Artikel Ilmiah ini Dibuat sebagai Tugas Karya Wisata dan pemenuhan Tagihan pada
mata pelajaran Kelas XI
Disusun oleh :
1
perbuatan atau pekerjaan tangan. Upakara menjadi bentuk pelayanan yang
diwujudkan dari hasil kegiatan kerja berupa materi yang dipersembahkan pada suatu
upacara keagamaan. Banten, sesajen, atau sesaji, begitulah cara umat beragama
Hindu di Bali menyebut upakaranya.
Banten yang paling umum dan banyak ditemui di Bali adalah canang sari.
Canang sari sendiri merupakan salah satu jenis banten yang menjadi bentuk
persembahan sehari-hari umat Hindu kepada Sang Hyang Widhi Wasa. Wujudnya
berupa kotak kecil berwarna hijau yang berisi kombinasi bunga warna-warni.
Menurut Ida Pedanda Gede Made Gunung, seorang ulama Hindu di Bali, kata
‘canang’ terdiri atas dua suku kata, ‘ca’ yang berarti indah dan ‘nang’ yang berarti
tujuan. Sementara, kata ‘sari’ berarti inti. Dengan demikian, pengertian canang dapat
dijabarkan menjadi sebuah sarana yang ditujukan untuk memohon keindahan
berupa kedamaian dan ketenangan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
sebutan umat Hindu untuk Tuhan Yang Maha Esa. Canang sari sendiri digunakan
untuk persembahan harian, mengungkapkan syukur atas keindahan atau kedaiaman
yang telah diberikan kepada dunia. Mengingat diperlukannya waktu dan tenaga
untuk mempersiapkan persembahan, menjadi filosofi dari proses persembahan ini
yakni mengurbankan diri sendiri.
Kehadiran banten di antara kehidupan masyarakat Bali sudah dimulai sejak
dahulu kala sebagaimana dituturkan dalam Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya.
Bhuwana Tattwa Maha Rsi Markandeya merupakan bhuwana yang dibuat oleh
seorang pendeta Hindu Siwa Tattwa bernama Maha Rsi Markandeya. Maha Rsi
2
bersama pengikutnya membuka daerah baru pada Tahun Saka 858 di Puakan (Taro
– Tegal Lalang, Gianyar). Saat itu berarti merupakan 936 Masehi, di mana pada
masa itu belum dikenal yang dinamakan Pulau Bali. Maha Rsi Markandeya
mengajarkan cara membuat berbagai bentuk upakara, mula-mula pada pengikutnya
hingga berkembang ke penduduk lain di Puakan. Jenis upakara ini menggunakan
bahan baku daun, bunga, buah, air dan api, yang pada masa itu disebut ‘Bali’,
sehingga penduduk yang melaksanakan pemujaan dengan sarana upakara itu
disebut sebagai orang-orang Bali. Seiring berkembangnya ajaran Maha Rsi
Markandeya, pulau tersebut dinamakan sebagai Pulau Bali (dengan pengertian
‘pulau yang dihuni oleh orang-orang Bali’, atau ‘pulau di mana penduduknya
melaksanakan pemujaan dengan sarana upakara Bali’).
Sampai saat ini, banten masih melekat erat dengan kehidupan masyarakat
Bali sekarang, menjadi identik dengan Pulau Bali. Banten dapat ditemukan di
berbagai sudut di Pulau Bali, baik di sekitar perempatan, pagar, pohon besar, pura,
bahkan di depan toko atau restoran. Banten tidak lagi hanya dibutuhkan pada
upacara sakral saja, bahkan tanpa adanya upacara sekalipun banten tetap
diadakan.
Dalam Bhagawad Gita IX.26 dikatakan, “Patram puspam palam toyam, yo me
bhaktya prayyacchati, tat aham bhakti-upahrtam, asnami prayatatmanah.” Kalimat
tersebut berarti, “Siapapun yang dengan sujud bhakti ke hadapan-Ku
mempersembahkan sehelai daun, sebiji buah-buahan, seteguk air, aku terima
sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.”. Melihat petikan tersebut,
canang sari merupakan banten yang sudah cukup lengkap walau dalam skala kecil
karena isinya yang terdiri dari daun, bunga, buah dan biji.
Tiap-tiap bagian dari canang sari memiliki filosofinya tersendiri. Kotak kecil
berwarna hijau disebut sebagai ceper, alas canang yang terbuat dari daun muda
kelapa dan melambangkan angga-sarira atau tubuh manusia. Nasi atau wija
melambangkan roh yang memberikan napas kehidupan, melambangkan benih di
awal kehidupan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Filosofinya, ceper sebagai badan
tidak ada gunanya tanpa kehadiran sang roh. Roh inilah yang membuat setiap umat
manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya. Selanjutnya di atas ceper ada
porosan yang terbuat dari daun sirih, gambir dan kapur yang melambangkan Tri-
Premana. Daun sirih sebagai lambang warna hitam melambangkan perkataan,
gambir melambangkan perbuatan, sementara kapur melambangkan pikiran.
3
Porosan juga menyiratkan bahwa setiap manusia harus memiliki hati yang penuh
cinta kasih dan syukur kepada Tuhan. Jaja (kue), tebu dan pisang menyimbolkan
kekuatan dalam kehidupan alam semesta. Di mana setelah kita memiliki badan dan
roh, maka dengan adanya Tri-Permana kita dapat mewujudkan kekuatan untuk
menghidupi badan dan jiwa. Sementara sampian uras, rangkaian janur berbentuk
bundar dengan delapan ruas, melambangkan roda kehidupan dengan delapan
karakteristik yang menyertai kehidupan manusia. Delapan karakteristik tersebut
antara lain kebijaksanaan, kebenaran dan kesetiaan, ketajaman atau intelektualitas,
kesenangan, kepemimpinan, kemarahan, kedengkian atau dendam, serta kekuatan.
Adanya delapan karakteristik tersebut menjadi pendorong manusia dalam menjalani
roda kehidupannya.
Bunga juga menjadi aspek yang penting
dalam canang sari. Keberadaan bunga
menunjukkan kedamaian, ketulusan hati.
Bunga akan ditaruh di atas sampian uras,
sebagai lambang bahwa dalam menjalani roda
kehidupan manusia hendaknya selalu
berlandaskan ketulusan hati dan selalu
mewujudkan kedamaian bagi setiap insan.
Penyusunan bunga pun memiliki arti masing-
masing. Bunga berwarna putih (merah muda
sebagai substitusi) disusun menghadap timur,
5
jahitan canang sari. Pewarisan keterampilan ini menjadi tradisi dari generasi ke
generasi, semuanya berjalan dengan sangat terjaga selama berabad-abad.
Keberadaan canang sari untuk persembahan tidak hanya mementingkan
aspek bahan-bahan maupun proses pembuatannya saja, melainkan juga
memerhatikan tata cara peletakannya. Penghaturan canang sari paling baik
dilakukan pada pagi hari sebagai simbolis agar dalam hari tersebut manusia
mendapat restu anugerah dan karunia dari Ida Sang Hyang Widhi. Peletakannya
harus disesuaikan dengan arah mata angin, kemudian diselipkanlah sebatang dupa
dan dipercikkan air menggunakan bunga yang dipegang di tangan. Gerakan
memercik tersebut harus dilakukan dengan tangan kanan secara lemah gemulai.
Bagi umat beragama Hindu di Bali, canang sari menjadi suatu sarana yang
wajib dilakukan. Namun, masyarakat Bali di luar agama Hindu pun boleh
melakukannya. Hal ini yang membuat banyaknya sesajen yang dapat ditemukan
hampir di semua tempat. Misalnya di depan rumah, sebagai penghormatan kepada
roh penunggu rumah agar terhindar dari segala bentuk bencana. Ada juga yang
meletakkan canang sari di depan toko, agar toko terlindungi dari gangguan dan
dapat menyebabkan toko menjadi laris. Canang sari juga dapat diletakkan di dapur
untuk mewujudkan rasa syukur atas apa yang diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi.
Masyakarat Bali percaya bahwa di setiap tempat ada roh yang menunggu, maka
peletakan canang sari menjadi penghormatan agar dihindar dari berbagai gangguan
sehingga canang sari juga dapat ditemukan di persimpangan jalan, di bawah pohon,
atau bahkan di kendaraan bermotor untuk memberi keselamatan saat berkendara.
Terkait adanya canang sari di berbagai tempat di Bali, ada tata krama yang
perlu dipatuhi. Salah satunya adalah dengan tidak menginjak, maupun melengkahi.
Cara melewatinya adalah dengan berjalan agak menyamping, menghindari canang
sari. Jika canang sari tak sengaja terinjak, maka penginjak harus meminta maaf. Hal
tersebut perlu dilakukan bukan karena takut terkena musibah, namun untuk
menunjukkan penghormatan terhadap kebudayaan dan kepercayaan setempat.
Bukan hanya canang sari, namun menginjak banten apapun merupakan tindakan
yang tercela seakan-akan tidak menghormati dan menghargai keberadaan banten
tersebut. Mitos-mitos mistis tentang bencana yang terjadi jika menginjak banten
memang banyak tersebar meski kebenarannya belum bisa dipastikan. Kebanyakan
mitos-mitos tersebut dibuat untuk mencegah pengunjung yang iseng agar tidak
menginjak sesajen. Apabila tidak sengaja menginjak, maka tidak seharusnya
6
ditakuti. Namun, tiap orang harus mengusahakan penggunakan alas kaki supaya
lebih hormat dan sopan.
Canang sari memegang peran penting di Bali, sehingga memang sudah
sepatutnya dihargai dan dihormati. Pada dasarnya, canang sari merupakan tradisi
yang sudah bertahan lama di Bali. Terlebih, jenis banten ini mengandung makna
religiositas yang tinggi antara masyarakat Hindu di Bali dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Ada juga nilai-nilai penghormatan terhadap kepercayaan masyarakat
setempat. Canang sari sangat lekat, tidak bisa lepas dengan kehidupan masyarakat
Hindu di Bali dan tiada hari yang terlewat tanpa dibuatnya persembahan ini. Nilai
religiositas dan penghormatan inilah yang hendaknya terus dipertahankan dan
diwariskan sebagai tradisi dari generasi ke generasi.
Sumber Pustaka
7
Budaya Bali: Cara Membuat Canang Sari dan Kajian Filosofinya
http://cakepane.blogspot.com/2013/01/cara-membuat-canang-sari-dan-kajian.html
(diakses 27 Februari 2019)
Sumber Lisan
Suryo, tour guide Harmony Travel
Hasil Observasi
Kunjungan ke Bali selama tanggal 18-22 Februari 2019