Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upacara tradisional merupakan suatu cara umat untuk menyatakan rasa
baktinya kepada leluhurnya, kepada para Rsi, para Dewa maupun terhadap
sesamanya. Nilai tradisional adalah konsep abstrak mengenai masalah dasar yang
amat penting dan berguna dalam kehidupan manusia yang tercermin dalam sikap
dan prilaku yang selalu berpegangan teguh pada adat dan istiadat. Nilai tradisional
adalah salah satu unsur kebudayaan yang dianggap penting dalam kehidupan
manusia. Nilai-nilai tradisional merupakan nilai-nilai masa lalu yang direproduksi
dan ditransformasikan untuk kepentingan masa kini dan masa depan. Upacara
tradisional mengandung nilai-nilai luhur budaya bangsa yang dapat merupakan
pola acuan kehidupan manusia di masyarakat. Nilai-nilai tradisional ini ada yang
cocok untuk pembangunan sedangkan yang kurang cocok untuk pembangunan,
secara perlahan akan ditinggalkan oleh pendukungnya.

Kecendrungan Umat Hindu di Bali dalam tata kehidupan yang


dilaksanakan adalah karma yoga dan Bhakti yoga, yang diwujudkan dengan
perbuatan yang baik dan rasa bakti yang tulus. Disisi lain Karma yoga dan Bhakti
yoga ini juga diwujudkan dalam pelaksanaan Panca Yadnya yakni lima korban
suci yaitu Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, Bhuta Yadnya, dan Manusa
Yadnya. Pelaksananaan panca yadnya ini diwujudkan dengan ritual/upakara yang
membakukan symbol-simbol tertentu terkait dengan kepercayaan terhadap Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dan mempunyai makna sebagai ungkapan rasa syukur.
Umat Hindu melaksanakan hubungan antara Manusia dengan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa serta manifestasinya untuk mencapai ketentraman jiwa dan kesucian
lahir batin, Seperti yang disebutkan dalam kitab suci Bhagawad Gita yang
berbunyi sebagai berikut:
“Tasmad asaktah satatam
Karyam Karma Samacara
Asakto hy acaran karma
Param apnoti purusah”

1
Artinya:
Dari itu laksanakanlah segala kerja
Sebagian kewajiban tanpa harap keuntugan
Sebab kerja tanpa keuntungan pribadi
Membawa orang ke kebahagiaan tertinggi.
(Bhagawad Gita III.19)

Seperti yang telah disebutkan dalam sloka bhagawad gita bahwa ketika
melaksanakan yadnya harus didasari dengan perasaan tulus ikhlas dan tanpa
pamrih. Salah satu Upacara yadnya yang merupakan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh umat Hindu adalah upacara Manusa yadnya. Upacara Manusa
yadnya yang akan dibahas dalam makalah ini merupakan upacara yadnya pertama
yang dilewati manusia yaitu upacara daur hidup. Upacara daur hidup ini
merupakan rangkaian upacara yang dilewati manusia dari dalam kandungan
hingga bayi berumur 1 bulan tujuh hari. Adapun urutan nama-nama upacara
tersebut ialah: Upacara Magedong-gedongan, Upacara bayi baru lahir, Upacara
mengubur ari-ari, Upacara kepus pungsed dan upacara 12 hari serta upacara 42
hari. Saat ini mungkin banyak masyarakat yang telah mengetahui rangkaian
upacara manusa yadnya yang akan dibahas di makalah ini, Namun belum banyak
masyarakat Hindu yang mengetahui detail dan fungsi dari upakara-upakara
tersebut. Sehingga makalah ini dibuat, dan penjelasan mengenai upakara-upakara
manusa Yadnya secara lebih rinci akan dibahas di bab-bab selanjutnya.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, Adapun masalah yang dapat dirumuskan dalam
makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan upacara bayi dalam kandungan (Upacara
Magedong-gedongan)?
2. Bagaimanakah pelaksanaan upacara bayi baru lahir dan upacara mengubur ari-
ari?
3. Bagaimanakah pelaksanaan upacara kepus pusar dan upacara 12 hari?
4. Bagaimanakah pelaksanaan upacara 42 hari (abulan pitung dina)?

2
1.3 Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan dari makalah ini
ialah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara bayi dalam kandungan (Upacara
Magedong-gedongan).
2. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara bayi baru lahir dan upacara mengubur
ari-ari.
3. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara kepus pusar dan upacara 12 hari.
4. Untuk mengetahui pelaksanaan upacara 42 hari (abulan pitung dina).

1.4 Manfaat Penulisan


Dari tujuan penulisan diatas, Adapun manfaat penulisan yang ingin dicapai
dari makalah ini ialah sebagai berikut:
1. Manfaat bagi penulis
Dengan adanya penulisan makalah ini, maka penulis dapat mengetahui
pengetahuan lebih mengenai pelaksanaan Upacara yadnya khususnya
pelaksanaan Upacara Manusa Yadnya yaitu upacara bayi dalam kandungan
hingga bayi berusia 1 bulan 7 hari secara rinci.
2. Manfaat bagi pembaca
Dengan adanya penulisan makalah ini, maka pembaca dapat mengetahui
bagaimana pelaksanaan yadnya yang baik dan sesuai dengan ajaran weda serta
pembaca dapat mengetahui pelaksanaan upacara manusa yadnya yaitu upacara
bayi dalam kandungan hingga bayi berusia 1 bulan 7 hari secara lebih rinci.
3. Manfaat bagi pemerintah
Dengan adanya penulisan makalah ini, maka pemerintah dapat menjalankan
perannya yaitu dengan mempertahankan adat dan tradisi yang ada di
masyarakat umat hindu di Bali dalam melaksanakan upacara Yadnya
khususnya Upacara manusa yadnya yaitu pada saat upacara bayi dalam
kandungan hingga bayi berusia 1 bulan 7 hari agar tetap ajeg karena budaya
ini merupakan asset bangsa yang berharga.

3
BAB II
PEMBAHASAN

Yadnya berasal dari bahasa sansekerta yaitu dari akar kata “Yaj” yang
artinya memuja/korban. Yadnya menurut kitab Bhagawad gita adalah suatu
perbuatan yang dilakukan dengan penuh keikhlasan dan kesadaran untuk
melaksanakan persembahan kepada Tuhan. Tujuan dari Yadnya ini adalah untuk
mengamalkan ajaran weda, untuk meningkatkan kwalitas diri, untuk penyucian,
dan sebagai bentuk rasa terimakasi kepada sang pencipta.
Macam-macam yadnya:
1. Dewa Yadnya
Adalah Korban Suci atau pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Para dewa dan seluruh PrabhawaNya.
2. Bhuta Yadnya
Adalah Korban suci yang ditujukan kepada para bhuta kala beserta kekuatan-
kekuatannya.
3. Pitra yadnya
Adalah Korban suci yang ditujukan kehadapan para leluhur orang tua yang
masih hidup maupun yang telah meninggal dan telah disthanakan.
4. Rsi Yadnya
Adalah Korban suci yang ditujukan kehadapan para brahmana atau para Rsi
atas jasa beliau dalam membina umat dan mengembangkan ajaran agama.
5. Manusa Yadnya
Adalah Korban suci untuk memelihara dan menyucikan lahir bhatin manusia
sejak terjadi pembuahan didalam kandungan sampai akhir hidupnya.

Dalam Penulisan makalah ini akan dijelaskan lebih detail mengenai


Pelaksanaan Upacara Manusa Yadnya yang merupakan upacara pembersihan dan
penyucian lahir bathin manusia selama hidupnya yang dipandang perlu agar
dalam hidupnya manusia tidak menempuh jalan sesat melainkan selalu dapat
berfikir, berbicara dan berbuat yang baik.

4
Upacara manusa yadnya yang akan dibahas yaitu pada Upacara bayi dalam
kandungan (Magedong-gedongan), Upacara bayi baru lahir dan upacara menanam
ari-ari, Upacara kepus puser dan Upacara 12 hari serta Upacara 42 hari.

2.1 Pelaksanaan Upacara bayi dalam kandungan (Upacara Magedong


gedongan)

2.1.1. Fungsi dan tata cara upacara

Upacara magedong-gedongan adalah upacara yang terutama ditujukan


untuk bayi yang ada didalam kandungan dan merupakan upacara pertama yang
dialami oleh si bayi sejak terciptanya sebagai manusia jasmani bayi dianggap
sempurna wujudnya ketika kandungan sudah berumur lebih dari lima bulan
(perhitungan Bali) atau 6 bulan kalender. Oleh karena itu upacara dilaksanakan
setelah masa ini dan sedapat mungkin sebelum bayi lahir.

Menurut kepercayaan umat hindu di Bali, janin yang ada didalam


kandungan diperlihara dan dijaga oleh Sang Hyang Catur Bhuana yang siap
dengan senjatanya berupa bajra, gada, mentang nagapasa dan cakra. Disamping
itu, kenyataannya janin perlu mendapat pemeliharaan dan penjagaan dari 4 unsur
yaitu:

1. Yeh nyom (Air ketuban) adalah merupakan cairan yang melindungi si


bayi terhadap sentuhan/getaran dari luar.
2. Lamad/Lamas adalah merupakan lemak yang membungkus jasmani bayi.
3. Darah adalah yang mengedarkan makanan, air dan lain lain sesuai dengan
fungsi darah.
4. Ari-ari adalah merupakan tempat melekatnya tali pusar, menyeraap
makanan dan lain lain

Upacara magedong-gedongan berfungsi sebagai penyucian terhadap bayi.


Secara lahiriah upacara ini bermaksud memperkuat kedudukan bayi dalam
kandungan agar tidak gugur (abortus), dan secara bathiniah agar sang bayi
berbathin kuat sehingga setelah lahir dan besar nanti menjadi orang berguna bagi
keluarga dan masyarakat. Demikian juga dimohonkan keselamatan atas diri si ibu

5
agar sehat dan lancar pada waktu melahirkan. Secara umum hal ini dilakukan
dengan memohon “penglukatan” yang khusus untuk orang hamil dari seorang
“sulinggih” (orang suci) terutama bertepatan dengan hari sabtu keliwon wuku
wayang (tumpek wayang) atau dipilih hari yang dianggap baik untuk maksud
tersebut.

2.1.2. Tata Cara Upacara

Tata cara upacara magedong-gedongan sesuai dengan tingkatan upakaranya yaitu


sebagai berikut:

a. Orang yang hamil diantar ke sungai atau pancuran bertongkat bumbung


(seruas bamboo yang sudah dibuang ruasnya) diikat dengan benang satu tukel
dan ujung benang dipegang oleh suaminya. Ada juga yang membuat
permandian sementara di rumah dan perjalanannya diwujudkan dengan
berjalan mengelilingi tempat tersebut.
b. Sesampainya di permandian terlebih dahulu menghaturkan banten
“Pengerisikan” diteruskan kepada orang hamil.
c. Selanjutnya orang yang hamil disuruh mandi, mencuci rambut dan selama
mandi tetap menggunakan pakaian.
d. Selesai mandi lalu berganti pakaian yang dilanjutkan dengan bersembahyang
yang diakhiri dengan mohon penglukatan.
e. Setelah selesai melukat permandian lalu kembali ke rumah (bertongkat
bumbung) seperti ketika berangkat, untuk “mebyakala” dan memprayascita di
halaman rumah atau di halaman merajan/sanggah sesuai dengan petunjuk
pimpinan upacara. Dilanjutkan dengan mejaya-jaya serta ngayab/natab banten
pagedongan dan tataban. Upacara ini dilaksanankan di kamar tidur orang yang
hamil dan “banten pagedongan” dibiarkan sampai lewat tiga hari sedangkan
yang lain boleh diambil pada hari itu juga.

6
Tata urutan pelaksanaan upakara pagedong-gedongan adalah sebagai berikut:
a. Kedua cabang kayu dadap diikatkan benang hitam ditancapkan pada pintu
gerbang arah benang agar menuju pintu.
b. Ibu hamil menjunjung tempat angket-angketan untuk boreh dan tangan kanan
membawa daun kembang yang berisi air, ikan sawah dan ikan tawar.
c. Suaminya yang lanang, tangan kiri memegang benang dan tangan kiri
memegang gelanggang tersebut tadi.
d. Selanjutnya sang suami berjalan serta memegang benang tersebut menusuk air
yang dijunjung oleh si ibu sampai ikan keluar dari air. Setelah itu sang suami
bersembahyang mohon agar selamat sampai dilahirkan nantinya. Dan juga
dihaturkan sesajen segehan untuk Bhuta kala agar tidak menggoda. Upakara
dilanjutkan dengan melukat dan natab dapetan.

2.1.3. Tempat dan Peserta Upacara


Apabila tingkatan upakaranya yang terkecil (nistaning nista) maka
upacaranya dilaksanakan di tempat sulinggih, kemudian sampai dirumah
dilanjutkan dengan bersembahyang dimerajan dan terakhir mohon
wangsuhpada/tirta (air suci).
Apabila tingkatan upakaranya lebih besar selain ditempat sulinggih yaitu
mohon penglukatan pada hari sabtu keliwon wuku wayang, juga dilaksanakan di
sungai yang besar atau pancuran dengan pembuangan air yang deras. Ada juga
dengan membuat ermandian darurat di rumah (ini bila letak sungai atau pancuran
jauh dari rumah). Dilnjutkan dengaan bersembahyang dimerajan serta mohon
wangsuh pada/tirta dan terakhir orang hamil (yang diupacarai) natab banten
pagedongan di kamar tidur. Ada pula di depan, sanggah kemulan (Betara Hyang
Guru).
Sesuai dengan tujuan dari upacara ini yaitu untuk memperkuat kedudukan
bayi agar tidak gugur (abortus) sehingga dapat lahir dengan selamat dan tumbuh
menjadi anak yang berguna. Demikian juga untuk si ibu agar lancar dan sehat pada
saat melahirkan, maka sebagai peserta upacara ini adalah ibu hamil dan suaminya
(sebagai pendamping istrinya).

7
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa di Bali masyarakat yang beragama
hindu, upacara Manusa Yadnya dilaksanakan dari dalam kandungan sampai
dewasa. Upakara/sesajen masing-masing upacara tersebut sangat bervariasi sesuai
dengan desa, kala, patra atau variasi tersebut oleh tukang sesajen sangat bervariasi
namun setelah dianalisis mempunyai makna dan tujuan yang sama untuk
keselamatan. Tujuan dari upacara pagedong-gedongan ini membersihkan dan
memohon keselamatan jiwa dan raga si bayi, agar kelak menjadi orang yang
berguna di masyarakat.

2.1.4. Variasi sesajen upacara magedong-gedongan


Variasi 1 sesajen upacara magedong-gedongan menurut pat rare:
 Abyakala
 Pagedongan
 Sesayut pengambian
 Canang daksina
Variasi 2 menurut tradisi di desa batubulan kabupaten Gianyar:
 Dapetan tumpeng pitu
 Pejati munggah di dewa hyang guru
 Pejati mangku (nuur mangku)
 Soroan
 Tebasan prayascita
 Sodaan sesuai dengan kondisi merajan/sanggah masing-masing.
Variasi 3 Untuk pebersihan (dikutip dari Buku upakara oleh Ida Ayu Surayin)
 Byakala
 Prayascita
 Sayut tututan
 Pengambian
 Peras
 Sodaan ketupat
 Dapetan dengan sesayut pramahayu tuwuh
 Segehan

8
Sesajen di atas mengandung makna antara lain: abyakala dan tebasan
prayascita untuk menghilangkan pengaruh dar sang Bhuta kala serta bencana yang
akan menimpa sang bayi maupun sang ibu. Secara keseluruhan banten memohon
keselamatan pada sang manumadi ke mercepada. Sang manumadi dimaksud sang
kamareka atau bayi dalam kandungan lahir kedunia ini. Banten daksina
merupakan buah dari yadnya. Daksina dipersembahkan pada pemangku
merupakan ucapan terimakasih.
Beberapa pantangan untuk tidak dilanggar oleh si calon ibu dan si calon
bapak dimuat dalam rontal Aji dharma kahuripan yang berbunyi sbb:
Ana muah brata ri sang kesyanamrat
Angwaweh mangan guling, lawan
Sabda kasar muan tan mangan
Surudan, mangda ayu sang mawresti
Tan dadya tungkas, mangundanghyun sang patni.
Artinya:
Pantangan (brata) sang sedang mengandung antara lain jangan makan daging
guling, berkata-kata keras dan kasar-kasar.

2.2. Pelaksanaan Upacara Bayi Baru Lahir dan Upacara Menanam Ari-ari
2.2.1 Upacara Bayi Baru Lahir (Anak Ceria Mara Lekad)
2.2.1.1 Fungsi dan Tata Upacara
Upacara ini dilakukan pada saat bayi baru lahir dengan selamat ke mayapada
ini. Upacara ini disebut juga Mapag rare. Mapag artinya menyambut dengan
rasa tulus dan gembira, sedangkan Rare artinya bayi yang telah lama
dikandung dalam perut si ibu.
Upacara mapag rare ini tidak mempunya arti yang khusus kecuali hanya
sebagai rasa gembira atas telah lahirnya si bayi dengan selamat dan sebagai
rasa syukur kepada Tuhan yang telah menganugrahkan seorang anak dan
sekaligus memohon agar bayi yang baru lahir tersebut mendapat dirgayusa
(umur panjang).
Mengenai tata cara upacara yaitu semua sarana upacara (banten)
ditempatkan di samping tempat tidur si bayi. Semua banten tersebut

9
dihaturkan kepada Sang Dumadi (yang menitis kembali). Hal ini ditata oleh
kepercayaan adanya reinkarnasi/penitisan kembali dalam kehidupan ini.

2.2.1.2 Tempat/Waktu Pemimpin Upacara


Seperti telah diuraikan bahwa upacar ini hanya sebagai ungkapan rasa
gembira dan syukur atas kelahiran si bayi dengan selamat, maka upakara
(sarana upacaranya) juga sangat sederhana. Bagi setiap orang yang
beragama Hindu di Bali setiap 6 bulan sekali (210 hari) upacara ini hanya
dipimpin oleh orang yang paling tua dalam ke;uarga misalnya kakek dan
nenek si bayi atau kalau si bayi punya, bisa langsung oleh orang tua si bayi.
Mengenai tempat upacaranya sudah tentu dilaksanakan di rumah tempat
tinggal si bayi yaitu di rumah dimana si bayi dan ornag tua si bayi tinggal
setelah pulang dari tempat melahirkan atau rumah yang dituju setelah pulang
dari melahirkna, misalnya orang tua si bayi sudah menempati rumah
sendiri/pisah dengan orang tuanya tetapi oleh karena si bayi merupakan cucu
pertama bagi kakek dan neneknya maka bisa saja si anak langsung diajak ke
rumah kakek-neneknya terlebih dahulu selama beberapa hari. Maka upacara
mapag rare inipun dilaksanakan di rumah kakek neneknya tersebut. Namun
yang jelas sudah tentu dimohonkan (nunas Tirtha) di Sanggah Kemulan
(tempat sembahyang keluarga) dahulu untuk diberikan atau dipercikkan
kepada si bayi dan kedua orang tuanya untuk mohon anugrah dan
perlindungan-Nya.

2.2.2 Upacara Mengubur Ari-Ari (Nanem Ari-Ari)


Seperti telah diuraikan di atas bahwa “ari-ari” adalah salah satu dari empat
unsur yang menjaga dan memelihara si bayi sejak dalam kandungan yang disebut
juga “catur sanak”. Ari-ari merupakan tempat penyaringan sari-sari makanan yang
diserap oleh si bayi dari ibunya.
Setelah si bayi lahir ari-ari tersebut dipotong dan hanya sebagan kecil,
sedikit yang masih melekat pada pusarnya dan baru lepas setelah beberapa hari
(berbeda masing-masing Bayi), kemudia ari-ari yang telah dipotong dari tali pusar
tersebut menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat Hindu di Bali upacara

10
mengubur ari-ari seperti ini di Bali lebih lumbrah disebut upacara namem ari-ari.
Upacara namem ari-ari, dalam upacara namem ari-ari selain menggunakan sarana
upacara juga dipanjatkan suatu doa dengan mantra-mantra oleh yang
memimpin/yang melakukan upacara tersebut. Salah satu bunyi mantra yang sering
diucapkan yaitu:
“Om sang ibu Pertiwi rumaga bayu, rumaga amertha sanjiwani, angemerthaning
sarwa tumuwuh si bayi…(nama si bayi) mangdene dirgayusa nutug tuwuh”.
Artinya:
Atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) serta sang Ibu
Pertiwi (kekuatan Tuhan yang berada di Pertiwi) yang merupakan sumber
tenaga/energi, yang menghidupkan dan memberikan sumber maknan bagi seluruh
mahluk hidup, kami mohon agar si bayi mendapatkan usia yang panjang sampai
usia tua.
Sesuai dengan isi doa/mantra yang digunakan dalam upacara tersebut,
maka fungsi dari upacar tersebut adalah untuk mengembalikan ari-ari tersebut
kepada alam/Ibu Pertiwi setelah selama si bayi dalam kandungan dan telah selesai
melaksanakan tugasnya untuk menjaga si bayi dan setelah menyatu kan kembali
kepada alam akan tetap menjaga si bayi dalam manifestasi-Nya yang lain menurut
keyakinan masyarakat Hindu di Bali. Ari-ari tersebut setalah pisah dari pusar si
bayi masih tetap ada namun dengan nama atau manifestasi yang lain. Oleh karena
itulah maka ari-ari tersebut sangat dikeramatkan dan dijaga betul-betul selama
belum dikubur dan setelah dikuburkan akan tetap dijaga. Selama tiga hati
dinyalakan lampu dan untuk menjaga ari-ari dari gangguan binatang atau
kekuatan jahat lainnya. Di atas diisi batu dan ditanami pohon pemalam berduri
dan ditutup dengan keranjang.

2.2.2.1 Tatacara Upacara Nanem Ari-ari


Terlebih dahulu Ari-ari dibersihkan dengan airdan sabun/seperti
orang mandi, kemudian dibilas dengan air bercampur bunga dan minyak
wangi (yeh Kumkuman), lalu dimasukkanke dalam sebuah kelapa yang telah
dibelah dua, airnya dibuang, kelapa bagian bawah ditulisi “askara”
kemudian diisi juga sirih lekesan yaitu berupa daun sirih yang dibentuk

11
sedemikian rupa dengan segala perlengkapannya, juga beberapa jenis duri
(duri mawar, duri terung dan lain-lain) lalu dibungkus dengan kain putih,
diisi ijuk dan kemudian dikubur sebagai berikut.
Bila bayi laki-laki dikubur di sebelah kanan pintu masuk bangunan
tempat tidur si bayi dan bila perempuan di sebelah kiri (dilihat dalam
bangunan) di halaman meten (bale daja).
Setalah dikubur sesajen sesuai dengan petunjuk sulinggih atau sesuai
dengan kemampuan.

2.2.2.2 Tempat, Waktu dan Pemimpin Upacara


Upacara namem ari-ari biasanya dilaksanakan di rumah tempat
tinggal si bayi. Walaupun ada suatu tradisi lain seperti ari-ari yang
dihanyutkan ke laut/sungai dan juga ada yang dibakar kemudian abunya
ditaburkan keudaya. Namun menurut tradisi masyarakat Hindu khususnya di
Bali pada umumnya ari-ari tersebut ditanam atau dikubur di rumah tempat
tinggal si bayi. Apabila orang tua si bayi merantau atau menempati rumah
sewaan maka ari-ari tersebut bisa ditanam di rumah asalnya (tempat lahir
orang tuanya). Kemudian sebagai simbolis untuk dibawa ke rumah tempat
tinggal si bayi dengan tujuan si bayi tetap mendapat penjagaan,
perlindungan dari ari-ari tersebut.
Pada umumnya upacara nanem ari-ari dilakukan dan dipimpin oleh
orang tua si bayi (ayahnya) dan orang yang dituakan dalam keluarga. Atau
lebih sering dilakukan orang tua (ayah si bayi) dibantu oleh seorang sanak
saudara dengan sebelumnya mohon petunjuk kepada orang tua yang
berpengalaman dalam hal tersebut, yang biasanya sudah dilakukan jauh hari
sebelumnya termasuk juga menyiapkan saeana yang diperlukan dalam
upacara tersebut.

2.2.2.3 Perlengkapan, variasi upakara


Arti simbol, sistem nilai, upacara bayi baru lahir. Seperti dijelaskan
diatas umur kandungan vagi bayi rata-rata berumur 9-10 bulan. Sang
Kamereka dengan kesakitian Dewa Siwa, melahirkan Bhagamandhala. Pada

12
saat bayi akan lahir diikuti oleh Nyamanaecatur/Sandarab empat yang terdir
dari air nyom, air ketuban, banyah (lendir), rah ( darah ) dan lamas (Vermis
Caceosa). Nyama catur tersebut yang memelihara sang bayi dari dalam
kandungan samai lahir. Masing-masing catur sanak tersebut mempunyai
tugas seperti di bawah ini:
a. Yeh nyom mempunyai tugas melindungi bayi dari getaran dalam
maupun luar, rupanya beberbentuk cairan atau disebut juga air ketuban.
Setelah pecah air ketuban si Bayi lahir, diikuti oleh ari-ari.
b. Taman/lamad berupa lemak yang membungkus dan melindungi badan si
bayi
c. Darah/getih uang berfungsi mengedarkan sari makanan dari Ibu ke bayi
melalui Talin pusar.
d. Ari-ari tempat melekatnya lali pusar yang berfungsi menyerap makanan
Maka dari itu ari-ari memegang peranan penting bagi kelangsungan
hidup si bayi dalam kandungan. Pada saat bayi lahir, bersama ari-ari dan
keempat catur sanak tersebut. Ari-ari mendapat perlakuan yang khusus
dan harus dibersihkan setelah kamir. Setelah Bayi dirawat, dan ari-arinya
juga di rawat dan dibuatlah upakaranya yang sederhana.
Cara merawat /nanem ari-ari sebagai berikut:
Ari-ari dibesihkan dengan tangan agar bayu biasa mengambil dengan tangan
kanan.
Alat-alat yang dipersiapkan:
 Nare /tempat yang terbuat dari tanah
 Kelapa dibelah 2 airnya dibuang
 Ijuk
 Kain putih
 Daun pandan wong
 Sanggah cukcuk yang dihian bunga merah
 Tabunan/ sekam agar setiap malam menyala.
Setelah alat-alat tersebut disiapkan dengan perlengkapan upakara
seperlunya, barulah dilanjutkan membersihkan air-ari dengan tatacara yang
bervariasi.

13
Namun pada tulisan ini yang biasa tradisikan oleh masyarakat Bali
khusus juga di Batubulan adalah sebagai berikut:
Ari ari dimasukkan ke dalam kelapa yang sudah dibelah dan airnya
dibuang. Belahan kelapa sebelah atas ditulis dengan rerajahan Ongkara.
Kelapa belahan dengan rerejahan/tulisan angkara, ahkara dan
dimasukkan ke dalam kelapa tersebut: duri-duri (duri mawar), anget-
angetan, sirih lekesan, wong-wongan dan ari-ari tersebut dimasukkan
dengan ijuk dan kain kasa/kain putih. Barulah ari-ari tersebut ditanam di
sebelah depan Bale daja, kalau bayi laki-laki ditanam disebelah kanan,
sedangkan yang wanita ditanam di sebelah kiri. Mantra pada saat nanem ari-
ari adalah sebagai berikut.
“Ong sang Ibu Pertiwi Rumaga Bayu, Rumaga Amerta Sanjiwani,
Angemerting Sarwa Tuwumuh, Si Anu mangda Dirgayusa Nutug Tuwuh”
Mantra untuk menanam ari-ari, sangat bervarisai menurut lontar
yang digunakan dan tradisi yang berlaku. Semua dari upakara di atas, pada
hakekatnya mengandung unsur pembersihan meliputi banten abyakala atau
biokaonan dan mohon keselamatan, baik untuk yang numadi (penjelmaan
kembali) atau pada Ibunya maupun ayah sebagai satu kesatuan. Menurut
ajaran Hindu dalam buku Silakrama menyebutkan sebagai berikit :
“adbhir gatrani sudhyanti manah satyena sudhayanti widyatapobhayam
bhrtatmabuddhir jnanena sudyanthi”
Artinya :
Tubuh dibersihkan dengan air
Pikiran dibersihkan dengan kejujuran
Roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa
Akal dibersihkan dengan kebijaksanaan
Makna dari sloka di atas sangat luhur, dimana kita sebagai umut
Hindu khususnya, dan sebagai manusia pada umumnya harus berlaku jujur,
bijaksana dan tetap punya pengetahuan yang dilandasi oleh Dharma
sehingga pengetahuan yang dimiliki tidak disalahgunakan. Menurut tradisi
dan kepercayaan badan maupun jiwa dapat dibersihakan dengan
upakara/sesajen abyakala, prayascita, banten tataban dan lain-lain. Sangat

14
berfungsi sebagai sarana pembersihan terhadap bhuana alit dan bhuana
agung khusus bagi orang yang diupacarai dan lingkungannya. Menuurt
kepercayaan di Bali ari-ari yang selanjutnya ikut manjaga bayi secara
niskala. Setelah ari-ari ditanam di atasnya diisi batu pipih dan pandan wong
dan juga tabumam/api dalam sekam, dihidupkan setiap malam. Di samping
itu selama 12 hari Sang Ayah Mesimbuh-simbuh/mesembur (bawang putih
+ jangu) Menurut kepercayaan kegiatan mesimbuh-simbuh sampai bayi
berumur 12 hari mengandung makna, agar bayi tersebut selamat dan tidak
digoda oleh kekuatan Black Magic. Di samping itu ada pula masyarakat
setiap sore membakara rambut di depan sanggah Nyamane/tempat ari-ari
ditanam. Tujuan agar bayi tersebut selamat terhndar dari kekuatan gaib yang
dapat mengganggu si bayi.

Variasi upakara pada saat bayi lahir yang biasa dibuatkan dapetan
tumpeng lima. Variasi yang kedua hanya dibuat tumpeng bungkul ditaruh di
dalam wakul (Sebuah bakul kecil) yang diisi serobong daksina, biasa, diisi
raka-raka/ buah-buahan secukupnya; kacang + saur + gerang, garam dan
lain-lain di wadah ituk-ituk atau celemik jajan secukupnya. Sampian
tumpeng atau boleh sampian nagasari/ juga disebut sampian kembang yang
dibuat janur.
Variasi uapakara bayi baru lahir yang menurut versi Ibu Ida Ayu
Surayani sebagai :
 Nasi muncuk kuskusan
 Buah-buah/raka-raka
 Kacang-kacangan
 Canang sari, canang genten
 Sebuah penyeneng
Upakara banten di atas tergolong yang kecil, boleh juga dibuatkan
yang lebih besar sedikit ditambah jerimpen/wakul diisi tumpeng bungkul
(satu tumpeng) raka dan rerasen, samping gaet. Variasi banten ini dianggap
sudah besar.

15
Variasi upakara lainnya dengan menghanturkan segehan di bawah
tempat tidur bayi dan di tempat ari – ari. Segehan 4 kepel dengan 4 warna
yaitu : selem (hitam), barak (merah), kuning (kuning), putih (putih).
Semua upakara di atas mengandung makna, bertujuan, agar sane
manumadi/yang menjelma dapat dirgayusa/selamat. Numadi adalah refleksi
dari konsep ada kepercayaan reinkarnasi/merintis kembali ke mercapada
bagi umat Hindu, hal ini masih dipakai untuk menata kehidupan masyarakat.
Di beberapa desa Bali, beberapa tradisi masih hidup sampai sekarang, bahwa
ari-ari itu tetap dipelihara dengan baik, dianggap nyama dari rare. Hal
tersebut dapat dibuktkan dengan menghanturkan sesajen berupa canang
raka, rarapan dan sesegehan setiap hari sampai bayi berumur bulan pitung
dina/satu bulan tujuh hari. Kadang juga terus-menerus sanggah Nak cenik
(diatas tanam ari-ari) selalu dihanturkan sajen canang segehan. Segehan ini
bervarasi ada segehan panca warna dengan warna merah, kuning, putih,
brumbun, ada segehan warna putih. Menurut kanda pat sari warna empat
yaitu barak, putih, kuning, dan selem. Di samping itu pula setiap ada upacara
dewa yajna, manusa yajna, bhuta yajna. Ari-ari tersebut selalu mendapat
perhatian dengan mengahuntarkan canang dan segehan setiap hari sehabis
makan, dihaturkan sesajen nasi beserta lauk pauk disebut banten saiban, atau
upakara disebut yajna sesa. Makna menghanturkan terima kasih pada Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, telah melimpahkan, anugrahnya berupa makanan
dan juga agar gumatap-peranan ari-ari cukup penting untuk menjaga
keselamatan Sang Bayi. Sehingga perhatian umat begitu besar pada Ari-ari
yang diangggap catur sanak, untuk membantu Si Bayi dalam kehidupan
telah selamat.

2.3. Pelaksanaan Upacara Kepus Puser dan Upacara 12 hari


2.3.1. Upacara Kepus Puser

Pada waktu bayi masih berada dalam kandungan, maka menyerap zat-zat
makanan yang diperlukan untuk pertumbuhannya adalah lewat tali pusat yang
merupakan saluran penghubung puser si bayi dengan ari-ari sebagai tempat
penyaringaan makanan. Setelah bayi lahir, tali pusat itu kemudian dipotong,

16
namun untuk beberapa hari (lamanya berbeda pada masing-masing bayi) sebagian
tali pusat masih melekat pada pusernya, yang dimaksud untuk melindungi si bayi
terhadap gangguan pada perutnya, Sehingga ketika tali pusat lepas dari puser sang
bayi akan dibuatkan upacara yang disebut Upacara kepus puser. Upacara kepus
puser sering juga disebut dengan “Mapenelahan” atau upacara penelahan, Bayi
dalam kandungannya dijaga oleh empat unsure yang disebut catur sanak yaitu yeh
nyom, lamad/lamas/lemak, darah dan ari-ari. Tiga diantaranya yaitu yeh nyom,
lamad, dan darah sudah lepas dari bayi pada saat si bayi dilahirkan, maka dengan
lepasnya tali pusat yang merupakan bagian dari ari-ari maka habislah bagian-
bagian dari catur sanak yang melekat pada bayi. Upacara kepus puser
dilaksanakan pada dasarnya adalah untuk membersihkan jiwa dan raga si bayi.
Dengan lepasnya tali pusat maka secara jasmaniah si bayi sudah bersih dan secara
rohaniah si bayi sudah bebas dari pengaruh catur sanak.

TATA UPACARA

Bagi puser bayi yang lepas dibungkus dengan secarik kain yang baru lalu
dimasukkan kedalam sebuah ketupat burung (tipat kukur) disertai dengan anget-
anget (rempah-rempah), kemudian digantungkan ditempat tidur bayi. Di atas
tempat tidur bayi dibuatkan kemara (sebuah pelangkiran) sebagai tempat
pemujaan kepada Sang Hyang Kumara/Sang Hyang Panca. Di pelangkiran
dihaturkan banten kumara untuk memohon agar si bayi dijaga dari segala macam
gangguan juga ditempat ari-ari si bayi dihaturkan banten ari-ari.

Selanjutnya si ibu menghaturkan banten labaan ditempat seperti dapur,


merajan dan apabila ada si bayi akan natab banten dapetan sebagai rasa syukur
dan terimakasih kepada tuhan karena telah dianugerahi seorang anak dengan
memohon agar si bayi tetap sehat dan panjang umur.

17
Perlengkapan dan variasi upakara/Arti simbol

Upacara kepus puser dilaksanakan ketika tali pusat sudah kering dan
terlepas dari puser sang bayi. Proses yang dilakukan pada upacara ini ialah sbb:

Puser yang telah lepas tersebut dibungkus dengan secarik kain yang diberi anget-
angetan (mesui, cengkeh, katik) dengan tujuan agar pusar cepat kering yang
kemudian setelah dibungkus akan diletakkan dalam ketipat kukur yang
ditempatkan di teben tempat tidur bayi. Upakacara kepus puser bervariasi
tergantung desa, kala, patra masing-masing.

Variasi 1 Upakara kepus pungsed ialah sbb:

 Canang genten
 Banten penelahan
 Banten kumara
 Banten labahan si ibu
 Banten ari-ari
 Banten tataban

2.3.2. Upacara 12 Hari

Upacara ngelepas hawon (upacara roras lemeng. Berfungsi untuk melukat,


membersihkan bayi dari kotoran baik dari sekala maupun niskala. Upacara yang
dilaksanakan sangat sederhana yaitu membuatkan si bayi penglukatan, membuat
banten kumara, banten di ari-ari (sanggahnya) dan juga membuat banten tataban
yang ditujukan untuk sang numadi.
Tempat upacara di rumah masing-masing dan sesajen juga ditempatkan
pada tempatnya seperti banten kumara ditaruh di pelangkiran kumara. Banten
untuk sang numadi yang ditatab sang bayi ditaruh di tempat tidur. Banten nunas
tirta penglukatan di dapur ada pula yang nunas tirta di semeri sumur. Banten
penglukatan dihaturkan pula di Betara Hyang Guru. Banten nunas tirta sangat
bervariasi, bias dengan canang saja diisi sesari dengan air mewadah gelas dengan
doa sesuai kemampuan sendiri. Selanjutnya banten ini dihaturkan oleh siapa saja

18
didalam keluarga selain ibu dan bapaknya yang dianggap masih leteh. Bayi
tersebut dilukat baru kemudain dipercikan tirta.

2.4. Upacara 42 Hari (Abulan Pitung Dina)

Bayi dalam pertumbuhan dan keselamatan dalam kandungan sangat


dibantu oleh empat unsure yang disebut dengan catur sanak. Sehingga sering
disebut bahwa catur sanak (darah,lamad,yeh nyom dan ari-ari) merupakan nyama
bajang. Setelah bayi berumur satu bulan tujuh hari sudah dianggap bahwa
waktunya untuk mengembalikan si nyama bajang ini ke tempat asalnya karena
dianggap sudah tidak mempunyai tugas lagi bahkan kadang-kadang sering
mengganggu si bayi. Sebagai penggantinya adalah dua ekor ayam yaitu ayam
jantan dan ayam betina yang dinamai pitik. Pada umumnya pitik ini tidak boleh
disembelih demikian pula anaknya yang pertama tidak boleh dipakai sesajen atau
disembelih karena dianggap sebagai pengasuh si bayi.

Perlengkapan dan variasi upakara

Upacara satu bulan tujuh hari sering juga disebut dengan upacara
mecolongan, variasi upakara yang digunakan pada upakara ini adalah:

Variasi 1

Upakara yang ditujukan kepada si ibu terdiri dari:

 Byakala
 Prayascita dilengkapi dengan tirtha penglukatan dan tirtha pebersihan.

Variasi 2

Yang ditujukan untuk si ibu terdiri dari: dapetan sesuai dengan kemampuan. Dan
banten yang ditujukan untuk sang bayi terdiri dari:

 Banten pesmongan
 Banten kumara
 Banten jejanganan
 Banten pecolongan didapur, permandian, di sanggah/kemulan

19
 Banten tataban seadanya.

Variasi 3 Banten tataban

Banten yang ditaruh diluanan bale disebut dengan banten pregembal. Pada
umumnya terdiri dari:

1. Tanem tuwuh 1 buah


2. Daksina 5 buah
3. Suci gede 2 buah
4. Teteg 1 buah
5. Pregembal 1 buah
6. Sayut pangelebar
7. Perangkat 2 buah
8. Peras ajuman 1
9. Lampad
10. Peras ajengan
11. Gebogan 1
12. Tumpeng 22 buah
13. Sayut 5 buah
14. Suyuk betari
15. Longkat nasi
16. Tebasa 5 buah
17. Jerimpen 2 buah
18. Saji 1 buah
19. Sesampian: sampian pengambian 4, sampian langsang, sampian sodaan 2,
sampian jerimpen 3, sampian pregembal 1, Terag 1, peras 2 buah.
Banten yang ditaruh teben bale, Pada umumnya terdiri dari:
 Suci sibakan
 Soroan 5 buah
 Tumpeng 11 buah
 Penyisikan
 Sok penjagal
 Pengayak

20
 Sambutan
 Jejanganan
 Suci gede1 buah dan suci cenik 1 buah
 Lampad suci

Variasi banten menurut Kanda pat rare:

Tugtug akambuh setelah bayi berusia 42 hari bertujuan untuk mengadakan


pembersihan lahir dan batin bagi si ibu dan anak. Bantennya berupa: dapetan,
sodahan, jejangan, amu-amuan, cuci laksana, dan banten kumara.

Setelah dianalisis makna dari banten tersebut mengandung makna yang


sama, awal dari upakara mebyakala, prayascita, natab, metirtha yang mengandung
makna pembersihan secara sekala dan niskala dan mohon keselamatan agar si bayi
dan orang tuanya terhindar dari gangguan sekala dan niskala. Disisi lain
merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada ane numadi maupun kehadapan
Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah memberikan keselamatan pada umatnya.

21
BAB III
PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

3.1.1
Upacara megedong – gedongan sampai dengan upacara satu bulan tujuh hari
merupakan upacara tradisioal yang masih ditadisika oleh umat hindhu yang ada di
bali khususnya umat hindu bali , dalam melaksanakan upacara keagamaan lebihdi
tonjolkan sifat gugon tuwon. Dalam proses dinamika kebudayaan dan masyarakat
sifat gugon tuwon tersebut mempunyai dampak yang kurang baik dalam
perkembangan agama akan muncullah kefanatikan dalam melaksanakan/membuat
upakara. Hal tersebut juga akan menghambat kemjauan khusus wanita di pedesaan
, karena habis waktunya membuat upakara

3.1.2
“Ari-ari” adalah salah satu dari empat unsur yang menjaga dan memelihara si
bayi sejak dalam kandungan yang disebut juga “catur sanak”. Ari-ari merupakan
tempat penyaringan sari-sari makanan yang diserap oleh si bayi dari ibunya.
Setelah si bayi lahir ari-ari tersebut dipotong dan hanya sebagan kecil, sedikit
yang masih melekat pada pusarnya dan baru lepas setelah beberapa hari (berbeda
masing-masing Bayi), kemudia ari-ari yang telah dipotong dari tali pusar tersebut
menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat Hindu di Bali upacara mengubur ari-
ari seperti ini di Bali lebih lumbrah disebut upacara namem ari-ari.

3.1.3
Pada waktu bayi masih berada dalam kandungan, maka menyerap zat-zat
makanan yang diperlukan untuk pertumbuhannya adalah lewat tali pusat yang
merupakan saluran penghubung puser si bayi dengan ari-ari sebagai tempat
penyaringaan makanan. Setelah bayi lahir, tali pusat itu kemudian dipotong,
namun untuk beberapa hari (lamanya berbeda pada masing-masing bayi) sebagian
tali pusat masih melekat pada pusernya, yang dimaksud untuk melindungi si bayi
terhadap gangguan pada perutnya, Sehingga ketika tali pusat lepas dari puser sang

22
bayi akan dibuatkan upacara yang disebut Upacara kepus puser. Upacara kepus
puser sering juga disebut dengan “Mapenelahan” atau upacara penelahan, Bayi
dalam kandungannya dijaga oleh empat unsure yang disebut catur sanak yaitu yeh
nyom, lamad/lamas/lemak, darah dan ari-ari. Tiga diantaranya yaitu yeh nyom,
lamad, dan darah sudah lepas dari bayi pada saat si bayi dilahirkan, maka dengan
lepasnya tali pusat yang merupakan bagian dari ari-ari maka habislah bagian-
bagian dari catur sanak yang melekat pada bayi. Upacara kepus puser
dilaksanakan pada dasarnya adalah untuk membersihkan jiwa dan raga si bayi.
Dengan lepasnya tali pusat maka secara jasmaniah si bayi sudah bersih dan secara
rohaniah si bayi sudah bebas dari pengaruh catur sanak. Upacara ngelepas hawon
(upacara roras lemeng. Berfungsi untuk melukat, membersihkan bayi dari kotoran
baik dari sekala maupun niskala. Upacara yang dilaksanakan sangat sederhana
yaitu membuatkan si bayi penglukatan, membuat banten kumara, banten di ari-ari
(sanggahnya) dan juga membuat banten tataban yang ditujukan untuk sang
numadi.

3.1.4

Bayi dalam pertumbuhan dan keselamatan dalam kandungan sangat dibantu oleh
empat unsure yang disebut dengan catur sanak. Sehingga sering disebut bahwa
catur sanak (darah,lamad,yeh nyom dan ari-ari) merupakan nyama bajang. Setelah
bayi berumur satu bulan tujuh hari sudah dianggap bahwa waktunya untuk
mengembalikan si nyama bajang ini ke tempat asalnya karena dianggap sudah
tidak mempunyai tugas lagi bahkan kadang-kadang sering mengganggu si bayi.
Sebagai penggantinya adalah dua ekor ayam yaitu ayam jantan dan ayam betina
yang dinamai pitik. Pada umumnya pitik ini tidak boleh disembelih demikian pula
anaknya yang pertama tidak boleh dipakai sesajen atau disembelih karena
dianggap sebagai pengasuh si bayi.

23
3.2. SARAN
3.2.1. Saran bagi Penulis
Penulis berharap dengan adanya penulisan makalah ini akan dapat menambah
wawasan penulis sendiri mengenai pelaksanaan yadnya khususnya Manusa
yadnya yaitu pada upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berumur 42 hari.
Dan kedepannya semoga penulis dapat membuat makalah sejenis mengenai
Upacara yadnya yang lain dengan pemaparan yang lebih detail dan informatif
lagi.
3.2.2. Saran Bagi Pembaca
Penulis berharap setelah pembaca membaca makalah ini akan mendapatkan
informasi serta wawasan lebih mengenai pelaksanaan yadnya khususnya Manusa
yadnya yaitu pada upacara bayi dalam kandungan hingga bayi berumur 42 hari.
Dan semoga kedepannya pembaca yang beragama Hindu dapat lebih menghargai
lagi pelaksanaan yadnya secara tulus ikhlas sehingga dapat melakukan yadnya
yang benar sesuai dengan ajaran Weda.
3.2.3. Saran Bagi Pemerintah
Penulis berharap dengan adanya penulisan makalah ini akan lebih mengingatkan
pemerintah untuk melaksanakan fungsinya yaitu untuk tetap menjaga adat dan
tradisi yang ada di Indonesia khususnya yang ada di Bali. Salah satunya yaitu
pelaksanaan Upacara Yadnya pada Manusa yadnya seperti bayi dalam kandungan
hingga bayi berumur 42 hari yang merupaan sebuah kebudayaan umat Hindu di
Bali agar lebih dihargai dan dilaksanakan dengan baik sesuai petunjuk Weda.

24
DAFTAR PUSTAKA
Oka Supharta, Gusti Ngurah. 1997. Panca Yajna. Proyek Sasana Budaya Bali
Pemda Tk I Bali. 1994. Catur Yajna. Denpasar: Upada Sastra.
S.Swarsi Geriya.Dra. 2004. Upacara Bayi Dalam Kandungan Sampai Bayi Umur 1 Bula
7 Hari. Paramita. Paramita Surabaya

25

Anda mungkin juga menyukai