Hari Tumpek Krulut jatuh pada hari Sabtu kliwon, wuku Krulut, yaitu setiap 6 bulan
atau 210 hari kalender. Pada hari Tumpek Krulut masyarakat hindu mengadakan pemujaan
puji syukur kepada Tuhan dalam manisfestasinya sebagai Dewa Iswara, yang telah
terciptanya suara-suara suci dalam bentuk Tabuh atau Gamelan.
Istilah dari Tumpek Krulut diambil dari nama wuku (penanggalan jawa dan bali)
berdasarkan kalender Bali, yaitu “lulut” yang memiliki makna jalinan atau rangkaian. Jadi
Hari Tumpek Krulut merupakan wujud dari kasih sayang terhadap alat-alat seni berupa
gamelan atau tetabuhan.
Hari Tumpek Krulut jika dicermati secara mendalam sesungguhnya sebagai sarana
memunculkan rasa saling asih, asah dan asuh di antara sesama manusia melalui sarana seni
tetabuhan, hasil dari karya cipta Hyang Widhi yang membuat rasa tertarik, senang, dan
terpesona dalam kehidupan.
Menurut Cendekiawan Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., Dosen dari IHDN (Institut
Hindu Dharma Negeri) Denpasar Tumpek Krulut diambil dari Kata krulut berasal dari kata
lulut yang artinya ‘senang’ atau ‘cinta’ yang bisa disejajarkan dengan makna sayang cinta
dan welas asih.
MAKNA CANANG SARI
Canang Sari awalnya merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi
sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih.
Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas
terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap
banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari.Canang sari sering dipakai untuk
persembahyangan sehari-hari di Bali. Canang sari juga mengandung salah satu makna
sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang
Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun
Bhuwana Agung.
Canang berasal dari kata "Can" yang berarti indah, sedangkan "Nang" berarti tujuan atau
maksud (bhs. Kawi/Jawa Kuno), Sari berarti inti atau sumber.
Dengan demikian Canang Sari bermakna untuk memohon kekuatan Widya kehadapan Sang
Hyang Widhi beserta Prabhawa (manifestasi) Nya secara skala maupun niskala.
Di bawah ini penjabaran mengapa canang dikatakan sebagai penjabaran dari bahasa Weda,
hal ini melalui simbol-simbol sebagai berikut :
1. Canang memakai alas berupa "ceper" (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan
"Ardha Candra" (bulan).
2. Di atas ceper ini diisikan sebuah "Porosan" yang bermakna persembahan tersebut
harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi
beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia
Nya.
3. Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah
sebagai simbol kekuatan "Wiswa Ongkara" (Angka 3 aksara Bali).
4. Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah "Sampian Urasari" yang
berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari
kekuatan "Windhu" (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan
panah sebagai simbol kekuatan "Nadha" (Bintang).
5. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika
dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ider (tempat) Panca Dewata. Untuk
urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah
Timur ke Selatan.
Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda)
disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam
kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk
menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala.
Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau
ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon
diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang
Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan
segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi jaman. Segala aspek menjadi berubah akibat
dari arus globalisasi. Termasuk etika dalam menggunakan busana adat Bali. Sejak dahulu
hingga sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Seharusnya
dalam menggunakan busana adat Bali terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan
tata cara yang berlaku.
Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat
sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini bisa terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka
tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Untuk itu agar tidak terusmenerus
keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam
berbusana adat Bali.
Manusia sebenarnya sudah terlahir sebagai makhluk yang suci. Jadi sebenarnya secara logika,
kita sembahyang telanjang bulat pun tidak masalah. Lalu mengapa harus berbusana? pakaian
itu diciptakan dengan tujuan untuk menutupi badan, dan baju merupakan salah satu bagian
dari alat upacara. Manusia menciptakan sarana upakara dengan tujuan kita bisa lebih
memahami ajaran agama kita. Dasar konsep dari Busana adat Bali adalah konsep tapak dara
(swastika). Tubuh manusia dibagi menjadi tiga yang disebut dengan Tri Angga, yang terdiri
dari:
1. Dewa Angga : dari leher ke kepala
2. Manusa angga : dari atas pusar sampai leher
3. Butha Angga : dari pusar sampai bawah
Pada saat manusia tidak berbusana adat, tubuh manusia masih suci, belum dibagibagi
menurut konsep Tri Angga berlaku. Konsep ini baru terbentuk ketika manusia sudah
berbusana adat. Sebenarnya tidak ada lontarlontar yang menunjukkan tentang busana adat
Bali. Secara umum busana adat Bali dibagi tiga yaitu:
1. Busana adat Nista : digunakan sehari, ngayah, dan tidak digunakan untuk
persembahyangan (busana adat yang belum lengkap)
2. Busana adat Madya : digunakan untuk persembahyangan (secara filosofis sudah
lengkap)
3. Busana adat Agung : untuk upacara pernikahan/pawiwahan (sedah lengkap secara
aksesoris)
Berikut akan dijelaskan tentang penggunaan dan makna dari busana adat Bali ke Pura
tersebut.
Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena lakilaki merupakan pemegang
dharma. Tinggi kamen putra kirakira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai
penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat
tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan
ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang
kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan
symbol kejantanan.
Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti
pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup
kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kirakira satu jengkal
dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi
penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya).
Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita
sudah mengendalikan halhal buruk. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu
Butha Angga dan Manusa Angga.
Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol
pengendalian emosi dan menyama. Pada saat putra memakai baju, umpal harus terlihat
sedikit agar kita pada saat kondisi apapun siap memegang teguh dharma. Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan baju (kwaca) dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju
pada busana adat terus berubahrubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita
harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah
diri. Jadi, pada bagian baju sebenarnya tidak ada patokan yang pasti.
Kemudian dilanjutkan dengan penggunakan udeng (destar). Udeng secara umum dibagi tiga
yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja),
udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup
di depan, diselasela mata. Sebagai lambing cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang
pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada
Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih
tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma.
Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul
hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak
tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara
kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol
pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan
pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di
blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum
daripada kepentingan pribadi.
Sama seperti busana adat putra, pertama diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan
kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai
sakti bertugas menjaga agar si lakilaki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen
putri kirakira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi
putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang
yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi. Pada putri menggunakan
selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan
mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap
membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Kemudian dilanjutkan dengan
menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Penggunaannya sama
seperti baju pada putra. Kemudian dilanjutkan dengan menghias rambut.
Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung
gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih
bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat
sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai
mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri
yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya
dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka
kuning, sandat sebagai lambing dewa Tri Murti.
Dari uraian diatas, saat kita berhubungan dengan Tuhan yang kita mulai dari bawah. Kita
rapikan dan kendalikan dahulu dari bawah lalu keatas. Nah itulah tahapantahapan kita dalam
menggunakan busana adat. Dengan mebaca uraian diatas hendaknya kita bisa mewujudkan
hal itu. Karena jika kita sudah memahami yang benar dan tidak melaksakannya kita akan
berdosa. Dan jika anda tahu salah dan tidak memperbaikinya dosanya akan bertambah besar.
Dengan memahami busana adat ke pura, setidaknya kita bisa menjadi umat Hindu yang baik.
Secara etimologi Catur Purusa Artha berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata Catur,
Purusa dan Artha. Catur diartikan empat, Purusa berarti manusia dan Artha artinya tujuan.
Sehingga Catur Purusa Artha dapat diartikan empat tujuan hidup manusia (Surpha, 2005: 5).
Kitab Sarasamuscaya menjelaskan bahwa kelahiran menjadi manusia itu merupakan suatu
kesempatan yang terbaik untuk memperbaiki diri, oleh karena itu hanya manusia yang dapat
memperbaiki segalah tingkah lakunya yang dipandang tidak baik menjadi baik, guna
menolong dirinya dari penderitaan dalam usahanya untuk mencapai Moksa (Surpha, 2005: 5).
Dalam kitab Nitisastra, Bhagavan Sukra mengemukakan bahwa semua perbuatan manusia itu
pada hakekatnya didasarkan pada usaha untuk mencapai empat hakekat hidup yang
terpenting yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Tidak ada satu pun perbuatan manusia
yang tidak di dorong oleh keinginannnya untuk mencapai keempat tujuan itu, sehingga dapat
dikatakan bahwa keempat hal inilah yang menjadi hakekat tujuan hidup manusia menurut
ajaran agama Hindu.
Keempat tujuan hidup yakni Dharma, Artha, Kama, dan Moksa, akan dijelaskan sebagai
berikut:
1. Dharma
Made Ngurah (1999: 70) menjelaskan dharma berasal dari kata “dhr” yang berarti
menjinjing, memelihara, memangku, mengatur. Jadi kata dharma dapat berarti suatu yang
mengatur atau memelihara dunia beserta semua makhluk. Dalam catur Purusa artha, dharma
memiliki posisi yang sangat penting, karena dharmalah yang mengatar seseorang
mendapatkan kebahagiaan (kama dan artha). Dharma harus menjadi pengendali dalam
memenuhi Kama dan Artha
Bila mana seseorang mengabaikan dharma ketika mencari Kama dan Artha, maka orang
dapat terjerumus ke jurang kesengsaraan. Sura (1985:93) mengatakan orang yang melanggar
dharma dan tidak mau menjadikanya sebagai jalan hidup akan tidak mendapatkan
kebahagiaan tetapi kesedihan yang akan dialaminya.
Untuk itu sangat penting untuk menjunjung dharma, sebab dapat membawa seseorang
mencapai kelepasan (moksa). Sarasamuscaya 12 mengatakan bahwa “Kamarthau
lipsamanastu dharmamevaditasearet / Na hi dharmadapetyarthah kamo vapi kadacana”//
Artinya “pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya
dilakukan lebih dulu. Tak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama ini
nanti. Tidak aka nada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma”.
2. Artha
Artha yaitu benda-benda duniawi yang dapat memuaskan kama. Artha merupakan obyek dari
kama sehingga seseorang nikmat merasakan hidup ini (Sura, 1985:92). Made Ngurah (1999:
72) mengatakan kata artha dapat berarti harta atau kekayaan. Ajaran agama Hindu
mengajurkan agar semua orang memiliki artha, sebab artha merupakan sarana untuk
mencapai tujuan tertinggi (moksa).
Artha dalam catur Purusa Artha digunakan sebagai sedekah. Terdapat tiga penggunaan artha
dalam ajaran Catur Purusa Arta yakni artha digunakan untuk memenuhi dharma, artha
digunakan untuk memenuhi kama dan artha untuk mendapatkan harta kembali (wirasusaha).
Di jaman kali yuga dikatakan bahwa yajna yang paling utama adalah dengan berdana punia.
Untuk itu artha jaman sekarang sangat penting, sebab tanpa artha seseorang tidak akan pernah
merasakan kebahagiaan. Suatu contoh misalnya, jika tidak punya uang maka anda pasti
merasa pusing karena tidak bisa membeli keinginan. Untuk itu artha dalam ajaran Catur
Purusa artha merupakan hal yang sangat penting. Sebab bagaimana mungkin orang mencapai
kebahagiaan tertinggi (moksa) jika di dunia saja tidak bahagia.
3. Kama
Sura (1985:91) menjelaskan bahwa kama yaitu keinginan, nafsu yang mendorong seseorang
untuk berbuat sesuatu, yang mendorong orang bergairah dan bergirang dalam hidup ini. Made
Ngurah (1999: 74) menjelaskan bahwa kama adalah nafsu atau keinginan yang dapat
memberikan kepuasan atau kesejahteraan hidup. Kepuasan atau kenikmatan tersebut
memang merupakan salah satu tujuan atau kebutuhan manusia.
Kama menurut ajaran gama hindu tidak ada artinya jika diperoleh menyimpang dari dharma.
Karena dharma menduduki tempat di atas dari kama dan artha. Dharma adalah pedoman
dalam mencapai artha, kama dan Moksa.
4. Moksa
Secara etimologi moksa berasal dari bahasa sanskerta dari akar kata “Muc” yang artinya
“Membebaskan” atau “Melepaskan” (Mudana dan Ngurah Dwaja, 2015: 2). Berdasarkan
pengertian diatas dapat kita simpulkan bahwa Moksa adalah terbebasnya jiwa (atman) dari
ikatan duniawi atau samsara (kelahiran kembali). Ngurah Nala dan Sudharta (2009: 41)
menjelaskan apabila Atman itu sudah bersih, oleh karena Ia mentaati petujuk-petunjuk Sang
Hyang Widhi (Tuhan), maka Atman itu tidak terikat dengan hukum karma, disebut Niskama
Karma, dan Tidak lagi mengalami Punarbhawa, tidak mengalami Samsara. Keadaan inilah
yang disebut Moksa atau kelepasan (pembebasan).
Moksa merupakan tujuan tertinggi dari catur Purusa Artha. Lalu pertanyaannya kenapa harus
melalui Dharma, artha dan kama? Dalam ajaran agama hindu terdapat empat jenjang
kehidupan manusia disebut catur asrama. Keempatnya harus dilewati oleh manusia. Untuk
itu, dalam setiap tahapannya membutuhkan dharma, artha, dan kama. Dikatakan bahwa tanpa
Dharma, Artha dan kama, Moksa tidak dapat di capai. Untuk itulah keempatnya tidak bisa
dipisahkan satu sama lain.