Anda di halaman 1dari 7

TUGAS AGAMA HINDU

NAMA KELOMPOK :
NI MADE SEKAR AYU DWI LESTARI (41)

A.A PUTRI ADNYASWARI (02)

DEWA AYU MAYUNI FORTUNA (04)

X MIA 2
A. Pengertian Upacara Pitra Yadnya.

Pitra Yadnya berasal dari dua kata yaitu Pitra yang


berarti Bapak/ Ibu atau leluhur yang terhormat (sinuhun).
Dan kata Yadnya berarti penyaluran tenaga, sikap, tingkah
laku, dan perbuatan atas dasar suci untuk keselamatan
bersama atau pengorbanan. Pitra Yadnya adalah pengorbanan
yang tulus ikhlas untuk para leluhur dan orang tua. Pitra
yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada
orang tua dan leluhur yang disebut Pitra Rna. Tanpa ada
leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di dunia
ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan
bentuk Upacara Pitra Yadnya.

Sedangkan menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan


bahwa Pitra yadnya secara harfiah terdiri dari dua kata
yakni Pitra dan Yadnya. Pitra berarti orang tua (Ayah dan
Ibu) dalam pengertian yang lebih luas, bisa disebut leluhur.
Sedangkan Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati
yang tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya
berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus nan suci
kepada leluhur terutama orang tua. (Kaler,1993:3)

Secara epistemologis, pengertian Pitra Yadnya muncul


dari arti kata Pitra dan Yadnya. Dari beberapa sumber
literatur, diketemukan berbagai pemaknaan terhadap kata
pitra. Singgih Wikarma (2002) dalam bukunya Ngaben,
menguraikan bahwa Pitra berasal dari kata Pitr yang artinya
leluhur, yadnya berasal dari kata Yaj berarti berkorban.
Dari arti kata di atas, Pitra Yadnya berarti bentuk
pengorbanan suci yang dilaksanakan secara tulus ikhlas
kepada para leluhur. Di lain pihak Sudarsana (2002:9)
menyebutkan bahwa pitra adalah sama pengertiannya
dengan arwah dan pitra berasal dari kata pitri yang
artinya unsur-unsur kekuatan Panca Maha Bhuta yang
membentuk stula sarira (jasad).

Terdapatnya perbedaan pengertian di atas, hal ini


karena menurut sumber acuan yang dipergunakan oleh
masing-masing penulisnya. Namun demikian esensi dari
upacara ini masih tetap sama dimana pada intinya
pelaksanaan upacara pitra yadnya merupakan salah satu
bentuk pengorbanan suci (yadnya) yang diperuntukkan bagi
roh, arwah para leluhur atau orang-orang yang telah
meninggal dunia. Dengan kata lain, upacara ini merupakan
upaya untuk mempercepat proses pengembalian/penyucian
unsur-unsur Panca Maha Bhuta agar kembali ke sumbernya.

Adapun bentuk upacara pitra yadnya memiliki runtutan


dari upacara orang meninggal hingga distanakan atau
tempatkan pada tempat suci keluarga (sanggah). Pada saat
baru meninggal, kekuatan Panca Maha Bhuta (pitra/roh)
orang yang meninggal disebut dengan petra/pitri/pitra,
setelah dilaksanakan penyucian tahap pertama melalui
upacara atiwa-tiwa (ngringkes), maka sebutan pitra
meningkat menjadi pitara (pitarah). Selanjutnya setelah
dilakukan penyucian melalui upacara ngaben, disertakan
dengan pengaskaran maka kesuciannya akan meningkat
sehingga mendapat sebutan Dewa Pitara. Penyucian Dewa
Pitara melalui upacara pemukuran akan meningkatkan lagi
Dewa Pitara menjadi Hyang Pitara. Setelah berstatus Hyang
Pitara, upacara penyuciannyapun terus dilaksanakan melalui
upacara Nilapati yaitu ngunggahang Bethara Hyang di
Kemulan, maka Hyang Pitara telah kembali ke sumbernya
yaitu ke Sang Hyang Prakerthi dan pada saat inilah
mendapat sebutan Bethara Hyang (Sudarsana, 2002:12).

Dapat disimpulkan bahwa, upacara Pitra Yadnya


merupakan upacara penyucian yang diperuntukkan bagi roh
orang yang telah meninggal yang dilaksanakan melalui
rangkaian upacara pengringkesan, pengabenan, memukur
hingga nilapati atau ngelinggihang. Berkenaan dengan
rangkaian upacara tersebut, salah satu aspek yang
senantiasa mengiringi pelaksanaannya adalah adanya gamelan
yang berfungsi sebagai musik pengiringnya.

Dalam pelaksanaannya di masyarakat Kota Denpasar,


apabila dirinci dari awal pelaksanaan upacara pitra yadnya
hingga rangkaiannya yang terakhir yaitu Nilapati digunakan
berbagai jenis gamelan sebagai musik pengiringnya.
Kebiasaan masyarakat di Kota Denpasar, terkait dengan
rangakaian upacara tersebut dipergunakan gamelan
Balaganjur, Gender Wayang, Angklung, Gong Kebyar,
Gambang, Gong Luang (Saron).

Mengenai tingkatan upacara pengebenan, dari berbagai


sumber sastra yang berhasil dikumpulkan oleh Sudarsana
(2008:77-78) disebutkan ada empat tingkatan yaitu
mewangun, prenawa, swasta dan ngerti parwa. Sesuai dengan
situasi dan kondisi pelaksanaannya, masing-masing dari
tingkatan tersebut dibagi lagi sehingga terdapat 10 bentuk
pengabenan.
Upacara ngaben di atas dapat dilaksanakan dalam
tingkatan nista, madya dan utama sesuai dengan kemampuan
dalam memenuhi berbagai persyaratannya. Pengabenan
mewangun merupakan tingkatan pengabenan tertinggi dimana
pelaksanaan upacara pengabenannya mempergunakan
kuantitas upacara utama dan memakai atribut-atribut secara
lengkap menurut ketentuan sastra agama Hindu (Sudarsana,
2008:78). Tingkatan pengabenan ini biasanya dilaksanakan
bagi orang-orang yang memiliki kedudukan, terhormat,
pengaruh yang luas di masyarakat, seperti raja dan golongan
ksatria lainnya, pendeta, pemangku desa. Pengabenan
pranawa merupakan tingkatan upacara pengabenan yang
kuantitasnya lebih kecil dari mewangun namun memiliki
kualitas yang sama dan tergantung dari pelaksanannya.
Berbagai kalangan (kedudukan dan kasta) dapat
melaksanakan upacara pengabenan dalam tingkatan ini sesuai
dengan kemampuan dalam melaksanakannya. Sedangkan
tingkatan upacara yang paling sederhana adalah swastha dan
ngerti parwa.

Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih


penting dilakukan masa kini adalah bagaimana usaha kita
untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan
orang tua. Jadi pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai
siswa adalah dengan belajar sebaik-baiknya sebagaimana
harapan orang tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan
ikhlas serta tidak mengecewakan dan menyakiti hati orang
tua adalah merupakan pitra yadnya utama.

B. Dasar-dasar adanya Pitra Yadnya


1) Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa diri
seseorang menjadi anak dari seorang bapak/ibu, maka
sadarlah seseorang bahwa ia lahir dan dipelihara sejak kecil
sampai dewasa oleh bapak/ibu.

2) Kesadaran diri akan hal tersebut diatas, makasadar


pula akan dirinya yang memiliki hutang yang besar kepada
bapak/ibu yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa
Dharma Sastra No.127, upacara yang ditujukan kepada
leluhur sangat mulia sifatnya, karena roh leluhur merupakan
dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.

3) Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini berhutang


jasa terhadap orang tua baik semasih orang tua hidup dan
setelah orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu
disebut Pitra Rnam.

4) Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya Pitra


Yadnya adalah Pitra Rnam.

5) Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang kepada


orang lain, maka iapun harus sadar akan dirinya mempunyai
kewajiban untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan
dirinya bahwa dalam hidup ini kita memegang Pitra Rnam,
maka harus sadar pula untuk melaksanakan Pitra Yadnya.
Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban
hidup bagi seorang anak.

C. Tata Cara Pitra Yadnya


Dalam melakukan kewajiban sebagai seorang anak
Terhadap orang tua, dalam agama Hindu disebut Sutakirtya.
Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua
sasaran pokok yaitu :

1. Semasih Orang tua hidup


Dalam mengarahkan Sutakirtya terhadap orang tua
yang masih hidup, lebih dititikberatkan kepada ajaran tata
susila, dengan dijiwai inti hakekatnya. Susila yang dimaksud
adalah selalu berusaha mebuat orang tua bahagia, yang
dinikmati dari cetusan bhakti dari anak. Sedangkan hakekat
yang dimaksud adalah Jiwatman bersemayam didalam diri
orang tua adalah tunggal dengan yang ada pada orang lain
dan bahkan dengan yang ada pada diri sianak. Dan yang lebih
mendasar adal Jiwatman adalah tunggal dengan
Paramaatman.

2. Setelah orang tua meninggal dunia


Yaitu mengarahkan Sutakirtya setelah orang tua
meninggal dunia, pelaksanaannya lebih banyak tampak kepada
Upacara secara simbolis (nyasa) dalam bentuk upakara atau
banten yang dapat dikhayalkan menurut fantasi, yakni
cetusan hati nurani dan yang tersembunyi didalam sifat-
sifat rahasia (inti hakekat), seperti tersebut diatas, yaitu
sesuatu usaha agar jiwatman orang tua dapat menunggal
kembali dengan Paramatman. Jadi dalam hubungan ini
upacara Pitra Yadnya lebih banyak mempergunakan Drwya
Yadnya

Anda mungkin juga menyukai