Anda di halaman 1dari 13

DNA FORENSIK

IDENTIFIKASI KORBAN KECELAKAAN PESAWAT

OLEH:
I PUTU KRISNANTARA W.P. (1108505017)

JURUSAN FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
DNA atau Deoxyribo Nucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan semua
informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit, dan
sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas
manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Oleh karena itu, DNA bersifat
spesifik dan khas untuk setiap individu. Dalam bidang forensik, DNA memiliki peranan
penting sebagai penyampai informasi genetik. DNA digunakan dalam menunjang kasus

forensik seperti mencocokkan bukti dengan orang yang dicurigai, dalam tes paternitas,
investigasi, dan dalam kasus bencana massal.
Identifikasi diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang
melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat
ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan
sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Sementara identifikasi secara forensik
merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan
forensik, yaitu kepentingan proses peradilan. Kegiatan identifikasi korban bencana massal
(Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada
pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali
korban.
Dalam kasus bencana massal seperti kecelakaan pesawat akan terdapat banyak korban
dengan kondisi yang kemungkinan tidak lagi sama seperti keadaan semula, baik itu terbakar
maupun tidak dalam kondisi yang utuh akibat kecelakaan yang parah. Ditambah lagi korban
yang ditemukan tidak dapat diketahui identitasnya akibat data-data fisik identitas korban
yang hilang atau hancur akibat kecelakaan tersebut.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai penjabaran tentang
identifikasi korban kecelakaan pesawat dan pemanfaatan DNA forensik dalam mengungkap
kasus dan korban dari kecelakaan tersebut. Dalam makalah ini akan digunakan contoh kasus
kecelakaan pesawat terbang Sukhoi yang terjadi pada bulan Mei 2012 dan bagaimana proses
dari identifikasi korban pada kecelakaan tersebut.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dapat ditentukan rumusan masalah yaitu bagaimana
pemanfaatan metode DNA forensik dalam menunjang identifikasi korban kecelakaan pesawat
terbang Sukhoi Mei 2012?
1.3. Tujuan
Untuk mengetahui pemanfaatan metode DNA forensik dalam menunjang identifikasi
korban kecelakaan pesawat terbang Sukhoi Mei 2012.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Identifikasi
2.1.1. Pengertian identifikasi
Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun
mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi juga
diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah
ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa
orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga
dikenal dengan ciri-ciri itu. Identifikasi forensik merupakan usaha untuk mengetahui
identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan
proses peradilan (Dr. Amri, 2000).
2.1.2. Cara identifikasi
Objek identifikasi dapat berupa orang yang masih hidup atau yang sudah
meninggal dunia. Identifikasi terhadap orang tak dikenal yang masih hidup meliputi:
Penampilan umum (general appearance), yaitu tinggi badan, berat badan, jenis
kelamin, umur, warna kulit, rambut dan mata. Melalui metode ini diperoleh data
tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tingi badan, kelainan pada tulang dan
sebagainya.
Tugas melakukan identifikasi pada orang hidup tersebut menjadi tugas pihak
kepolisian. Dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan bantuan dokter, misalnya pada
kasus pemalsuan identitas di bidang keimigrasian atau kasus penyamaran oleh pelaku
kejahatan (Dr. Amri, 2000).
Sedangkan identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia dapat
dilakukan terhadap: Jenazah yang masih baru dan utuh; Jenazah yang sudah membusuk
dan utuh; Bagian-bagian dari tubuh jenazah.
2.1.3. Teknik Identifikasi Forensik
Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification)
menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan identifikasi
pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan
identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta
akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah
yang banyak. Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis
penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan
adanya kepastian identitas korban. Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu
4

definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati
akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu
pada standar baku Interpol. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan
teknik. Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari
fingerprint (FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang terdiri
dari medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi
adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Primary identifiers
mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers.
Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat Natural
Disaster ataupun Man Made Disaster, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara
kasus yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan tindakan pemeriksaan
identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan
jenazah yang ditemukan. Kejadian bencana massal tersebut akan menghasilkan keadaan
jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, tepisah berfragmenfragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari
bermacam-macam keadaan (Prawestiningtyas et al, 2009).
2.2. DNA
2.2.1. Pengertian DNA
DNA atau Deoxyribo Nucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan
semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna
kulit, dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print)
ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam
tubuh seorang anak, komposisi DNA-nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari
orang tuanya (Muhtarom, 2009).
Secara bahasa, Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) tersusun dari kata-kata
deocyribosa yang berarti gula pentosa, nucleic yang lebih dikenal dengan nukleat
berasal dari kata nucleus yang berarti inti serta acid yang berarti zat asam ( Suryo,
2001).
DNA adalah bahan kimia utama yang berfungsi sebagai penyusun gen yang
menjadi unit penurunan sifat (hereditas) dari induk kepada keturunannya (Suryo, 2001).
Dengan demikian maka dapat diambil pengertian bahwa DNA adalah susunan kimia
makro molecular yang terdiri dari tiga macam molekul, yaitu : gula pentose, asam
fosfat, dan basa nitrogen, yang sebagian besar terdapat dalam nukleas hidup yang akan
mengatur program keturunan selanjutnya (Muhtarom, 2009).
2.2.2. Struktur DNA
5

James Watson and Francis Crick tahun 2003 telah membuka wawasan baru
tentang penemuan model struktur DNA. Publikasi dari model double heliks DNA ini
disusun berdasarkan penemuan:
1. Penemuan struktur asam nukleat dari (Pauling & Corey, 2003)
2. Pola difraksi DNA (Single-crystal X-ray analysis) (Wilkins & Franklin, 2003)
3. Pola perbandingan jumlah A-T, G-C (1:1) dari Chargaff atau dikenal sebagai
Hukum Ekivalen Chargaff yaitu sebagai berikut :
a. Jumlah purin sama dengan pirimidin
b. Banyaknya adenin sama dengan timin, juga jumlah glisin sama dengan
sitosin.
DNA terbentuk dari empat tipe nukleotida, yang berikatan secara kovalen
membentuk rantai polinukleotida (rantai DNA atau benang DNA) dengan tulang
punggung gula-fosfat tempat melekatnya basa-basa. Dua rantai polinukleotida saling
berikatan melalui ikatan hidrogen antara basa-basa nitrogen dari rantai yang berbeda.
Semua basa berada di dalam double helix dan tulang punggung gula-fosfat berada di
bagian luar. Purin selalu berpasangan dengan pirimidin (A-T, G-C). Perpasangan secara
komplemen tersebut memungkinkan pasangan basa dikemas dengan susunan yang
paling sesuai. Hal ini bisa terjadi bila kedua rantai polinukleotida tersusun secara
antiparallel (Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas, 2006).
Asam nukleat tersusun atas nukleotida, yang bila terurai terdiri dari gula, fosfat,
dan basa yang mengandung nitrogen. Karena banyaknya nukleotida yang menyusun
molekul DNA, maka molekul DNA merupakan polinukleotida. Molekul yang
menyusun DNA terdiri dari (Harun Yahya, 2003):
a. Gula pentose. Molekul gula yang menyusun DNA sebuah pentose yaitu
deoksiribosa.
b. Asam fosfat.
c. Basa nitrogen.
Basa nitrogen yang menyusun molekul DNA terdiri atas 2 tipe yang dibedakan
menjadi :
1. Pirimidin, basa ini dibedakan lagi menjadi 2 yaitu sitosin (S) dan timin (T).
2. Purin, basa ini juga dibedakan menjadi 2 yaitu yang terdiri dari adenine (A) dan
guanine (G).
2.2.3. Teknik Analisis DNA
Ada beberapa teknologi DNA yang digunakan dalam penyelidikan forensik antara
lain:
6

a. Polimorfisme Panjang Fragmen restriksi (RFLP)


RFLP adalah teknik untuk menganalisis variabel panjang fragmen DNA yang
dihasilkan dari mencerna sampel DNA dengan enzim jenis tertentu. Ada atau tidak
adanya pengakuan situs tertentu dalam sampel DNA menghasilkan variabel panjang
fragmen DNA, yang dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. RFLP adalah salah
satu aplikasi pertama analisis DNA untuk penyidikan forensik. Dengan perkembangan
baru, teknik DNA-analisis yang lebih efisien, RFLP tidak digunakan sebanyak dulu
karena membutuhkan jumlah yang relatif besar DNA.
b. Analisis PCR
Reaksi berantai polimerase (PCR) digunakan untuk membuat jutaan salinan tepat
DNA dari sampel biologis. amplifikasi DNA dengan PCR memungkinkan analisis DNA
pada sampel biologi sekecil beberapa sel-sel kulit. Dengan RFLP, sampel DNA harus
tentang ukuran seperempat. Kemampuan PCR untuk memperkuat jumlah kecil seperti
DNA memungkinkan bahkan sampel yang sudah terdegradasi untuk dianalisis.
c. Analisis STR
Short tandem repeat (STR) teknologi yang digunakan untuk mengevaluasi daerahdaerah tertentu (lokus) dalam DNA nuklir. Variabilitas di daerah STR dapat digunakan
untuk membedakan satu profil DNA dari yang lain.
d. Analisis DNA mitokondria
Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menguji DNA dari
sampel yang tidak dapat dianalisis dengan RFLP atau STR. DNA nuklir harus diekstrak
dari sampel untuk digunakan dalam RFLP, PCR, dan STR, namun, analisis mtDNA
menggunakan DNA yang diekstraksi dari organel seluler lain yang disebut mitokondria.
Sedangkan sampel biologis yang lebih tua yang kekurangan bahan bernukleus seluler,
seperti rambut, tulang, dan gigi, tidak dapat dianalisis dengan STR dan RFLP, mereka
dapat dianalisis dengan mtDNA. Dalam penyelidikan kasus yang sudah terpecahkan
selama bertahun-tahun, mtDNA sangat berharga.
e. Y-Kromosom Analisis
Kromosom Y turun langsung dari ayah ke anak, sehingga analisis penanda genetik
pada kromosom Y ini sangat berguna untuk menelusuri hubungan antara laki-laki atau
untuk menganalisis bukti biologis melibatkan kontributor beberapa laki-laki.

BAB III
PEMBAHASAN KASUS
3.1. Penjabaran Kasus
Pada tanggal 9 Mei 2012, pesawat Sukhoi SSJ-100, registrasi 97004 dengan nomor
penerbangan RA 36801 yang dioperasikan oleh Sukhoi Civil Aircraft Company
melakukan penerbangan promosi (demonstration flight) dari Bandar Udara Internasional
Halim Perdanakusuma. Penerbangan yang mengalami kecelakaan adalah penerbangan
kedua pada hari itu.
Dalam penerbangan tersebut tercatat 45 orang berada di dalam pesawat, yang terdiri
dari 2 pilot, 1 navigator, 1 flight test engineer dan 41 orang penumpang yang terdiri dari 4
orang personil dari Sukhoi Civil Aircraft Company (SCAC), 1 orang personil dari pabrik
mesin pesawat (SNECMA) dan 36 orang tamu undangan yang terdiri dari 34 orang warga
negara Indonesia, 1 warga negara Amerika Serikat dan 1 warga negara Perancis.
Pada pukul 14:00 WIB, SSJ-100 lepas landas dari Bandar Udara Halim
Perdanakusuma untuk sebuah penerbangan demonstrasi lokal yang dijadwalkan mendarat
kembali ke titik awal keberangkatan. Pada pukul 15:30, Pilot Alexander Yablonstev, yang
belakangan diketahui baru pertama kali menerbangkan pesawat di Indonesia, meminta izin
untuk menurunkan ketinggian dari 10.000 kaki (3,000 m) ke 6.000 kaki (1,800 m).
Otoritas Pemandu Lalu Lintas Udara memberikan izin dan komunikasi tersebut
merupakan kontak terakhir dengan pesawat yang saat itu sekitar 75 mil laut (139 km)
selatan Jakarta, di sekitar Gunung Salak, dan pada pukul 14.33 WIB petugas bandara tidak
lagi bisa berkomunikasi dengan para awak, begitu juga dengan para penumpang.
Sebuah pencarian di darat dan udara untuk pencarian pesawat ini dimulai, tapi
dibatalkan karena malam tiba. Pada tanggal 10 Mei pukul 09:00 WIB, reruntuhan Superjet
Sukhoi ditemukan di Gunung Salak (64235LU 106443BT), pada ketinggian 1.500
meter. Hal yang diketahui hanya bahwa pesawat terbang searah jarum jam menuju Jakarta
sebelum menabrak Gunung Salak. Laporan awal menunjukkan bahwa pesawat menabrak
tepi tebing di ketinggian 6.250 kaki (1.910 m), meluncur menuruni lereng dan berhenti di
ketinggian 5.300 kaki (1,600 m). Pesawat ini muncul relatif utuh dari udara,
bagaimanapun, telah mengalami kerusakan besar, dan tidak ada tanda korban selamat.
Sebanyak 45 orang di dalam pesawat menjadi korban dalam peristiwa kecelakaan
tersebut diantaranya 14 penumpang dari maskapai penerbangan Sky Aviation, tiga orang
jurnalis asal Indonesia, Ismiati Soenarto dan Aditya Sukardi dari Trans TV dan Femi Adi
dari saluran berita Amerika Serikat Bloomberg News. Peter Adler dari Sriwijaya Air
8

memiliki paspor Amerika Serikat. Salah satu penumpang, Maria Marcela, adalah warga
negara Italia dan Nam Tran dari Esnecma memegang paspor Prancis.
3.2. Pembahasan Kasus
DNA adalah kode genetik yang terkandung dalam sel-sel tubuh individu yang sangat
spesifik untuk masing-masing individu. Salah satu metode yang sering dilakukan dalam
bidang DNA forensik adalah tes DNA. Tes DNA merupakan metode yang sangat spesifik.
Jika tes menunjukkan bahwa sampel berasal dari orang yang sama, kemungkinan bahwa
tes mungkin memberikan laporan palsu sangat kecil, dan bahkan pengadilan menganggap
ini sebagai bukti baik yang menjadi aturan dasar. Hal ini membuat DNA menguji bagian
paling akurat dari bukti ilmiah pengacara dapat memiliki dan dengan demikian, teknologi
DNA sedang semakin digunakan untuk menyelesaikan banyak kasus. Penemuan tehnik
Polymerase Chain Reaction (PCR) menyebabkan perubahan yang cukup revolusioner di
berbagai bidang. Hasil aplikasi dari teknik PCR ini disebut dengan DNA fingerprint yang
merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu. Karena setiap individu
mempunyai DNA fingerprint yang berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa
digunakan sebagai alat untuk identifikasi korban.
Pada kasus kecelakaan ini, pesawat Sukhoi meghantam Gunung Salak dengan keras
kemudian puing-puing pesawat jatuh menuruni gunung hingga daerah lereng dan jurang.
Dengan menghantamnya pesawat Sukhoi dengan keras pada gunung, sangat kecil
kemungkinan untuk menemukan korban yang masih selamat. Ditambah lagi, pesawat yang
hancur dan menjadi puing-puing akan membuat korban menjadi tersebar. Apabila tubuh
korban masih utuh mungkin akan lebih mudah untuk mengidentifikasi, namun apabila
tubuh korban berada dalam kondisi yang sudah tidak utuh lagi, maka akan memerlukan
waktu lama untuk mengidentifikasi korban mengingat terdapat banyak korban dalam
kecelakaan tersebut. Dengan banyaknya korban, maka bagian tubuh korban satu dengan
yang lain akan sangat sulit dibedakan dan akan bercampur dalam sebuah TKP.
Dengan bantuan suatu teknik identifikasi yang tepat maka korban-korban tersebut
akan dapat dnegna mudah diidentifikasi. Teknik identifikasi yang biasa digunakan dalam
mengidentifikasi korban kecelakaan massal seperti kasus tersebut adalah Disaster Victim
Identification (DVI). Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana
massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku
Interpol. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik. Interpol telah
menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari fingerprint (FP), dental records
9

(DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang terdiri dari medical (M), property (P) dan
photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem
dan postmortem. Primary identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan secondary identifiers. Oleh karena itu, DNA termasuk dalam
penanda primer dari bangian data DVI.
DNA yang biasa digunakan dalam tes adalah DNA mitokondria dan DNA inti sel.
DNA yang paling akurat untuk tes adalah DNA inti sel karena inti sel tidak bisa berubah
sehingga dapat dilacak keluarga korban atau orang tua korban melalui DNA. DNA dalam
mitokondria dapat berubah karena berasal dari garis keturunan ibu, yang dapat berubah
seiring dengan perkawinan keturunannya. Namun DNA tersebut hanya spesifik diturunkan
oleh sang ibu. Sehinga DNA tersebut dapat juga digunakan untuk identifikasi. Selain
DNA, terdapat kromosom Y yang dapat digunakan sebagai penanda sifat paternitas karena
kromosom Y hanya dimiliki oleh laki-laki sehingga dapat diketahui siapakah ayah dari
korban tersebut.
Identifikasi dimulai dengan mengumpulkan bagian-bagian tubuh dan serpihan bendabenda yang kemungkinan dapat menjadi bukti atau alat pendukung dalam mengungkap
identitas korban. Dalam menentukkan DNA dari korban dilakukan suatu prosedur hingga
pada akhirnya dapat ditetapkan suatu hasil. Prosedur ini dimulai dari proses pengambilan
sampel sampai ke analisis dengan PCR. Pada pengambilan sampel dibutuhkan kehatihatian dan kesterilan peralatan yang digunakan. Setelah sampel dikumpulkan maka
dilakukan ekstraksi dan isolasi DNA. Kemudian DNA tersebut diperbanyak atau
diamplifikasi dengan metode PCR. Reaksi berantai polimerase atau lebih umum dikenal
sebagai PCR (polymerase chain reaction) merupakan suatu teknik atau metode
perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatik tanpa menggunakan organisme. Dengan
teknik ini, DNA dapat dihasilkan dalam jumlah besar dengan waktu relatif singkat
sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA. Hasil akhirnya
berupa kopi urutan DNA lengkap hasil amplifikasi dari DNA Sampel.
Selanjutnya kopi urutan DNA akan dikarakterisasi dengan elektroforesis untuk
melihat pola pitanya. Karena urutan DNA setiap orang berbeda maka jumlah dan lokasi
pita DNA (pola elektroforesis) setiap individu juga berbeda. Pola pita inilah yang
dimaksud DNA fingerprint. Finishing dari metode ini adalah mencocokkan tipe-tipe
DNA fingerprint korban dengan data fingerprint dari DNA keluarga. Apabila tubuh korban
sudah tidak utuh, maka potongan-potongan tubuh korban yang menghasilkan profil DNA
serupa akan dikumpulkan menjadi satu sebagai satu korban yang sama. Kemudian DNA
10

tersebut akan dibandingkan kembali dengan DNA keluarga untuk proses identifikasi
korban hingga pengembalian jenazah.
Data DNA didukung dengan data-data primer lain, seperti data gigi-geligi dan data
sekunder lain, seperti ciri fisik, adanya tato, benda bawaan korban. Dalam kasus Sukhoi
semua korban dapat diidentifikasikan dengan baik. Sebanyak 45 orang di dalam pesawat
menjadi korban dalam peristiwa kecelakaan tersebut diantaranya 14 penumpang dari
maskapai penerbangan Sky Aviation, tiga orang jurnalis asal Indonesia, Ismiati Soenarto
dan Aditya Sukardi dari Trans TV dan Femi Adi dari saluran berita Amerika Serikat
Bloomberg News. Peter Adler dari Sriwijaya Air memiliki paspor Amerika Serikat. Salah
satu penumpang, Maria Marcela, adalah warga negara Italia dan Nam Tran dari Esnecma
memegang paspor Prancis.

11

BAB IV
KESIMPULAN
Metode DNA forensik sangat bermanfaat dalam menunjang identifikasi korban
kecelakaan pesawat terbang Sukhoi Mei 2012 sebagai penanda primer dari setiap korban
yang ditemukan. Metode tersebut terangkum dalam sebuah teknik identifikasi yaitu Disaster
Victim Identification (DVI). Pada DVI, DNA menjadi penanda primer yang digunakan
sebagai alat penanda dibandingkan dengan ciri fisik atau benda bawaan korban yang
merupakan penanda sekunder. DNA dapat berperan sebagai identitas spesifik setiap korban
dari korban lainnya begitu pula merupakan identitas spesifik korban dengan keluarganya. Hal
tersebut dapat menunjang identifikasi korban mulai dari proses awal hingga akhir pada
pengembalian jenazah kepada keluarga.

12

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Amri Amir, DSF. Kapita Selekta Kedokteran Forensik. 1st ed. Medan: USU Press, 2000
Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas. Kromosom, Gen,DNA, Synthesis Protein dan
Regulasi. Universitas Brawijaya. Malang. 2006.
Muhtarom, Ali. 2009. Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Hubungan
Nasab dalam Perspektif Hukum Islam pp. 53-60. Yogyakarta : Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Prawestiningtyas, Eriko, Agus Mochammad Algozi.2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan
Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus
Bencana Massal. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXV No. 2, Agustus 2009 pp.87-89
Suryo. 2001. Genetika Srata I cetakan ke-9 pp. 59. Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
Yahya, H. Rahasia DNA Kebenaran yang diungkapkan oleh Proyek Genom Manusia, alih
bahasa Halfino Berry. Bandung. 2003.

13

Anda mungkin juga menyukai