mendasari
lahirnya nama hari raya Kuningan (kauningan). Pada hari Kuningan yang dipuja tiada
lain Dewa Indra, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai penguasa
pengendalian dasa indria (sepuluh musuh dalam diri manusia). Saat hari Kuningan,
manusia disadarkan untuk uning, eling dengan selalu mengendalikan indrianya.
Namun, untuk senantiasa memenangkan peperangan dalam hidup, manusia harus
memiliki bekal yang cukup.Bekal itu disimbolkan dengan endongan. Isi endongan tiada
lain semesta hidup. Bekal itu dilengkapi juga dengan ter (panah) sebagai senjata. Senjata
7

utama manusia dalam hidup tiada lain ketajaman pikiran atau kualitas pikiran. Ketajaman
pikiran ditopang oleh jnana (ilmu pengetahuan).

2.3 Waktu Pelaksaan Hari Raya Kuningan


Bagi umat Hindu, Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian hari raya
Galungan yang jatuh pada !)hari setelah hari raya Galungan, yaitu pada Saniscara (sabtu)
kliwon wuku kuningan. Untuk waktu pelaksaan Hari Raya Kuningan ini kita sering
mendengar bahwa batas waktu pelaksanaannya adalah sampai jam 12 siang. Kenapa hari
Raya Kuningan sembahyang samapi jam 12 siang? Apakah setelah jam 12 tidak ada
Bhatara? Pasti diantara kita masih banyak yang bertanya-tanya akan hal tersebut. Berikut
penjelasan mengenai waktu pelaksanaan Hari Raya Kuningan.
1. Dalam stitidharma.org dijelaskan, jam 12 pun tidak disebutkan dalam susastra kita,
tetapi maksudnya, bersembahyanglah sebelum bajeg surya (tengah hari) karena
energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit
dari pagi hingga mencapai klimaknya di bajeg surya. Ini disebut masa uttpti dan
shtiti. Sedangkan setelah bajeg surya disebut masa pralina (pengembalian ke
asalnya) atau tamasika (beristirahat).
2. Dalam Inputbali juga dijelaskan, Mengenai waktu persembahyangan pada hari raya
kuningan, Bhagawan Dwija menjelaskan pada hari raya kuningan, Ida Sang Hyang
Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia sejak jam 00.00 sampai jam
12.00. jadi disaat itu kita sangat tepat datang menyerahkan diri memohon
perlindungan kepadanya. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang, dikarenakan
energy alam semesta (panca mahabuta: pratiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari
pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg
surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya atau nisa juga dikatakan pada
saat itu energy alam semesta akan menurun dan pada saat Sang Hyang Surya
mesineb (malam hari) adalah saatnya istirahat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa waktu persembahyangan pada Hari Raya
Kuningan bersembahyanglah sebelum tengah hari karena energi alam semesta (panca
mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai
klimaknya di bajeg surya.Ini disebut masa uttpti dan shtiti. Jadi disaat itu sangat tepat
bagi kita menyerahkan diri memohon perlindungan kepadaNya.

2.4 Tradisi Mekotek


Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi kegenerasi. Dimana unsur yang
membentuk budaya biasanya adalah agama, adat-istiadat, tradisi, bahasa, pakaian dan
lain-lain.Budaya itu sendiri juga merupakan bagian yang tak dapat terpisahkan dari diri
manusia itu sendiri.
Beragam tradisi budaya unik yang ada di Bali, keberadannya masih dijaga lestari
sampai sekarang, salah satunya adalah Mekotek yang dirayakan rutin setiap 6 bulan
sekali (210 hari sesuai kalender hindu) tepatnya 10 hari setelah Hari Raya Galungan.
Tradisi Mekotek dilaksanakan setelah pelaksanaan upacara Hari Raya Kuningan usai
pada siang hari. Beragamnya budaya yang ada, menjadi tawaran menarik juga untuk
memikat minat wisatawan

untuk berkunjung, selain banyaknya objek wisata dan

pemandangan alam di Bali yang ditawarkan.

Gerebeg
atau

Makotek

di desa

Adat

Munggu, sangat erat kaitannya dengan zaman kerajaan dahulu kala, yakni keberadaan
kerajaan Mengwi disekitar abad ke- 17.Raja Mengwi yang I adalah I Gusti Agung Putu
disebut juga I Gusti Agung Sakti dengan abhiseka Gusti Ngurah Made Agung.
Pada masa kerajaan Mengwi, terjadi perselisihan antara raja Buleleng Ki Gusti
Panji Sakti dengan raja Mengwi, tetapi pada akhirnya terjadilah suatu perdamaian,
dengan menyerahkan seorang putri Buleleng yang bernama Gusti Ayu Panji dan
beberapa pengiringnya warga Mayong yang menjadi anggota balawadwa/prajurit Truna
Goak. Disamping itu kira-kira pada tahun 1717 daerah Blambangan dan Jembrana yang
saat itu di bawah kekuasaan Buleleng diserahkan ke Mengwi.
10

Setelah raja Mengwi Gusti Ngurah Made Agung menerima ke dua daerah itu lalu
beliau diberi gelar Cokorda Sakti Blambangan. Gelar yang baru ini menunjukkan akan
kebesaran dan kemuliaan baginda raja, mencapai kekuasaan sampai ke daerah
Blambangan. Pada masa itulah kerajaan Mengwi mencapai puncak kebesarannya dan
disegani oleh kerajaan lainnya di Bali.
Kerajaan Mengwi mempunyai balawadwa atau prajurit yang terkenal teguh dan
sakti yakni Truna Batantanjung dan Truna Munggu.Truna Batantanjung mempunyai
tugas menjaga keamanan di daerah pesisir selatan dan Truna Munggu bertugas menjaga
keamanan kerajaan Mengwi.Pada saat itu penjajah atau yang sering disebut kompeni
melakukan aksi politik devide et empera atau politik adu domba yang dilancarkan kepada
raja Mataram, untuk merebut kembali Blambangan dari raja Mengwi, niscaya
kesejahtraan dan kemakmuran rakyat akan terjamin. Oleh karena itu baginda raja
Mataram lalu mengambil keputusan hendak membebaskan seluruh Jawa Timur dari
kekuasaan orang-orang Bali.
Sesudah selesai mengatur segala persiapan dan perlengkapan, pada penghabisan
tahun 1729, pasukan Mataram yang jumlahnya cukup besar mulai bergerak menuju
Blambangan. Gusti Ngurah Panji Made, yang menjadi kepala daerah di Blambangan,
melihat kedatangan musuh dengan tiba-tiba itu dan tidak sempat melapor baik ke
Mengwi maupun ke Buleleng.Terpaksa mengadakan perlawanan sekuat tenaga, dengan
pasukan pengawal dengan jumlah kurang lebih 600 orang.Oleh karena jumlah pasukan
musuh jauh lebih besar, sehingga Blambangan dapat dikuasai oleh Mataram.
Kepala daerah gugur, hampir segenap pasukan pengawal juga mengalami nasib
yang sama. Hanya tinggal 8 orang yang masih hidup, mereka dapat menyeberang Selat
Bali. Mereka pergi ke Buleleng melaporkan keadaan di Mataram ke pada Gusti Ngurah
Panji Gde, yakni putra mahkota raja Buleleng yang telah wafat
Seketika itu juga raja Buleleng Gusti Ngurah Panji Gde, menyikapinya dengan
menyampaikan kepada raja Mengwi, bahwa Blambangan telah jatuh ke tangan Mataram
dan adiknya selaku penguasa daerah mati terbunuh. Raja Mengwi dan Buleleng dengan
pernyataan baginda akan menuntut balas. Sementara itu kekuatan balawadwa/prajurit
Buleleng dan Mengwi, siap sedia untuk berangkat ke menuju Blambangan, melakukan
pembalasan.
Pada tahun 1730 pasukan atau angkatan perang Buleleng dan Mengwi bersatu
menyeberangi Selat Bali, termasuk juga bantuan dari kerajaan Sukawati sebanyak 700
orang. Namun kekuatan Mataram yang dibantu oleh pihak Kompeni dengan persenjataan

11

yang lengkap pasukan Bali dapat dipukul mundur.Walaupun demikian kerajaan Mengwi,
Buleleng dan Sukawati selalu bersatu dan bertekad menguasai Blambangan.
Namun pada akhir tahun 1731, gerakan itu mengalami hambatan, karena raja
Mengwi ke II yang bernama Gusti Agung Made Alangkajeng, dengan gelar resminya
Gusti Ngurah Made Agung, wafat.Hal itu menyebabkan Mengwi didalam kesibukan
karena menyelenggarakan upacara palebon baginda raja yang baru wafat itu.Bahkan
sampai berbulan-bulan menyiapkan upacara yang besar, banyak menghabiskan tenaga,
harta untuk kepentingan itu.Peristiwa inilah yang merintangi langkah Mengwi untuk
menyerang Blambangan.
Setelah para pembesar Mengwi melakukan sidang untuk menetapkan raja
pengganti, lalu diambil keputusan mengangkat Gusti Agung Nyoman Alangkajeng,
menjadi raja Mengwi yang ke III. Gusti Agung Nyoman Alangkajeng adalah saudara
muda dari baginda raja almarhum, beliau dinobatkan dengan gelar Cokorda Munggu,
karena sebelum diangkat menjadi raja beliau tinggal di desa Munggu.
Cokorda Munggu setelah dilantik, lalu menyatakan hasratnya untuk merebut
kembali daerah Blambangan. Maka itu beliau memilih sebagai pimpinan pasukan yang
awalnya sebagai penyelidik adalah Gusti Agung Made Kamasan, yang mempunyai
pengetahuan politik yang amat tinggi, dengan disertai oleh pasukan Munggu yang
dikenal denganTruna Munggu. Sebelum berangkat ke Blambangan para Truna Munggu
lengkap dengan persenjataannya, mohon anugrah di Pura Dalem Kahyangan Wisesa,
dengan maksud agar mendapatkan kemenangan dengan mamasupati persenjataan.

Dalam perjalanan ke Blambangan yang diketuai oleh Gusti Agung Made Kamasan,
berpesan

kepada

pasukannya

agar

melakukan

kegiatan

perang,

sebelum ada

perintahnya,

karena

melihat situasi

di

Dengan taktik

dan

tidak

lapangan.
daya
12

upaya yang matang pasukan Mengwi dapat mengasut orang-orang Blambangan, agar
mau ikut membantu perlawanan Mengwi melawan Kompeni dan Mataram. Semua tipu
daya itu berhasil dengan mulus maka pasukan Mengwi bersama-sama dengan
masyarakat Blambangan dapat menguasai Blambangan dengan tiada perlawanan yang
berarti.
Mulai saat itulah Blambangan kembali dapat dikuasai oleh Mengwi dan
menetapkan Gusti Agung Made Kamasan, diangkat menjadi kepala daerah di
Blambangan. Karena kemampuan dan kebijaksanaannya, rakyat Blambangan merasa
dapat pengayoman sehingga merasa aman dan kesejahtraan terjamin. Kekuasaan
terhadap Blambangan, diperkirakan sampai tahun 1764, dengan terjadinya insiden di
Mengwi dan di Jembrana, sebagai pertanda Mengwi tidak terfokus pada kekuasaan di
Blambangan.

Kemenangan
di

Mengwi

yang membuat,

di Singhasari

(Blahkiuh) dan

di

diadakanlah

Munggu

upacara

kemenangan,

yakni dengan

sebutan

Gerebeg/Makotek, yakni permainan tombak. Awalnya memakai tombak yang sungguhsungguh yang terbuat dari besi, tetapi ada kekhawatiran dari pihak pemerintah Belanda,
maka mulai sekitar tahun 1940, permainan itu dilarang. Dengan terjadi pelarangan yang
amat keras dari Belanda, maka kegiatan itu dihentikan, namun terjadilah keanehankeanehan di masyarakat khususnya di desa Munggu, yakni munculnya wabah penyakit
yang tidak dapat disembuhkan yang menyerang penduduk, hingga banyak warga yang
meninggal, dan di sawah tegalan diserang oleh hama. Di lingkungan masyarakat itu
sendiri hal seperti ini lebih dikenal dengan istilah gerubug
Sehubungan dengan hal tersebut maka masyarakat mohon petunjuk kepada orang
pintar dan memohon pengampunan kepada beliau yang dilinggakan di Pura Dalem
13

Kahyangan Wisesa, atas anugrah dan petunjuk itulah kembali digelar upacara
Gerebeg/Makotek. Namun seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta
yang terluka maka sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari
bahan kayu pulet. Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura. Mekotek sendiri
diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu satu sama lain sehingga
menimbulkan bunyi.
Disamping upacara Gerebeg/Makotek itu sebagai lambang kemenangan atas
keberhasilan menguasai Blambangan dan akhirnya juga untuk mengusir mrana/marana,
agar masyarakat khususnya desa Munggu mengalami kesejahtraan dan kemakmuran.
Kini oleh masyarakat setempat, pelaksanaan tradisi mekotek tersebut diyakini sebagai
salah satu ritual penolakbala. Tak hanya itu, sekarang ini tradisi mekotek telah
dimasukkan ke dalam agenda wisata oleh masyarakat desa setempat. Sehingga
diharapkan banyak wisatawan asing maupun domestik yang tertarik untuk menyaksikan
pagelaran tradisi unik dan langka ini.

14

2.5 Cara dan Sarana pelaksanaan Tradisi Mekotek


Gerebek Mekotek atau lebih dikenal dengan Mekotek merupakan salah satu tradisi
di Bali yang hanya ada di desa Munggu, kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.
Lokasinya tidak begitu jauh dari objek wisata Tanah Lot. Mekotek atau perang kayu ini
merupakan tradisi unik yang ada di Desa Munggu.Ya, perang tak selalu menimbulkan
permusuhan dan korban jiwa. Inilah kalimat yang menggambarkan dari tradisi Grebek
Mekotek atau perang kayu yang selalu diadakan oleh warga Desa Munggu ini. Perang ini
merupakan perang yang berbeda dari perang lain pada umumnya. Ya, dalam perang ini,
tidak ada senjata tajam untuk alat perang dan tidak ada penyerangan dari satu sama lain.
Upacara Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Desa Adat Munggu yang
terdiri dari 12 banjar yang pada umumnya terdiri dari anak muda yang berumur 12 tahun
hingga orang tua yang berumur 60 tahun. Mereka mengenakan pakaian adat madya
berupa kamen dan udeng batik dan membawa sebatang kayu yang panjangnya rata-rata 3
meter yang telah dikuliti. Kayu yang digunakan pada umumnya adalah kayu pulet. Kayu
ini dipilih dengan alasan karena memiliki daya lentur yang tinggi.

Mekotek dilaksanakan saat menjelang sore kira-kira pukul 14.00 wita.Upacara


Mekotek diawali dengan berkumpulnya para peserta Mekotek di areal Jaba Pura
Puseh/Desa Adat Munggu. Selanjutnya dilanjutkan dengan mengelilingi wilayah Desa
Adat Munggu dimulai dari Jaba Pura Puseh/Desa Adat Munggu menuju Pura Dalem
Khayangan Wisesa Desa Adat Munggu, selanjutnya menuju Pura Luhur Sapu Jagat dan
kembali lagi menuju Jaba Pura Puseh/Desa Adat Munggu.
Dalam perjalanan menuju pura-pura tadi para peserta mekotek melintasi
persimpangan/pertigaan jalan. Disnilah serunya tradisi mekotek tersebut berlangsung.
Para warga terbagi dalam beberapa kelompok kurang lebih terdiri dari 70-100 orang.
Mereka memegang pangkal kayu dengan erat dan menggabungkan ujung kayu-kayu
15

tersebut hingga membentuk kerucut menyerupai gunungan kayu lalu mereka berputar,
berjingkrak. Dalam pelaksanaannya, tradisi mekotek ini biasanya di laksanakan dengan
diiringi musik gamelan untuk menyemangati para peserta mekotek itu sendiri.
Pada saat yang tepat seorang yang merasa tertantang dan punya nyali akan
mendaki puncak gunungan kayu kotekan ini sambil melakukan atraksi entah mengangkat
tongkatnya atau berdiri dengan mengepalkan tangan, berteriak laksana panglima perang
yang mengkomandoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh, gunungan kayu ini
ditabrakkan dengan kelompok lain yang juga

mendirikan gunungan kayu kotekan.

Kegiatan ini akan terus berulang terjadi sampai akhirnya para peserta mekotek kembali
menuju Pura Puseh/Desa Adat Munggu.

16

2.6 Budaya Sebagai Penunjang Pariwisata


Hubungan antara budaya dan pariwisata akan saling mempengaruhi. Kebudayaan
berkembang dan lestari, pariwisatapun pastinyaberjalan dengan baik. Mengapa orang
dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, dan sebagainya datang berduyun-duyun ke pantai
Kuta dan pantai Sanur di Bali? Bukankah di negara mereka sendiri terdapat banyak
pantai yang mungkin saja pemandangan alamnya lebih indah daripada pemandangan
pantai Kuta dan Sanur di Bali tersebut? Bila kita kaji lebih dalam, ternyata yang menjadi
tujuan mereka, para turis asing tersebut adalah ingin melihat Kebudayaan Bali yang
terkenal eksotik dan unik, yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat mereka. Bila
Bali tidak menawarkan kebudayaan masyarakatnya tersebut, mungkin tidak akan ada
daya tarik para wisatawan untuk mengunjunginya.
Kebudayaan mencakup segala hal yang merupakan keseluruhan hasil cipta, karsa,
dan karya manusia, termasuk di dalamnya benda-benda hasil kreativitas atau ciptaan
manusia. Selain itu, kebudayaan didefinisikan sebagai suatu sistem simbol dan makna
dalam sebuah masyarakat manusia yang di dalamnya terdapat norma-norma dan nilainilai tentang hubungan sosial dan perilaku yang menjadi identitas dari masyarakat
bersangkutan. Dengan demikian, pariwisata budaya merupakan jenis pariwisata yang
berdasarkan pada mosaik tempat, tradisi, kesenian, upacara-upacara, dan pengalaman
yang memotret suatu bangsa/suku bangsa dengan masyarakatnya, yang merefleksikan
keanekaragaman (diversity) dan identitas (character) dari masyarakat atau bangsa
bersangkutan.
Budaya memiliki sumbangan terbesar dalam industri pariwisata khususnya dalam
komponen paket wisata khususnya di komponen atraksi wisata. Kebudayaan tidak hanya
untuk dilihat sebagai pertunjukan bahkan para wisatawan bisa memelajari dan
merasakan tentang kebudayaan lokal. Kekayaan budaya yang dimiliki merupakan daya
tarik utama pariwisata yang akan mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan, sehingga
dapat mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat. Dalam aspek kebudayaan itu
sendiri, pengembangan pariwisata yang berkelanjutan dengan konsep pariwisata budaya
akan dapat memperkokoh kebudayaan nasional Indonesia. Kebudayaan nasional tersebut
pun akan semakin berkembang dan dapat terpelihara serta lestari. Dalam aspek
masyarakat, pariwisata budaya dapat mengingatkan kepada kita agar tidak lupa kepada
kebudayaan kita sendiri. Jangan sampai kebudayaan kita diakui oleh Negara lain. Yang
artinya pariwisata budaya secara tidak langsung dapat memupuk rasa nasionalisme kita
dan rasa cinta terhadap tanah air.
17

Dalam peningkatan pariwisata, beberapa elemen kebudayaan dan peristiwa


kebudayaan telah berperan antara lain :
1. Sebagai sarana dan media promosi kepariwisataan baik yang langsung di dalam
maupun di luar negeri.
2. Sebagai atraksi yang mencakup pertunjukan kesenian, pameran kesenian, Khusu
dengan hal ini pelaksanaan Pesta Kesenian Bali telah berlangsung dan memberi arti
dan nilai yang sangat mendalam.
3. Sebagai obyek wisata dengan aneka ragam corak khas sebagai kepurbakalaan, obyek
kesejahteraan pura, puri desa-desa kuno, museum (etnografi, subak, yadnya, lukisan
dan lain-lainnya).
Sebagai pusat pariwisata yang membuat kebudayaan Bali harus selalu mengalami
pertemuan-pertemuan dengan berbagai kebudayaan, maka pembinaan kebudayaan lokal
harus dilakukan secara terus menerus. Yang lebih penting, jangan sampai ada gejala
masyarakat Bali diasingkan dari lingkungan kebudayaannya sendiri. Karena hal ini akan
dapat membawa akibat buruk , seperti misalnya terjadi erosi kebudayaan yang dipaksa
oleh kemiskinan penduduknya.
Tiap-tiap program pembangunan hendaknya selalu berkaitan dengan potensi dasar
yang dimiliki oleh masyarakat Bali, yakni kebudayaan yang bernapaskan agama Hindu.
Dan mengembangkan dinamika masyarakat daerah ini sangat efektif kalau dilakukan
lewat lembaga-lembaga tradisional, sehingga mereka mampu dengan cepat menyesuaikan
nilai-nilai baru yang hendak dikambangkan dalam menyongsong era globalisasi.

18

2.7 Dampak pariwisata terhadap tradisi budaya


Pariwisata merupakan salah satu sektor pembangunan yang saat ini sedang
digalakkan oleh pemerintah. Pariwisata iyalah suatu kegiatan perjalanan yang dilakukan
dari satu tempat ke tempat lain untuk sementara waktu dengan tujuan rekreasi dan bukan
untuk mencari nafkah. Pariwisata membawa dampak yang tidak sedikit terhadap
berbagai aspek kehidupan manusia, diantaranya yaitu pada aspek kebudayaan. Pariwisata
dapat membawa dampak positif, namun sejalan dengan itu dapat pula membawa dampak
yang negatif.
Pengembangan pariwisata di Bali yang bertumpu pada kebudayaan Bali yang pada
dasarnya bersumber pada agama Hindu, menimbulkan adanya kegairahan penggalian,
pemeliharaan, dan pengembangan aspek-aspek kebudayaan terutama kesenian,
monumen-monumen peninggalan sejarah, dan adat istiadat. Melalui pariwisata
berkembang keterbukaan dan komunikasi secara lintas budaya, dan juga berkembang
komunikasi yang makin meluas antara komponen-komponen lain dalam kerangka
hubungan yang bersifat saling mempengaruhi. Kebudayaan sebagai salah satu aspek
dalam pariwisata dapat dijadikan sebagai suatu potensi dalam pengembangan pariwisata
itu. Hal ini disebabkan, dalam pengembangan pariwisata pada suatu negara atau suatu
daerah keunikan berbagai kebudayaan daerah bisa digunakan sebagai salah satu daya
tarik wisatawan. Tentunya ada dampak yang ditimbulkan pariwisata terhadap budaya
dibali, diantaranya sebagai berikut
Dampak positif:
1. Dampak positif yang ditimbulkan oleh pariwisata terhadap kebudayaan tidak
terlepas dari pola interaksi di antaranya yang cenderung bersifat dinamika dan
positif. Dinamika tersebut berkembang, karena kebudayaan memegang peranan
yang penting bagi pembangunan berkelanjutan pariwisata dan sebaliknya pariwisata
memberikan peranan dalam merevitalisasi kebudayaan. Ciri positif dinamika
tersebut diperlihatkan dengan pola kebudayaan mampu meningkatkan pariwisata
dan pariwisata juga mampu memajukan kebudayaan.
2. Dampak positif lainnya adalah akulturasi kebudayaan, karena adanya interaksi
masyarakat lokal dengan wisatawan. Di samping itu, kebudayaan-kebudayaan
19

daerah yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia akan terus
berkembang. Ini disebabkan oleh adanya wisatawan yang datang berkunjung untuk
melihat dan mengenal lebih dekat kebudayaan asli tersebut. Hal ini tentunya juga
menyebabkan terjadinya penggalian nilai-nilai budaya asli untuk dikembangkan dan
dilestarikan.
3. Adanya berbagai bentuk kesenian yang dikomersilkan sebagai konsumsi bagi
wisatawan menjadi suatu sumber pendapatan baru yang terbuka bagi masyarakat
dan juga kegiatan ini dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan itu sendiri.
4.

Terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dan masyarakat local di mana


wisatawan dapat lebih banyak mengenal kebudayaan serta lingkungan yang lain dan
penduduk lokal juga mengetahui tempat-tempat lain dari cerita wisatawan menjadi
salah satu media dalam pengembangan wawasan budaya.

Dampak negatif:

20

1. Pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, akan tetapi juga


mengakibatkan tereksploitasinya kebudayaan secara berlebihan demi kepentingan
pariwisata. Tentu hal ini akan berdampak negatif terhadap perkembangan
kebudayaan. Ini sering terjadi akibat adanya komersialisasi kebudayaan dalam
pariwisata.
2. Tempat suci sebagai objek wisata. Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi
budaya dalam pariwisata, karena berubahnya atau bertambahnya fungsi selain
fungsi utamanya. Hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai suatu permasalahan
yang sederhana karena telah menyentuh bagian terdalam dari unsur unsur
kesenian itu sendiri.

21

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Adapun beberapa kesimpulan yang dapat penulis simpulkan dalam pembuatan makalah
ini iyalah :
1. Hari Raya Kuningan yang dilaksakan setiap Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku
Kuningan memiliki makna bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha
memenangkan dharma dan mengalahkan adharma untuk memohon keselamatan,
kemakmuran, kesejahteraan, perlindungan, dan bimbingan dari Hyang Widhi Wasa
dan para leluhur sehingga tercipta kehidupan yang damai.
2. Sarana khas dalam pelaksanaan hari raya Kuningan yaitu tamiang dan endongan.
Tamiang merupakan simbol untuk perlindungan diri dan penolak bala dalam
menjalani perputaran roda kehidupan. Sedangkan endongan adalah wadah untuk
tempat perbekalan. Dalam kehidupan perbekalan yang utama adalah ilmu
pengetahuan dan bhakti.
3. Waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan bersembahyang sebelum tengah
hari karena energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa)
bangkit dari pagi hingga mencapai klimaknya di bajeg surya. Ini disebut masa uttpti
dan shtiti. Jadi disaat itu sangat tepat bagi kita menyerahkan diri memohon
perlindungan kepadaNya.
4. Tradisi Gerebeg atau Makotek dirayakan rutin setiap 6 bulan sekali (210 hari sesuai
kalender hindu) merupaka sebagai lambang kemenangan atas keberhasilan menguasai
Blambangan dan akhirnya juga untuk mengusir mrana/marana, agar masyarakat
khususnya desa Munggu mengalami kesejahtraan dan kemakmuran. Kini oleh
masyarakat setempat, pelaksanaan tradisi mekotek tersebut diyakini sebagai salah satu
ritual penolakbala.
5. Tradisi Mekotek diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu
satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi.
6. Pada tradisi Mekotek saat ini tidak lagi menggunakan besi sebagai sarananya namun
menggunakan kayu pulet. Kayu ini memiliki daya lentur yang tinggi untuk
meminimalkan bayaha yang ditimbulkan seperti orang terluka.
7. Tradisi mekotek ini dilakukan dengan cara peserta dibagi menjadi beberapa kelompok
lalu setiap peserta memegang pangkal kayu dengan erat dan menggabungkan ujung
kayu-kayu tersebut hingga membentuk kerucut menyerupai gunungan kayu lalu
22

mereka berputar menabrakan gunungan satu kelompok dengan kelompok lainnya


yang diiringi dengan gambelan sebagai penyemangat.
3.2 Saran-saran
Beberapa saran yang dapat penulis berikan yaitu :
1. Dalam pelaksanaan tradisi mekotek pengelompokan para peserta agar sesuai dengan
umur. Misalnya satu gunungan kayu berisi rentangan umur 12-16 dan dibuatkan
beberapa kelompok. Sehingga pada saat diadu tidak terjadi kesenjangan umur yang
terlalu jauh untuk meminimalkan terjadinya hal-hal yang diinginkan.
2. Pelaku pariwisata harus juga memperhatikan norma-norma etika dan sopan santun
agar tradisi budaya , tempat suci, upacara agama yang diperuntukan untuk sektor
pariwisata tetap dapat terjaga kelestariannya dan kesuciannya.
3. Penerapan tradisi budaya kepada kalangan generasi muda atau bahkan dikenalkan
semenjak dini, guna kelestarian dari tradisi budaya tersebut.

23

Anda mungkin juga menyukai