Anda di halaman 1dari 21

MAKNA HARI RAYA TUMPEK KRULUT

Hari Tumpek Krulut jatuh pada hari Sabtu kliwon, wuku Krulut, yaitu setiap 6 bulan
atau 210 hari kalender. Pada hari Tumpek Krulut masyarakat hindu mengadakan pemujaan
puji syukur kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai Dewa Iswara,  yang telah
terciptanya suara-suara suci dalam bentuk Tabuh atau Gamelan. 

Istilah dari Tumpek Krulut diambil dari nama wuku (penanggalan jawa dan bali)
berdasarkan kalender Bali, yaitu “lulut” yang memiliki makna jalinan atau rangkaian. Jadi
Hari Tumpek Krulut merupakan wujud dari kasih sayang terhadap alat-alat seni berupa
gamelan atau tetabuhan.

Hari Tumpek Krulut jika dicermati secara mendalam sesungguhnya sebagai sarana
memunculkan rasa saling asih, asah dan asuh di antara sesama manusia melalui sarana seni
tetabuhan, hasil dari karya cipta Hyang Widhi yang membuat rasa tertarik, senang, dan
terpesona dalam kehidupan. 

Menurut Cendekiawan Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., Dosen dari IHDN (Institut
Hindu Dharma Negeri) Denpasar Tumpek Krulut diambil dari Kata krulut berasal dari kata
lulut yang artinya ‘senang’ atau ‘cinta’ yang bisa disejajarkan dengan makna sayang cinta
dan welas asih. 
MAKNA CANANG SARI
Canang Sari awalnya merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi
sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.
Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas
terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap
banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari.Canang sari sering dipakai untuk
persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna
sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang
Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun
Bhuwana Agung.

Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau
maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber.

Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang
Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda,
hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :

1. Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan
"Ardha Candra" (bulan).
2. Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" yang bermakna persembahan tersebut
harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi
beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia
Nya.
3. Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah
sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).
4. Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang
berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari
kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan
panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
5. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika
dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ider (tempat) Panca Dewata. Untuk
urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah
Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda)
disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk
menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.

Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai


simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan
Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi
kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.

Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai


simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk
menganugerahi kekuatan intuisi.

Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau
ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan
segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.

Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai


simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk
menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa).
Bunga canang, kembang rampe, porosan sebagai simbol dari Tarung / Tedung dari
Ong / Om Kara (isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah).
MAKNA HARI RAYA PURNAMA
Kata Purnama berasal dari kata “purna” yang artinya sempurna. Purnama dalam
kamus umum Bahasa Indonesia berarti bulan yang bundar atau sempurna (tanggal 14 dan 15
kamariah). Pemujaan dimaksudkan saat purnama ini ditujukan kehadapan Sanghyang Candra,
dan Sanghyang Ketu sebagai dewa kecemerlangan untuk memohon kesempurnaan dan
cahaya suci dari Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam berbagai wujud Ista Dewata. Biasanya
pada hari suci purnama ini disebutkan umat Hindu menghaturkan Daksina dan Canang Sari
pada setiap pelinggih dan pelangkiranyg ada di setiap rumah.
Pada umumnya di kalangan umat Hindu, sangat meyakini mengenai rasa kesucian
yang tinggi pada hari Purnama, sehingga hari itu disebutkan dengan kata ”Devasa Ayu”. Oleh
karena itu, setiap datangnya hari-hari suci yang bertepatan dengan hari Purnama maka
pelaksanaan upacaranya disebut, ”Nadi”. Tetapi sesungguhnya tidak setiap hari Purnama
disebut ayu tergantung juga dari Patemon dina dalam perhitungan wariga.
Contoh :
• Hari Kajeng Keliwon, jatuh pada hari Sabtu, nemu (bertemu) Purnama, disebut hari itu,
”Hari Berek Tawukan”. Dilarang oleh sastra agama melaksanakan upacara apapun, dan Sang
Wiku tidak boleh melaksanakan pujanya pada hari itu (Lontar Purwana Tatwa Wariga).
• Bila Purnama jatuh pada hari Kala Paksa, tidak boleh melaksanakan upacara agama karena
hari itu disebut, ”Hari gamia” (jagat letuh). Sang Wiku tidak boleh memuja.
Beberapa piodalan pada saat purnama :
 Pura Merajan Penataran Agung di Sidemen Karangasem,  Piodalan Purnama Jiyestha
 Pura Penambangan Badung di Denpasar, Piodalan Purnama Kedasa
 Pura Bukit Mentik, Gunung Lebah Batur Kintamani, Piodalan Purnama Ketiga
 Pura Tirta Empul di Tampak Siring, Piodalan Purnama Kapat
 Ida Ratu Pasek di Besakih, Piodalan Purnama Kawulu
MAKNA BANTEN SEGEHAN
Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini segehan di
haturkan kepada para Bhutakala agar tidak mengganggu dan  juga Ancangan Iringan Para
Betara dan Betari, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh
pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah
diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negative dari limbah tersebut.
Segehan juga dapat dikatakan sebagai lambang harmonisnya hubungan manusia dengan
semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Segehan ini biasanya dihaturkan setiap hari. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut
natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan
jalan. Segehan dan juga Caru banyak disinggung dalam lontar Kala Tattva, lontar
Bhamakertih. Dalam Susastra Smerti (Manavadharmasastra) ada disebutkan bahwa setiap
kepala keluarga hendaknya melaksanakan upacara Bali (suguhan makanan kepada alam) dan
menghaturkan persembahan di tempat-tempat terjadinya pembunuhan, seperti pada ulekan,
pada sapu, pada kompor, pada asahan pisau, pada talenan.
Jenis-Jenis Segehan
1. Segehan Kepel Putih
Segehan kepel putih ini adalah segehan yang paling sederhana dan biasanya seringkali di
haturkan setiap hari.
2. Segehan Putih Kuning
Sama seperti segehan putih, hanya saja salah satu nasinya diganti menjadi warna kuning.
biasanya segehan putih kuning ini di haturkan di bawah pelinggih adapun doanya sebagai
berikut :
Om. Sarwa Bhuta Preta Byo Namah.
Artinya :
  Hyang widhi ijnkanlah hamba menyuguhkan sajian kepada bhuta  preta  seadanya.
3. Segehan Kepel Warna Lima (Manca Warna)
Sama seperti segehan kepel putih, hanya saja warna nasinya menjadi 5, yaitu putih, merah,
kuning, hitam dan brumbun. Dan penempatan warna memiliki tempat atau posisi yang khusus
sebagi contoh ;
 Warna Hitam menempati posisi Utara.
 Warna Putih menempati posisi Timur.
 Warna merah menempati posis selatan.
 Warna kuning menempati posisi Barat.
 Sedangkan Warna Brumbun atau kombinasi dari ke empat warna di atas
menempati posisi di tengah tengah, yang bisa di katakan Brumbun tersebut sebagai
Pancernya.
Segehan Manca Warna ini biasanya di letakkan pada pintu masuk pekarangan (lebuh
pemedal)atau di perempatan jalan adapun doa dari segehan manca warna ini adalah :
Om. Sarwa Durga Prate Byo Namah.
Artinya :
Hyang Widhi Ijinkan Hamba Menyuguhkan Sajian Kepada Durga Prete Seadanya
4. Segehan Cacahan
Segehan ini sudah lebih sempurna karena nasinya sudah dibagi menjadi lima atau delapan
tempat. sebagai alas digunakan taledan yang berisikan tujuh atau Sembilan buah tangkih.
Kalau menggunakan 7 (tujuh) tangkih, sebagai berikut:
 5 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di timur, selatan, barat, uatara dan tengah.
 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
 kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Kalau menggunakan 9 (sembilan) tangkih,sebagai berikut:
 9 tangkih untuk tempat nasi yang posisinya di mengikuti arah mata angin.
 1 tangkih untuk tempat untuk lauk pauknya yaitu bawang, jahe dan garam.
 1 tangkih lagi untuk tempat base tampel, dan beras.
 kemudian diatas disusun dengan canang genten.
Keempat jenis segehan diatas dapat dipergunakan setiap kajeng kliwon atau pada saat
upacara–upacara kecil, artinya dibebaskan penggunaanya sesuai dengan kemampuan.
5. Segehan Agung
Merupakan tingkat segehan terakhir. Segehan ini biasanya dipergunakan pada saat upacara
piodalan, penyineban Bhatara, budal dari pemelastian, serta menyertai upacara Bhuta Yadnya
yang lebih besar lainnya. Adapun isi dari segehan agung ini adalah; alasnya ngiru/ngiu,
ditengahnya ditempatkan daksina penggolan (kelapanya dikupas tapi belum dihaluskan dan
masih berserabut), segehan sebanyak 11 tanding, mengelilingi daksina dengan posisi
canangnya menghadap keluar, tetabuhan (tuak, arak, berem dan air), anak ayam yang masih
kecil, sebelum bulu kencung ( ekornya belum tumbuh bulu yang panjang) serta api takep (api
yang dibuat dengan serabut kelapa yang dibuat sedemikian rupa sehingga membentuk tanda +
atau tampak dara).
Adapun tata cara saat menghaturkan segehan adalah pertama menghaturkan segehannya dulu
yang berdampingan dengan api takep, kemudian buah kelapanya dipecah menjadi lima,
diletakkan mengikuti arah mata angin, kemudian anak ayam diputuskan lehernya sehingga
darahnya menciprat keluar dan dioleskan pada kelapa yang telah dipecahkan tadi, telor
kemudian dipecahkan, di”ayabin” kemudian ditutup dengan tetabuhan. Doa dalam
menghaturkan segehan ini adalah :
Om. Arwa kala perete byo namah.
Artinya :
Hyang Widhi Ijinkanlah Hamba Menyuguhkan Sajian Kepadakala Preta Seadanya.
Setiap menghaturkan segehan lalu di siram dengan tetabuhan, tetabuhan ini bisa
menggunakan air putih yang bersih, atau tuak, brem, dan arak. Dengan cara mengelilingi
segehan yang di haturkan. Ketoka menyiram atau menyiratkan kita ucapkan doa :
Om. Ibek Segar, Ibek Danu, Ibek Bayu, Premananing Hulun.
Artinya :
  Hyanng widhi semoga hamba di berkahi bagaikan melimpahnya air laut, air danau, dan
memberi kesegaran jiwa dan batin hamba.
Unsur-unsur Segehan
Setiap unsur-unsur dari segehan sejatinya memiliki filosofi didalamnya, berikut
penjelasannya:
1. Alas dari daun / taledan kecil yang berisi tangkih di salah satu ujungnya. taledan =
segi 4, melambangkan   arah mata angin.
2. Nasi putih 2 kepal, yang melambangkan rwa bhineda
3.  Jahe, secara imiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi
tidak boleh emosional.
4. Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin
dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
5. Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab
untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah
sahananing ngaletehin).
6.  Di atasnya disusun canang genten.
7. Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara
ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang
merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh
pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada
di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.

Makna HARI RAYA Tumpek Kandang


Tumpek Kandang adalah upacara selamatan untuk binatang-binatang seperti binatang yang
disemblih dan binatang piaraan. Hakekatnya pada rahina ini untuk memuja Ida Sang Hyang
Widhi, Sang Hyang Siwa Pasupati yang disebut Rare Angon, penggembala makhluk.
Berdasarkan kutipan ini, tegas bahwa yang dipuja adalah Ida Sang Hyang Widhi, bukan
memuja binatang, demikian pula terhadap tumbuh-tumbuhan, senjata-senjata, gamelan dan
sebagainya.
Tujuan Tumpek Kandang
Kenapa harus ada upacara untuk para binatang? Mungkin ada yang pernah bertanya dalam
hati demikian. Sesungguhnya inilah Hindu yang mengajarkan cinta kasih yang besar kepada
seluruh ciptaan Tuhan dan yang mengajarkan sifat untuk menghargai tak hanya kepada
sesama manusia tapi juga kepada binatang ,tumbuhan dan seluruh ciptaannya. Karena dalam
hindu terdapat amanat untuk menjaga keharmonisan hidup dengan semua mahluk dan alam
semesta. Selain itu dalam ajaran Hindu, meyakini bahwa semua makhluk memiliki jiwa yang
berasal dari Ida Sang Hyang Widhi.
Dalam Lontar Sarasamuscaya, juga sudah mengingatkan tentang hal ini yang menyebutkan
sebagai berikut :
Ayuwa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana
Artinya : jangan tidak sayang kepada binatang, karena binatang atau makhluk adalah
kekuatan alam.
Jika kita coba untuk memahami dari lontar tersebut mengartikan bahwa umat
hendaknya mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk. Khusus pada perayaan
Tumpek Kandang, umat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Siwa Pasupati
agar hewan peliharaannya diberkati kerahayuan. Sebab, hewan sangat berguna bagi
kehidupan manusia. Misalnya, sapi atau kerbau bagi para petani memiliki peran yang sangat
besar dalam membantu aktivitas agrarisnya.
Sebagai hewan yang ditakdirkan sebagai ubuan tunu seperti  ayam, itik, babi dan sebagainya
sering dijadikan sumber protein untuk menunjang kehidupan manusia. Untuk kepentingan itu
hewan ternak memang terus dikembangkan. Tetapi, khusus hewan-hewan yang lain, terutama
satwa langka, umat mesti melestarikannya seperti penyu hijau, burung jalak Bali, menjangan,
kera dan sebagainya. Hewan-hewan langka tersebut mesti dijaga agar tidak sampai
mengalami kepunahan.
Selain itu pada tumpek kandang juga untuk mengingatkan kita sebagai manusia akan adanya
Tri Guna. Tri Guna adalah tiga unsur dasar dari sifat manusia, yang terdiri dari
1. Satwam adalah sifat damai
2. Rajas adalah sifat ambisi
3. Tamas adalah sifat malas
Dua bagian dari Tri Guna yaitu Rajas dan Tamas adalah bagian sifat yang ada pada binatang.
Sehingga pada tumpek kandang ini kita tak lupa untuk memohon pada Tuhan agar 2 sifat itu
dijauhkan pada kita manusia agar yang berkembang ialah sifat Satwan (sifat damai). Seperti
yang telah disebutkan dalam Kitab  Wrhaspati Tattwa :
Yapwan tamah magong ring citta, ya hetuning Atma matemahan triak, ya ta dadi ikang
dharmasadhana denya, an pangdadi ta ya janggama” (Wrhaspati tattwa,24)
Artinya : Apabila tamah yang besar pada citta, itulah yang menyebabkan Atma menjadi
binatang, ia tidak dapat melaksanakan dharma olehnya, yang menyebabkan menjadi tumbuh-
tumbuhan.
Sarana Tumpek Kandang
Untuk bebanten selamatan bagi binatang tersebut berbeda-beda menurut macam / golongan
binatang-binatang itu antara lain:
 Untuk bebanten selamatan bagi sapi, kerbau, gajah, kuda, dan yang semacamnya
dibuatkan bebanten: tumpeng tetebasan, panyeneng, sesayut dan canang raka.
 Untuk selamatan bagi babi dan sejenisnya: Tumpeng-canang raka, penyeneng,
ketipat dan belayag.
 Untuk bebanten sebangsa unggas, seperti: ayarn, itik, burung, angsa dan lain-lainnya
dibuatkan bebanten berupa bermacam-macarn ketupat sesuai dengan nama atau unggas
itu dilengkapi denganpenyeneng, tetebus dan kembang payas.
Di sanggah / merajan dilakukan pemujaan, pengastawa Sang Rare Angon yaitu dewanya
ternak dengan persembahan (hayapan / widhi-widhana) berupa suci, peras, daksina,
penyeneng, canang lenga wangi, burat wangi dan pesucian.

Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi jaman. Segala aspek menjadi berubah akibat
dari arus globalisasi. Termasuk etika dalam menggunakan busana adat Bali. Sejak dahulu
hingga sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya
dalam menggunakan busana adat Bali terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan
tata cara yang berlaku. 

Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat
sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka
tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terusmenerus
keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam
berbusana adat Bali.

Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara logika,
kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana? pakaian
itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian
dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih
memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara
(swastika). Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri
dari:
1. Dewa Angga : dari leher ke kepala
2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
3. Butha Angga : dari pusar sampai bawah
Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci, belum dibagibagi
menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk ketika manusia sudah
berbusana adat. Sebenarnya tidak ada lontarlontar yang menunjukkan tentang busana adat
Bali. Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yaitu:
1. Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk
persembahyangan (busana adat yang belum lengkap)
2. Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah
lengkap)
3. Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah lengkap secara
aksesoris)
Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura
tersebut.

Busana Adat ke Pura Untuk Putra

Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena lakilaki merupakan pemegang
dharma. Tinggi kamen putra kirakira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai
penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat
tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan
ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang
kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan
symbol kejantanan.
Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti
pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup
kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kirakira satu jengkal
dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi
penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita
sudah mengendalikan halhal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu
Butha Angga dan Manusa Angga.

Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol
pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat
sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju
pada busana adat terus berubahrubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita
harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah
diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.

Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga
yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja),
udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup
di depan, diselasela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang
pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada
Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih
tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.

Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul
hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak
tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara
kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol
pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan
pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di
blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.

Busana Adat ke Pura Untuk Putri

Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai
sakti bertugas menjaga agar si lakilaki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen
putri kirakira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi
putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang
yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan
selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan
mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap
membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama
seperti baju pada putra. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut.
Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung
gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih
bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat
sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai
mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri
yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya
dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka
kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.

Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang kita mulai dari bawah. Kita
rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Nah itulah tahapantahapan kita dalam
menggunakan busana adat. Dengan mebaca uraian diatas hendaknya kita bisa mewujudkan
hal itu. Karena jika kita sudah memahami yang benar dan tidak melaksakannya kita akan
berdosa. Dan jika anda tahu salah dan tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar.
Dengan memahami busana adat ke pura, setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik.

Secara etimologi Catur Purusa Artha berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata Catur,
Purusa dan Artha. Catur diartikan empat, Purusa berarti manusia dan Artha artinya tujuan.
Sehingga Catur Purusa Artha dapat diartikan empat tujuan hidup manusia (Surpha, 2005: 5).

Kitab Sarasamuscaya menjelaskan bahwa kelahiran menjadi manusia itu merupakan  suatu
kesempatan yang terbaik untuk memperbaiki diri, oleh karena itu hanya manusia yang dapat
memperbaiki segalah tingkah lakunya yang dipandang tidak baik menjadi baik, guna
menolong dirinya dari penderitaan dalam usahanya untuk mencapai Moksa (Surpha, 2005: 5).
Dalam kitab Nitisastra, Bhagavan Sukra mengemukakan bahwa semua perbuatan manusia itu
pada hakekatnya didasarkan pada usaha untuk mencapai empat hakekat hidup yang
terpenting yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Tidak ada satu pun perbuatan manusia
yang tidak di dorong oleh keinginannnya untuk mencapai keempat tujuan itu, sehingga dapat
dikatakan bahwa keempat hal inilah yang menjadi hakekat tujuan hidup manusia menurut
ajaran agama Hindu.

Bagian-Bagian Catur Purusa Artha

Keempat tujuan hidup yakni Dharma, Artha, Kama, dan Moksa, akan dijelaskan sebagai
berikut:

1. Dharma

Dharma adalah kebajikan , kebenaran, peraturan-peraturan yang mendukung orang untuk


mendapatka kebahagiaan (Sura, 1985:92). Dalam Sarasamuscaya sloka 14, dijelaskan bahwa
Dharma adalah jalan untuk pergi ke sorga “Dharma eva plavo nanyah svargam
samabhivanchatam, Sa ca nawupwanijastatam jaladheh paramicchatah” yang artinya” Yang
disebut Dharma, adalah merupakan jalan utuk pergi ke sorga, sebagai halnya perahu yang
merupakan alat bagi saudagar untuk mengarungi lautan”.

Made Ngurah (1999: 70) menjelaskan dharma berasal dari kata “dhr” yang berarti
menjinjing, memelihara, memangku, mengatur. Jadi kata dharma dapat berarti suatu yang
mengatur atau memelihara dunia beserta semua makhluk. Dalam catur Purusa artha, dharma
memiliki posisi yang sangat penting, karena dharmalah yang mengatar seseorang
mendapatkan kebahagiaan (kama dan artha). Dharma harus menjadi pengendali dalam
memenuhi Kama dan Artha
Bila mana seseorang mengabaikan dharma ketika mencari Kama dan Artha, maka orang
dapat terjerumus ke jurang kesengsaraan. Sura (1985:93) mengatakan orang yang melanggar
dharma dan tidak mau menjadikanya sebagai jalan hidup akan tidak mendapatkan
kebahagiaan tetapi kesedihan  yang akan dialaminya. 

Untuk itu sangat penting untuk menjunjung dharma, sebab dapat membawa seseorang
mencapai kelepasan (moksa). Sarasamuscaya 12 mengatakan bahwa “Kamarthau
lipsamanastu dharmamevaditasearet / Na hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana”//
Artinya “pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya
dilakukan lebih dulu. Tak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama ini
nanti. Tidak aka nada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma”.
2. Artha

Artha yaitu benda-benda duniawi yang dapat memuaskan kama. Artha merupakan obyek dari
kama sehingga seseorang nikmat merasakan hidup ini (Sura, 1985:92). Made Ngurah (1999:
72) mengatakan kata artha dapat berarti harta atau kekayaan. Ajaran agama Hindu
mengajurkan agar semua orang memiliki artha, sebab artha merupakan sarana untuk
mencapai tujuan tertinggi (moksa). 

Artha dalam catur Purusa Artha digunakan sebagai sedekah. Terdapat tiga penggunaan artha
dalam ajaran Catur Purusa Arta yakni artha digunakan untuk memenuhi dharma, artha
digunakan untuk memenuhi kama dan artha untuk mendapatkan harta kembali (wirasusaha).

Di jaman kali yuga dikatakan bahwa yajna yang paling utama adalah dengan berdana punia.
Untuk itu artha jaman sekarang sangat penting, sebab tanpa artha seseorang tidak akan pernah
merasakan kebahagiaan. Suatu contoh misalnya, jika tidak punya uang maka anda pasti
merasa pusing karena tidak bisa membeli keinginan. Untuk itu artha dalam ajaran Catur
Purusa artha merupakan hal yang sangat penting. Sebab bagaimana mungkin orang mencapai
kebahagiaan tertinggi (moksa) jika di dunia saja tidak bahagia.

3. Kama

Sura (1985:91) menjelaskan bahwa kama yaitu keinginan, nafsu yang mendorong seseorang
untuk berbuat sesuatu, yang mendorong orang bergairah dan bergirang dalam hidup ini. Made
Ngurah (1999: 74) menjelaskan bahwa kama adalah nafsu atau keinginan yang dapat
memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kepuasan atau kenikmatan  tersebut
memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia.

Kama menurut ajaran gama hindu tidak ada artinya jika diperoleh menyimpang dari dharma.
Karena dharma menduduki tempat di atas dari kama dan artha. Dharma adalah pedoman
dalam mencapai artha, kama dan Moksa. 

4. Moksa
Secara etimologi moksa berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata “Muc” yang artinya
“Membebaskan” atau “Melepaskan” (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 2). Berdasarkan
pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa Moksa adalah terbebasnya jiwa (atman) dari
ikatan duniawi atau samsara (kelahiran kembali). Ngurah Nala dan Sudharta (2009: 41)
menjelaskan apabila Atman itu sudah bersih, oleh karena Ia mentaati petujuk-petunjuk Sang
Hyang Widhi (Tuhan), maka Atman itu tidak terikat dengan hukum karma, disebut Niskama
Karma, dan Tidak lagi mengalami Punarbhawa, tidak mengalami Samsara. Keadaan inilah
yang disebut Moksa atau kelepasan (pembebasan).

Moksa merupakan tujuan tertinggi dari catur Purusa Artha. Lalu pertanyaannya kenapa harus
melalui Dharma, artha dan kama? Dalam ajaran agama hindu terdapat empat jenjang
kehidupan manusia disebut catur asrama. Keempatnya harus dilewati oleh manusia. Untuk
itu, dalam setiap tahapannya membutuhkan dharma, artha, dan kama. Dikatakan bahwa tanpa
Dharma, Artha dan kama, Moksa tidak dapat di capai. Untuk itulah keempatnya tidak bisa
dipisahkan satu sama lain.

MAKNA HARI RAYA KUNINGAN


Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan dalam Hindu,
yang jatuh pada 10 hari setelah Galungan, yaitu pada Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku
Kuningan. Kata Kuningan memiliki makna “kauningan” yang artinya mencapai peningkatan
spiritual dengan cara introspeksi agar terhindar dari mara bahaya.
Dikutip dari Bhagawan Dwija mengatakan makna dari Kuningan adalah mengadakan
janji/pemberitahuan/nguningang baik kepada diri sendiri, maupun kepada Ida Sanghyang
Parama Kawi, bahwa dalam kehidupan kita akan selalu berusaha memenangkan dharma dan
mengalahkan adharma (antara lain bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat).
Pada Hari Raya Kuningan banten atau sesajen pada setiap desa belum tentu sama, karena
memang banten itu beraneka ragam versinya. Tapi umumnya pada hari Raya Kuningan
menggunakan upakara sesajen yang berisi simbul tamiang dan endongan, di mana makna
tamiang memiliki lambang perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam.
Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang paling utama dalam mengarungi
kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sementara senjata yang paling ampuh
adalah ketenangan pikiran. Sarana lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol
panah (senjata) karena bentuknya memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung
sebagai simbol penolak bala.
Mengenai waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan, Bhagawan Dwija menjelaskan
pada Hari Raya Kuningan, Ida Sanghyang Widhi Wasa memberkahi dunia dan umat manusia
sejak jam 00 sampai jam 12. Jadi di saat itu sangat tepat kita datang menyerahkan diri
kepada-Nya mohon perlindungan. Kenapa batas waktu sampai jam 12 siang,
dikarenakan energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit
dari pagi hingga mencapai klimaksnya di bajeg surya (tengah hari). Setelah lewat bajeg
surya disebut masa pralina (pengembalian ke asalnya) atau juga dapat dikatakan pada masa
itu energi alam semesta akan menurun dan pada saat sanghyang surya mesineb (malam hari)
adalah saatnya beristirahat (tamasika kala).
Pada Hari Raya Kuningan juga dibuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan
dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai
manusia  menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi.
Dapat diambil kesimpulan melalui perayaan Hari Raya Kuningan inilah kita ingatkan untuk
selalu ingat menyamabraya, meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial, dan umat
diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi alam semesta
beserta isinya serta tidak lupa akan ingat mengucap syukur kepada Tuhan, Ida Sang Hyang
Widhi Wasa atas segala karunia-Nya.
MAKNA BANTEN PEJATI
Di pulau Bali  yang mayoritas warganya adalah umat Hindu, yang mana adat,budaya dan
ajaran agama sangat erat,saling berkaitan dan saling melengkapi. Sehingga bisa dikatakan
adat,budaya dan agama menjadi satu kesatuan.
Khusunya di Bali sendiri dikenal ada yang namanya Banten.  Banten adalah persembahan dan
sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan
Yang Maha Kuasa.  Banten juga merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada
beliau karena telah dilimpahi wara nugraha-Nya. Secara mendasar  dalam agama Hindu,
banten juga dapat dikatakan sebagai bahasa agama.
Pengertian Banten Pejati
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-
sungguh, benar-benar. Awalan pa- membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang
menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”.  Banten Pejati adalah sekelompok
banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang
Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan,
dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang
senantiasa dipergunakan dalam Panca Yadnya.
Unsur dan Makna Banten Pejati
Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri
dari; Daksina, Banten Peras, Penyeneng/Tehenan/Pabuat, Tipat/Ketupat Kelanan. Selain itu,
di alam banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-
sarana pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut:
1. Daksina
Daksina disebut Juga “YadnyaPatni” yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina
juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai
banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar
Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal
kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
2. Banten Peras
Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan
anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu;
dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan
penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu
banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-
tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan
tersebut sukses (prasidha)
Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai
banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam
beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk
menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan
menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya.
Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi
aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat
untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam
upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup
yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
Yang membentuk Penyeneng:
1. Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari
dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk
menghilangkan semua kotoran (dasa mala).
2. Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara
alam semesta ini,
3. Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk
dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya
sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak
baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
4. Tipat/Ketupat Kelanan
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai
oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan
terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
5. Soda/Ajuman
Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun
melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu
peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu
jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing
dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi
sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
6. Pasucian
Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida
Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis
bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani
(cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian
manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.
7. Segehan
Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak
lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan
perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat
menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah
lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Penerima Banten Pejati
Banten Pejati dihaturkan kepada Sang Hyang Catur Loka Phala. Secara lebih detail sebagai
berikut:
1. Peras : kepada Sang Hyang Iswara
2. Daksina : kepada Sang Hyang Brahma
3. Ketupak Kelanan : kepada Sang Hyang Wisnu
4. Soda/Ajuman : kepada Sang Hyang Mahadewa

Anda mungkin juga menyukai