Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH ARSITEKTUR ETNIK

TUGAS AKHIR SEMESTER

Disusun oleh:
RAFIKA ALIFIA ISTI
1206204216

PROGRAM S1 ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN


Pada umumnya masyarakat Bali memiliki ciri khas arsitektur yang timbul dari
suatu tradisi, kepercayaan dan aktifitas spiritual masyarakat itu sendiri yang
diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik bangunan yang ada. Seperti rumah, pura
(tempat suci umat Hindu), Banjar (balai pertemuan) dan lain-lain. Arsitekturnya selalu
dipenuhi pernik yang berfungsi untuk hiasan, seperti ukiran dengan warna-warna
yang kontras dan alami. Selain sebagai hiasan mereka juga mengandung arti dan
makna tertentu sebagai ungkapan terimakasih kepada sang pencipta, serta simbolsimbol ritual seperti patung.
Masyarakat bali mayoritasnya merupakan penganut agama hindu yang
kemudian sangat mempengaruhi arsitekturnya. Pernyataan ini didukung bahwa
kebanyakan pada rumah tradisional Bali selalu juga dipakai sebagai upacara adat
kebudayaan maupun agama, sehingga faktor agama merupakan pertimbangan
utama dalam membangun rumah tradisi. rumah adat Bali merupakan sebuah
identitas dalam diri penghuninya yang ingin diperlihatkan pada masyarakat yang
lainnya. Selain itu, rumah tidak hanya sebatas pada tempat tinggal saja, namun
dapat dijadikan pusat ibadah (Pamerajaan) dalam agama Hindu.
Umumnya bangunan rumah Adat Bali terpisah-pisah menjadi banyak
bangunan-bangunan kecil-kecil dalam satu area yang disatukan oleh pagar yang
mengelilinginya. Seiring perkembangan jaman dan tersebarnya masyarakat bali
dalam pemukiman multi etnis saat ini, menyebabkan terjadi perubahan bangunan
yang menjadi tidak lagi terpisah-pisah.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa adat bali sangat memperhatikan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Sehingga, hal yang wajib ada pada
setiap hunian penganut agama Hindu adalah tempat ibadah dan ritual keseharian
penghuninya. Namun saat ini, muncul perumahan-perumahan cluster yang tidak
memungkinkan pemisahan antara bangunan hunian dengan tempat Pamerajaan
seperti halnya hunian tradisi Bali. Kemudian hal tersebut mendorong penghuni yang
menganut kepercayaan Hindu Bali untuk mengatur tempat ibadahnya sedemikian

rupa agar tetap mengikuti prinsip ruang sesuai tradisi yang ada.
I.2 TUJUAN
Dengan adanya kondisi perumahan yang tidak memungkinkan terjadinya
pemisahan antara hunian dan tempat ibadah, maka para penganut agama hindu
merespon hal ini dengan pengaturan ruang pada ruang hunian dan ruang ibadahnya.
Sehingga ibadah dan ritual dapat tetap ada pada kesehariannya tanpa melanggar
aturan yag ada.
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana penganut agama Hindu
Bali mengatur ruang ibadah pada huniannya di perumahan modern dan apa saja
yang harus ada pada tempat ibadahnya, sehingga dapat mengikuti tradisi yang telah
ada turun temurun.

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 RUANG IBADAH HINDU PADA HUNIAN TRADISI BALI


Ruang ibadah atau biasa disebut dengan tempat suci merupakan ruang yang
wajib ada dalam pekarangan rumah setiap penganut agama hindu karena sangat
pentiing kaitannya bagi hubungan umat dengan Tuhan. Tempat suci ini berupa
bangunan/palinggih. Umumnya, yang harus ada dalam pekarangan rumah ialah
sanggah pamerajaan yang terletak di Timur laut pada Sembilan petak pola ruang dan
Tugu Pangijeng/Penunggun Karang.
Sanggah menurut pengertian lontar keagamaan di Bali adalah tempat
memuja. Pendirian sanggah berdasarkan uger - uger atau ketentuan yang
diberlakukan seperti sanggah kemulan sebagai salah satu tempat suci pekarangan
rumah. Sanggah yang berada di merajan yang secara konvensional pendirian
bangunan tersebut berdasarkan atas lontar yaitu : asta dewa, asta kosala-kosali dan
asta bhumi. Jika mengacu pada petunjuk lontar tersebut, maka pembagian
peruntukan lahan selalu berpijak pada ajaran Tri Hita Karana, dimana akan
disediakan lahan untuk menghubungkan diri dengan tuhan (uttama mandala) dalam
bentuk pendirian sanggah di merajan.
Merajan merupakan tempat suci pemujaan dari suatu kelompok keturunan
atau keluarga. Merajan dikelompokkan menjadi tiga jenis yaitu, Pura Kawitan,
Sanggah Pamrajaan, dan Dewa Hyang. Selain untuk sembahyang, merajan
berfungsi sebagai tempat pemeliharaan persatuan, pelestarian budaya, sebagai
tempat pengembangan pengetahuan agama, adat, dan etika. Dalam Lontar
Siwagama, Palinggih utama pada merajan adalah Sanggah Kemulan yang
merupakan tempat pemujaan arwah leluhur.
Terdapat beberapa Palinggih pemujaan yang ada di merajan. Palinggih ini
dibedakan berdasarkan fungsinya. Palinggih tersebut meliputi, Taksu (palinggih
Dewi Saraswati, Dewa Brahma dengan Bhiseka Hyang Taksu yang memberikan
kekuatan agar semua pekerjaan berhasil baik), Pangrurah (Palinggih Bhatara kala ,
putra dewa Siwa dengan Bhiseka ratu Ngurah yang bertugas sebagai penjaga
Sanggah), Sri Sedana (palinggih Dewi Sri dengan Bhiseka Sri sedana sebagai
pemberi kemakmuran), Manjangan salwang (palinggih Mpu Kututran dengan

Bhiseka Limaspahit, penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-10
M), Gedong Maprucut (palinggih Danghyang Nirarta dengan Bhiseka Limascari,
penyebar dan penyempurna Agama Hindu di Bali, abad ke-15 M), Gedong Limas
(palinggihBhatara Kawitan, yaitu leluhur utama dari keluarga.), Bebaturan (palinggih
Bhatara Ananthaboga dengan Bhiseka Saptapetala, yaitu sakti Sanghyang Pertiwi,
kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai bumi), Bebaturan
(palinggih bhatara Baruna dengan Bhiseka Lebuh, yaitu sakti Bhatara Wisnu,
kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai lautan), Bebaturan
(palinggih Bhatara Indra dengan Bhiseka Luhuring Akasa, yaitu sakti Dewa Brahma,
kekuatan Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam menguasai angkasa), Gedong Limas
(palinggih Bhatara Raja Dewata dengan Bhiseka Dewa Hyang atau Hyang
Kompiang, yaitu stana para leluhur di bawah Bethara Kawitan yang sudah suci),
Pengapit Lawang (palinggih Bhatara Kala dengan Bhiseka Jaga-Jaga, yaitu putra
Dewa Siwa yang bertugas sebagai penjaga), Balai Pengaruman (palinggih BhataraBhatari atau harum-haruman).
Sanggah Kemulan adalah sebuah Pelinggih sebagai stana atman leluhur,
dewa Pitara ataupun Sang Hyang Guru. Sanggah ini juga memiliki fungsi sebagai
pengayatan Tri Murti. Menurut yang terdapat pada Lontar Siwagama (teks yang
tergolong jenis tutur) dinyatakan bahwa setiap keluarga dianjurkan meng=dirikan
sanggah kemulan sebagai perwujudan ajaran pitra yadnya, dan kemudian di dalam
lontar purwa bhumi kemulan disebutkan bahwa yang dipuja di sanggah Kemulan
adalah dewa pitara atau roh suci leluhur.
Fungsi daripada memuja leluhur di Sanggah kemulan agar roh-roh tersebut
dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia, namun dapat
juga menimbulkan bencana. Agar roh-roh tersebut tidak menimbulkan bencana,
maka roh tersebut dipuja melalui persembahan yadnya.
Sesuai dengan hasil Keputusan pada pertemuan segi tiga di Bedahulu antara
3 kelompok agama sebagai wakil wakil dari ke enam aliran yang ada di Bali,
maka didalam lingkungan masyarakat yang lebih kecil (keluarga ) diharuskan untuk
membangun sanggah / pemrajan di pekarangan masing masing berupa pelinggih
rong 3 yang biasa di sebut sanggah kemulan. Sanggah kemulan ini berfungsi
sebagai tempat memuja Ida SangHyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dengan
segala manifestasinya dengan bentuk segi empat panjang bertiang empat dengan 3
buah ruangan (Rong Tiga) sebagai stana/linggih. Maksud dari pembangunan
Palinggih rong Tiga dalam lingkungan keluarga adalah agar kita selalu ingat dan
memuja kebesaran Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam kaitannya hutang kita yang di
sebut Tri Rnam.

Palinggih yang biasa terdapat pada keluarga dengan lahan sempit adalah
Padmasari yang juga merupakan tempat suci pekarangan rumah, dimana pada
bagian diatasnya dibuat terbuka dan pada bagian tabing mahkota dipahat
lukisan/relief hyang acintya dengan fungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi
dan bhatara-bhatari. Meskipun kecil dan merupakan satu palinggih, padmasari tetap
merupakan wujud bakti kepada leluhur untuk dilaksanakan setiap harinya.
Penunggun karang atau juga disebut sebagai Palinggih Pangijeng,
merupakan salah satu tempat suci pekarangan rumah yang berfungsi sebagai
sedahan penjaga karang atau palemahan beserta penghuninya agar senantiasa
berada dalam lindunganNya, tentram, rahayu sekala niskala. pendirian palinggih
yang disebut tugu Penunggun Karang ini dengan berbagai jenisnya sesuai dengan
lontar asta dewa, asta kosala-kosali dan asta bhumi, disebutkan ternyata tidak selalu
harus berada di lahan utama mandala. diketahui bahwa terdapat 5 jenis tugu yang
apabila bentuk lahan mengarah timur-barat makan penempatannya 2 jenis tugu di
lahan uttama mandala (areal sanggah / Merajan) yaitu :
1.

Tugu penyarikan, di posisi tenggara menghadap ke barat,

2.

Tugu anglurah sedan dengan posisi di baratlaut menghadap ke selatan.


Di lahan madya mandala, juga terdapat 2 jenis tugu, yaitu tugu ajaga-jaga
berkedudukan di pintu masuk bagian kanan menghadap ke barat dan tugu (surya)
pangijeng natah berkedudukan di tengah-tengah natah (pekarangan) menghadap ke
barat / selatan. Akhirnya di lahan nista mandala terdapat jenis tugu yaitu tugu
panunggun karang terletak di barat laut menghadap ke selatan.
Dalam perhitungan dasar Asta Bhumi, pekarangan rumah biasanya dibagi
menjadi Sembilan, yakni dari sisi kiri ke kanan; nista, madya dan utama serta dari
sisi atas ke bawah; nista, madya dan utama

Sehingga terdapat 9 bayangan kotak pembagian pekarangan rumah. Setelah


mengetahui posisi sesuai asta bhumi, posisi penunggun karang dapat ditentukan
dengan cara perhitungan asta kosala kosali. Bagi pekarangan yang luas (melebihi 4

are) posisi penunggun karang dihitung dengan dari utara menuju kala (7 tapak) dan
dari sisi barat menuju yama hal ini karena fungsi penunggun karang sebagai symbol
pelindung dan penegak kebenaran yang di bawah naungan dewa Yama dipati (hakim
agung raja neraka). Sedangkan bagi pekarangan yang sempit, yaitu pekarangan
yang kurang dari 4 are, posisi penunggun karang dihitung dari utara dan barat cukup
menuju Sri atau 1 tampak saja dengan maksud agar bangunan tersebut tetap
berguna walau tempatnya cukup sempit, namun dari segi fungsi tetap sama.
II.2 RUANG IBADAH PADA RUMAH JEJAWAAN
Rumah Jejawaan merupakan rumah yang dibangun dengan tidak mengikuti
petunjuk Lontar Keputusan Sanghyang Anala (tata ruang sebagai utama mandala,
madya mandala, dan kanista mandala). Saat ini banyak umat Hindu Bali yang tinggal
di luar Bali dan membeli rumah jejawaan dari developer maupun pihak lain.
Walaupun demikian, tetap adanya sanggah pamerajaan alit dan palinggih
penunggun karang.
Pada kavling yang terbatas, pembangunan sanggah pamerajaan diakali oleh
umat Hindu dengan membangun ruang ibadah tersebut pada lantai 2 ataupun lantai
seterusnya. Hal ini boleh asalkan tidak ada jalan keluar lain dan tetap didasari oleh
keinginan untuk membangun tempat sembahyang bagi keluarga.
Penempatan sanggah pamerajaan antara lain akan saya tampilkan dalam
gambar-gambar yang saya ambil langsung dari sanggah pamerjaan milik umat
penganut hindu yang tinggal di suatu perumahan dengan kavling 8x20m.

Sanggah Pamerajan yang terdiri dari palinggih padmasari


Letak pada rumah :

lantai 2, di area open space (ruang harus terbuka untuk penghormatan


langsung bagi Batara Surya Sang HyangWidhi Wasa, dan Sami

Di atas garasi, karena dibawah kegiatan pemujaan tidak boleh ada aktivitas

lain
Terletak di ruang paling depan pada hunian karena merupakan tempat suci

yang diutamakan
Tidak boleh terkena talang air hujan karena airnya bersifat kotor
Letak padmasari menghadap barat membelakangi matahari terbit

Unsur-unsur simbolik yang terdapat pada sanggah pamerajaan :

Patung penjaga

Symbol peletakkan

Ukiran Flora-Fauna (symbol alam)

kain putih-kuning lambang untuk yang paling suci

Sedangkan untuk Penunggun Pekarangan atau biasa disebut Juru Nyoman


letak berada pada pekarangan rumah di samping garasi. Palinggih penunggun

karang ini diletakkan menghadap garasi dan tempat sirkulasi hunian sebagai symbol
berjaga bagi hunian.
Rumah ini merupakan rumah yang dibeli dari developer, sehingga setiap letak
garasi dan pekarangan tiap rumah sama letaknya.Namun pada hunian keluarga ini
terjadi perubahan letak garasi dan pekarangan. Sebelum diubah letaknya, di bawah
setiap pekarangan rumah terdapat septictank. Dikarenakan tempat pemujaan
penunggun pekarangan adalah tempat suci, kemudian keluarga menukar letak
garasi dan pekarangan seperti ilustrasi di bawah ini

Unsur-unsur simbolik yang ada pada penunggun pekarangan

Palinggih Penunggu pekarangan dengan atribut penjaga Bali

BAB III

PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Berdasarkan dari data dan analisis ruang ibadah umat Hindu pada tradisi
Bali serta respon dari keadaan yang dihadapi masyarakatnya yang bertinggal di
hunian modern dapat ditarik kesimpulan bahwa utamanya dalam kehidupan seharihari terutama di dalam huniannya sendiri, Penganut agama Hindu sangat
mengutamakan factor keagamaan dalam mengatur huniannya. Hubungan manusia
dengan Tuhan adalah sesuatu yang sacral bagi mereka dan dianjurkan mendapat
tempat khusus dan suci. Hal ini kemudian terwujud dalam sikap mereka mengatur
ruang ibadah pada hunian, meskipun hunian tidak lagi dapat bersifat sama karena
adanya perubahan jaman. Oleh karena itu, mereka kemudian mengambil elemenelemen ibadah dengan fungsi dan makna sama dengan yang terdapat pada tradisi,
namun disesuaikan dengan lingkungan hunian. Makna dalam ruang ibadah itu
sendiri adalah pemujaan bagi Sang Hyangwidhi Wasa beserta roh leluhur untuk
membangun keharmonisan dan kenyamanan keluarga yang bertinggal.

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

http://stitidharma.org/perumahan-penduduk-hindu-di-bali-masa-kini/
http://www.babadbali.com/pura/plan/merajan.htm
http://www.scribd.com/doc/158207042/FILOSOFI-SANGGAH-KEMULAN
http://paduarsana.com/tag/merajan/
http://www.babadbali.com/astakosalakosali/astakosala.htm

Anda mungkin juga menyukai