Anda di halaman 1dari 11

PADMASANA

Berdasarkan pendapat para ahli, menafsirkan suatu simbolis dari sebuah produk
budaya agama, seperti bebatuan atau bangunan suci agama tidaklah mudah.
Namun demikian, penafsiran itu sudah menggunakan sumber-sumber filsafat,
bentuk warna dan puja mantra yang digunakan untuk budaha agama tersebut.
Walaupun demikian, kemungkinan adanya kekeliruan dalam membuat penafsiran
itu masih terbuka adanya. Karena itu penelitian yang lebih mendalam dengan
menemukan bahan-bahan yang valid (yang lebih tepat) masih bisa diajukan
sebagai bahan argumentasi baru. Dengan demikian, baik pengertian maupun
fungsi dari suatu simbolis yang disebutkan pada pembahasan berikut masih bisa
dikoreksi sepanjang didapatkan alasan-alasan yang lebih tepat.
Istilah padmasana banyak kita jumpai di dalam mantram-mantram untuk
menstanakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di dalam bangunan candi-candi di
Jawa bentuk padmasana digambarkan dengan bentuk bunga teratai sebagai alas
duduk atau berdiri dari suatu patung Dewa. Gambar bunga teratai semacam ini
kita jumpai baik di India maupun di Jawa pada zaman dahulu. Sebaliknya di Pulau
Bali gambar bunga teratai sebagai alas duduk patung Dewa jarang sekali kami
lihat. Pada waktu kedatangan Danghyang Niartha ke pulau Bali pada akhir abad
ke 16, penggunaan patung-patung yang ada di sebuah pura adalah patung hiasan
saja ataupun patung Dwapala penjaga pintu. Hal itu disebabkan sejak Danghyang
Nirartha, patung-patung perwujudan Dewa-Dewi, banten Catur atau yang paling
sederhana berbentuk daksina.
Di Jawa kita mengetahui bahwa alas duduk dari Dewa (Tuhan) itu berbentuk
bunga padma, maka di Bali alas duduk dari banten itu memakai lamak. Lamak
itu terbuat dari paduan daun enau (ron dan ambu) yang menggambarkan isi
dunia. Di dalam lamak terdapat gambar-gambar bulan, bintang, mahluk-mahluk,
orang-orangan, binatang dan tumbuh-tumbuhan yang menyimpulkan bahwa Ida
Sang Hyang Widhi Wasa itu diistirahatkan di atas bumi dengan segala isinya.
Rupanya konsep inilah menjadi dasar mengapa bentuk padmasana di Bali
berubah dari wujud bunga teratai menjadi bentuk bangunan padmasana yang kita
kenal sekarang (lihat gambar diatas) : Cudamani : 1998. (dan penjelasan sebagai
berikut:
Arti dan Simbol Padmasana
Padmasana terdiri dari dua kata yaitu padma dan asana.
Padma artinya bunga teratai dan asama artinya tempat duduk. Di dalam agama
Hindu dan agama Budha bunga teratai itu simbol dari tempat duduk / berdirinya
dewa-dewa. Mengapa dipilih bunga teratai ? Karena bunga teratai mempunyai
kelainan dengan bunga-bunga pada umumnya, yaitu :
1). Bunga teratai akar dan pangkalnya tumbuh di dalam lumpul yang busuk,
batangnya berada di air dan bunganya berada di atas air. Dengan demikian,
bunga teratai hidup di tiga alam yaitu alam lumpur, air dan udara. Di dalam
ajaran agama Hindu, Ida Sang Hyang Widhi Wasa disebutkan bertahta di atas tiga
alam ini, sebagai penguasa tribhuwana yaitu alam bhur, bwah, dan svah. Bunga
teratai yang hidup di tiga alam inilah yang diidentikkan dengan bhur, bvah, svah,

sehingga bunga teratai bisa dianggap simbol tribhuana.


2). Bunga teratai, walaupun hidup di air tetap tidak basah oleh air. Sebab itu
maka bunga teratai dianggap sebagai lambang kesucian, bebas dari
ketidakterikatan. Ida Sang Hyang Widhi walaupun beliau menciptakan dunia dan
berada di dunia, Beliau bebas dari ketidakterikatan dunia. Kesamaan ini
menyebabkan bunga teratai sebagai simbol sthana Ida Sang Myang Widhi.
3). Bunga teratai mempunyai tangkai bunga yang lurus dari pangkal yang berada
dalam lumpur sampai ke sari bunganya yang berada di atas air.
Sesuatu yang lurus itu biasanya dipakai sebagai simbol yang baik. Tangkai bunga
teratai ini juga mempunyai kelainan yaitu di dalam batang tangkai bunga itu
terdapat udara karena penuh dengan pori-pori yang besar dari pangkal sampai ke
ujung.
4). Meskipun bunga daun (kelopak daun) bunga teratai itu lebih dari delapan
kelopak, tetapi di dalam mythologi selalu dilukiskan bahwa daun kelopak bunga
teratai itu berjumlah delapan, sebagai simbol Ida Sang Hynng Widhi yang
mempunyai Sakti delapan Dewa yang dikenal juga dengan istilah Astasvarya,
terdiri dari Dewa Isvara, Brahma, Mahadeva, Visnu, Sambhu, Mahesvara, Rudra
dan Sangkara.
Demikianlah beberapa hal keistimewaan bunga teratai sehingga dipakai simbul
dari linggih atau sthana para Dewa. Selanjutnya marilah kita mengenal sedikit arti
dan jenis-jenis asana yang sering digunakan di dalam agama Hindu.
Posisi Padmasana, adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat
ke atas, sehingga tampak sebagai posisi yang berbentuk lingkaran. Para pembaca
tentu akan bertanya mengapa bangunan Padmasana yang kita kenal itu tidak
ada yang menunjukkan bentuk lingkaran, bahkan di bagian puncaknya tampak
berbentuk Singhasana yaitu berwujud kursi persegi empat.
Di dalam Lontar Karanagama disebutkan :
Singhasanam catus-konam,
Anantam ca tri konakam.
Padmasanam ca vartulakaram,
Sat konam Vimalasanam.
Yogasanam sasta-konam,
Asanam parikalpayet.
Avahanasanam yoge,
Snane Singhasanam bhavet.
Arcanayam maha-padmam,
Vimala-khyam tu bhojane.
Stotra-samgita nrttesv,
Anantasanam ihocyate
Artinya :
Singhasana adalah segi empat.
Anantasana adalah segi tiga.
Padmasana adalah bulat.
Vimalasana adalah segi enam.
Yogasana adalah segi delapan.
Sikap duduk Yogasana (avahasana)
Digunakan untuk melakukan yoga.
Sikap Singhasana untuk melakukan penyucian (mandi)
Sikap Padmasana digunakan untuk memuja.

Sikap Vimalasana digunakan pada waktu memberikan anugrah.


Sikap Anantasana digunakan oleh para pendeta yang menyanyikan nyanyian
pujian untuk para Dewa.
Tampaknya di sini bahwa isi pedagingan pesimpen itu terutama pedagingan
puncak yang berbentuk Padma terbuat dari mas ditaruh paling atas di atas
Singhasana yang berbentuk sebagai kursi persegi empat ini. Karena Padma mas
itu di tanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak kelihatan dari luar.
Rupanya pedagingan berbentuk Padma dari mas inilah yang memberi nama
bangunan itu sehingga bernama padmasana. Sebagaimana telah disebut di muka
bahwa Dewa-dewa, Ida Sang Hyang Widhi bertahta di atas Padmasana.
Ternyata beberapa isi pedagingan itu sesuai dengan weda yang diucapkan Ida
Pedanda. Hal ini dapat kita lihat di dalam kuta mantra Ida Pedanda Siwa
Raditya, pertama-tama beliau mengucapkan kuta atau mula mantra yang
mantranya adalah sebagai berikut :
Om, om Kurmagneya ya namah.
Om, om Anantasana ya namah.
Om, om Caturaisvarya ya namah.
Om, om Padmasana ya namah.
Om, om Deva pratistha ya namah.
Di dalam Purvaka Veda Buddha kata-katanya agak lain tetapi maksudnya sama :
Om, om Kurmagneya ya namah.
Om, om Anantasana ya namah.
Om, om Singhasana ya namah.
Om, om Padmasana ya namah.
Om, om Devasana ya namah.
Meskipun ada sedikit perbedaan antara Pedanda Siwa dan Buddha tetapi
hakekatnya sama, karena dengan Catur Aisvarya dan Deva pralistha sama
maksudnya dengan Devasana. Yang mungkin agak ganjil kedengaran bagi kita
yaitu bahwa mantram yang sama juga dipergunakan jika Pedanda melakukan
Narpana Sawa. Sebagaimana biasa dilakukan di Bali bila di dalam suatu keluarga
ada yang meninggal maka keluarganya akan membuat saji tarpana sebagai
persembahan terakhir kepada almarhum. Untuk itu biasanya dibuatkan upacara
penyucian sehari sebelum upacara pembakaran dimulai.
Dalam memanggil roh itu untuk diberikan saji maka dibuatkanlah banten
perwujudan sebagai jasad almarhum, dan diletakkan di sebelah kanan mayat. Ida
Pedanda menggunakan mantram Puja Narpana waktu memanggil dan memberi
saji tersebut sebagai berikut :
Om, om Kurmagneya ya namah.
Om, om Anantasana ya namah.
Om, om Singhasana ya namah.
Om, om Padmasana ya namah.
Om, om Devasana ya namah.
Mengapa mantram ngadegang sawa itu mirip dengan mantram ngarcana Ida
Sang Hyang Widhi ? Di dalam filsafat agama Hindu alam semesta ini adalah
seumpama tubuh Ida Sang Hyang Widhi dan dikenal dengan sebutan bhuwana
agung. Adapun seumpama bhuwana alitnya adalah tubuh manusia ini dimana

Atma sebagai penguasanya.


Jika Sanghyang Parama Siwa (Ida Sang Hyang Widhi) sebagai jiwa bhuwana agung
(alam semesta ini) maka Sanghyang Siwa Atma adalah sebagai jiwa dari bhuwana
alit yaitu tubuh manusia ini.
Bhuwana alit adalah bentuk mini dari bhuwana agung, dalam arti bhuwana agung
itu mirip tatanannya dengan bhuwana alit. Oleh karena itulah pujanya sama.
Persamaan semacam itu kita juga jumpai di dalam bentuk bangunan Meru untuk
Ida Bhatara (Dewa) dipakai Meru tumpang 7, 9 atau 11. Untuk Pitara pun
memakai Meru dengan tumpang yang sama seperti halnya yang kita jumpai di
Pedarman di Pura Besakih. Sebagaimana diketahui Meru-meru yang ada di
Pedarman adalah untuk roh leluhur atau Pitara. Demikian pula bentuk bade
(wadah) bagi orang mati juga memakai tumpang seperti Meru. Jika yang
meninggal itu adalah Pedanda maka wadah yang dipergunakan berbentuk
Padmasana. Pada hakekatnya tubuh manusiapun memakai dasar Bhadawang nala
pula. Di dalam plutuk yang biasanya dibacakan pada waktu upacara penyucian
orang meninggal disebutkan sebagai berikut :
Nihan tingkah ing Bhadawang nala magenah ring raga ngaranya.
Bhadawang nala magenah ring tlapakan batis.
Kebo raja ring jrijin batasi.
Naga vilut ring tundun batis dan seterusnya.
Jadi dengan demikian dapat kita simpulkan bedawang nala dan naga itu
merupakan dasar dari bhuwana agung maupun bhuwana alit. Bila bhuwana
agung digambarkan dengan padmasana, maka manusia yang meninggal
digambarkan dengan surat kajang, yang juga memakai gambar bhadawang nala
dan naga.
Jadi kesimpulan yang lain yang dapat kami tarik dari uraian di atas adalah bahwa
Padmasana itu tidak lain dari gambaran bumi ini. Marilah kami ajak para pembaca
untuk mengikuti uraian berikutnya untuk lebih meyakinkan bahwa bangunan
Padmasana itu adalah simbul dari bumi. Kita akan memulai dari bawah yaitu dari
bhadawang nala. Apakah sebenarnya bhadawang nala itu mengapa berfungsi
sebagai dasar ?
Menurut lontar Kaurawasrawa yang ditulis abad 16, melukiskan asal-usul
terjadinya gempa sebagai berikut :
Maka-dasar-nira hyang Maha meru : Bhadawang Anala, matendas kuda, makaleker-ira Sang Hyang Maha meru, Hyang Ananta-bhoga ya (ta) sumanga ring nusa
Yava, apan kadyanga ning banava pulo (tingkah) ikang nusa (=dvipa) Yava,
atarampa ula Ananta-boga, manusa pinaka pramananira Sang Hyang Maha-Meru,
prthivi pinaka pada nira Sang Hyang Maha Meru, kalinanya pva ya, teka pralaya
64 ika, ikang prthivi mvan Sang Hyang Raja-parvata, tekan ing Hyang Ananta
Bhoga, kenen osah menggah kesah, duhkha kin-kin akveh sattva masambhava,
ya ta pralaya 64 nin bhuwana, milu pva prthivi osah, milu pva bhadawang Nala
osah, milu pva (Sang) Ananta-bhoga osah; ya ta mengkab dada bhadawang Baka,
sukunyanambah selah bajra in ratnadukara, manrasa manadipira, paren lan sang
Hyang Ananta-Bhoga, manulisik kantha-nira mvan ikuh-nira.
Artinya :
Sebagai dasar dari Sanghyang Maha meru (gunung Mahameru) adalah
Bhadawang Anala, ia memiliki kepala berbentuk kuda. Adapun yang menyangga

pulau Jawa adalah Sanghyang Anantabhoga, karena pulau itu seperti pulau yang
mengambang dimana bagian bawahnya terdiri dari batu baja dan terletak di atas
punggung bhadawang nala dan Ananta bhoga.
Bhadawang nala dan Ananta bhoga inilah yang menyebabkan mahluk merintih
dan bersedih pada saat terjadinya bencana alam, seperti gempa bumi. Jika dada
(badan) bhndawang nala bergerak, kakinya menendang batu baja yang mejadi
dasar dari lautan, ia juga mengakibatkan penderitaan pada Anantabhoga yang
melilit leher serta ekornya.
Lukisan sebab-sebab terjadinya gempa ini menurut Kaurawasrawa mirip dengan
ceritra rakyat yang hidup di Bali. Waktu saya (penulis) masih kecil dan kebetulan
terjadi gempa, maka kakek saya cepat-cepat memerintahkan saya agar memikul
Lesung - alat menumbuk padi, atau apa saja yang berbunyi keras, agar ular
yang melilit bhadawang nala itu cepat bangun dari tidurnya.
Konon katanya di dasar bumi ini ada bhadawang nala yang dililit oleh ular naga
sehingga bhadawang nala itu tidak bisa bergerak. Jika naga itu terbuai atau tidur
maka bhadawangnala itu akan menggerakkan tubuhnya, sehingga menimbulkan
gempa. Binatang apa sebenarnya bhadawang nala itu?
Di dalam lukisan arsitektur Bali bhadawang itu selalu dilukiskan sebagai penyu
atau kura-kura yang kepalanya mengeluarkan api. Kata nala yang berasal dari
kata anala (sanskrit) yang artinya api.
Di dalam lontar Adiparwa, Brahmanda Purana maupun Agastya Parva, bhadawang
nala itu dilukiskan sebagai bhadawang api yang berkepala kuda yang meminum
air di lautan.
Jika kita hubungkan dengan ilmu pengetahuan geologi maka yang dimaksud
dengan bhadawang nala rupa-rupanya magma api yang ada di kerak bumi. Jika
magma itu bergerak maka akan menimbulkan gempa tektonik. Jika terjadi letusan
gunung berapi maka lahar yang mengalir keluar tampak seperti kepala kuda yang
menyala. Siapakah naga yang melilit bhadawang nala itu?
Di dalam lontar Kauravasrava disebutkan Sanghyang Ananta bhoga. Tetapi di
dalam bangunan Padmasana lukisan naga yang melilit bhadawang itu ada dua
ekor. Hampir semua Padmasana yang bersifat kuno memakai dua ekor naga.
Hanya beberapa Padmasana yang belakangan ini dibuat ada yang memakai
hanya seekor naga, konon katanya mengambil dasar dari ceritra Pemutaran
mandara giri. Adapun ceritra Pemutaran mandara giri itu menceritakan usaha dari
pada Dewa dan para raksasa mencari tirtha amerta dengan jalan mengaduk
lautan air susu (ksirarnawa). Sebagai tongkat pengaduknya dipergunakan gunung
Mandara, sebagai dasar agar jangan lautan air susu itu jebol ke bawah maka
Dewa Visnu mengubah diri berwujud kura-kura untuk menyangga dari bawah.
Adapun yang dipergunakan sebagai tali untuk mengikat gunung Mandara itu
diminta Sanghyang Ananta bhoga.
Dengan demikian maka ada dua versi yang berbeda mengenai mythology
bhadawang nala dan naga ini.
1). Sumber Veda mantra dan lontar Kauravasrava, Adiparva dan sebagainya yang
kami sebutkan di atas jelas menyebutkan bhadawang nala atau bhadawang api.
Sedangkan naga yang dimaksud menurut lontar Kauravasrava adalah naga
Ananta bhoga.
2). Adapun ceritra pemutaran gunung Mandara, yang bertindak sebagai dasar itu
adalah kura-kura (empas) penjelmaan Dewa Visnu, sedangkan Naganya adalah

Naga Basuki.
Dari kedua versi yang berbeda ini penulis lebih cenderung memilih sumber yang
1 yaitu lontar Kaurawasrawa sebagai sumber yang lebih mengena. Adapun
alasannya :
a). Semua orang mengakui bahwa kura-kura yang menjadi dasar padmasana itu
bernama bhadawang nala. Hal itu cocok dengan apa yang disebutkan di dalam
Kauravasrava. Sedangkan ceritra Pemutaran Mandara Giri sama sekali tidak
pernah menyinggung bahwa kura-kura itu bernama bhadawang nala.
b). Adalah janggal kalau Dewa Visnu yang dikenal juga sebagai Dewa penguasa
air, menjelma menjadi bhadawang nala, yang tidak lain adalah bhadawang api.
Sumber yang lebih menguatkan lagi bahwa bhadawang nala itu bukan aspek dari
Dewa Visnu adalah kalau kita memperhatikan tatacara peletakan batu pertama
jika membangun sebuah Padmasana sebagai berikut : Sebagai dasar adalah batu
bata merah disurati dengan huruf ang dan dilukis gambaran bhadawang nala. Di
atas batu merah itu ditaruh batu hitam dengan berisi huruf UNG. Di atas itu
ditaruh kelapa gading yang ditulis huruf ONG.
Jelaslah disini batu merah dengan huruf ang bergambar bhadawang itu
perwujudan Brahma bukan Visnu sebab huruf ang itu untuk Dewa Brahma, huruf
ung untuk Dewa Visnu sedang huruf ong untuk Dewa Siva. Warna merah (batu
merah) warna Brahma, warna hitam (batu hitam) warna Visnu. Gambar
bhadawang nala itu dilukiskan pada batu merah bukan pada batu hitam.
c). Di dalam Kaurawasrawa disebutkan Bhadawang nala itu diikat oleh Sanghyang
Ananta bhoga. Sedangkan di dalam Pemutaran Mandara giri bukan kura-kuranya
yang diikat oleh naga melainkan gunung Mandaranya.
Itulah antara lain alasan penulis mengapa penulis memilih lontar Kaurawasrawa
sebagai sumber bentuk bangunan dasar Padmasana.
Marilah kita kembali lagi kepada pertanyaan semula yaitu mengapa Naga yang
melilit bhadawang nala itu dua ekor sebagaimana yang kita saksikan pada
bangunan Padmasana pada umumnya. Dalam mythology Hindu tokoh naga yang
terkenal itu ada tiga yaitu Anantabhoga, Basuki dan Taksaka.
Di dalam Veda ketiga tokoh naga itu ada disebutkan yaitu :
Di dalam Anontabhoga Stava dilukiskan bahwa Sanghyang Anantabhoga itu
memikul mahluk di dunia ini melalui punggungnya.
Di dalam Basuki Stava, Sanghyang Naga Basuki itu dilukiskan kepalanya berada
dilautan dan ekornya berada di puncak gunung. Dan Sanghyang Naga Basuki
memelihara dunia melalui ekornya.
Di dalam Taksama Stava, Sanghyang Naga Taksaka terbang dan bertempat
tinggal di angkasa.
Sumber lain lagi yang menjelaskan tentang Naga adalah lontar Cri Purwana
Tattwa yang melukiskan antara lain bahwa ketika manusia di dunia mengalami
bencana kelaparan, maka Ida Sang Hyang Widhi lalu memerintahkan Sanghyang
Tri Murti untuk membantu menyelamatkan manusia dari bencana. Setelah
Sanghyang Murti sampai di angkasa maka Bhatara Brahma mohon ijin kepada
Bhatara Isvara untuk terjun ke pertiwi. Setelah Bhatara Brahma memasuki pertiwi

maka berubahlah wujud Beliau menjadi naga yang bernama Naga Anantabhoga.
Bulu-bulu Sanghyang Anantabhoga menjadi tumbuh-tumbuhan. Sehingga
makmurlah manusia tidak kekurangan pangan.
Perlu juga diketahui bahwa arti kata Anantabhoga adalah pangan, sandang dan
papan (bhoga, upa bhoga dan pari bhoga). Kata Ananta berarti tidak habis-habis.
Kalau kita perhatikan kenyataannya maka memang benarlah di pertiwi ini kita
mendapatkan makanan dan sandang (pakaian) serta papan (bahan perlengkapan
seperti mas, perak, besi, minyak dan sebagainya) yang tidak habis-habis.
Mari kita lanjutkan lagi apa yang dilakukan oleh Bhatara Visnu dan Bhatara Isvara
menurut lontar Purwana Tattwa. Bhatara Visnu juga mohon ijin kepada Bhatara
Isvara untuk terjun dan masuk ke dalam Samudra berwujud Sanghyang Naga
Basuki, dan memberikan kekuatan hidup kepada air sehingga tumbuh-tumbuhan
menjadi subur dan berbuah lebat.
Jika cerita ini kita hubungkan dengan Basukistava maka yang dimaksud dengan
Naga Basuki itu adalah lapisan air yang menutupi kulit bumi ini. Sebagaimana kita
ketahui bahwa puncak gunung adalah merupakan tanah yang gembur, sehingga
bila hujan jatuh maka air hujan itu akan diserap dan ditahan oleh akar-akar kayukayuan dan kemudian secara perlahan dialirkan melalui mata air menuju lautan.
Coba kita bayangkan andaikata tidak ada gunung dengan hutannya maka bila
hujan jatuh air itu akan begitu saja meluap menjadi banjir menuju lautan.
Tetapi dengan adanya gunung maka sepanjang tahun siang dan malam air sungai
terus mengalir mengairi sawah pertanian. Akan menjadi benar seperti apa yang
disebutkan di dalam puja Basuki stawa dimana Sanghyang Naga Basuki
menghidupi isi dunia ini melalui ekor Beliau, karena gunung inilah seumpama
dam (bendungan) yang disimbulkan sebagai ekor Sanghyang Naga Basuki,
tubuhnya adalah sungai dan kepalanya adalah lautan. Dan terakhir menurut Cri
Punwana tattva disebutkan bahwa Bhatara Isvara turun di angkasa dan
mengubah wujud beliau menjadi Naga Taksaka.
Sekarang timbul persoalan baru, ternyata menurut Cri Purvana Tattva naga itu
ada tiga bukan satu. Apakah di dalam bangunan Padmasana ketiga naga itu
dilukiskan?
Jawabannya adalah ya!.
Kalau kita perhatikan susunan bumi kita maka ternyata inti bumi yang merupakan
dasar bumi adalah magma api, bila magma ini sampai keluar melalui puncak
gunung ia akan berwujud sebagai lahar. Magma inilah kira-kira yang disimbulkan
dengan bedawang nala dengan laharnya yang berbentuk kepala kuda api. Adapun
lapisan yang membungkus magma ini adalah tanah (batu-batuan) yang
disimbulkan sebagai Naga Anantabhoga. Lapisan berikutnya yang juga
membungkus magma dan kulit bumi ini adalah lapisan air, baik berwujud air laut,
danau maupun air sungai dan lapisan air ini disimbulkan dengan Sanghyang Naga
Basuki. Adapun lapisan terakhir yang juga mcmbungkus kulit bumi tetapi selalu
bergerak yaitu udara yang mengambil tempat di angkasa. Lapisan ini disimbulkan
dengan naga Taksaka yang wujudnya seperti naga juga tetapi memakai sayap.
Tepat sekali imaginasi nenek moyang kita menggambarkan udara itu sebagai
naga yang terbang (lebih-lebih kalau terjadi typoon atau angin berputar yang
mirip seperti bentuk ular). Ketiga naga tersebut digambarkan di dalam bangunan

Padmasana yaitu naga Anantabhoga dan Basuki dengan ketat melilit bhadawang
nala (tanah dan air dengan ketat membungkus magma).
Sedangkan Taksaka digambarkan pada Singhasana yaitu bagian atas dari
Padmasana yang berbentuk menyerupai kursi. Naga Taksaka itu dipakai untuk
menghiasi kedua tangan dari kedua kursi itu. Demi untuk kepentingan seni
rupanya naga Taksaka (yang bersayap) itu dilukiskan dua ekor.
Mengapa Taksaka terpisah letaknya dengan yang lain ? Sebagaimana telah
dijelaskan terdahulu bentuk Singhasana itu adalah simbul empat penjuru mata
angin dengan penguasanya Sanghyang Catur Isvarya. Kita baru mengenal arah
barat, utara, timur, selatan setelah diatmosfier ini yaitu di atas permukaan tanah
ini. Demikianlah udara atau pun angin bergerak di atas permukaan tanah.
Memperhatikan simbul dari Padmasana ini maka bhadawang nala, dengan dua
naga (Anantabhoga dan Basuki) melambangkan alam bawah atau bhur loka.
Adapun bvah loka atau madya lokanya adalah badannya Padma, termasuk
Singhasana yang berbentuk kursi, yang melambangkan atmosfier bumi. Adapun
svah lokanya tidak dilukiskan dalam wujud bangunan, tetapi di dalam puja dan
pesimpen pedagingan ada terdapat. Di dalam pesimpen pedagingan unsur svah
lokanya itu dilukiskan dengan pedagingan yang berwujud padma. Sedangkan di
dalam puja dilukiskan dengan : Om Padmasana ya namah dan Om Dewa Pratistha
ya namah.
Diantara Pura-pura yang ada di Bali yang strukturnya mendekati konsep
Padmasana simbul bumi adalah Pura Besakih dimana kedua alam bhuh bvah itu
dilukiskan dengan bentuk bangunan. Selanjutnya kami ajak para pembaca untuk
melihat lukisan di belakang bangunan Padmasana. Disana ada dua lukisan yang
mempunyai arti simbolis yaitu lukisan Garuda dan Angsa. Simbol apakah Garuda
itu ?
Penulis berpendapat gambar Garuda ini ada hubungannya dengan ceritra Sang
Garuda yang terdapat di dalam Adi Parva. Ceritra ringkasnya adalah sebagai
berikut : Bhagawan Kacyapa mempunyai dua orang istri yaitu Sang Kadru dan
Sang Winata. Bhagawan Kacyapa menawarkan kepada kedua istri beliau berapa
jumlah anak yang ingin mereka miliki. Sang Kadru meminta 1000 anak sedangkan
Sang Winata meminta dua anak. Bhagawan Kacyapa memberikan seribu butir
telur pada Sang Kadru dan dua butir telur pada Sang Winata. Setelah telur Sang
Kadru menetas maka lahirlah seribu ekor ular. Melihat Sang Kadru sudah
melahirkan anak-anaknya maka Sang Winata ingin cepat juga punya anak, maka
dengan tidak sabar dipecahkanlah sebutir dari telurnya maka lahirlah Aruna
seekor burung yang belum sempurna bentuk tubuhnya karena belum punya kaki.
Suatu ketika Sang Kadru bertemu dengan Sang Winata membicarakan tentang
rupa dari kuda Ucchaisrawa yang keluar pada waktu lautan air susu diaduk oleh
para Dewa Raksasa. Sang Kadru menebak warna kuda itu hitam dan Sang Winata
menebak putih. Masing-masing kukuh mempertahankan pendirianya, akhirnya
mereka bertaruhan, siapa pun yang kalah akan menjadi budak dari yang menang.
Setelah itu Sang Kadru lalu pulang dengan mengabarkan hal ikhwal taruhan itu
kepada anak-anaknya.
Wah ibu pasti kalah, karena kuda itu betul-betul putih mulus kata ular-ular itu.
Kalau demikian anakku berbuatlah sesuatu agar ibu tidak kalah sehingga

menjadi budak Sang Winata. Besok ibu akan datang bersama Sang Winata ke
tempat kuda itu untuk menyaksikan kebenaran kuda itu. Maka para ular itu pun
memenuhi permintaan ibunya lalu semuanya menuju ke tempat kuda itu berada.
Mereka semua lalu menyemburkan bisa (wisa)-nya ke tubuh si kuda sehingga
warna bulu kuda itu menjadi berubah dari putih menjadi hitam karena pengaruh
dari bisa ular itu. Besok harinya ketika Sang Winata dan Sang Kadru datang,
mereka menyaksikan warna kuda Ucchaisrawa itu betul-betul hitam, maka
kalahlah Sang Winata. Sejak saat itu Sang Winata menjadi budak Sang Kadru
menjaga dan mengantarkan ular-ular itu mencari makanan setiap hari dan sore
hari baru pulang.
Sementara itu Sang Garuda pun lahir dengan tubuh sempurna. Setelah beberapa
lama kemudian Sang Garuda pun heran melihat ibunya pergi pagi pulang sore,
hingga ada keinginannya untuk menanyakan.
lbu mengapa ibu pergi pagi pulang sore, apa pekerjaan ibu ? tanya Sang
Garuda.
Ibu jadi budak para naga, saban hari kerja ibu adalah menggembalakan ular-ular
yang nakal, pergi ke sana ke mari sekehendaknya. jawab Sang Winata.
Mengapa ibu menjadi budaknya ? tanya Sang Garuda.
Karena ibu kalah taruhan dengan Sang Kadru mengenai warna kuda
Ucchaisrawa, kata Sang Winata.
Kalau demikian biarlah saya saja menggantikan ibu menggembalakan ular
demikian permintaan Sang Garuda yang kemudian diluluskan oleh Ibunya.
Lamalah sudah Sang Garuda menjadi budak dari para naga, akhirnya dia menjadi
bosan. Ia pun lalu menanyakan kepada naga apakah ada cara sebagai pengganti
atau menembus dirinya, agar dia bisa bebas dari perbudakan.
Setelah lama berpikir para Nagapun sepakat akan membebaskan Sang Garuda
dari perbudakan kalau bisa mencarikan tirtha amerta untuk mereka. Konon
barang siapa yang dapat minum amerta itu akan bisa bebas dari kematian.
Dengan demikian para naga beranggapan tidak perlu lagi ada penjaga seperti
Sang Garuda, karena tidak ada yang menyebabkan mereka bisa mati kalau sudah
minum tirtha Amerta.
Sang Garuda pergi ke sorga untuk mencari tirtha Amerta itu. Untuk itu dia
berhadapan dengan para Dewa yang menjaga Amerta itu. Dewata Nawa Sanga
dikalahkan semua. Akhirnya para Dewa lalu mohon bantuan kepada Bhatara
Visnu. Perang pun terjadi antara Dewa Visnu dengan Sang Garuda. Perangpun
berlangsung lama. Akhirnya Bhatara Wisnu menanyakan mengapa Sang Visnu
memerangi para Dewa dan untuk apa dia mencari Amerta.
Setelah Sang Garuda menjelaskan tujuannya mencari Amerta adalah untuk
membebaskan dirinya dan ibunya dari perbudakan para naga maka Bhatara Visnu
berkenan memberikan tirtha Amerta itu asal saja Sang Garuda bersedia menjadi
kendaraan Dewa Visnu. Sang Garuda menyetujui dan tirtha amerta pun
diserahkan oleh Dewa Visnu dengan syarat barang siapa yang akan
meminumnya hendaknya bersuci-suci lebih dahulu, kalau tidak demikian tirtha
merta tidak akan sidhi atau bermanfaat. Sang Garuda segera menyerahkan
tirtha Amerta itu kepada para naga dengan segala persyaratannya. Para naga
setelah menerimanya semua saling dahulu mendahului pergi mandi menyucikan

diri, takut tidak kebagian sehingga tirtha itu begitu saja ditinggal di tengah
rumput alang-alang. Mengetahui bahwa tirtha itu ditinggalkan begitu saja oleh
para naga maka Bhatara Visnu pun mengambil tirtha itu kembali dibawa ke sorga.
Dengan penuh kecewa para naga hanya dapat menjilati sisa-sisa bekas tirtha
yang ada di daun alang-alang itu. Disebabkan tajamnya daun alang-alang itu
maka lidah ular naga itupun terbelah. Itulah asal mula ceritra mengapa alangalang menjadi daun yang dianggap suci karena terkena bekas tirtha amerta,
demikian pula mengapa lidah ular menjadi bercabang.
Marilah kita simak arti dan simbul dari ceritra Sang Garuda ini dihubungkan
dengan lontar Cri Purvana Tattva dan Stava yaitu Ananta bhoga stava, Basuki
stava dan Taksaka stava. Di muka telah dijelaskan bahwa inti bumi atau magma
api itu dibungkus oleh tanah, air dan udara. Ketiga jenis zat ini disimbulkan
dengan naga (ular). Kami beranggapan bahwa Sang Garuda itu tidak lain dari
simbul manusia yang mencari pembebasan dari perbudakan benda-benda
duniawi. Kenyataannya saban hari dari pagi sampai sore manusia disibukkan
untuk mendapatkan makan, minum dan udara bersih (simbul 3 naga di atas).
Pekerjaan yang tidak pernah selesai ini menjadikan manusia berpikir apakah
hidup ini hanya untuk makan minum dan mendapatkan udara bersih ? Apakah
manusia bisa membebaskan diri dari perbudakan benda ini. Jawabannya adalah
tirtha Amerta. Apa yang dimaksud dengan Amerta itu ? Amerta artinya tidak matimati atau keabadian. Siapa yang tidak bisa mati ? Hanya Tuhan ! Barang siapa
yang telah bisa mencapai Tuhan mereka tidak lagi terikat oleh kemelekatan
benda-benda dunia ini, mereka bebas dari perbudakan benda, mereka mencapai
moksa, moksa itu adalah kebebasan.
Hal yang menguatkan lagi bahwa gambar Garuda merupakan simbul pembebasan
dari perbudakan oleh benda-benda duniawi ialah : penggunaan patung Garuda di
Bale Gede yaitu bangunan yang biasanya diperuntukkan untuk menempatkan
mayat sebelum dibawa ke setra. Bale Gede umumnya terdapat pada rumah
keluarga-keluarganya yang mampu di Bali.
Gambar-gambar yang terdapat pada Bade atau wadah yang digunakan sebagai
kendaraan dari orang yang meninggal, pada waktu mayat itu dibawa dari rumah
kesetra. Gambar Garuda itu terdapa pada bagian belakang wadah atau bale
itu. Tujuannya tentu erat hubungannya dengan semacam petunjuk atau perhatian
kepada manusia baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal bahwa
bila akan mencari Ida Sang Hyang Widhi hendaknya berbuat seperti Sang Garuda
yaitu membebaskan diri dari perbudakan naga atau benda-benda dunia. Itulah
mungkin sebabnya mengapa di Bale Gede maupun di belakang wadah dilukiskan
Garuda, agar roh orang yang meningggal selalu teringat dengan ceritra sang
Garuda yang mengandung simbul kebebasan.
Di atas gambar Garuda yang kita lihat di belakang Padmasana itu, biasanya kita
menjumpai ada hiasan berbentuk angsa. Wujud angsa yang dilukiskan baik di
belakang Padmasana maupun wadah itu selalu berwujud angsa dengan sayapnya
yang mengepak-ngepak.
Menurut lontar Indik tetandingan wujud angsa dengan sayap mengepak itu
adalah simbul dari ardha candra windhu dan nada. Kedua sayap yang mengepak

menggambarkan ardha candra, kepala angsa menggambarkan windu dan mulut


atau cocor angsa menggambarkan nada.
Sumber yang lain kita jumpai di dalam Upanisad yang menyebutkan Atma yang
ingin bersatu dengan Brahman itu seperti burung angsa yang mengepakngepakan sayapnya. Maka kesimpulannya, lukisan Garuda adalah simbul
manusia yang mencari kebebasan melalui pelepasan terhadap ikatan duniawi,
dan gambar angsa adalah simbul manusia yang ingin kembali kepada Ida Sang
Hyang Widhi, yang juga disebut amoring acintya.
Om Santih Santih Santih Om _/\_

Anda mungkin juga menyukai