Anda di halaman 1dari 7

MPK AGAMA HINDU

PITRA YADNYA

Dosen Pengampu : Dr. Ida Bagus Gede Surya Abadi, S.E., M.Pd.

KELOMPOK 5 ROMBEL 38
ANGGOTA:

Kadek Bayu Sukrisnawan (2214101039/Ilmu Hukum)


Putu Radha Esha Cytia (2214101108?/Ilmu Hukum)
Ni Ketut Putri Pradnya Swari (2214101109/Ilmu Hukum)
Made Dewi Nadiasih (2215011047/Pendidikan Kesejahtraan Keluarga)
Ni Putu Eilse Dharma Pratiwi (2217041196/Manajemen)
Ni Ketut Kurnianti (2217041216/Manajemen)

UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA


SINGARAJA
2023
PITRA YADNYA

A. PENGERTIAN PITRA YADNYA

Pitra Yadnya bersal dari dua kata yaitu “Pitra” yang berarti Bapak / Ibu atau leluhur yang
terhormat. Dan kata “Yadnya” yang berarti penyaluran tenaga, sikap, tingkah laku, dan perbuatan
atas dasar suci untuk keselamatan bersama atau pengorban yang tulus ikhlas untuk para leluhur
dan orang tua. Pitra yadnya wajib dilakukan untuk membayar hutang hidup kepada orang tua dan
leluhur yang disebut Pitra Rna.Tanpa ada leluhur dan orang tua sangat mustahil kita akan lahir di
dunia ini. Oleh karena itu hutang hidup ini harus dibayar dengan bentuk Upacara Pitra Yadnya

Sedangkan menurut I Gusti ketut Kaler menyatakan bahwa Pitra yadnya secara harfiah terdiri
dari dua kata yakniPitra dan Yadnya. Pitra berarti orang tua (Ayah dan Ibu) dalam pengertian yang
lebih luas, bisa disebut leluhur. Sedangkan Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang
tulus iklhas nan suci. Jadi, Pitra . Jadi, Pitra Yadnya berarti pengorbanan yang dilandasi hati yang
tulus nan suci kepada leluhur terutama orang tua”.

Disamping bentuk upacara pitra yadnya, yang lebih penting dilakukan masa kini adalah
bagaimana usaha kita untuk menjunjung nama baik dan kehormatan leluhur dan orang tua. Jadi
pitra yadnya dalam kaitan kewajiban sebagai siswa adalah dengan belajar sebaik-baiknya
sebagaimana harapan orang tua. Melayani orang tua semasih hidup dengan ikhlas serta tidak
mengecewakan dan menyakiti hati orang tua adalah merupakan pitra yadnya utama.

B. TUJUAN PELAKSANAAN PITRA YADNYA

Tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas,
mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan
kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan
layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal
tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada
orangtuanya (leluhur) seperti:

Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.


Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.

Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.

C. DASAR DASAR ADANYA PITRA YADNYA

1. Berdasarkan keyakinan, bahwa dengan merasa diri seseorang menjadi anak dari seorang
bapak/ibu, maka sadarlah seseorang bahwa ia lahir dan dipelihara sejak kecil sampai
dewasa oleh bapak/ibu.
2. Kesadaran diri akan hal tersebut diatas, makasadar pula akan dirinya yang memiliki
hutang yang besar kepada bapak/ibu yakni berhutang jasa. Sesuai dengan Manawa
Dharma Sastra No.127, upacara yang ditujukan kepada leluhur sangat mulia sifatnya,
karena roh leluhur merupakan dewa terdekat bagi umat hindu setelah disucikan.
3. Kesadaran akan diri, bahwa dalam hidup ini berhutang jasa terhadap orang tua baik
semasih orang tua hidup dan setelah orang tua meninggal dunia, dalam agama Hindu
disebut Pitra Rnam.
4. Jika disimpulkan, jelaslah bahwa dasar adanya Pitra Yadnya adalah Pitra Rnam
5. Barang siapa sadar akan dirinya, ia berhutang kepada orang lain, maka iapun harus sadar
akan dirinya mempunyai kewajiban untuk membayarnya. Demikian kesadaran akan
dirinya bahwa dalam hidup ini kita memegang Pitra Rnam, maka harus sadar pula untuk
melaksanakan Pitra Yadnya. Pada perinsip melakukan Pitra Yadnya adalah kewajiban
hidup bagi seorang anak.

D. CONTOH PELAKSAAN UPACARA PITRA YADNYA

Dalam melakukan kewajiban sebagai seorang anak Terhadap orang tua, dalam agama Hindu
disebut Sutakirtya. Adapun tata cara yang dilakukan diarahkan kepada dua sasaran pokok yaitu :
A. Semasih Orang tua hidup.

Dalam mengarahkan Sutakirtya terhadap orang tua yang masih hidup, lebih dititikberatkan
kepada ajaran tata susila, dengan dijiwai inti hakekatnya. Susila yang dimaksud adalah selalu
berusaha mebuat orang tua bahagia, yang dinikmati dari cetusan bhakti dari anak. Sedangkan
hakekat yang dimaksud adalah Jiwatman bersemayam didalam diri orang tua adalah tunggal
dengan yang ada pada orang lain dan bahkan dengan yang ada pada diri sianak. Dan yang lebih
mendasar adal Jiwatman adalah tunggal dengan Paramaatman.

B. Setelah orang tua meninggal dunia.

Yaitu mengarahkan Sutakirtya setelah orang tua meninggal dunia, pelaksanaannya lebih
banyak tampak kepada Upacara secara simbolis (nyasa) dalam bentuk upakara atau banten yang
dapat dikhayalkan menurut fantasi, yakni cetusan hati nurani dan yang tersembunyi didalam sifat-
sifat rahasia (inti hakekat), seperti tersebut diatas, yaitu sesuatu usaha agar jiwatman orang tua
dapat menunggal kembali dengan Paramatman. Jadi dalam hubungan ini upacara Pitra Yadnya
lebih banyak mempergunakan Drwya Yadnya.

Ada beberapa upacara yang termasuk pelaksanaan Upacara Pitra Yadnya, yaitu Upacara
Penguburan Mayat, Upacara Ngaben.

a. Upacara Penguburan mayat

Upacara ini meliputi proses penguburan dari sejak upacara memandikan mayat, memendem
(menanam ) sampai pada upacara setelah mayat di tanam atau di pendem.

b. Upacara Ngaben

Upacara ini adalah penyelesaian terhadap jasmani orang yang telah meninggal. Upacara ngaben
disebut pula upacara pelebon atau Atiwa-tiwa dan hanya dapat dilakukan satu kali saja terhadap
seseorang yang meninggal. Tujuannya adalah untuk mengembalikan unsur-unsur jasmani kepada
asalnya yaitu Panca Maha Bhuta yang ada di Bhuana Agung. Jenis-jenis Upacara Ngaben adalah :

1. Sawa Wedana, adalah pembakaran yang secara langsung di mana mayat orang meninggal
langsung di bawa kekuburan ( setra ) untuk di bakar.
2. Asti Wedana, adalah suatu upacara yang di lakukan setelah selesai upacara pembakaran mayat,
kemudian tulang-tulang yang telah menjadi abu di hanyut ke laut atau ke sebuah sungai yang
bermuara ke laut.

3. Swasta Wedana, adalah suatu upacara pembakaran atas mayat yang tidak lagi dapat di
ketemukan, sehingga mayat tersebut dapat di wujudkan dengan kuasa (lalangan ), air dan lain-
lainnya.

4. Ngelungah, adalah upacara pembakaran mayat yang masih kanak-kanak atau yang belum
tanggal gigi.

5. Atma Wedana, adalah upacara pengembalian atma dari alam Pitara ke alam Hyang Widhi.
Upacara ini di sebut juga dengan “ Upacara Nyekah “, yang bertujuan untuk meningkatkan
kesucian dan kesempurnaan atma orang yang meninggal agar dapat kembali ke asalnya.

Secara umum makna ritual Ngaben atau kremasi adalah menghantarkan Sang Diri ke tempat
terbaik yang telah digariskan dan ditentukan sesuai hukum karmanya. Adapun rangkaian ritual
tersebut adalah sebagai berikut

1. Meminta Hari Baik ke Pendeta sebagai persiapan bagi keluarga yang akan melaksanakan ritual
tersebut

2. Memulai prosesi upacara :

- Nanceb/Ngruak Karang

Ritual ini merupakan tanda awal dimulainya rangkaian upakara Ngaben. Yang dimulai dengan
peresmian secara Niskala ( ngambe ) terhadap tempat untuk melaksanakan kegiatan yang dalam
bahasa bali disebut PETAK.

- Ngaturang Pengucak ke Gria

Sebagai penegasan kembali terhadap Pendeta yang akan menyelesaikan Ritual Ngaben.

- Maolahan

Dimulai dengan pemotongan babi yang akan digunakan untuk bahan sesaji yang diawali dengan
menghaturkan sesaji ke Kuburan sebagai permakluman bahwasanya kegiatan pemotongan akan
dimulai.
- Ngendagin

Ritual Ngendagin ini merupakan ritual permohonan ke hadapan Dewa Siwa selaku penguasa Pura
Dalem dalam kepercayaan Hindu untuk memohon Roh yang akan diupacarai yang selanjutnya
Sang Roh dipersonifikasikan dengan sesaji yang disebut “ Sanggah Urip “. Kegiatan memohon
serta menjemput Sang Roh ini di laksanakan di Pura Dalem dan kuburan. Yang selanjutnya Sang
Roh yang sudah dipersonifikasikan dengan Sanggah Urip di iringi oleh keluarga dan keturunan di
bawa ke tempat upacara ( PETAK ).

-Ngagah

Kegiatan ngagah (menggali ) dimulai pada pagi hari dengan menggali kuburan untuk kemudian
mengangkat tulang mayat yang akan di upacarai yang selanjutnya tulang – tulang tersebut
dibersihkan ditaruh diatas kain kafan putih dan ditempatkan pada Sanggah Tawulan (tempat tulang
di kuburan).

- Ngaskara

Ritual ini dimulai dengan kegiatan Ngening yaitu ritual membersihkan Roh yang sudah
dipersonifikasikan dalam wujud sesaji ke sumber mata air yang disucikan.

Selanjutnya diikuti dengan kegiatan Ngaskara itu sendiri yang berupa pemberian sesaji terhadap
Sang Roh dan diikuti dengan Pemberkahan terhadap cucu – cucu nya yang masih hidup.

- Pengutangan

Merupakan puncak dari upacara ngaben. Kegiatan ini dimulai dengan peresmian secara Niskala
terhadap Bade (kendaraan bagi Sang Roh). Tirta Toya Pangentas yang merupakan Surat Ijin Jalan
bagi Sang Roh selanjutnya di percikan, yang diikuti dengan penempatan Sang Roh menuju Bade.

Kegiatan yang paling dinanti yaitu perjalanan Bade menuju kuburan adalah setelahnya dan diikuti
dengan pembakaran terhadap Bade dan Lembu yang sebelumnya telah diisi tulang mayat.

- Pengiriman

Kegiatan pertama dalam ritual ini adalah memungut sisa tulang yang sudah dibakar bersama Bade
dan Lembu. Selanjutnya sisa tulang tersebut dirangkaikan dengan sesaji tertentu dan diupacarai
untuk Sang Roh dengan rangkaian sesaji tersebut yang selanjutnya disebut “ Puspa “. Kemudian
Puspa ini dihanyutkan di laut sebagai symbol penghantaran Sang Roh menuju tempat yang terbaik
sesuai hukum karmanya.

- Mapegat

Salam perpisahan untuk dapat melanjutkan perjalanan panjang di alam yang berbeda adalah makna
dari ritual ini, serta merupakan ritual terakhir dalam rangkaian upacara ngaben.

Anda mungkin juga menyukai