Anda di halaman 1dari 4

Lempuyang Madya

Stana Mpu Genijaya

Rsibhyah pitaro jatah


pitrbhyo dewa manavah
devebhyastu jagat sarvam
caram sthanvanu purvasah.
(Manawa Dharmasastra. III.201).

Maksudnya:

Dari para Resi lahirlah para leluhur, dari leluhur muncullah para Dewa dan Manawa atau
manusia. Tetapi dari para Dewata munculah seluruh dunia ini yang bergerak dan yang tidak
bergerak menurut normanya.

SLOKA pustaka sastra Veda ini di dalamnya tersirat suatu konsep dinamika kehidupan yang
baik untuk dilakukan dalam kehidupan bersama di bumi ini. Yang dimaksud dengan leluhur lahir
dari para Resi itu adalah leluhur yang memiliki kualifikasi untuk menjadi panutan keturunannya.

Dalam kehidupan beragama Hindu di Bali konsepsi penataan sosial dengan landasan sistem
raligi Hindu tersebut dapat kita dijumpai dalam sistem sosial Hindu di Bali. Dalam beberapa
pustaka lontar ada dinyatakan bahwa leluhur orang-orang suci di Bali adalah Sang Hyang
Pasupati yang berstana di Jawa Timur. Dari Sang Hyang Pasupati inilah menurunkan orang-
orang suci di Bali yang setelah sebagai Dewa Pitara dipuja di berbagai Kahyangan Jagat di Bali.

Sang Hyang Pasupati sebagai leluhur orang-orang suci di Bali diceritakan dalam berbagai
pustaka lontar di Bali. Nampaknya pustaka lontar yang menceritakan Sang Hyang Pasupati itu
berasal dari pustaka Jawa Kuna yang bernama Tantu Pagelaran.

Sang Hyang Pasupati diceritakan menurunkan Sapta Hyang untuk berstana di berbagai gunung di
Bali. Gunung dalam konsep Hindu tergolong Lingga Acala yaitu tempat suci untuk memuja
Dewa manifestasi Tuhan dan para Dewa Pitara atau roh suci leluhur.

Demikianlah Sang Hyang Pasupati menurunkan tujuh orang suci yang dipuja di berbagai
Kahyangan Jagat di Bali. Sapta Hyang itu adalah Hyang Putra Jaya dipuja di Pura Besakih.
Hyang Dewi Danu dipuja di Pura Batur. Hyang Tugu dipuja Andakasa, Hyang Tumuwuh di
Batukaru, Hyang Gumawang di Beratan dan Hyang Manik Corong di Pejeng.

Dari Sapta Hyang inilah terus menurunkan orang-orang suci. Keturunan selanjutnya ada yang
disebut Panca Pandita atau sering disebut juga Panca Tirtha yaitu lima orang suci. Panca Pandita
tersebut adalah lima orang suci yang bersaudara. Lima orang suci itu adalah Mpu Geni Jaya,
Mpu Sumeru, Mpu Gana, Mpu Beradah dan Mpu Kuturan.

Mpu Geni Jaya salah seorang dari Panca Tirtha ini sebagai leluhurnya atau disebut Wangsa Karta
dari Parasemeton Pasek Sanak Sapta Resi di Bali. Wangsa Karta adalah sebagai tokoh yang
diyakini sebagai pembentuk Gotra dari suatu kelompok keluarga atau klan. Mpu Beradah adalah
leluhur Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra.

Wangsa Brahmana Siwa di Bali meyakini Dang Hyang Dwijendra inilah sebagai Wangsa Karta
atau pembentuk Gotranya. Demikianlah berbagai kelompok keluarga di Bali meyakini para
Resilah sebagai Wangsa Karta atau pembentuk Gotra. Sistem Wangsa atau Gotra ini bukanlah
membeda-bedakan harkat dan martabat manusia sebagai sistem Kasta. Tetapi untuk menegakkan
pemujaan dan penghormatan pada leluhur.

Leluhur yang dapat melakukan lima kewajiban suci yang disebut Panca Wida dalam Nitisastra
VIII.3 akan menurunkan putra-putra yang suputra. Salah satu ciri suputra itu adalah senantiasa
berbakti pada leluhurnya. Suputra yang senantiasa berbakti pada leluhur dan pada Dewa
manifestasi Tuhan menurut Sarasamuscaya 250 akan mendapatkan empat pahala mulia dalam
hidupnya.

Empat pahala mulia itu adalah Ayu, Vidya, Yasa dan Bala. Demikian mulialah sesungguhnya
tujuan sistem wangsa dalam membangun sistem sosial yang luhur atau Satsangga. Bukan untuk
membeda-bedakan tinggi-rendahnya antara satu wangsa dengan wangsa yang lainnya.

Adanya Sapta Hyang dan Panca Tirtha di Bali ini sebagai suatu penerapan sistem religi Hindu
dalam sistem sosial umat Hindu di Bali yang dihubungkan dengan sistem pemujaan. Dengan
adanya Sapta Hyang dan Panca Tirtha di Bali diharapkan sebagai sumber inspirasi yang
memotivasi umat Hindu agar senantiasa mengarahkan segala aktivitas hidupnya mengikuti
tradisi orang-orang suci. Inilah penerapan sistem religi Hindu ke dalam sistem kebudayaan.

Prof. Dr. Koentjaraningrat menyatakan adanya tujuh sistem budaya. Tujuh sistem budaya itu
adalah sistem religi, sistem sosial, sistem ilmu pengetahuan, sistem bahasa, sistem seni, sistem
mata pencaharian dan sistem teknologi.

Menurut Koentjaraningrat, sistem budaya yang menjadi jiwa dari semua sistem budaya adalah
sistem religi. Nampaknya di Bali orang-orang suci di Bali di masa lampau telah demikian cerdas
menata ajaran agama Hindu menjadi sistem religi ke dalam kehidupan empiris.

Agama sebagai sabda Tuhan memang bukanlah kebudayaan karena bersifat supraempiris, artinya
di luar pengalaman hidup manusia. Agama sabda suci Tuhan diaplikasikan ke dalam kehidupan
empiris oleh umat Hindu. Proses aplikasi sabda Tuhan inilah yang melahirkan sistem religi.
Dengan sistem religi ini diharapkan umat tergerak mengikuti tradisi mulia leluhurnya yang
distanakan di tempat pemujaan.

Demikianlah Mpu Geni Jaya, Wangsa Karta Pasemetonan Warga Pasek Sanak Sapta Resi,
distanakan di Pelinggih Gedong di Pura Lempuyang Madya sebagai salah satu wujud sistem
religi Hindu ke dalam sistem sosial. Dengan adanya Pelinggih Gedong untuk memuja Mpu Geni
Jaya di Pura Lempuhyang Madya akan menjadi sumber motivasi spiritual Pasemetonan Warga
Pasek Sanak Sapta Resi untuk menyatukan berbagai persepsinya dalam membangun visi dan
misi dalam kehidupan ini untuk membina kehidupan warga yang jagathita.
Ini artinya adanya suatu pura sebagai tempat pemujaan seperti Pura Lempuyang Madya ini
bukanlah semata-mata sebagai tempat melangsungkan upacara yadnya. Pura tersebut hendaknya
dijadikan sumber inspirasi mengembangkan berbagai persepsi yang baik dan benar tentang
berbagai masalah kehidupan. Kalau persepsi umat sudah baik dan benar tentang berbagai
persoalan hidup ini maka akan lebih memudahkan dalam merumuskan visi dan misi membangun
kehidupan bersama dalam mewujudkan tujuan hidup mencapai Dharma, Artha, dan Kama
sebagai landasan mencapai Moksha. * I Ketut Gobyah

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2008/3/5/bd1.htm

Pura Lempuyang Madya di Bukit Lempuyang, Karangasem sebenarnya bukan hanya sungsungan
(tempat sembahyang) warga Pasek. Namun untuk semua warga dan Pasek cuma diberikan
kepercayaan sesuai yang disebutkan dalam bhisama untuk ngelingang (tak melupakan)
keberadaan pura itu sejak zaman dulu. Hal tersebut disampaiakn Jero Mangku Gede Wangi,
Selasa (5/3) kemarin di Karangasem. Apa saja filosofi di balik kemegahan Pura Lempuyang
Madya itu?

====================================================

Pura Lempuyang Madya termasuk Pura Dang Kahyangan. Soal status dan yang kasungsung di
pura tersebut diyakinkan lagi oleh salah satu pemangku setempat Jero Mangku Wayan Rai
adalah Ida Batara Empu Agenijaya dan Empu Manik Geni. Di mana, Empu Agenijaya
masameton (bersaudara) tujuh, di antaranya Mpu Kuturan, Mpu Baradah dan Mpu Semeru.
”Lempuyang Madya seperti Pura Silayukti dan Tanjungsari di Padangbai, di mana masing-
masing pura itu adalah tempat nyungsung Batara Mpu Kuturan dan Mpu Baradah,” papar
Mangku Wangi.

Dikatakannya, masyarakat yang belum paham menganggap Pura Lempuyang Madya cuma milik
warga Pasek atau tempat sembahyang warga Pasek. Soal warga Pasek mendapat tugas
ngelingang pura itu, disebutkan dalam prasasti yang bunyinya sebagai berikut: Pasek, Tangkas,
muang Bandesa, ayua kita lali ring catur parahyangan (Besakih, Lempuyang, Dasar Buana
Gelgel dan Silayukti). Pura di Besakih yang dimaksudkan, palinggih Mpu Semeru yakni pura
Caturlawa Ratu Pasek.

Soal warga Pasek dalam prasasti diberikan tanggung jawab menjaga pura itu, diduga karena
warga itu lebih dulu berada di Bali dan dipercaya sebagai salah satu unsur pemerintahan desa
(macekin).

Mangku Gede Wangi dan Mangku Wayan Rai mengatakan, Pura Lempuyang Madya kini dalam
proses pemugaran, serta pelebaran pura. Sebelumnya jeroan pura sangat sempit karena berada di
lereng gunung, sehingga kurang representatif dengan membludaknya ribuan umat saat pujawali.
Di mana rutin warga ngaturang ayah (gotong-royong) di antaranya memecah dan memindahkan
batu-batu untuk pembangunan. Direncanakan, semua palinggih bakal kagingsirang (digeser ke
timur) dan kini dalam tahap membangun fondasi.
”Setelah pembangunan palinggih yang baru tuntas dan di-pelaspas, barulah Ida Batara kairing
manggingsir ke palinggih baru. Sementara itu, barulah palinggih lama di-pralina,” papar Mangku
Wangi.

Bangunan besar yang sudah tuntas yakni berupa bale gong, sementara yang belum adalah darma
sala (kamar mandi). Sementara palinggih yang ada di antaranya palinggih bebaturan linggih
Batara Empu Agenijaya sareng Empu Manikgeni, Gedong Tumpang Siki (satu), dua dan tiga,
Manjangan Saluang, Sanggar Agung, Bale Pawedaan, serta Bale Pesandekan.

Sementara pura yang terkait dengan Lempuyang Madya, tambah Mangku Rai, yakni Telaga
Sawang, Penataran Lempuyang Madya dan Lempuyang Bisbis. Di Pura Telaga Sawang
merupakan linggih tirta dan pasucian Ida Batara. Berdasarkan kepercayaan, setelah Ida Batara
Empu Agenijaya tiba dan menetap di Lempuyang, beliau mayoga di Penataran Lempuyang
Madya bersama Empu Manikgeni. Dikatakan, pujawali di Pura Lempuyang Madya tiap enam
bulan, pada purnama kapat dan sasih kedasa.

Mangku Rai berharap, terkait masih dalam tahap pemugaran pura besar itu, diharapkan umat
Hindu yang tinggal di Bali atau di luar Bali menyempatkan diri ngaturang ayah atau ngaturang
punia. Apalagi nanti saat pujawali, umat sedharma diharapkan menyempatkan diri pedek tangkil
melakukan persembahyangan. Hal itu tak hanya mendoakan mohon keselamatan diri, keluarga
dan masyarakat juga keajegan alam semesta.

Anda mungkin juga menyukai