Anda di halaman 1dari 24

EUTHANASIA DITINJAU DARI PRESPEKTIF HAK ASASI

MANUSIA DAN HUKUM PIDANA

Disusun oleh :
Fadilla Zahra Amalia (20521022)
Galih Adji Al-Haq (20521237)
Muhammad Rizki Ramadhan Nasution (20521206)
Heppy Murti Nityas (20521190)
Encep Anwar Fauzi (20521199)
Muhammad Dzakwan Zami (20521216)
Muhammad Mubarok Ardana (20521209)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada hamba-hambanya sehingga kita semua dalamkeadaan sehat
walafiat dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena hanya dengan keridhoan-Nya sehingga penulisdapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “EUTHANASIA DITINJAU DARI PRESPEKTIF HAK
ASASI MANUSIA DAN HUKUM PIDANA” ini dengan penuh kemudahan.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan danpemahaman penulis
tentang cara mensosialisasikan nilai-nilai pancasila ini, menjadikan keterbatasan
penulis pula untuk memberikan penjabaran yang lebih dalam tentang masalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihakyang bersifat membangun selalu
penulis harapkan demi kesempurnaan makalahini.

Yogyakarta, 16 Desember 2020

Penulis

2
ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang eksistensi euthanasia dan kontroversi dalam


memandang euthanasia berdasarkan perspektif HAM (Hak Asasi Manusia) serta
mengkaji bagaimana prospek pengaturan euthanasia dalam hukum pidana
Indonesia yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan
studi kepustakaan, dengan metode pendekatan yuridisnormatif dan data yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif-kualitatif.
Euthanasia merupakan perdebatan klasik tetapi selalu menjadi perdebatan
kontemporer sampai saat ini. Euthanasia sebagai perdebatan yang berkepanjangan
sepertinya masih akan berlangsung lama dan belum akan menemukan titik temu
atau penyelesaian yang cepat mengingat latar belakang filosofis yang seimbang
antara kaum yang pro euthanasia dengan yang kontra euthanasia. Kontroversi
dalam memandang euthanasia tidaklah terlepas dari perkembangan kesadaran
masyarakat terhadap hak-haknya, penilaian terhadap hakekat eksistensi manusia
dan kehidupan, kemajuan ilmu pengetahuan di bidang medis, dan juga dipengaruhi
pergeseran nilainilai agama dalam menafsirkan makna hidup.
Proyeksi pengaturan euthanasia dalam hukum pidana Indonesia akan datang
berdasarkan kajian terhadap RUU KCIHP, bahwa euthanasia merupakan perbuatan
yang dilarang di Indonesia, akan tetapi tidak disebutkan secara eksplisit istilah
euthanasia dalam RUU KUHP tersebut. Untuk itu ke depan diperlukan
rambu-rambu hukum yang lebih tegas mengenai euthanasia sehingga tidak
menimbulkan kerancuan hukum dan hukum tersebut dapat menjadi acuan bagi
setiap orang ketika hams berhadapan dengan persoalan euthanasia.
Kata Kunci : Euthanasia, Hak Asasi Manusia, Hukum Pidana, Praktik Kedokteran.

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
ABSTRAK .....................................................................................................................3
DAFTAR ISI ..................................................................................................................4
BAB 1 PENDAHULUAN ...............................................................................................5
A. Latar Belakang ....................................................................................................5
B. Rumusan Masalah ...............................................................................................9
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................9
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 10
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 11
A. Pengertian Umum Tentang Euthanasia ............................................................... 11
B. Bentuk-Bentuk Euthanasia ................................................................................. 12
C. Euthanasia Dalam Perspektif Ham (Hak Asasi Manusia) .................................... 15
D. Euthanasia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia .................................................................................................................... 15
E. Pengaturan Euthanasia Dalam Hukum Pidana .................................................... 17
BAB III PENUTUP ...................................................................................................... 22
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 22
B. Saran ................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 24

4
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat saat ini
menimbulkan perubahan-perubahan yang signifikan terhadap kehidupan sosial
budaya masyarakat.Perubahan-perubahan tersebut tentunya lebih diharapkan ke
arah yang positif dan dapat berguna bagi kemaslahatan umat manusia.
Di antara perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, bidang
medis merupakan salah satu bidang yang mengalami kemajuan cukup pesat. Dari
segi ilmu pengetahuan, salah satu contohnya adalah tata cara untuk mendiagnosa
suatu penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna dan akurat sehingga
penanganan terhadap penyakit menjadi lebih efektif. Dan dari segi teknologi, salah
satu contohnya adalah telah diciptakannya alat seperti Ventilator Mekanik untuk
menunjang pernapasan pasien agar dapat dikontrol sepenuhnya.
Namun dibalik perkembangan-perkembangan di bidang medis tersebut,
terdapat pula permasalahan yang sampai saat ini belum bisa dituntaskan seperti
kasus euthanasia karena pandangan hukum dan sosial terhadap penerapan
euthanasia kepada seseorang pun berbeda-beda.Ada dua masalah dalam bidang
kedokteran/kesehatan yang berkaitan dengan berbagai aspek yang selalu aktual
dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah
klasik di bidang kedokteran yaitu Abortus Provokatus dan Euthanasia.Dalam lafal
sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini
sudah ditulis dan telah diingatkan.Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul
berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi dan diselesaikan dengan baik atau
dicapainya kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.Di satu pihak
tindakan Abortus Provokatus dan Euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan
memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima,
bertentangan dengan hukum, moral, dan agama.Kedua masalah ini setiap waktu
dihadapi oleh kalangan kedokteran dan masyarakat. Bahkan dapat diperkirakan
akan semakin meningkat di masa mendatang.
Tindakan euthanasia yang dilakukan oleh dokter dipandang oleh beberapa
orang sebagai jalan terakhir untuk menghilangkan penderitaan pasien yang

5
dianggap tidak lagi mempunyai harapan untuk hidup.Dalam beberapa kasus,
euthanasia tidak diminta oleh pasien yang bersangkutan melainkan oleh pihak
keluarga yang tidak ingin melihat anggota keluarganya tersiksa lebih lama dengan
menggunakan alat-alat yang hanya menunjang kehidupannya. Seperti kasus
berikut :
Di Negeri Belanda, sebagaimana dikutip oleh Imron Halimi, euthanasia pernah
dilaksanakan terhadap seorang pasien rumah sakit di Alkamaar, yang menderita
penyakit kanker ganas.Tindakan euthanasia ini dilakukan atas permintaan anak si
pasien – yang juga seorang dokter wanita – kepada Direktur rumah sakit.Ia bahkan
mengajak semua dokter untuk bersamasama menolong pasien dengan memberikan
suntikan “mercy killing” atau euthanasia. Semua dokter itu akhirnya dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan, tetapi pengadilan tidak
menjatuhkan hukuman pidana.
Di Indonesia, pernah terjadi upaya pengajuan permohonan euthanasia pada
tahun 2004. Hasan Kesuma, suami dari Agian Isna Nauli, mengajukan permohonan
ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk mengakhiri penderitaan istrinya. Namun
permohonan tersebut ditolak oleh pengadilan.Alasan pengajuan upaya permohonan
euthanasia ini karena Hasan tidak tega menyaksikan istrinya yang telah koma
selama dua bulan, di samping itu keterbatasan biaya perawatan juga menjadi salah
satufaktor pencetus permohonan euthanasia.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 56 ayat (1)
menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan
memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.”
Namun pengecualian terhadap Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan tersebut terdapat pada ayat (2) yang salah satunya
adalah keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri. Apabila melihat kasus Agian
Isna Nauli sebelumnya, posisi Agian yang tidak sadarkan diri kemudian membuat
suaminya merasa harus membuat keputusan untuk mengajukan permohonan
euthanasia, yang secara langsung berarti menolak seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepada Agian.

6
Negara Belanda merupakan negara yang sempat menolak pelaksanaan
euthanasia, namun pada tahun 2002 undang-undang yang melegalkan suntik mati
atau euthanasia telah diresmikan setelah sekian lama menimbulkan pro dan
kontra.Walau demikian, Belanda membatasi subjek dan keadaan-keadaan yang
memungkinkan seseorang untuk diterapkan euthanasia terhadapnya, seperti hanya
pasien dengan umur minimal 12 tahun (jika ada izin orang tua) dan boleh diajukan
apabila kondisi pasien sudah parah dan sangat menderita dengan penyakitnya.
Selain Belanda, Belgia merupakan negara yang telah melegalkan tindakan
euthanasia terhadap pasien yang mengalami penyakit mematikan. Pada awal
penerapannya, euthanasia hanya dapat dilakukan kepada pasien dewasa. Namun
pada tahun 2014, Belgia mengesahkan undang-undang yang menyatakan bahwa
euthanasia dapat dilakukan oleh dokter kepada pasien di bawah usia 18 tahun
dengan syarat disertai oleh persetujuan tertulis dari orang tua yang bersangkutan.
Dalam Pasal 51 huruf b Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran, dinyatakan bahwa : Dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban merujuk pasien ke dokter
atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik
apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan. Pasal diatas
secara tidak langsung “meminta” seorang dokter untuk tidak langsung
mengabulkan permintaan euthanasia baik dari pasien maupun keluarga pasien,
melainkan mengarahkan pasien dan keluarganya untuk mencoba pengobatan dari
dokter lain.
Praktik euthanasia menimbulkan pro dan kontra karena jelas bertentangan
dengan ajaran agama, sosial, dan moral.Pihak yang kontra terhadap euthanasia
memandang tindakan tersebut sebagai upaya pembunuhan terhadap seseorang,
meskipun dengan tindakan demikian dianggap dapat menghilangkan penderitaan
terhadap suatu penyakit mematikan, karena yang berhak untuk menentukan hidup
atau matinya manusia hanya Tuhan. Di sisi lain, pihak yang pro euthanasia
memandang bahwa dengan melakukan tindakan euthanasia, maka penderitaan fisik
akibat penyakit akan hilang dan seseorang akan mendapatkan kematian tanpa rasa
sakit.

7
Negara Indonesia merupakan negara yang tidak melegalkan tindakan
euthanasia dalam bentuk apapun, karena Indonesia berpedoman pada
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A yang menyatakan bahwa : “setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Rumusan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 tersebut berkesinambungan
dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
yang menyatakan bahwa : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidakdapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Dari rumusan Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 4
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut, secara tegas telah dinyatakan
bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup danmempertahankan hidup dan
kehidupannya, yang berarti pihak lain tidak memiliki wewenang untuk mengatur
alur kehidupan seseorang (dalam hal ini hidup atau matinya).
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia tidak
secara tegas menyebutkan euthanasia, namun menurut pendapat pakar hukum
pidana Universitas Padjadjaran, Komariah Emong, euthanasia diatur dalam bab
tentang kejahatan kemanusiaan. Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 344 KUHP
yang berbunyi : “Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh,
dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Pasal 344 KUHP, yang diharapkan dapat memberikan sumbangsih dalam
hukum pidana di Indonesia, sejauh ini belum pernah menjaring pelaku euthanasia
sehingga penerapan terhadap pasal ini belum terlihat sama sekali. Oleh karena itu,
diperlukan pembaharuan hukum pidana khususnya terkait euthanasia agar dapat
sesuai dengan perkembangan dalam bidang medis dan bidang hukum di
Indonesia.Pembaharuan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang
dilakukan secara terarah dan terpadu meliputi bidang-bidang hukum tertentu,
termasuk didalamnya hukum pidana. Menurut Sudarto, pembaharuan hukum
pidana harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal

8
dan hukum pelaksanaan pidana. Namun yang akan dibahas pada kesempatan ini
adalah hukum pidana material dari segi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) dan juga beberapa peraturan di Indonesia yang terkait dengan euthanasia.
Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU
KUHP) Indonesia dirancang atas beberapa pertimbangan, diantaranya disesuaikan
dengan politik hukum, keadaan, perkembangan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang bertujuan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia,
selain itu harus pula mengatur keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan negara dengan kepentingan individu, antara perlindungan terhadap
pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap
batin, dan beberapa pertimbangan lainnya. Dengan dibuatnya Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP), diharapkan
agar permasalahan khususnya seperti euthanasia dapat memperoleh titik terang atas
pengaturan hukumnya yang tentunya dapat berkesinambungan dengan
peraturanperaturan lain yang terdapat di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas dan untuk
membatasi pokok kajian, maka merumuskan permasalahan pokok untuk
dipecahkan sebagai berikut :
1. Bagaimana euthanasia ditinjau dari hal umum dan apa saja
bentuk-bentuknya?
2. Bagaimana euthanasia ditinjau dari perspektif HAM (Hak Asasi Manusia)
Indonesia?
3. Bagaimana pengaturan euthanasia menurut hukum pidana Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pandangan euthanasia dari hal umum dan
bentuk-bentuknya.
2. Untuk mengetahui pandangan euthanasia dari perspektif HAM (Hak Asasi
Manusia).

9
3. Untuk mengetahui perbandingan aturan terkait euthanasia dari segi hukum
pidana Indonesia dan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia.

D. Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi untuk kajian dalam ilmu
pengetahuan terkhusus dalam bidang HAM (Hak Asasi Manusia).
2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang
3. menginginkan untuk mengetahui lebih dalam mengenai euthanasia.

10
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Umum Tentang Euthanasia


Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata “eu” yang artinya
baik, tanpa penderitaan, dan “tanathos” yang artinya mati.Jadi euthanasia artinya
mati dengan baik, atau mati dengan tanpa penderitaan atau mati cepat tanpa derita.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Euthanasia diartikan sebagai
“tindakan pengakhiran hidup seseorang (atau makhluk lain) dengan sengaja karena
sakitnya yang membuat dia terlalu menderita”. Dari pengertian euthanasia secara
harfiah tersebut, kemudian muncul berbagai pengertian tentang euthanasia,
diantaranya adalah:
1. Euthanasia adalah perbuatan mengakhiri kehidupan seseorang untuk
menghentikan penderitaannya.
2. Euthanasia adalah bantuan yang diberikan kepada seseorang untuk mati
dengan tenang atas permintaan-nya sendiri.
3. Euthanasia adalah kesengajaan, baik dengan tindakan aktif ataupun pasif,
mengakhiri kehidupan oleh orang lain atas permintaan yang bersangkutan
4. Dalam ilmu kedokteran, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga arti, yaitu:
i. Berpindah ke alam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan menyebut nama Allah di bibir.
ii. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberikan obat penenang.
iii. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Dalam euthanasia, seorang yang menginginkan atau dianggap


menginginkannya memerlukan bantuan orang lain untuk mendapatkan kematian
tersebut. Peranan orang lain itulah yang membedakan euthanasia dari bunuh diri.
Dalam bunuh diri, seseorang tidak menggunakan orang lain untuk memperoleh
kematiaannya. Euthanasia juga dibedakan dari pembunuhan.Dalam pembunuhan
korban tidakmemiliki kepentingan atas peristiwa tersebut Sedangkan dalam

11
euthanasia, korban memiliki kepentingan atas terjadinya peristiwa tersebut.Dalam
hal ini, kematian terjadi atas keinginan korban dan dianggap untuk kebaikan korban
itu sendiri.
Di beberapa negara maju praktek euthanasia telah dilegalkan.Di Amerika
serikat misalnya, euthanasia sudah mulai diterapkan berdasarkan putusan
pengadilan yang membebaskan pelakunya dari konsekuensi hukum. Bahkan di
Belanda, telah dikeluarkan undangundang yang melegalisasi euthanasia dengan
kondisi tertentu. Disamping Belanda, Australia Utara selama dua tahun (1995-1997)
pernah mengundangkan undang-undang yang mengizinkan euthanasia, dengan
pertimbangan hak pasien yang berada pada stadium terminal. Namun kemudian,
karena protes yang diajukan masyarakat, undang-undang tersebut dicabut. Di
Indonesia, legalisasi penerapan euthanasia masih merupakan suatu wacana yang
berkembang dengan perdebatan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

B. Bentuk-Bentuk Euthanasia
Euthanasia dapat ditinjau dari beberapa sudut. Dilihat cara pelaksanaannya ,
euthanasia dibagi menjadi :
1. Euthanasia pasif
Dimana dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis kepada pasien yang dapat memperpanjang hidupnya
(dengan catatan bahwa perawatan pasien diberikan terus-menerus secara
optimal dalam usaha untuk mendamipingi/-membantu pasien dalam fase hidup
yang terakhir ini). Euthanasia pasif atas permintaan dapat dinamakan Auto
Euthanasia. Auto euthanasia adalah dimana seorang pasien menolak tegas
dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini
akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah “codicil” (codicil : pernyataan
tertulis tangan). Euthanasia pasif banyak dilakukan di Indonesia, atas
permintaan keluarga setelah mendapat penyampaian dokter bahwa pasien yang
bersangkutan sudah sangat tidak mungkin disembuhkan. Keluarga biasanya
akan meminta pasien untuk dipulangkan ke rumahnya atau jika penyakitnya
sudah sangat parah dan pasien telah menggunakan alat-alat medis untuk

12
menunjang kehidupannya, keluarga akan meminta kepada dokter untuk
mencabut alat-alat tersebut agar pasien tersebut dapat meninggal dengan tenang.
2. Euthanasia aktif terdiri dari :
i. Euthanasia aktif langsung (direct) : tindakan medis secara terarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup
pasien. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing.
ii. Euthanasia aktif tidak langsung (indirect) : tindakan medis yang dilakukan
oleh dokter atau tenaga kesehatan untuk meringankan penderitaan pasien,
namun mengetahui adanya risiko tersebut dapat memperpendek atau
mengakhiri hidup pasien.

Ditinjau dari sudut korban, maka euthanasia dibedakan dalam 3 bentuk, yaitu:
1. Euthanasia Sukarela (Voluntary Euthanasia)
Euthanasia Sukarela merupakan kematian yang diminta seseorang secara
sukarela.Permintaan tersebut biasanya timbul karena korban menderita penyakit
yang menimbulkan nyeri tak tertahankan dan penyakit itu sendiri tidak dapat
disembuhkan.Dalam hal ini, mereka tidak dapat bunuh diri karena alasan-alasan
tertentu.Untuk itu mereka meminta kepada seseorang untuk mengakhiri
hidupnya.
2. Euthanasia diandaikan (Non Voluntary Euthanasia)
Euthanasia diandaikan merupakan kematian yang tidak diminta secara
tegas oleh korban. Dalam hal ini korban dianggap atau diandaikan akan
memilih atau meminta mati jika ia dapat menyatakan keinginannya.
3. Euthanasia Dipaksakan (InVoluntary Euthanasia)
Euthanasia dipaksakan merupakan pembunuhan yang dilakukan terhadap
pasien yang dalam kondisi sadar untuk menentukan kemauannya, tetapi
pembunuhan tersebut dilakukan tanpa persetujuannya.

Menurut Dr. J.E. Sahetapy, euthanasia dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu:
1. Action to Permit Death to Occur

13
Kematian dapat tejadi karena pasien dengan sungguh-sungguh dan secara
cepat menginginkan untuk mati. Dalam hal ini pasien sadar dan tahu bahwa
penyakit yang dideritanya itu tidak akan dapat disembuhkan walaupun
diadakanpengobatan dan perawatan secara baik. oleh sebab itu pasien tersebut
kemudian meminta kepada dokter agar tidak usah memberikan pengobatan
kepadanyagunapenyembuhan terhadap penyakit yang dideritanya itu.
2. Failure to Take Action to Prevent Death
Kematian terjadi karena kelalaian atau kegagalan dari seorang dokter dalam
mengambil suatu tindakan untuk mencegah adanya kematian. Hal ini terjadi
bilamana dokter akan mengambil suatu tindakan guna mencegah kematian, akan
tetapi ia tidak mengerjakan sesuatu apa-apa karena ia tahu bahwa pengobatan
yang akan diberikan kepada pasien itu adalah siasia belaka
3. Positive Action to Cause Death
Merupakan tindakan yang positif dari dokter untuk mempercepat terjadinya
kematian. Dari tindakan yang aktif ini, seorang pasien akan segera mati dengan
tenang, misalnya dengan memberikan injeksi dengan obat yang menimbulkan
kematian, obat penghilang rasa kesadaran dengan dosis yang tinggi, dan
lain-lain.

Pelaksanaan euthanasia yang dilihat dari sudut lain terdiri dari 4 (empat) kategori,
yaitu :
1. Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup
pasien.
2. Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup
pasien.
3. Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup
pasien.
4. Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup
pasien.

14
C. Euthanasia Dalam Perspektif Ham (Hak Asasi Manusia)
Hak Asasi Manusia tidak mencantumkan dengan jelas mengenai adanya hak
seseorang untuk mati.Namun sepintas, apabila Hak Asasi Manusia dalam hal ini
hak untuk hidup selalu ditegakkan, mengapa tidak demikian halnya dengan hak
untuk mati.Hal tersebut selalu menjadi perdebatan yang tidak kunjung usai.Seperti
halnya upaya warga negara Inggris, Jane Nicklinson yang mengajukan permohonan
agar Pengadilan HAM Eropa menjadikan perbuatan dokter yang membantu untuk
mati bukan merupakan suatu pembunuhan.Pengadilan HAM Eropa menolak
permohonan tersebut dengan menyatakan bahwa yang berhak memutuskan
mengenai hal tersebut adalah parlemen Inggris.Jane Nicklinson berpendapat bahwa
pengadilan Inggris tidak sesuai dengan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia
yang memberi hak untuk menghargai kehidupan pribadi dan keluarga. Di sisi lain,
hakim Pengadilan HAM Eropa menyatakan bahwa argumen yang diutarakan Jane
tidak berdasar dan tidak bisa diterima. Negara Indonesia sendiri tidak mengakui
hak untuk mati. Karena hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
1945 Pasal 28I yang menyatakan hak untuk hidup merupakan salah satu Hak Asasi
Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

D. Euthanasia Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak


Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia menurut Pasal 1 bagian 1 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
tidak menyebutkan kata euthanasia, namun sebagaimana penjelasan mengenai
pengertian euthanasia yang telah dikemukakan sebelumnya, tindakan pengambilan
jiwa seseorang meskipun dilakukan atas dasar rasa kasihan tidak dibenarkan sama
sekali.

15
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa : Hak untuk hidup, hak untuk tidak tidak disiksa, hak
kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum,
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi
manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.
Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dinyatakan bahwa :
1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan
taraf kehidupannya.
2) Setiap orang berhak tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.
3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Dari kedua pasal di atas dapat disimpulkan bahwa hak untuk hidup adalah hak
dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, sehingga berbagai bentuk usaha untuk
menghilangkan jiwa seseorang seperti tindakan euthanasia adalah salah satu
pelanggaran hak asasi manusia. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa undang-undang
bersangkutan mengatur mengenai hak untuk hidup dan hak untuk tidak kehilangan
paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa seseorang. Bahkan dalam penjelasan Pasal
9 dinyatakan bahwa hak atas kehidupan bahkan melekat pada bayi yang belum lahir
atau orang yang terpidana mati.Hal tersebut merupakan bentuk penghargaan
terhadap hak hidup setiap orang dalam hak asasi manusia.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, secara tegas Indonesia menyatakan
bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, namun tidak mempunyai hak
untuk mati karena tidak diatur dalam undangundang manapun. Karena Indonesia
telah memiliki Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 28A yang menyatakan
bahwa : “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.

16
E. Pengaturan Euthanasia Dalam Hukum Pidana
Dalam hukum pidana Indonesia, Euthanasia diatur dalam Pasal 344 KUHP:
“ Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.”
Dari bunyi pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa seseorang tidak
diperbolehkan merampas nyawa orang lain, walaupun dengan alasan atas
permintaan si korban sendiri. Hal ini menandakan penghargaan hukum terhadap
nyawa seseorang, terlepas dari kepentingan orang itu sendiri.

Unsur–unsur Pasal 344 KUHP sebagaimana tersebut di atas adalah:


1. Barangsiapa
Unsur ini menunjuk pada subjek.Dalam hal ini, pelaku tindak pidana adalah
manusia sebagai individu yang memenuhi syarat sebagai subjek hukum.
2. Merampas Nyawa Orang Lain
Unsur ini menunjuk pada perbuatan pidana yang dilakukan, yaitu
menghilangkan jiwa orang lain. Untuk terpenuhinya unsur ini harus terdapat
jiwa seseorang yang hilang.Dalam hal ini, perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
harus mengakibatkan kematian seseorang.
3. Atas Permintaan Orang Itu Sendiri
Unsur ini menunjukkan adanya syarat tambahan untuk terjadinya
delik.Dalam hal ini, harus terdapat keinginan mati dari korban.Keinginan
tesebut kemudian diwujudkan dalam sebuah permintaan kepada pelaku agar
pelaku menghilangkan nyawa korban.Jadi untuk memenuhi unsur ini, korban
harusmeminta kepada pelaku untuk menghilangkan nyawanya.
4. Yang Jelas Dinyatakan Dengan Kesungguhan Hati.
Permintaan korban untuk mati harus disebutkannya dengan nyata dan dengan
sungguh-sungguh.Untuk memenuhi unsur ini, korban harus mengungkapkan
dengan jelas dan sungguh-sungguh keinginannya untuk mati. Pengungkapan
tersebut tidak dapat dilakukan dengan isyarat ataupun melalui orang lain.

17
Dalam perumusan pasal 344 KUHP sebagaimana diuraikan di atas, tidak
terdapat unsur kesengajaan (opzet).Dalam kaitannya dengan susunan KUHP, pasal
344 diletakkan pada Bab XIX tentang kejahatan terhadap nyawa.Dalam hal ini,
yang menjadi delik pokok adalah pasal 338 yang disebut dengan
pembunuhan.Penempatan pasal 344 dalam Bab XIX menunjukkan hubungan
antara pasal 344 dengan pasal 338 yang merupakan delik pokok.Dalam hal ini,
meskipun tidak terdapat unsur sengaja dalam pasal 344 KUHP, unsur tersebut
dianggap ada dan dimiliki pasal ini serta berkedudukan sebagai elemen.
Keberadaan unsur sengaja dalam perumusan pasal 344 KUHP akan
menentukan jenis euthanasia yang diatur dalam pasal ini. Namun karena KUHP
tidak menyebutkan dengan jelas bagaimanakah bentuk kesengajaan tersebut,
timbul berbagai pendapat sebagaimana diuraikan berikut ini:
1. Simons, berpendapat bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain
atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu “dapat terjadi
tanpa pelaku melakukan suatu perbuatan” atau dengan “sikap pasif itu”
seseorang dapat dipandang telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang
dimaksud dalam pasal 344 KUHP. Dalam hal ini Simons berpendapat bahwa
pengaturan euthanasia dalam pasal 344 KUHP meliputi euthanasia aktif dan
euthanasia pasif.
2. Noyon, berpendapat bahwa sesuai dengan rumusan ketentuan pidana yang
diatur dalam pasal 344 KUHP itu sendiri, kesengajaan menghilangkan nyawa
orang lain itu hanya dapat diberlakukan bagi orang yang secara aktif telah
melakukan sesuatu perbuatan yang menyebabkan meninggalnya orang lain
atas permintaan yang tegas dan sungguhsungguh dari orang lain itu sendiri.
Dalam hal ini Noyon berpendapat bahwa pengaturan euthanasia dalam pasal
344 KUHP hanya berlaku ter hadap euthanasia aktif.
Dari kedua pendapat tersebut di atas, kemudian timbul pertanyaan, pendapat
manakah yang dianut KUHP?Dalam hal ini, mengingat pasal 344 KUHP tidak
pernah diterapkan dalam praktek, maka tidak diketahui secara pasti pendapat
manakah yang dianut KUHP. Namun, dari hasil simposium euthanasia tahun 1984
yang diselenggarakan oleh majalah Higina terungkap bahwa di Indonesia telah
banyak terjadi kasus euthanasia pasif dan tidak pernah diajukan ke

18
pengadilan.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa KUHP mengatur tentang
euthanasia aktif.
Namun dari segi yuridis, pasal 344 KUHP tidak menyebutkan apakah
euthanasia yang diatur adalah euthanasia aktif atau euthanasia pasif.Dengan
demikian, asalkan “seseorang telah merampas nyawa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati” maka tindakan
tersebut memenuhi unsur pasal 344 KUHP.
Euthanasia merupakan perbuatan pidana yang diatur dan diancam pidana
berdasarkan pasal 344 KUHP. Di sisi lain, terdapat kelompok yang menganggap
bahwa pelaku euthanasia tidak perlu dihukum atas perbuatan yang dilakukannya.
Kelompok inilah yang kemudian dikenal sebagai kelompok menyetujui euthanasia.
Dalam pandangan kelompok yang menyetujui euthanasia menganggap bahwa
euthanasia merupakan hak pasien untuk menentukan sesuatu yang baik bagi
dirinya.Pasien berhak untuk melepaskan diri dari penderitaan yang disebabkan oleh
penyakitnya.Dalam hal ini, pasien dianggap memiliki hak untuk mati.Dengan
demikian, tindakan euthanasia harus dianggap sebagai pertolongan yang dilakukan
pelaku terhadap pasiennya.Dalam hal ini, pelaku “terpaksa” melakukan
euthanasiakarena merasa kasihan dengan penderitaan si pasien.
Dalam kaitannya dengan ajaran dasar penghapus pidana, “perbuatan yang
dilakukan karena pengaruh daya paksa” merupakan salah satu sebab yang dapat
menghapuskan pidana. Hal ini diatur dalam pasal 48 KUHP yang
berbunyi ”Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak
dipidana“. Dalam pembahasan selanjutnya akan ditinjau apakah “keterpaksaan”
yang melatarbelakangi dilakukannyadipahami pengertian “keterpaksaan” yang
dimaksud pasal 48 KUHP.
Menurut memorie van toelichting, keadaan memaksa merupakan suatu
kekuatan, dorongan, paksaan yang tidak dapat dilawan.Paksaan tersebut dapat
dilakukan oleh pihak ketiga dengan menggunakan kekerasan, ancaman, atau
cara-cara memaksa lainnya (overmacht) ataupun paksaan tersebut dapat berasal
dari kodrat alam yang disebut keadaan darurat (noodtoestand).keadaan darurat
merupakan keadaan yang memaksa seseorang untuk melakukan delik.Paksaan
tersebut berasal dari luar diri pelaku.Dalam hal ini, pelaku dipaksa memilih

19
diantara dua pilihan yang samasama buruk.Ia memilih melakukan suatu delik
daripada harus mengalami kerugian yang sangat besar. Dengan demikian, pelaku
sendirilah yang memilih untuk melakukan delik.
Dalam euthanasia, permintaan korban tidak dapat digolongkan sebagai
“pengaruh daya paksa”.Permintaan tersebut lebih cenderung pada memohon belas
kasihan pelaku.Dalam hal ini, pelaku tidak harus memenuhi keinginan korban
karena pelaku masih bisa menghindar untuk melakukan perbuatan tersebut.
Menurut asas kepatutan pun seharusnya pelaku menghindari perbuatan
tersebut.Dengan demikian, jika pelaku tetap melakukannya, tidak termasuk
keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP.
Pada sudut pandang yang lain, jika pelaku merasa “terpaksa” melakukan
euthanasia karena kasihan melihat keadaan korban, hal ini pun tidak termasuk
keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP. Dalam hal ini, paksaan
tersebut berasal dari bathin pelaku sendiri. Dengan demikian, tidak terdapat unsur
lain diluar pelaku yang memaksa pelaku melakukan delik.
Berdasarkan uraian diatas, maka “keterpaksaan” dalam melakukan tindakan
euthanasia tidak dapat dijadikan sebagai dasar penghapus pidana.dengan demikian,
euthanasia merupakan tindak pidana dan terhadap pelakunya dapat dihukum
berdasarkan pasal 344 KUHP. tindakan euthanasia merupakan “keterpaksaan”
sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP. Untuk itu, perlu dipahami pengertian
“keterpaksaan” yang dimaksud pasal 48 KUHP.
Menurut Memorie Van Toelichting, keadaan memaksa merupakan suatu
kekuatan, dorongan, paksaan yang tidak dapat dilawan. Paksaan tersebut dapat
dilakukan oleh pihak ketiga dengan menggunakan kekerasan, ancaman, atau
cara-cara memaksa lainnya (overmacht) ataupun paksaan tersebut dapat berasal
dari kodrat alam yang disebut keadaan darurat (noodtoestand).keadaan darurat
merupakan keadaan yang memaksa seseorang untuk melakukan delik.Paksaan
tersebut berasal dari luar diri pelaku.Dalam hal ini, pelaku dipaksa memilih
diantara dua pilihan yang samasama buruk.Ia memilih melakukan suatu delik
daripada harus mengalami kerugian yang sangat besar. Dengan demikian, pelaku
sendirilah yang memilih untuk melakukan delik.Dalam euthanasia, permintaan
korban tidak dapat digolongkan sebagai“pengaruh daya paksa”. Permintaan

20
tersebut lebih cenderung pada memohon belas kasihan pelaku. Dalam hal ini,
pelaku tidak harus memenuhi keinginan korban karena pelaku masih bisa
menghindar untuk melakukan perbuatan tersebut. Menurut asas kepatutan
punseharusnya pelaku menghindari perbuatan tersebut.Dengan demikian, jika
pelaku tetap melakukannya, tidak termasuk keadaan memaksa sebagaimana
dimaksud pasal 48 KUHP.
Pada sudut pandang yang lain, jika pelaku merasa “terpaksa” melakukan
euthanasia karena kasihan melihat keadaan korban, hal ini pun tidak termasuk
keadaan memaksa sebagaimana dimaksud pasal 48 KUHP. Dalam hal ini, paksaan
tersebut berasal dari bathin pelaku sendiri. Dengan demikian, tidak terdapat unsur
lain diluar pelaku yang memaksa pelaku melakukan delik.
Berdasarkan uraian diatas, maka “keterpaksaan” dalam melakukan tindakan
euthanasia tidak dapat dijadikan sebagai dasar penghapus pidana.dengan demikian,
euthanasia merupakan tindak pidana dan terhadap pelakunya dapat dihukum
berdasarkan pasal 344 KUHP.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, Right
to self determination tidak bisa menjadi dasar untuk pembenaran praktek
euthanasia bukan pelanggaran hak asasi manusia. Pada prinsipnya seorang pasien
yang dalam keadaan koma atau kritis tidak berdaya, tidak bisa mempertahankan
hak-haknya dan mengajukan pilihan hukum.Posisi yang lemah (bargaining power)
dari pasien rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh
dokter.Kedua, Keterkaitan etika kedokteran dan HAM terutama menyangkut
kewenangan dari dokter untuk menerapkan etika kedokteran atau perlindungan
hak-hak asasi manusia pasien dalam praktek euthanasia.Pilihan dari dokter itu
menentukan terlindungnya hak-hak hidup dari pasien.Kalau dokter memilih untuk
mengedepankan etika kedokteran maka hak-hak hidup dari pasien sulit
dilindungi.Ketiga, Perlindungan hak asasi manusia terhadap pasien dalam praktek
euthanasia masih rentan dan belum jelas terutama menyangkut batasan-batasan
pelanggaran HAM yang dilanggar oleh dokter dan batasan-batasan perlindungan
terhadap pasien.Dalam praktek seringkali pasien menyerahkan kepada keluarga
untuk menentukan nasibnya.Sikap keluarga atau orang-orang yang terdekat dari
pasienlah yang sangat menentukan dilindunginya hak hidup dari pasien atau tidak.

B. Saran
Sudah saatnya hukum positif Indonesia mengatur praktek euthanasia secara
khusus karena hukum akan ketinggalanjauh dengan kondisi masyarakat jika tidak
segera ada pengaturan tentang praktek euthanasia, karena ilmu dan teknologi
kedokteran berkembang terus-menerus dengan pesatnya. Dan pemberian hak
euthanasia pada dasarnya bertumpu pada hak untuk menentukan diri sendiri dan
hak kebebasan pribadi. Akan tetapi permasalahannya sampai sejauh mana
batasan-batasan hak menentukan hidup sendiri hak kebebasan pribadi tersebut
karena dapat bertentangan dan berbenturan dengan hak hidup seseorang,sedangkan
hak untuk menentukan hidupnya sendiri tidak diatur dalam Undang-undang Nomor

22
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah (legislatif) harus
secepatnya membuat peraturan perundang-undangan tentang euthanasia yang
berbasiskan Hak Asasi Manusia.

23
DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/17956-ID-euthanasia-dalam-perspekti
f-hak-asasi-manusia-dan-kaitannya-dengan-hukum-pidana.pdf

https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/8794

https://core.ac.uk/download/pdf/78942157.pdf

24

Anda mungkin juga menyukai