Sanghyang Surya Candra adalah para dewata sebagai penguasa peredaran matahari dan bulan
dalam dua sifat rwa bhineda yang berbeda untuk dapat memancarkan sinarnya pada siang dan
malam hari.
Surya Candra merupakan bagian dari asta dewata yang disebutkan,
Surya sebagai penguasa matahari yaitu Bhatara Surya dalam menjaga
kestabilannya.
Candra sebagai penguasa bulan
Ajarannya tertuang dalam Lontar Aji Swamandala yang diwarisi dari sejak dahulu kala
sebagai tata cara orang untuk mendapat hari baik, dewasa ayu (ala ayuning dewasa) untuk
melaksanakan upacara kecil, menengah ataupun besar.
Dalam perhitungan sasih kalender saka Bali disebutkan,
Sasih Surya : mengikuti perederan bumi mengeliling matahari lamanya 365/366
hari. Tepatnya dalam setahun 365 hari 5 jam 43 menit 46 detik. Tiap bulan
umurnya berkisar 30/31 hari dan sasih kawolu umurnya 26/29 hari.
Sasih Candra : mengikuti peredaran bulan mengeliling bumi lamanya 354/355
hari, setiap bulan umurnya 29/30 hari tepatnya 29 hari 12 jam 44 menit 9 detik.
Dalam berbagai kutipan rangkaian upacara yadnya di Bali sebagaimana disebutkan,
Sanghyang Surya Chandra dalam kekuatan mantra tirtha pasupati yang diucapkan, ".....
Om Sanghyang Surya Chandra tumurun maring Sanghyang Aji Sarasvati-tumurun
maring Sanghyang Gana, angawe pasupati maha sakti ... "
Surya dan Arda Candra dalam mabeakala disebutkan,
Sanggah Surya merupakan niyasa (simbol) stana Sang Hyang
Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa Surya.
Ardha Candra dalam simbol cangkul sebagai alat untuk bekerja, berkarma
berdasarkan Dharma.
Upacara pensucian " ... Sanghyang Rwa Bhineda, makadi sanghyang surya
candra" dalam kutipan lontar sundarigama yang termasuk kedalam lontar
kemoksan sebagaimana dijelaskan,
Ada lagi hari suci penyucian diri bagi Dewa Matahari dan Dewa Bulan, yang juga disebut
Sanghyang Rwa Bhineda, yakni pada saat bulan purnama dan bulan mati.
Pada saat bulan purnama, Dewa Bulan (Sanghyang Wulan) beryoga.
Pada saat bulan mati (Tilem), Dewa Matahari (Sanghyang Surya) beryoga.
Pada saat itu, pendeta dan semua orang bijak wajib melakukan penyucian diri secara lahir
batin dengan mempersembahkan sesajen berupa canang, wangi-wangi, canang yasa
kepada para dewa, bertempat di Sanggar dan Parhyangan, lalu memohon air suci.
***
‹
›
Ongkara Nyasa Brahman
Kategori : Artikel Baru
Ongkara merupakan aksara tertinggi dalam aksara Bali dan Ongkara dimaksud ditulis (
Nada = suara
Windu = bumi
ArdhaCandra= bulansabit
Tiga = 3
Nada merupakan bagian yang demikian penting dalam kehidupan, sehingga ada makna
yang demikian strategis untuk dipetik sekaligus sebagai motivasi dalam kelangsungan
hidup umat manusia. Nada adalah suara Brahman, yang tak terpisahkan
dengan gita atau lagu. Dihubungkan dengan Bhagawadgita atau nyanyian Tuhan,
Dengan demikian nada memiliki makna yang demikian dalam sehubungan dengan
memuja Tuhan, senantiasa dengan lagu-lagu illahi atau mantra.
Candra atau bulan dalam keagamaan Hindu khususnya wariga, menempati fungsi yang
strategis dalam menentukan baik-buruknya hari, terutama yang berhubungan dengan
pananggal dan panglong. Di samping perhitungan pananggal-panglong, candra pula
dipergunakan sebagai penentuan hari raya berdasarkan sasih (bulan) seperti Hari Rava
Nyepi maupun Siwaratri.
Angka 3 merupakan nyasanya Tri Tunggal yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa yang
merupakan penguasa pengaturan perputaran hidup dan kehidupan jagat raya.
Penciptaan merupakan kuasa Dewa Brahma, Wisnu merupakan penguasa di bidang
memelihara sedangkan Dewa Siwa, kuasa atas kembalinya mahluk hidup keasalnya.
Tentunya pertimbangan inilah angka tiga dijadikan salah satu sarana Ongkara.
Sehingga ongkara di samping sebagai nyasa Brahman, maka Ongkara merupakan
miniatur alam semesta. Dalam yadnya, Ongkara dinyasai oleh Kwangen. Masing-
masing komponennya memiliki arti seperti cili merupakan nyasa nada, uang
kepeng merupakan nyasa windu, lingkaran pada kojong merupakan nyasa arda
candra sedangkan kojong itu sendiri merupakan nyasa angka 3.
Source: Dra. Ida Ayu Made Suerti l Warta Hindu Dharma NO. 492 Desember 2007