A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Istilah kejang demam digunakan untuk bangkitan kejang yg timbul akibat kenaikan suhu tubuh.
“Kejang demam ialah bangkitan kejang yg terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal 38°C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Hasan, 1995).
Banyak pernyataan yang dikemukakan mengenai kejang demam, salah satu diantaranya adalah :
“Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 3 bulan
sampai 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial
atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4
minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dapat dibedakan dengan epilepsi, yaitu ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam (Mansjoer, 2000).
2. Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin (1997), bahwa system saraf terdiri dari system saraf pusat
(sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak) serta
medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system) yang
terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis, system saraf
gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan
parasymphatis (sistem saraf parasimpatis).
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang
disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko benturan
atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan piamater.
Sistem saraf pusat (Central Nervous System) terdiri dari :
1. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di mana
cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari cerebrum
ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat penglihatan /
visual, pusat pengecap dan pembau serta pusat pemikiran.
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di
corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri
inilah yang disebut sebagai ganglia basalis.
Yang termasuk pada ganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung sampai
ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls sensorik.
Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang
masing-masing mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus merupakan daerah
penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan
bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya. Bila terjadi gangguan pada
tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus
berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang mengatur keseimbangan suhu tubuh
terganggu akibat adanya proses-proses patologik ekstrakranium.
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons varoli) ia
berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis ini
terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex cerebri.
1. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior. Terletak di
superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau batang otak dan
mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1) N. I : Nervus Olfaktorius
2) N. II : Nervus Optikus
3) N. III : Nervus Okulamotorius
4) N. IV : Nervus Troklearis
5) N. V : Nervus Trigeminus
6) N. VI : Nervus Abducen
7) N. VII : Nervus Fasialis
8) N. VIII : Nervus Akustikus
9) N. IX : Nervus Glossofaringeus
10) N. X : Nervus Vagus
11) N. XI : Nervus Accesorius
12) N. XII : Nervus Hipoglosus.
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf otonom
dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf otonom ada
2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis dan
parasimpatis.
Yang termasuk dalam system saraf simpatis adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan seterusnya
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut trunkus symphatis
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari ganglion kolateral.
System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :
Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis:
1. Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak
2. Serabut saraf yang dicabangkan dari medulla spinalis
3. Etiologi
Penyebab Febrile Convulsion hingga kini belum diketahui dengan Pasti, demam sering disebabkan
oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran
kemih. Kejang tidak selalu tinbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu
tinggi dapat menyebabkan kejang (Mansjoer, 2000).
Kejang dapat terjadi pada setiap orang yang mengalami hipoksemia (penurunan oksigen dalam
darah) berat, hipoglikemia, asodemia, alkalemia, dehidrasi, intoksikasi air, atau demam tinggi.
Kejang yang disebabkan oleh gangguan metabolik bersifat reversibel apabila stimulus pencetusnya
dihilangkan (Corwin, 2001).
4. Patofisiologi
Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dapat
dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan ion lain, kecuali
ion clorida. Akibatnya konsentrasi natrium menurun sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan
sebaliknya.
Dengan perbedaan jenis konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dan ini dapat dirubah dengan adanya :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
3. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran dan dalam
waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang
kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38° C,
sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40° C atau lebih
5. Tanda dan Gejala
Secara teoritis pada klien dengan Kejang Demam didapatkan data-data antara lain klien kurang selera
makan (anoreksia), klien tampak gelisah, badan klien panas dan berkeringat, mukosa bibir kering
(Ngastiyah, 1997).
6. Komplikasi
Pada penderita kejang demam yang mengalami kejang lama biasanya terjadi hemiparesis.
Kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal yang terjadi. Mula – mula kelumpuhan bersifat flasid,
tetapi setelah 2 minggu timbul spastisitas.
Kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak sehingga
terjadi epilepsy.
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada klien dengan kejang demam :
1. Pneumonia aspirasi
2. Asfiksia
3. Retardasi
menta
7. Penatalaksanaan / Pengobatan
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
Memberantas kejang secepat mungkin
Bila penderita datang dalam keadaan status convulsion, obat pilihan utama adalah diazepam secara
intravena. Apabila diazepam tidak tersedia dapat diberikan fenobarbital secara intramuskulus.
1. Pengobatan Penunjang
Semua pakaian yang ketat dibuka. Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi
lambung, usahakan jalan nafas bebas agar oksigen terjamin, penghisapan lendir secara teratur dan
pengobatan ditambah dengan pemberian oksigen. Tanda – tanda vital diobservasi secara ketat, cairan
intravena diberikan dengan monitoring.
2. Pengobatan di rumah
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumah. Pengobatan ini dibagi atas 2
golongan yaitu :
1) Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari diberikan obat campuran anti konvulsan dan
anti piretik yang harus diberikan pada anak bila menderita demam lagi
2) Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapeutik yang stabil dan cukup di dalam darah
penderita untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari.
3. Mencari dan mengobati penyebab
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun epilepsy yang diprovokasi oleh demam,
biasanya infeksi traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut.
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan untuk mengumpulkan data serta menganalisa data sehingga dapat
diketahui masalah dan kebutuhan perawatan klien (Gaffar, 1997). Dalam upaya pengumpulan data
sebagai langkah awal dari proses keperawatan penulis melakukan pengkajian, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Kegiatan yang dilakukan dalam pengkajian adalah pengumpulan data dan
merumuskan prioritas masalah. Sedangkan tujuan dari pengkajian keperawatan adalah
mengumpulkan data–data, mengelompokkan dan menganalisa data sehingga ditemukan diagnosa
keperawatan (Gaffar, 1997).
Tahapan pengkajian merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai dengan
kebutuhan individu. Oleh karena itu pengkajian yang akurat dan lengkap sesuai dengan kenyataan,
kebenaran data sangat penting dalam merumuskan suatu diagnosa keperawatan sesuai dengan respon
individu sebagaimana yang ditentukan dalam standar praktek keperawatan dari American Nursing
Association.
Pengkajian keperawatan data dasar yang komprehensif adalah kumpulan data yang berisikan
mengenai status kesehatan klien untuk mengelola kesehatan terhadap dirinya sendiri dan hasil
konsultasi dari medis (terapis) atau profesi kesehatan lainnya (Taylor, Lilis Le Mone, 1997).
Berdasarkan sumber data, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari klien, yaitu data tersebut diperoleh dari klien
yang sadar maupun klien tidak sadar sehingga tidak dapat berkomunikasi misalnya data tentang
kebersihan diri atau data tentang kesadaran. Data sekunder adalah data yang diperoleh selain dari
klien, seperti dari perawat, dokter, catatan perawat, serta dari pemeriksaan seperti pemeriksaan
laboratorium atau pemeriksaan diagnostik lainnya, dari keluarga atau dari kerabat dekat.
Secara umum ada beberapa cara pengumpulan data dengan observasi, konsultasi, validasi data,
anamnesa, pemeriksaan fisik, observasi adalah pengumpulan data melalui hasil pengamatan (melihat,
meraba atau mendengarkan) tentang kondisi klien dalam kerangka asuhan keperawatan.
Konsultasi adalah seorang spesialis diminta untuk mengidentifikasikan cara–cara untuk pengobatan
dan penanganan penyakit klien.
Anamnesa atau wawancara adalah cara pengumpulan data melalui inspeksi, palpasi, perkusi dan
auskultasi.
Inspeksi adalah pengamatan secara seksama terhadap status kesehatan klien, seperti inspeksi
kesimetrisan pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan, inspeksi adanya lesi pada
kulit dan sebagainya.
Perkusi adalah pemeriksaan fisik dengan cara mengetukkan jari tengah kejari tengah yang lainnya
untuk normal atau tidaknya suatu organ tubuh.
Palpasi adalah jenis pemeriksaan fisik dengan cara meraba klien seperti lokasi pada rongga abdomen
untuk mengetahui lokasi nyeri atau untuk mengetahui adanya massa.
Auskultasi adalah cara pemeriksaan fisik dengan menggunakan stetoskop, misalnya auskultasi
dinding abdomen untuk mengetahui bising usus, mendengarkan suara paru – paru, bunyi jantung.
Adapun pengkajian untuk mengumpulkan data–data yang akurat terhadap Kejang Demam yaitu
dimulai dengan anamnesa kepada klien dan
keluarga kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.
Hal – hal yang perlu dikaji antara lain :
1. Identitas pasien dan keluarga
1) Nama Pasien (initial), umur, jenis kelamin,agama, suku bangsa dan alamat
2) Nama Ayah (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa
3) Nama Ibu (initial), umur, agama, pendidikan, pekerjaan, suku dan bangsa.
1. Kesehatan fisik
1) Pola nutrisi
Tidak ada nafsu makan (anoreksia), mual dan bahkan dapat disertai muntah. Perlu dikaji pola nutrisi
sebelum sakit, porsi makan sehari – hari, jam makan, pemberian makan oleh siapa, frekuensi makan,
nafsu makan, serta alergi terhadap makanan.
2) Pola eliminasi
3) Pola tidur
Yang perlu dikaji meliputi jam tidur, waktu tidur dan lamanya tidur serta kebiasaan sebelum tidur
4) Pola hygiene tubuh
Mengkaji mengenai kebiasaan mandi, cuci rambut, potong kuku dan rambut
5) Pola aktifitas
Anak tampak lemah, gelisah atau cengeng.
1. Riwayat kesehatan yang lalu
1) Riwayat prenatal
Dikaji mengenai kehamilan ke berapa, tempat pemeriksaan kehamilan, keluhan ibu saat hamil,
kelainan kehamilan dan obat – obatan yang diminum saat hamil.
2) Riwayat kelahiran
Kelahiran spontan atau dengan bantuan – bantuan, aterm atau premature. Perlu juga ditanyakan berat
badan lahir, panjang badan, ditolong oleh siapa dan melahirkan di mana.
3) Riwayat yang berhubungan dengan hospitalisasi
Pernahkah dirawat di rumah sakit, berapa kali, sakit apa, pernahkah menderita penyakit yang gawat.
Riwayat kesehatan dalam keluarga perlu dikaji kemungkinan ada keluarga yang pernah menderita
kejang.
4) Tumbuh kembang
Mengkaji mengenai pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan tingkat usia, baik
perkembangan emosi dan sosial.
5) Imunisasi
Yang perlu dikaji adalah jenis imunisasi dan umur pemberiannya. Apakah imunisasi lengkap, jika
belum apa alasannya.
1. Riwayat penyakit sekarang
1) Awal serangan : Sejak timbul demam, apakah kejang timbul setelah 24 jam pertama setelah
demam
2) Keluhan utama : Timbul kejang (tonik, klonik, tonik klonik), suhu badan meningkat
3) Pengobatan : Pada saat kejang segera diberi obat anti konvulsan dan apabila pasien berada di
rumah, tiindakan apa yang dilakukan untuk mengatasi kejang.
4) Riwayat sosial ekonomi keluarga
Pendapatan keluarga setiap bulan, hubungan sosial antara anggota keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
5) Riwayat psikologis
Reaksi pasien terhadap penyakit, kecemasan pasien dan orang tua sehubungan dengan penyakit dan
hospitalisasi.
1. Pemeriksaan fisik
1) Pengukuran pertumbuhan : Berat badan, tinggi badan, lingkar kepala
2) Pengukuran fisiologis : Suhu biasanya di atas 38° C, nadi cepat, pernafasan (mungkin dyspnea
nafas pendek, nafas cepat, sianosis)
3) Keadaan umum : Pasien tampak lemah, malaise
4) Kulit : Turgor kulit dan kebersihan kulit
5) Kepala : Bagaimana kebersihan kulit kepala dan warna rambut serta kebersihannya
6) Mata : Konjungtiva, sklera pucat / tidak, pupil dan palpebra
7) Telinga : Kotor / tidak, mungkin ditemukan adanya Otitis Media Akut / Kronis
8) Hidung umumnya tidak ada kelainan
9) Mulut dan tenggorokan : Bisa dijumpai adanya tonsillitis
10) Dada : Simetris / tidak, pergerakan dada
11) Paru – paru : Bronchitis kemungkinan ditemukan
12) Jantung : Umumnya normal
13) Abdomen : Mual – mual dan muntah
14) Genetalia dan anus : Ada kelainan / tidak
15) Ekstremitas : Ada kelainan / tidak.
Setelah selesai mengumpulkan data maka selanjutnya data tersebut dikelompokkan. Pengelompokan
data dapat dibagi atas data dasar dan data khusus (Carpenito, 1997). Data dasar terdiri dari data
fisiologis, data psikologis, data sosial dan spiritual. Sedangkan data khusus adalah data yang bersifat
khusus, misalnya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan rontgen dan sebagainya.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan adalah pernyataan yang menjelaskan status atau masalah kesehatan aktual
atau rester / resti (Gaffar, 1997). Pada tahap diagnosa keperawatan penulis akan menganalisa data
yang diperoleh dari hasil pengkajian dan mengidentifikasi masalah keperawatan, baik yang dapat
dicegah, dapat dikurangi maupun yang dapat ditanggulangi dengan tindakan keperawatan.
Diagnosa keperawatan dibagi sesuai dengan masalah kesehatan klien yaitu :
1. Aktual, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan masalah yang nyata saat ini dengan data klinis
yang ditemukan.
2. Rester, yaitu diagnosa keperawatan yang menjelaskan bahwa masalah kesehatan yang nyata yang
akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi keperawatan, saat ini masalah belum ada tetapi etiologi
sudah ada.
3. Possible, yaitu diagnosa keperawatan yang timbul akibat adanya tambahan masalah
Komponen – komponen berikut ini menandai tiga bagian pernyataan perubahan keperawatan
1. Diagnosa keperawatan, merupakan pernyataan yang menggambarkan perubahan status kesehatan
klien. Perubahan–perubahan menyebabkan masalah dan perubahan yang tidak menguntungkan pada
kemampuan klien untuk berfungsi. Diagnosa keperawatan adalah frase atau pernyataan yang ringkas,
diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk membuat kriteria hasil asuhan keperawatan dan
menentukan intervensi – intervensi yang diperlukan untuk mencapai kriteria hasil.
2. Etiologi, pernyataan etiologi mencerminkan penyebab masalah klien yang menimbulkan perubahan–
perubahan pada status kesehatan klien. Penyebab tersebut dapat berhubungan dengan tingkah laku
klien, patofisiologi, psikososial, perubahan–perubahan situasional pada gaya hidup, usia
perkembangan, faktor budaya dan lingkungan. Diagnosa keperawatan dapat diterapkan untuk semua
area keperawatan, seperti medikal bedah, kesehatan ibu dan anak, pediatrik, kesehatan komunitas.
Batasan karakteristik, merupakan kelompok petunjuk klinis yang menggambarkan tingkah laku,
tanda dan gejala yang menggambarkan diagnosa keperawatan. Batasan karakteristik diperoleh selama
tahap pengkajian, memberikan bukti bahwa ada masalah kesehatan gejala (data subjektif) adalah
perubahan yang dirasakan oleh klien dan diekspresikan secara verbal kepada perawat. Tanda (data
objektif) adalah perubahan yang diamati pada status kesehatan klien. Identifikasi minimal tiga tanda
dan gejala sebagai bukti yang cukup untuk mendukung pemilihan diagnosa keperawatan .
Adapun masalah keperawatan pada klien dengan kasus Febrile Convulsion menurut Ngastiyah
(19997) adalah :
1. Resiko tinggi terhadap kerusakan sel otak berhubungan dengan kejang
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses infeksi
3. Resiko terjadi bahaya / komplikasi berhubungan dengan aktifitas kejang
4. Gangguan rasa aman dan nyaman berhubungan dengan tindakan invasif, prosedur tindakan
5. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.
Menurut Doenges (2000), diagnosa keperawatan pada Febrile Convulsion adalah :
1. Resiko terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi otot
besar dan kecil
2. Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
3. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata, proses infeksi
4. Kurang pengetahuan keluarga mengenai kondisi, dan aturan pengobatan berhubungan dengan kurang
informasi.
Sedangkan menurut Carpenito (1990), diagnosa keperawatan yang terdapat pada kasus Febrile
Convulsion adalah :
1. Resiko tinggi tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan relaksasi lidah, sekunder
terhadap gangguan inversi otot
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme rata-rata, proses infeksi
3. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap yang paling penting yang dibuat setelah merumuskan diagnosa
keperawatan. Tujuan perencanaan adalah untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah
keperawatan klien, sehingga tercapai kondisi kesehatan klien yang optimal (Gaffar, 1997).
Pada tahap perencanaan setelah memprioritaskan masalah keperawatn, penulis menetapkan tujuan
dan kriteria tindakan yang dapat mencegah, mengurangi dan menanggulangi masalah kesehatan yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan klien saat ini serta menuliskan tujuan yang ditetapkan
harus nyata, dapat diukur dan mempunyai batasan waktu pencapaian.
Adapun komponen tahap perencanaan adalah :
Membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan diurutkan dengan prioritas tinggi, sedang, ringan masalah dengan prioritas
tinggi mencerminkan situasi yang mengancam hidup (misalnya bersihan jalan nafas). Masalah
dengan prioritas rendah tidak berhubungan secara langsung dengan keadaan sakit atau prognosis
yang spesifik (misalnya masalah keuangan). Masalah dengan prioritas tingi membutuhkan perhatian
yang cepat dibandingkan dengan prioritas rendah.
Hirarki kebutuhan Maslow (1968) membantu perawat untuk memprioritaskan urutan diagnosa
keperawatan, kerangka hirarki ini termasuk kebutuhan fisiologis dan psikologis. Lima tingkatan
hirarki ini adalah fisikologis, keselamatan dan keamanan, mencintai dan memiliki, harga diri dan
aktualisasi diri.
Adapun rencana tindakan pada kasus Febrile Convulsion menurut Doenges (2002), yaitu :
1. Diagnosa keperawatan I
Resiko tinggi terhadap henti nafas berhubungan dengan perubahan kesadaran, kehilangan koordinasi
otot besar dan kecil
Tujuan dan kriteria hasil :
Henti nafas dan trauma tidak terjadi dengan kriteria :
q Menunjukkan efektifitas pernafasan selama kejang dan sesudahnya
q Tidak terdapat tanda injuri, perlukaan di seluruh organ tubuh
Rencana Tindakan :
1.1 Gali bersama-sama keluarga berbagai stimulasi yang dapat menjadi pencetus kejang
Rasional : Mengetahui dan dapat menanggulangi sedini mungkin komplikasi yang dapat terjadi
1.2 Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat
tidur rendah
Rasional : mengurangi trauma saat kejang selama berada di tempat tidur
1.3 Gunakan termometer dengan bahan metal atau dapatkan suhu melalui lubang telinga jika perlu
Rasional : mengurangi resiko klien menggigit dan cedera mulut
1.4 Tinggallah bersama klien dan keluarga dalam waktu beberapa lama / setelah kejang
Rasional : Meningkatkan rasa aman keluarga, mengobservasi gejala lanjut
1.5 Masukkan jalan nafas buatan yang terbuat dari plastik. Miringkan kepala ke salah satu sisi dan
lakukan suction pada jalan nafas sesuia indikasi
Rasional : Memfasilitasi ekspansi dada maksimal, drainage sekret, dan memfasilitasi saat melakukan
suction
1.6 Atur kepala, tempatkan di atas daerah yang empuk (lunak) atau bantu meletakkan pada lantai
jika keluar dari tempat tidur
Rasional : Menurunkan resiko cedera
1. Diagnosa keperawatan II
Ketidakefektifan pola pernafasan / bersihan jalan nafas berhubungan dengan gangguan
neuromuskuler, hypersekresi trakeobronkial
Tujuan dan kriteria hasil :
Pola nafas efektif yang ditunjukkan dengan frekuensi nafas dalam batas normal, jalan nafas bersih
Rencana Tindakan :
2.1 Kosongkan mulut klien dari benda / zat makanan
Rasional : menurunkan resiko aspirasi
2.2 Letakkan klien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala, selama serangan kejang
Rasional : Meningkatkan aliran (drainage), sekret, mencegah lidah jatuh, dan menyumbat jalan nafas
2.3 Tanggalkan pakaian pada daerah leher, dada, dan abdomen
Rasional : Memfasilitasi usaha bernafas dan ekspansi dada
2.4 Masukkan spatel lidah/jalan nafas buatan atau golongan benda lunak sesuai dengan indikasi
Rasional : Mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan suction
2.5 Melakukan pengisapan (suction) sesuai indikasi
Rasional : Menurunkan resiko aspirasi dan asfiksia
1. Diagnosa keperawatan III
Hipertermia berhubungan dengan peningkatan metabolisme basal rata-rata, proses infeksi
Tujuan dan kriteria hasil :
Suhu tubuh dalam batas normal, yang ditunjukkan dengan mendemontrasikan suhu dalam batas
normal, bebas dari kedinginan, tidak mengalami komplikasi yang berhubungan
Rencana Tindakan :
3.1 Pantau suhu tubuh
Rasional : Suhu 38,9-41,1 menunjukkan adanya proses infeksius akut. Pola demam dapat membantu
dalam diagnosis
3.2 Pantau suhu lingkungan, batasi / tambahkan penggunaan seprai di tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan / jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan suhu mendekati
normal
3.3 Berikan kompres hangat
Rasional : Membantu menurunkan demam dengan efek vasodilatasi air hangat melalui proses
evaporase
3.4 Kolaborasi : Berikan antipiretik
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentranya pada hipotalamus meskipun
demam mungkin dapat berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme dan meningkatkan
autodekstruksi sel-sel yang terinfeksi.
4 Diagnosa keperawatan IV
Kurang pengetahuan (kurang belajar) mengenai kondisi, dan aturan pengobatan berhubungan dengan
kurang informasi, kesalahan persepsi
Tujuan dan kriteria hasil :
Mengungkapkan pemahaman tentang gangguan berbagai rangsang yang dapat menyebabkan aktifitas
kejang, dengan kriteria :
Keluarga dapat mengemukakan kondisi dan pengobatan secara sederhana.
Rencana Tindakan :
4.1 Jelaskan kembali mengenai patofisiologi / prognosis penyakit
Rasional : Memberikan kesempatan mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang
ada sesuai dengan yang ditangani
4.2 Tinjau kembali obat-obat yang didapat
Rasional : Tidak ada pemahaman terhadap obat-obatan yang dapat merupakan penyebab kecemasan
keluarga
4. Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah intervensi yang dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi,
penugasan ketrampilan interpersonal, intelektual dan teknikal (Gaffar, 1997, 49).
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien vulnus scissum untuk memenuhi antara lain :
mencegah infeksi, meningkatkan penyembuhan luka, meningkatkan kondisi kesehatan dan koping
individu dan keluarga serta mencegah komplikasi cedera selanjutnya.
Tahap pelaksanaan merupakan bentuk tindakan untuk direncanakan sebelumnya dan disesuaikan
dengan situasi secara cermat dan efisien. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis
menyesuaikan dengan kondisi yang sesuai dengan kebutuhan klien saat itu, tidak semata – mata
berdasarkan prioritas masalah yang direncanakan sebelumnya serta disesuaikan dengan waktu
pelaksanaan tindakan. Dalam melaksanakan tindakan keperawatan penulis juga melaksanakan
tindakan observasi dan pengumpulan data untuk melihat perkembangan klien selanjutnya.
Komponen tahapan dalam menyusun implementasi :
1. Tindakan keperawatan mandiri dilakukan tanpa perintah dokter, tindakan keperawatan mandiri ini
ditetapkan dengan standar praktik American Nursing Association (1973), undang–undang praktik
perawat negara bagian dan kebijakan institusi perawat kesehatan.
2. Tindakan keperawatan kolaboratif, diimplementasikan bila perawat bekerja dengan anggota tim
perawatan kesehatan yang lain dalam membuat keputusan bersama yang bertujuan untuk
mengatasi masalah – masalah klien.
3. Dokumentasi tindakan keperawatan dan respons klien terhadap tindakan keperawatan, dokumentasi
merupakan pernyataan dari kejadian atau aktifitas yang otentik dengan mempertahankan catatan –
catatan yang tertulis. Dokumentasi merupakan wahana untuk komunikasi dari salah satu profesional
ke profesional lainnya tentang status klien. Dokumentasi klien memberikan bukti tindakan
keperawatan mandiri dan kolaboratif yang diimplementasikan oleh
perawat
5. Evaluasi
Merupakan fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan keperawatan yang
diberikan (Gaffar, 1997). Evaluasi asuhan keperawatan adalah tahap akhir proses keperawatan yang
bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang dilakukan.
Hasil akhir yang diinginkan dari perawatan pasien Kejang Demam meliputi pola pernafasan
kembali efektif, suhu tubuh kembali normal, anak menunjukkan rasa nymannya secara verbal
maupun non verbal, kebutuhan cairan terpenuhi seimbang, tidak terjadi injury selama dan sesudah
kejang dan pengatahuan orang tua bertambah.
Evaluasi ini bersifat formatif, yaitu evaluasi yang dilakukan secara terus menerus untuk menilai hasil
tindakan yang dilakukan disebut juga evaluasi tujuan jangka pendek. Dapat pula bersifat sumatif
yaitu evaluasi yang dilakukan sekaligus pada akhir dari semua tindakan yang pencapaian tujuan
jangka panjang.
Komponen tahapan evaluasi :
1. Pencapaian kriteria hasil
Pencapaian dengan target tunggal merupakan meteran untuk pengukuran. Bila kriteria hasil telah
dicapai, kata “ Sudah Teratasi “ dan datanya ditulis di rencana asuhan keperawatan. Jika kriteria hasil
belum tercapai, perawat mengkaji kembali klien dan merevisi rencana asuhan keperawatan.
1. Keefektifan tahap – tahap proses keperawatan
Faktor – faktor yang mempengaruhi pencapaian kriteria hasil dapat terjadi di seluruh proses
keperawatan.
1) Kesenjangan informasi yang terjadi dalam pengkajian tahap satu.
2) Diagnosa keperawatan yang salah diidentifikasi pada tahap dua
3) Instruksi perawatan tidak selaras dengan kriteria hasil pada tahap tiga
4) Kegagalan mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan tahap empat.
5) Kegagalan mengevaluasi kemajuan klien pada tahap ke lima.
REPORT THIS AD
lAPORAN PENDAHULUAN
FEBRIS CONVULSI
A. Definisi
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas
neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002)
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh ( suhu rektal diatas
380 C) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium.
Jadi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat
perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.
B. Etiologi
1. Gangguan vaskuler
a. Perdarahan akibat ptechi akibat dari anoreksia dan asfiksia yang dapat terjadi di intra cerebral atau intra
ventrikuler.
b. Perdarahan akibat trauma langsung yaitu berupa perdarahan di subcranial atau subdural.
c. Trombosis.
d. Penyakit perdarahan seperti defisiensi vitamin K.
e. Sindroma hiperviskositas.
2. Gangguan metabolisme
a. Hipokalsemia.
b. Hipomagnesia.
c. Hipoglikemia.
d. Amino Asiduria.
e. Hipo dan Hipernatremia.
f. Hiperbilirubin.
g. Defisiensi dan ketergantungan akan piridoksin.
3. Infeksi.
a. Meningitis.
b. Enchepalitis.
c. Toksoplasma congenital.
d. Penyakit cytomegali inclusion.
4. Toksik
a. Obat convulsion.
b. Tetanus.
c. Enchephalopati Timbal.
d. Sigelosis Salmenali.
5. Kelainan Kongenital.
a. Parasenfali.
b. Hidrasefali.
6. Lain-lain
a. Narkotik Withdraw.
b. Neoplasma.
Factor-faktor yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain:
D. Klasifikasi
Secara umum dibagi 2 yautu:
E. Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan
yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi diluar SSP: misalnya tonsillitis, otitis media akut,
bronchitis, furunkulosisi,. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam,
berlangsung singkat dengan singkat bangkitnya bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, vocal, atau kinetic.
Umumnya kejang berhenti sendirir.
Begitu kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa detik
atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa adanya kelainan saraf. Menururt FKUI-RSCM
Jakarta pedoman untuk membuat diagnosis kejang demam sederhana yaitu:
F. Patofisiologi
Hipikalsemia, hipomagnesia
Trombosis, antikonvulsan, Infeksi ekstrakranial : suhu tubuh
Terlepsanya muatan
Listrik pada neuron otak
Ion Na & K
Hipertermi
Na masuk dalam el
Deficit pengetahuan
Adanya suatu
rangsang
Penurunan kesadaran
G. Prognosis
Resiko yang akan dihadapi seorang anak sesudah menderita kejang demam terganting factor:
1. dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13% dibandingkan bila
terdapat satu atu tidak sama sekali factor tersebut di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2 –
3 % saja.
2. hemiparesis biasanya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama (berlangsung lebih dari 30
menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhan dapat terjadi pada kejang fokal yang bersufat
flaksit tetapi setelah 2 minggu timbul spasitas.
H. Penatalaksanaan
Bila penderita kejang dalam keadaan konfusitus, obat pilihan utama adalah diazepam yang dibertikan
secara IV, keberhasilannya dapat menekan kejang sekitar 80 – 90 % dengan efek terapiutik yang sangat
cepat. Dosis obat tergantung dari berat badan yaitu:
· BB kurang dari 10 kg : 0,5 – 0,75 mg/kg BB dengan minimal dalam sempirit 2,5 mg
· BB 10 – 20 kg : 0,5 mg/kg BB dengan minimal dalam sempirit 7,5 mg.
· BB diatas 20 kg: 0,5 mg/kg BB
Biasanya dosis rata-rata yang terpakai 0.3 mg/kgBB tiap kali dengan maksimum 5 mg pada anak berumur
kurang dari 5 tahun dan 10 mg pada anak yang lebih besar.
2. Pengobatan Penunjang
Sebelum memberantas kejang tidak boleh dilupakan perlunya pengobatan penunjang
a. Semua pakaian ketat dibuka
b. Posisi kepala miring untuk mencegah aspirasi pada lambung.
c. Ushakan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen bila perlu lakukan intibasi atau
trakeostomi.
d. Penghisapan lender harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.
Fungsi vital seperti kesadaran, suhu, TD, RR dan fungsi jantung harus diawasu secara ketat. Cairan
intravena sebaiknya diberikan dengan monitoring untuk menilai adnya kelainan metabolic dan elektrolit.
Jika suhu meningkat sampai hiperpireksia dilakukan hibermasi dengan kompres alcohol dan es. Obat
untuk hibermasi adalah Clorpromazin 2 – 4 mg/kgBB perhati di bagi dalam 3 dosis secara suntiksn.
Untuk mencegah edema otak diberikian kortikosteroid dan glukokortikosteroid.
3. Pengobatan Rumatan
Dibagi 2 bagian:
a. Profilaksis intermitten
Untuk mencegah terukangnya kejang kembali di kemudian hari dengan memberikan obat campuran anti
konvulsan dan antipiretik.
b. Profilaksis jangka panjang
Gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis terapiutik yang stabil dan cukup di dalam darah penderita
untuk mencegah terulangnya kejang dikemudian hari.
4. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pasien yang dating dengan kejang demam sebaiknya dilakukan pemeriksaan intensif seperti:
a. Pungsi lumbal
b. Darah lengkap
c. Gula darah.
d. Elektrolit (kalium, magnesium, matrium).
e. Faal hati.
f. Foto tengkorak.
g. EEG
h. Enchepalografi.
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Hal – hal yang perlu dikaji pada anak yang mengalami kejang :
1) Riwayat kesehatan bayi atau anak.
Riwayat kelahiran atau dimasa neonatus, penyakit kronis, neoplasma, imunosupresi, infeksi telinga dalam
atau infeksi ekstra cranial (OMA), meningitis atau enchepalitis, tu,or otak yang merupakan penyebab
terjadinya kejang sehingga diperlukan anamnese.
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisisk yang dilakukan untuk mengetahui apakah ada kelainan neurologik, peningkatan TTV,
yang biasanya terjadi pada anak yang mengalami kejang. Kejang terutama pada anak golongan umur 6
bulan – 4 tahun. Pemeriksaan fisik dopengaruhi oleh usia anak dan organisme penyebab, perubahan
tingkat kesadaran, irritable, kejang tonik klonik, tonik, klonik, takikardi, perubahan pola nafas, muntah
dan hasil pungsi lumbal yang abnormal.
3) Psikososial atau factor perkembangan
Umur, tungkat perkembangan, kebiasaan (apakah anak merasa nyaman, waktu tidur teratur, benda yang
difavoritkan), mekanisme koping, pengalman dengan penyakit sebelumnya.
4) Riwayat penyakit kejang atau tanpa demam dalam keluarga,
5) Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf debelum anak menderita kejang demam.
6) Lama berlangsungnya kejang.
7) Frekuensi terjadinya kejang dalam satu tahun.
8) Adanya anggota keluarga yang pernah menderita kejang sebelumnya.
Pengkajian Neurologik
1) Tanda – tanda vital
Suhu, TD, denyut jantung, tekanan darah, RR.
2) Hasil pemeriksaan kepala.
a. Frontal : menonjol, rata, dan cekung
b. Lingkar kepala (di bawah 2 tahun)
c. Bentuk umum.
3) Reaksi pupil.
a. Ukuran
b. Reaksi terhjadap cahaya
c. Kesamaan respon
4) Tingkat kesadaran
a. Kewaspadaan
b. Iritabilitas
c. Letargi dan rasa mengantuk
d. Orientasi terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungan
5) Afek
Alam perasaan, labilitas
6) Aktivitas kejang
Jenis dan lamanya
7) Refleks
a. Reflek tendo superficial dan dalam
b. Adanya reflek patologis (misalnya: Babinski)
8) Kemampuan intelektual
a. Kemampuan menulis dan menggambar
b. Kemampuan membaca
9) Fungsi sensoris
a. Reaksi terhadap nyeri
b. Reaksi terhadap suhu
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi terjadi injuri sehubungan dengan aktivitas kejang, serangan mendadak dari
perubahan aliran darah ke otak .
Intervensi
Ó Preconvulsif
· Mengidentifikasi faktor resiko preconvulsif untuk penyakit kejang
· Monitor cardio pulmonal secara terus menerus
· Kaji kadar gula darah
· Sediakan dan dekatkan peralatan section
· Sediakan O2 sesuai indikasi
Ó Konvuslif
· Catat waktu, durasi, bagian tubuh yang teribat dan frekwensi kejang
· Atur pemberian obat
· Pastikan klien dalam keadaan aman
Ó Post konvulsif
· Monitor TTV dan kesadaran klien
· Pertahankan jalan nafas efektif
· Sediakan oral hygiene .
2. Tidak efektinya jalan nafas sehubungan dengna spasme otor pernafasan, aspirasi
Intervensi
· Baringkan klien
· Berikan O2 1 – 2 L / mnt, bila berat berikan 4 L / mnt
· Pada saat kejang berikan sudip lidah untuk mencegah agar lidah tidak tergigit
· Observasi TTV secara kontinue setiap 30 menit
3. Kurang pengetahuan sehubungan dengan kurang pengalaman, kurang informasi perawatan
rumah .
Intervensi
· Anjurkan orang tua mengenal kelainan kejang
· Diskusikan pengobatan, dosis , tujuan , frekwensi , efek samping dan apa yang harus dilakukan dengan
kesalahan dosis
· Diskusikan rencana keperawatan dirumah, perwatan elama kejang
· Ajakan kepada orang tua bagaimana mengobservasi dan menentukan pertolongan pertama uyang aman
dan legal
4. Gangguan konsep diri ( gambaran diri / harga diri ) sehubungan dengan kehilangan kontrol diri ,
reaksi lingkungan sekitar tehadap anak
Intervensi
· Jelaskan perilak anak selama kejang kepada anak mereka seperti anak yang lainnya .
· Bantu orang tua untuk menentukan kegiatan perkembangan anak yang tepat
· Siapakan anak untuk melalakukan tindakan perawatan diri sendiri
· Dampingi anak / orang tua untuk mempergunakan sumber – sumber koping tepat .
C. Perencanaan
1. Prioritas keperawatan
Prioritas keperawatan pada klien dengan kejang menurut Dongoes ( 2002 )
1. Mengenali aktivitas kejang
2. Melindungi pasien dari cidera
3. Mempertahankan jalan nafas / fungsi pernafasan
4. Membangkitan harga diri positif
5. Memberi informasi tentang proses penyakit , prognosa, dan penanganan selama terjadi serangan
D. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah dilakukan tindakan keperwatan anak dengan kejang adalah
1. Anak bebas dari cidera fisik
2. Aktifitas kejang dapat dicegah dan dikendalikan
3. Anak memiliki harga diri ndan citra diri yang positif yang meningkatkan kesejahteraan .
DAFTAR PUSTAKA
Pedoman diagnosa dan terapi laboratorium/ UPF IKA, 1994 : RSUD Dr. Soetomo Surabaya ( hal 148-149 kejang
demam, 151 – 153 status konvulsi)
Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
FEBRIS Konvulsi
LAPORAN PENDAHULUAN
I. PENGERTIAN
Febris Konvulsi adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (diatas
380 C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstra kronium.
( Ngostiyok, 1997)
Kejang demam adalah kejang yang berlangsung pada anak antara 3 bulan – 5 tahun yang
berlangsungkurang dari 15 menit.
( Lab/UPF Ilmu Penyakit Syaraf, 1994)
Sedangkan menurut Consensus Statement Of Febrile Zeizures (1980) kejang demam
adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan – 5 tahun,
berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intra kronial atau penyebab
tertentu.
II. ETIOLOGI
Hingga kini belum jelas dietahui. Demam sering disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas,
otitis media, pneumonia, gastra enteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada
suhu yang tinggi, kadang-kadang demam tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.
3. Type : Tonik klonik. (modifikasi kejang 3. Tonik klonik seperti grondmol atau hemi
grandmol konvoisi
V. FAKTOR RESIKO
1. Demam
2. Keturunan
3. Perkembangan terlambat
4. Masalah-masalah pada neonatus
5. Anak-anak dalam perawatan khusus
6. Kadar nutrien rendah
ngkat dengan : 1. Usia dini
2. Cepatnya anak mendapat kejang setelah demam.
3. Temperatur rendah saat kejang
4. Riwayat keluarga kejang demam
5. Riwayat keluarga epilepsi
1. Meningitis
2. Ensepholitis
3. Subdural empyema
IX. PENATALAKSANAAN
1. Fase akut
Pada waktu tegang pasien dimiringkan untuk mencegah ospirasi ludah atau muntahan, jalan nafas
harus bebas, perhatikan kesadaran, tensi, nadi, suhu dan fungsi jantung.
Obat-obatan yang diberikan
Diazapan 0,3 – 0,5 mg/kg BB. IV
Asam volproat 15 – 40 mg/kg BB/hari
Antiperetik kompres alkohol
Pengobatan penyebab
Pengobatan soportif
Keseimbangan cairan dan elektrolit
Bebaskan jalan nafas
O2 dan sebagainya
2. Terapi pencegahan
1. Kejang demam sederhana
Diberikan penegahan intermitten dalam arti memberikan anti konvuison, bila timbul panas pada
pasien yang pernah mengalami kejang demam digonotan dpozepom parenteral 0,3 – 0,5 mg/kg
BB/8 20m bila suhu tubuh > 38,5 oC.
2. Kejang demam komplikata
Diberikan pencegahan terus menerus dengan pemberian anti konvulson setiap hari selama 2-3
bebas kejang sampai melampaui batas peka kejang demam max 5 tahun.
Pencegahan diberikan bila
Kejang >15 menit
Diikuti kelainan neurologik
Adanya riwayat kejang tanpa panas pada keluarga.
Adanya perkembangan neurologik yang abnormal sebelum kejang demam yang pertama
Kejang demam pada anak usia < 1tahun
Bila ada kelainan EEG
X. FAKTOR PENYULIT
1. Epilepsi
2. kelumpuhan anggota badan
3. ganguan mental dan belajar
XI. DIAGNOSA
Dengan penaggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan
kematian, frekwensi berulangnya berkisar antara 25 – 30 % resiko untuk mendapatkan epilepsi
rendah.
(Mansyoer A. 1999)
Pada kejang demam komplek tingkat tinggi perkembangan dapat terganggu akibat aktifitas kejang
pada neurotransmiter diotak sehingga dapat terjadi perkembangan terlambat bahkan refordasi
mental.
(Marillyn E. Doengoes, 2000)
ASUHAN KEPERAWATAN
I. PERKAWINAN
1. Identitas
Nama, alamat, umur, jenis kelamin, agama, kebangsaan, tanggal MRS
2. Keluhan utama kejang
3. Riwayat penyakit sekarang
Betul ada kejang apa tidak
Disertai dengan kejang atau tidak, sejak kapan naka menderita demam ?
Pola serangan, bersifat umum atau local.
Keadaan - sebelum, saat-saat setelah kejang
Sebelum aura yang dapat menimbulkan kejang (ras lapar, muntah, lelah, sakit perut, sakit
kepala dan lain-lain)
Selama ditanya kejang dimulai kapan dan proses penjalarannya
Selah pasien tertidur, ada perasaan sadar, kesadaran menurun
4. Riwayat penyakit dahulu
Frekwensi serangan
Pasien pernah mengalami kejang sebelumnya apa tidak.
Umur terjadi kejang untuk pertama kalinya
Frekwensi kejang bertahap
Neilson (1975) kejang demam yang pertama terjadi dan didapatkan faktor
keturunan kemungkinan berulangnya kejang demam akan lebih besar.
- pernah trauma atau tidak
5. Riwayat imunisasi : efek samping dari imunisasi DPT
6. Riwayat keluarga
Ada anggota keluarga yang menderita kejang ( 25% kejang demam mempunyai faktor keturunan)
Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syara/lainnya.
7. Riwayat kehamilan dan persalinan
Penyakit yang pernah diderita ibu selama hamil, trauma perdarahan pervaginem, obat yang
digunakan selama hamil
Apakah ada kelahiran sukar, spontan, tindakan (forcep/vokum) perdarahan antepartom, aspiksia
dan lain-lain.
8. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
Kelainan motorik hemiparese permonen bertelor antara 0,1 – 0,2 %
Nelson : apabila kejang berlangsung > 15 menit dan kejang > 1x/24 jam penurunan IQ dan
kecendrungan adanya gangguan mental dan belajar
9. Pola-pola fungsi kesehatan
a. Pola nutrisi
Anak akn mengalami penurunan nafsu makan karena demam, sehingga makan Cuma sedikit atau
tidak mau sama sekali
b. Pola aktifitas dan latihan
Aktifitas pasien aka terganggu karena harus terah baring
c. Pola tidur dan istirahat
Tidur dan istirahat pasien akan terganggu karena tubuh paien panas dan kemungkinan besar terjadi
kejang
d. Mekanisme koping akibat hospitalisasi
Anak akan menangis kuat, menjerit dan memanggil ibunya dan menolak kehadiran orang lain
termasuk perawat.
e. Pola eliminasi
BAB dan BAK pasien akan dibantu oleh ibu klien atau anggota keluarga yang lain
f. Pola hubungan dn peran
Setelah pasien MRS dan harus tirah baring pasien tidakbisa bermain dengan teman-temannya
g. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Setelah MRS pasien tidak mandi, hanya di seko 2x oleh ibunya atau keluarganya
1. Jelaskan setiap prosedur tindakan pada klien dan keluarga (orang tua).
2. Beri pengamanan disisi tempat tidur
3. Pantau dan kaji secara cermat selama kejang berlangsung.
4. Catat tipe kejang dan frekwensi kejang.
5. Observasi TTV secara teratur.
Rasional :
Rasional :
Rasional :
2. Diskusikan pada keluarga cara-cara stimulasi tumbuh kembang anak sesuai dengan
kemampuannya berkomunikasi dengan anak.
Rasional :
I : sebagai indikasi ada atu tidaknya perbedaan pemahaman keluarga dengan
konsep yang ada.
IV. PELAKSANAAN
Tahap pelaksanaan adalah perwujudan dari rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya pada
tahap perencanaan untuk mengatasi masalah pasien secara optimal.
(Nasrul Efendi, 1995)
V. EVALUASI
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik dan terencana tentang kesehatan pasien dengan
berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan . Dalam evaluasi tujuan tersebut terdapat tiga aaalternatif,
yaitu :
- Tujuan tercapai : pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
- Tujuan tercapai sebagian : pasien menunjukkan perubahan sebagian sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan.
- Tujuan tidak tercapai : pasien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali.
RIWAYAT IMUNISASI
BCG 0 – 2 bulan 1C 1x
DPT 2, 3, 4 bulan 1M 3x
Capak 9 bulan 5C 4x
Heportits 0, 1, 6 bulan 1M 3x
(mansyoer A. 1999)
MENURUT KOEHLBERG
Membuka kotak
Melempar benda
Menggunakan
sendok dengan
baik
DAFTAR PUSTAKA
Contact Us
Privacy Policy
Disclaimer
HOME
ASKEP
o
o
o
o
o
o
o
o
LEAFLET
o
o
o
PRAKTIKUM
HEMODIALISA
Search... ?
Home » Kep.ANAK » MAKALAH KEPERAWATAN » LP TEORI ASKEP KEJANG DEMAM (FEBRIS CONVULSION)
1.1.2. Etiologi
Belum diketahui, faktor pencetus antara lain :
1) Kenaikan suhu tubuh mendadak
2) Diduga ada faktor keturunan
3) Respon alergik atau keadaan umum abnormal oleh infeksi
4) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
1.1.4. Klasifikasi
Menurut Fukuyama menjadi 2 golongan
1) Kejang demam sederhana
Ciri :
(1) Sebelumnya tidak ada riwayat keluerga yang menderita epilepsy
(2) Sebelumnya tidak ada riwayat cidera otak oleh penyebab lain
(3) Serangan demam (kejang demam) terjadi antara lain 6 bulan – 6 tahun
(4) Lama kejang 15 menit
(5) Tidak didapatkan gejala atau abnormalitas pasca kejang
(6) Tidak didapatkan abnormalitas neolorgis atau perkembangan
(7) Kejang tidak berlangsung atau berulang dilain waktu singkat
2) Kejang demam kompleks
Cirri :
(1) Kejang fokal
(2) Kejang > 15 menit
(3) Kejang berulang
(Lumbantobing , 4)
1.1.7. Penatalaksanaan
Medik
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu di kajikan
1) Memberantas kejang secepatnya mungkin
(1) Obat pilihan adalah diazepam yang diberikan secara intravena
(2) Diare paru : dosis :
- BB 10 kg : 0,5 – 0,7 mg/kg BB Iv
- BB 20 kg : 0,5 mg 1 kg BB IV
- Usia 5 tahun : 0,3 – 5 mg/kg BB IV
(3) Diazepam Supp :
- BB 10 kg : 5 mg
- BB 10 kg : 10 mg
(4) Pengobatan penunjang
Perawatan
- Semua pakaian dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi lembut
- Bebaskan jalan nafas
- Penghisap lender teratur dan beri O2
(5) Pengobatan rumatan
Propilaksis Intermitas
- Mencegah terulangnya kejang demam
a. Diazepam paroid atau rectal
b. Campuran anti piretik dan konvulean
- Profilaksi jangka panjang
- Obat yang sering digunakan :
a. Fenobarbital
b. Sodium valpoat atau asam valpoat
c. Femition
(6) Mencari dan mengobati penyebab
1.2.2.2 Risiko tinggi cedera berhubungan dengan gangguan hantaran neuron pada otak
1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 x 24 jam masalah tidak menjadi aktual
2) Kriteria hasil :
(1) Tidak terjadi kejang
(2) Tidak terjadi cedera saat kejang
3) Intervensi :
(1) Menganjurkan orang tua untuk memberikan pengaman pada sisi tempat tidur pasien
R : Mencegah terjadinya cidera saat kejang
(2) Menganjurkan orang tua untuk membersihkan saliva yang keluar dari mulut
R : Mencegah terjadinya aspirasi
(3) Menganjurkan keluarga untuk memberikan benda yang lunak untuk digigit saat kejang
R : Mencegah tergigitnya lidah saat kejang
(4) Menganjurkan orang tua memantau tanda-tanda kejang
R : Mengantisipasi penanganan kejang
(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat Depaken ½ tab
R : Efek obat diharapkan dapat mencegah kejang
1.2.2.4 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kebutuhan oksigen otak kurang ( Hipoksemia berat )
sekunder terhadap terjadinya kejang
1) Batasan Karakteristik
Mayor:
(1) Perubahan frekuensi pernafasan
(2) Perubahan nadi (frekuensi, irama, kualitas)
Minor:
(1) Takipnea, hipernea, hiperventilasi
(2) Irama pernafasan tidak teratur
(3) Pernapasan yang berat
2) Tujuan
(1) Perawat dapat menurunkan tanda dan gejala gangguan pertukaran gas
(2) Pasien dapat menunjukkan peningkatan perubahan pertukaran gas seperti tanda vital, nilai AGD dan
ekspresi wajah.
3) Kriteria Hasil
(1) Menunjukkan frekuensi pernafasan yang efektif
(2) Menyatakan gejala berkurang
(3) Menyatakan faktor-faktor penyebab dan menyatakan cara koping adaptif untuk mengatasinya
4) Intervensi dan rasional :
(1) Observasi TTV
R : Mengidentifikasi keadaan pasien dalam intervensi yang diberikan
(2) Kaji adanya bunyi nafas tambahan, peningkatan pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan
kelemahan
R : Identifikasi adanya PK pulmonary edema
(3) Berikan posisi tidur semi fowler
R : Posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru
(4) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan atau perubahan warna kulit termasuk
membran mukosa dan kuku
R : Akumulasi secret atau pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenasi organ vital jaringan
(5) Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan
R : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat
menurunkan beratnya gejala
(6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen
R : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau
menurunnya permukaan alveolar paru
(7) Kolaborasi dalam pemberian obat
R : Dengan terapi pengobatan dapat mempercepat proses penyembuhan
1.2.2.5 PK Hipoglikemia
1) Tujuan :
Perawat akan menangani dan meminimalkan terjadinya hiperglikemi
2) Kriteria Hasil :
1. GDP dan GDS 76 – 110 mg/dl.
2. GD 2 JPP < 140 mg/dl.
3. Tidak terjadi tanda – tanda hiperglikemi
( penurunan kesadaran, keringat dingin, kesemutan )
3) Intervensi
(1) Pantau tanda dan gejala DKA ( GD > 300 mg / dl, aceton darah positif, bau napas keton, hipotensi, Na, K
menurun,, takikardi )
R : Bila insulin tidak tersedia, glukosa darah akan meningkat dan tubuh akan memetabolisme
lemak untuk kebutuhan energi dan menghasilkan benda – benda keton.
(2) Pantau status hidrasi pasien, tanda – tanda dehidrasi.
R : Mencegah hidrasi berlebihan / kekurangan hidrasi.
(3) Pantau status neurologis pasien.
R : Fluktuasi kadar glukosa, asidosis dan keadaan cairan dapat mempengaruhi fungsi neurologis karena
sirkulasi yang tidak adekuat.
(4) Pantau sirkulasi pasien.
R : Dehidrasi berat menyebabkan penurunan curah jantung dan terjadi vasokontriksi sebagai kompensasi
tubuh.
(5) Kolaborasi dalam pemberian glukosa
R : Memenuhi kebutuhan glukosa dalam darah
5 5
5 5
7. Sistem Endokrin
Tidak ada riwayat penyakit DM
4. Rontgen
Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Terapi
Valim 2,5 mg IV Prn Kejang dapat diulang max 3X selang 5 menit
Valdimex 2 mg Tid PO bila panas dan selama panas
Paracetamol 4 cc Q 5 jam ( rutin 1 hari )
Biokid 5 cc QH
Nasafed 1,5 cc Tid
Freís 2,5 cc QH
Dexametason 2,5 mg IV Q 8 Jam ( rutin 1 hari )
IV Kaen 4B 25 cc / jam
Diit Nasi LPLC
Kediri, 1 – 4 – 2011
Mahasiswa,
2.5 PERENCANAAN
Tanggal
Tanggal dihentikan/
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional Dibuat/Paraf Paraf
1. Memantau
peningkatan
metabolisme dan
proses infeksi
yang dapat
menimbulkan
kejang.
2. Bangkitan kejang
berulang dapat
terjadi apabila
terjadi kenaikan
suhu mendadak
yang melebihi
tingkat adaptasi
tubuh.
3. Keadaan perfusi
perifer
menunjukkan
sirkulasi adekuat.
1. Ukur TTV ( suhu
4. Antipiretik sebagai
Risiko dan nadi )
pengacu daru
hipertermi / pusat pengaturan
Peningkatan suhu di
suhu tubuh hipotalamus
berhubungan sehingga dapat
dengan demam 2. Pantau adanya / mengatasi dan
sekumder terjadinya kejang mencegah
terhadap terjadinya
berulang
metabolisme peningkatan suhu
tubuh tubuh melebihi
meningkat yang tingkat adaptasi
ditandai dengan Tujuan : tubuh.
S ; 36 4 O C , Antikonvulsi
Tidak terjadi 3. Observasi KU
Suhu untuk mengurangi
tanggal31-3- peningkatan pasien, akral
letupan neural,
2009jam 12 suhu tubuh. pasien / perfusi membantu
am : 388OC , aktifitas asam
pasien MRS amino penghambat
karena kejang 2 Kriteria hasil :4. Kolaborasi
atau mengurangi
X, 1.
tidak S : 36 – 37 O C dengan dokter letupan lambat
terdapat 2. Anak tidak dalam pemberian dari neuron
kelumpuhan talamus.
kejang terapi :
ekstremitas, Steroid sebagai
reflek patella 3.
+ Akral hangat Antipiretik.
pemutus rantai
/ +. 4. Nadi 90 – 110 Antikonvulsi infeksi tetapi dapat
1. x / menit. Steroid menimbulkan 1 – 4 – 2009
sistem imun.
Tujuan :
Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
Kriteria hasil :
1. S : 36 – 37 O C
2. Anak tidak kejang
3. Akral hangat
4. Nadi 90 – 110 x / menit.
Implementasi Keperawatan :
8 am
9 am 1. Melakukan pengkajian dan pemeriksaan fisik
2. Mengukur suhu dan nadi
3. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
10 am antipiretik paracetamol 4 cc PO
4. Berkolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi
steroid oradexon 2,5 mg IV
12 am 5. Mengukur TTV ( suhu dan nadi )
12 am 6. Memantau adanya / terjadinya kejang berulang
7. Melakukan observasi KU pasien, akral pasien / perfusi
1 – 4 – 2009 12 am perifer
Tujuan :
Keluarga pasien dapat mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan saat di rumah saat anak
panas dan kejang.
Kriteria hasil :
1. Keluarga dapat menjelaskan pengertian peningkatan suhu tubuh.
2. Keluarga dapat menjelaskan dampak peningkatan suhu tubuh
3. Keluarga dapat menjelaskan fugsi penatalaksanaan dirumah saat terjadi panas.
4. Keluarga dapat menjelaskan penatalaksanaan dirumah saat terjadi panas. dan kejang
Implementasi Keperawatan :
2.7 EVALUASI
S:
Ayah pasien menjelaskan pengertian
peningkatan suhu tubuh adalah suhu tubuh diatas
normal / lebih dari 38OC
Ibu pasien mengatakan dampak panas yang tidak
teratasi dapat terjadi kejang pada anak.
Ayah pasien mengatakan tujuan penatalaksanaan
panas saat di rumah adalah untuk mencegah
Défisit pengetahuan tentang terjadinya kejang pada anak.
penatalaksanaan saat di rumah
Ayah dan ibu pasien menjelaskan yang dapat
berhubungan dengan proses
informasi tentang dilakukan dirumah saat anak panas adalah
penatalaksanaan saat di rumah dengan memberi minum banyak, memberi obat
yang ditandai dengan ayah penurun panas dan memberi kompres. Dan yang
pasien mengatakan mempunyai
dapat dilakukan saat anak kejang di rumah
budaya memberi kompres
hangat saat anak panas karena adalah dengan tidak memasukkan benda apapun
yakin kalau kompres dingin ke dalam mulut, melindungi anak agar tidak
akan membuat demam anak cidera, melonggarkan pakaian anak, miringkan
semakin bertambah tinggi, ibu
pasien mengatakan saat badan badan anak supaya nafas bisa longgar.
panas anak sulit minum, ibu
pasien bertanya tentang apakah O : Keluarga kooperatif dengan mahasiswa.
pemberian minum saat anak
panas itu penting ?, ayah pasien
bertanya tentang cara pemberian A : Tujuan tercapai
1 – 4 – 2009 compres saat anak panas?
12 am P : Rencana tindakan dihentikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Aziz. A. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Doengoes, Marilyn E. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :Media Aesculapius FKUI. Edisi III.
Price dan Wilson. (1995). Patofisiologi. Jilid 2. Terjemahan : Peter Anugrah. Jakarta : EGC.
BAB I
KONSEP TINJAUAN TEORI FEBRIS CONVULSI
A. Definisi
1. Febris Convulsi adalah ganguan sementara yang terjadi pada anak-anak yang ditandai dengan demam (Wong, D.T.
1999: 182)
2. Febris Convulsi adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (Rectal di atas 38 C) yang
disebabkan oleh proses ekstrakranium
3. Kejang adalah terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) Sering dijumpai pada anak usia 6 bulan
sampai 4 tahun
B. Penyebab
Penyebab dari penyakit kejang convulsi ini adalah: Infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti
tonsilitis,otitis media akut, bronkitis
D. Patofisiologi
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Elektro enchephalograpy
Pemeriksaan EEG dibuat 10-14 hari setelah bebas panas tidak menunjukan kelainan likuor. Gelombang EEG lambat
didaerah belakang dan unilateral menunjukan Febris Convulsi kompleks. Pemeriksaan EEG penting untuk
menegakkan diagnosa ini. EEG juga diperlukan untuk menentukan prognosis pada bayi cukup bulan. Bayi yang
menunjukkan EEG latar belakang abnormal dan terdapat gelombang tajam multifokal atau dengan brust
supresion atau bentuk isoelektrik, mempunyai prognosis yang tidak baik dan hanya 12 % diantaranya mempunyai
atau menunjukkan perkembangan normal. Pemeriksaan EEG dapat juga digunakan untuk menentukan lamanya
pengobatan
2. Pemeriksaan EKG dapat mendekteksi adanya hipokalsemia
3. Dilakukan pemerikaan gram bakteri serta pemeriksaan penunjang lain untuk mengetahui jenis mikroorganisme
yang menjadi penyebab infeksi. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memilih jenis antibiotik yang cocok diberikan pada
pasien anak dengan Febris Convulsi.
F. Komplikasi
Menurut Lumbantobing ( 1995: 31) Dan Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1985: 849-850).
Komplikasi Febris Convulsi yang lebih dari 15 menit adalah :
1. Kerusakan otak
Terjadi melalui mekanisme eksitotoksik neuron saraf yang aktif sewaktu kejang melepaskan glutamat yang
mengikat resptor MMDA ( M Metyl D Asparate ) yang mengakibatkan ion kalsium dapat masuk ke sel otak yang
merusak sel neuoran secara irreversible.
2. Retardasi mental
Dapat terjadi karena deficit neurolgis pada demam neonatus
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan yang dilakukan saat pasien dirumah sakit
a. Farmakologi
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan panduan dosis untuk BB <
10 kg dosisnya 0,5 - 0,75 mg/kgBB, diatas 20 kg 0,5 mg/kgBB. Dosis rata-rata yang diberikan 0,3 mg/kgBB/kali
pemberian dengan maksimal dosis pemberian 5 mg pada anak kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg pada anak
yang berumur > 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg per suntikan. Jika pemberian pertama masih timbul
kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi diazepam secara intravena dengan dosis yang sama. Apabila
masih kejang maka tunggu 15 menit lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama
secara intramuskuler.
2) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam pemberian terapi intravena.
Dalam pemberian cairan intravena diperlukan pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam karena pada
penderita yang beresiko terjadinya peningkatan tekanan intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan
kesadaran.
3) Apabila terjadi peningkatan tekanan intra kranial diberikan obat untuk mengurangi edema otak seperti
dexametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari
anggota tubuh yang lain dengan menaikkan tempat tidur bagian kepala kurang lebih 15°.
4) Setelah pasien terbebas dari kejang paska pemberian diazepam, maka perlu diberikan obat fenobarbital dengan
dosis 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia 1 bulan sampai 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun ke atas
dengan teknik pemberian intra muskular, dengan pemberian fenobarbital dosis pertama 8-10 mg/kgBB/hari (terbagi
dalam 2 kali pemberian), hari berikutnya 4-5 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 2 kali pemberian.
b. Non Farmakologi
1) Pemberian oksigen, untuk membantu kecukupan perfusi jaringan.
2) Pembebasan jalan napas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian dilonggarkan, dan
penghisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau trakeostomi.
Gambar 1 : Hiperekstensi
3) Pemberian kompres air hangat untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode konduksi yaitu
perpindahan panas dari derajat yang tinggi ( suhu tubuh) ke benda yang mempunyai derajat yang lebih rendah (kain
kompres). Letak bagian yang dikompres pada kelenjar limfe di ketiak, leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah
yang besar seperti di leher.
4) Untuk pemantauan kebutuhan cairan
Tabel 1 Kebutuhan Cairan berdasarkan Umur
Umur BBkg Kebutuhan cairan/kgBB
0-13 hari 3 150
3-10 hari 3,5 125-150
3 bulan 5 140-160
6 bulan 7 135-155
9 bulan 8 125-145
1 tahun 9 120-135
2 tahun 11 110-120
4 tahun 16 100-110
6 tahun 20 85-100
10 tahun 28 70-85
14 tahun 35 50-60
Sumber: Riyadi,Sujono. Asuhan Keperawatan Pada Anak, 2009
2. Penatalaksanaan di rumah:
Tindakan awal pada anak yang mengalami Febris Convulsi:
a. Saat timbul serangan kejang segera pindahkan anak ke tempat yang lebih aman seperti di lantai yang diberi alas
lunak tapi tipis, jauh dari benda-benda berbahaya seperti gelas, pisau.
b. Posisikan kepala hiperekstensi, pakaian dilonggarkan, berikan tongue spatel yang dibungkus kassa atau modifikasi
dengan sendok yang dibalut kassa untuk mencegah lidah tertekuk atau tergigit.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN FEBRIS CONVULSI
A. Pengkajian
1. Riwayat Penyakit
Pada anak Febris Convulsi riwayat yang menonjol adalah adanya demam yang dialami oleh anak. Demam ini
dilatarbelakangi adanya penyakit lain yang terdapat pada luar kranial seperti tonsdilitis,faringitis. Anak masih
menjalani aktifitas sehari-hari seperti biasa misalya bermain dengan teman sebaya, pergi sekolah.
2. Pengkajian Fungsional
b. Kemungkinan ada gangguan jalan nafas yang dibuktikan dengan peningkatan frekuensi pernafasan >30x/menit
dengan irama yang cepat dan dangkal.
d. Untuk pengkajian pola kebutuhan atau fungsi yang lain kemungkinan belum terjadi gangguan kalau ada mungkin
sebatas ancaman seperti penurunan personal hygine, aktifitas, intake nutrisi.
Secara umum kejang demam ini tidak menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika terjadi komplikasi
lanjut dari Febris Convulsi maka akan terjadi gangguan tumbuh kembang. Berikut ini adalah bentuk dari gangguan
tumbuh kembang yang dapat terjadi pada anak dengan Febris Convulsi:
a. Keterlambatan pertumbuhan berat badan yang kurang, tinggi badan yang kurang akibat penurunan asupan mineral.
b. Anak juga dapat mengalami gangguan perkembangan seperti penurunan kepercayaan diri akibat sering kambuhnya
penyakit, sehingga anak lebih diam bersama ibunya.
c. Sulit berinteraksi dengan teman sebayanya. Saat dirawat dirumah sakit anak terlihat diam, sulit berinteraksi, jarang
menyetuh mainan.
d. Selain itu dapat mengalami gangguan penurunan kempuan motorik kasar seperti meloncat, berlari.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang sering muncul pada anak dengan kejang demam meliputi:
a. Resiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon terhadap lingkungan
b. Resiko asfiksia berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme otot bronkus.
e. Resiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan nutrisi.
C. Perencanaan
Sebagian besar kejang demam sudah berhenti pada saat anak dibawa ke RS. Akan tetapi, jika kejang ini terus
berlanjut, terapi yang duberikan terdiri atas pengendalian kejang dengan pemberian Diazepam dan penurunan suhu
dengan pembrian Asitaminofen. Pada anak-anak yang mengalami kejang biasa, tetapi profilaksis antileptik tidak
dianjurkan.
a. Resiko cidera (terjatuh, terkena benda tajam) berhubungan dengan penurunan respon terhadap lingkungan
Tujuan keperawatan yang hendak diatasi adalah pasien terhindar dari jatuh setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama ... x 24 jam
Rencana tindakan:
1. Observasi tanda – tanda vital meliputi tekanan darah, suhu, nadi dan RR.
Rasional : perubahan lingkungan yang akan berdampak dan berpengaruh terhadap respon klien yang terlihat dari
perubahan tanda – tanda vital.
2. Tempatkan anak pada tempat tidur yang lunak dan rata seperti bahan matras
Rasional: menjaga posisi tubuh lurus yang dapat berdampak pada lurusnya
jalan nafas
5. Jelaskan kepada orang tua untuk memberikan tempat yang luas dan menjauhkan dari benda yang tajam
b. Resiko asfiksia berhubungan dengan penutupan faring oleh lidah, spasme otot bronkus
Tujuan yang diharapkan: Pasien terhindar dari gangguan asfiksia setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...
x 24 jam
Rencana Tindakan:
1. Monitor kepatenan jalan nafas, frekuensi pernafasan, irama pernafasan Rasional: frekuensi meningkat dengan irama
pernafasan yang cepat sebagai salah satu indikasi sumbatan jalan nafas yang cepat sebagai salah satu indikasi
sumbatan jalan nafas oleh benda asing, contohnya cacing.
Rasional: posisi ini menurunkan tahanan tekanan intraabdomial terhadap paru-paru. Hiperekstensi ini membuat jalan
nafas dalam posisi luar dan bebas hambatan.
Rasional: mengurangi tekanan pada rongga thorak sehinngga terjadi keterbatasan pengembangan paru.
5. Edukasikan pada pasien pentingnya mengatur posisi agar tidak terjadi obstruksi jalan nafas.
Rasional : menambah pengetahuan pasien tentang penyakit terkait.
6. Kolaborasi pemberian anti kejang. Contoh: pemberian diazepam dengan dosisi rata-rata 0,3 mg/kgBB/kali
pemberian.
Rasional: diazepam bekerja menurunkan tingkat fase depolarisasi yang cepat di sistem persyarafan pusat sehingga
dapat terjadi penurunan spasme pada otot dan persyarafan perifer.
Tujuan yang diharapkan: pasien terhindar dari ganguan perfusi jaringan setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama ... x 24 jam
Rencana Tindakan:
Rasional: kapiler kecil mempunyai volume darah yang relatif kecil dan sensitif sebagai tanda terhadap penurunan
oksigen darah.
Pemberian oksigen dengan memakai masker atau nasal bicanul denagn dosis rata-rata 3 liter/menit.
Rasional: oksigen tabung memepunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen lingkungan sehingga mudah masuk ke
paru-paru. Pemberian dengan masker karena mempunyai prosentase sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran
pernafasan..
2. Hindarkan anak dari rangsangan yang berlebihan baik suara, mekanik maupun cahaya.
Rasional: rangsangan akan meningkatkan fase eksitasi persyarafan yang dapat menaikan kebutuhan oksigen
jaringan.
3. Tempatkan pasien pada ruangan dengan sirkulasi udara yang baik (ventilasi memenuhi ¼ dari luas ruangan).
Rasional: meningkatkan jumlah udara yang masuk dan mencegah hipoksemia jaringan.
4. Edukasikan pentingnya pembatasan aktivitas yang dapat meningkatkan tekanan intra kranial.
Rasional : aktivitas yang membuat pasien lelah dan aktivitas yang berat akan meningkatkan tekanan intra kranial
dan akan mempengaruhi tekanan darah pasien.
5. Kolaborasi pemberian terapi oksigen dengan memakai masker atau nasal bekanul dengan dosis rata – rata 3
liter/menit.
Rasional : oksigen tabung mempunyai tekanan yang lebih tinggi dari oksigen lingkungan sehingga mudah masuk ke
paru – paru. Pemberian dengan masker karena mempunyai prosentase sekitar 35% yang dapat masuk ke saluran
pernafasan.
d. Hipertermi berhubungan infeksi kelenjar tonsil, telinga, bronkus atau pada tempat lain.
Hasil yang diharapkan: pasien terhindar dari hipertermi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam
Rencana tindakan:
1. Pantau suhu tubuh anak tiap setengah jam atau sesuai kondisi pasien
Rasional: Peningkatan suhu tubuh yang melebihi 39°C dapat beresiko terjadinya kerusakan saraf pusat karena akan
meningkatkan neurotransmiter yang dapat meningkatkan eksitasi neuron.
Rasional: Pada saat dikompres panas tubuh anak akan berpindah ke media yang digunakan untuk mengompres
karena suhu tubuh relatif lebih tinggi.
3. Beri pakaian anak yang tipis dari bahan yang halus seperti katun
Rasional: Pakaian yang tipis akan memudahkan perpindahan panas dari tubuh ke lingkungan. Bahan katun akan
menghindari iritasi kulit pada anak karena panas yang tinggi akan membuat kulit sensitif terhadap cidera.
4. Jaga kebutuhan cairan anak sesuai kebutuhan cairan normal melalui pemberian intravena, oral dengan patokan
kebutuhan seperti tabel diatas
Rasional: Cairan yang cukup akan menjaga kelembaban sel, sehingga sel tubuh tidak mudah rusak akibat suhu
tubuh yang tinggi. Cairan intravena juga berfungsi mengembalikan cairan yang banyak hilang lewat proses
evaporasi ke lingkungan.
5. Kolaborasi pemberian antipiretik (aspirin dengan dosis 60 mg/tahun /kali pemberian), antibiotik (sesuai dengan
jenis golongan mikroorganisme penyebabyang umum dapat digunakan golongan penisilin)
Rasional: Antipiretik akan mempengaruhi ambang panas pada hipotalamus. Antipiretik juga akan mempengaruhi
penurunan neurotransmiter seperti prostaglandin yang berkontribusi timbulnya nyeri saat demam. Antibiotik
berfungsi untuk membunuh bakteri.
e. Resiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) berhubungan dengan penurunan asupan nutrisi
Kondisi yang diharapkan: pasien terhindar dari resiko gangguan pertumbuhan (berat badan rendah) setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam
Rencana tindakan:
Rasional: Berat banan sebagai salah satu indikator jumlah massa sel dalam berat badan rendah menunjukan terjadi
penurunan jumlah dan massa sel tubuh yang tidak sesuai dengan umur. Asupan kalori sebagai bahan dasar
pembentukan massa sel tubuh.
2. Ciptakan suasana yang menarik dan nyaman saat makan seperti dibawa ke ruangan yang banyak gambar untuk
anak sambil diajak bermain.
Rasional: Dapat membantu peningkatan respon korteks serebri terhadap selera makan sebagai dampak rasa senang
pada anak
3. Anjurkan orangtua untuk memberikan anak makan pada kondisi makanan hangat
Rasional: Makanan hangat akan mengurangi kekentalan sekresi mukus pada faring dan mengurangi respon mual
gaster.
4. Anjurkan orangtua memberikan makan pada anak dengan porsi sering dan sedikit (setiap jam anak diprogramkan
makan)
Rasional: Menggurangi massa makanan yang pada lambung yang dapat menurunkan rangsangan nafsu makan pada
otak.
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk memberikan makanan yang sesuai dengan diet yang diberikan dokter.
Rasional: Asupan nutrisi yang adekuat, akan mempertahankan keseimbangan berat badan sesuai normal seseorang
sehingga tidak terjadi gangguan dalam pertumbuhannya.
DAFTAR PUSTAKA
Chynthia M.Taylor. 2002. Diagnosis Keperawatan dengan Rencana Asuhan edisi 10.Jakarta: EGC
Hidayat, Aziz Alimul, 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak,Buku 2,Jakarta, Salemba Medika
Hassan,Rusepno,2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan anak 2, Cetakan Kesebelas,Jakarta. Bagian Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Lumbantobing,1996. Penatalaksaan Mutlak Mutakir Kejang Pada Anak,Jakarta.FKUI
Riyadi,Sujono Sukimin, 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak,Yogyakarta,Graha Ilmu
http://www.clicdokter.ac.id/
BAB 1
TINJAUAN TEORI
1.1.4. Klasifikasi
Menurut Fukuyama menjadi 2 golongan
1) Kejang demam sederhana
Ciri :
(1) Sebelumnya tidak ada riwayat keluerga yang menderita epilepsy
(2) Sebelumnya tidak ada riwayat cidera otak oleh penyebab lain
(3) Serangan demam (kejang demam) terjadi antara lain 6 bulan – 6 tahun
(4) Lama kejang 15 menit
(5) Tidak didapatkan gejala atau abnormalitas pasca kejang
(6) Tidak didapatkan abnormalitas neolorgis atau perkembangan
(7) Kejang tidak berlangsung atau berulang dilain waktu singkat
2) Kejang demam kompleks
Cirri :
(1) Kejang fokal
(2) Kejang > 15 menit
(3) Kejang berulang
(Lumbantobing , 4)
1.1.7. Penatalaksanaan
Medik
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu di kajikan
1) Memberantas kejang secepatnya mungkin
(1) Obat pilihan adalah diazepam yang diberikan secara intravena
(2) Diare paru : dosis :
- BB 10 kg : 0,5 – 0,7 mg/kg BB Iv
- BB 20 kg : 0,5 mg 1 kg BB IV
- Usia 5 tahun : 0,3 – 5 mg/kg BB IV
(3) Diazepam Supp :
- BB 10 kg : 5 mg
- BB 10 kg : 10 mg
(4) Pengobatan penunjang
Perawatan
- Semua pakaian dibuka
- Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi lembut
- Bebaskan jalan nafas
- Penghisap lender teratur dan beri O2
(5) Pengobatan rumatan
Propilaksis Intermitas
- Mencegah terulangnya kejang demam
a. Diazepam paroid atau rectal
b. Campuran anti piretik dan konvulean
- Profilaksi jangka panjang
- Obat yang sering digunakan :
a. Fenobarbital
b. Sodium valpoat atau asam valpoat
c. Femition
(6) Mencari dan mengobati penyebab
1.2.2.2 Risiko tinggi cedera berhubungan dengan gangguan hantaran neuron pada otak
1) Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1 x 24 jam masalah tidak menjadi aktual
2) Kriteria hasil :
(1) Tidak terjadi kejang
(2) Tidak terjadi cedera saat kejang
3) Intervensi :
(1) Menganjurkan orang tua untuk memberikan pengaman pada sisi tempat tidur pasien
R : Mencegah terjadinya cidera saat kejang
(2) Menganjurkan orang tua untuk membersihkan saliva yang keluar dari mulut
R : Mencegah terjadinya aspirasi
(3) Menganjurkan keluarga untuk memberikan benda yang lunak untuk digigit saat kejang
R : Mencegah tergigitnya lidah saat kejang
(4) Menganjurkan orang tua memantau tanda-tanda kejang
R : Mengantisipasi penanganan kejang
(5) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi obat Depaken ½ tab
R : Efek obat diharapkan dapat mencegah kejang
1.2.2.4 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kebutuhan oksigen otak kurang ( Hipoksemia berat )
sekunder terhadap terjadinya kejang
1) Batasan Karakteristik
Mayor:
(1) Perubahan frekuensi pernafasan
(2) Perubahan nadi (frekuensi, irama, kualitas)
Minor:
(1) Takipnea, hipernea, hiperventilasi
(2) Irama pernafasan tidak teratur
(3) Pernapasan yang berat
2) Tujuan
(1) Perawat dapat menurunkan tanda dan gejala gangguan pertukaran gas
(2) Pasien dapat menunjukkan peningkatan perubahan pertukaran gas seperti tanda vital, nilai AGD dan
ekspresi wajah.
3) Kriteria Hasil
(1) Menunjukkan frekuensi pernafasan yang efektif
(2) Menyatakan gejala berkurang
(3) Menyatakan faktor-faktor penyebab dan menyatakan cara koping adaptif untuk mengatasinya
4) Intervensi dan rasional :
(1) Observasi TTV
R : Mengidentifikasi keadaan pasien dalam intervensi yang diberikan
(2) Kaji adanya bunyi nafas tambahan, peningkatan pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan
kelemahan
R : Identifikasi adanya PK pulmonary edema
(3) Berikan posisi tidur semi fowler
R : Posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru
(4) Evaluasi perubahan pada tingkat kesadaran, catat sianosis dan atau perubahan warna kulit termasuk
membran mukosa dan kuku
R : Akumulasi secret atau pengaruh jalan nafas dapat mengganggu oksigenasi organ vital jaringan
(5) Tingkatkan tirah baring atau batasi aktivitas dan bantu aktivitas perawatan diri sesuai keperluan
R : Menurunkan konsumsi oksigen atau kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat
menurunkan beratnya gejala
(6) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian oksigen
R : Alat dalam memperbaiki hipoksemia yang dapat terjadi sekunder terhadap penurunan ventilasi atau
menurunnya permukaan alveolar paru
(7) Kolaborasi dalam pemberian obat
R : Dengan terapi pengobatan dapat mempercepat proses penyembuhan
1.2.2.5 PK Hipoglikemia
1) Tujuan :
Perawat akan menangani dan meminimalkan terjadinya hiperglikemi
2) Kriteria Hasil :
1. GDP dan GDS 76 – 110 mg/dl.
2. GD 2 JPP < 140 mg/dl.
3. Tidak terjadi tanda – tanda hiperglikemi
( penurunan kesadaran, keringat dingin, kesemutan )
3) Intervensi
(1) Pantau tanda dan gejala DKA ( GD > 300 mg / dl, aceton darah positif, bau napas keton, hipotensi, Na, K
menurun,, takikardi )
R : Bila insulin tidak tersedia, glukosa darah akan meningkat dan tubuh akan memetabolisme
lemak untuk kebutuhan energi dan menghasilkan benda – benda keton.
(2) Pantau status hidrasi pasien, tanda – tanda dehidrasi.
R : Mencegah hidrasi berlebihan / kekurangan hidrasi.
(3) Pantau status neurologis pasien.
R : Fluktuasi kadar glukosa, asidosis dan keadaan cairan dapat mempengaruhi fungsi neurologis karena
sirkulasi yang tidak adekuat.
(4) Pantau sirkulasi pasien.
R : Dehidrasi berat menyebabkan penurunan curah jantung dan terjadi vasokontriksi sebagai kompensasi
tubuh.
(5) Kolaborasi dalam pemberian glukosa
R : Memenuhi kebutuhan glukosa dalam darah
5 5
5 5
7. Sistem Endokrin
Tidak ada riwayat penyakit DM
4. Rontgen
Tidak dilakukan pemeriksaan
5. Terapi
Valim 2,5 mg IV Prn Kejang dapat diulang max 3X selang 5 menit
Valdimex 2 mg Tid PO bila panas dan selama panas
Paracetamol 4 cc Q 5 jam ( rutin 1 hari )
Biokid 5 cc QH
Nasafed 1,5 cc Tid
Freís 2,5 cc QH
Dexametason 2,5 mg IV Q 8 Jam ( rutin 1 hari )
IV Kaen 4B 25 cc / jam
Diit Nasi LPLC
Kediri, 1 – 4 – 2011
Mahasiswa,
2.5 PERENCANAAN
Tanggal
Tanggal dihentikan/
No Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional Dibuat/Paraf Paraf
Risiko 1. 1.
Ukur TTV ( suhu Memantau
hipertermi / dan nadi ) peningkatan
Peningkatan metabolisme dan
suhu tubuh proses infeksi
berhubungan yang dapat
dengan demam menimbulkan
sekumder kejang.
2. Pantau adanya /
terhadap
metabolisme terjadinya kejang
tubuh Tujuan : berulang 2. Bangkitan kejang
meningkat yang Tidak terjadi berulang dapat
ditandai dengan terjadi apabila
peningkatan
S ; 36 4 O C , terjadi kenaikan
Suhu suhu tubuh. suhu mendadak
tanggal31-3- 3. Observasi KU yang melebihi
2009jam 12 Kriteria hasil : pasien, akral tingkat adaptasi
am : 388OC , tubuh.
pasien MRS1. S : 36 – 37 O C pasien / perfusi
karena kejang 2.2 Anak tidak
X, tidak kejang 4. Kolaborasi
terdapat 3. Keadaan perfusi
3. Akral hangat dengan dokter
kelumpuhan perifer
ekstremitas, 4. Nadi 90 – 110 dalam pemberian menunjukkan
1. reflek patella + x / menit. terapi : sirkulasi adekuat. 1 – 4 – 2009
/ +. Antipiretik.
4. Antipiretik sebagai
Antikonvulsi
pengacu daru
Steroid pusat pengaturan
suhu di
hipotalamus
sehingga dapat
mengatasi dan
mencegah
terjadinya
peningkatan suhu
tubuh melebihi
tingkat adaptasi
tubuh.
Antikonvulsi
untuk mengurangi
letupan neural,
membantu
aktifitas asam
amino penghambat
atau mengurangi
letupan lambat
dari neuron
talamus.
Steroid sebagai
pemutus rantai
infeksi tetapi dapat
menimbulkan
sistem imun.
Tujuan :
Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh.
Kriteria hasil :
1. S : 36 – 37 O C
2. Anak tidak kejang
3. Akral hangat
4. Nadi 90 – 110 x / menit.
Implementasi Keperawatan :
12 am
Tujuan :
Keluarga pasien dapat mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan saat di rumah saat anak
panas dan kejang.
Kriteria hasil :
1. Keluarga dapat menjelaskan pengertian peningkatan suhu tubuh.
2. Keluarga dapat menjelaskan dampak peningkatan suhu tubuh
3. Keluarga dapat menjelaskan fugsi penatalaksanaan dirumah saat terjadi panas.
4. Keluarga dapat menjelaskan penatalaksanaan dirumah saat terjadi panas. dan kejang
Implementasi Keperawatan :
2.7 EVALUASI
O:
S : 36 2 O C
Nadi : 100 X / menit
Tidak terjadi kejang berulang
Akral hangat
A : Tujuan tercapai
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, Aziz. A. (2001). Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta : CV. Sagung Seto.
Doengoes, Marilyn E. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta :Media Aesculapius FKUI. Edisi III.
Price dan Wilson. (1995). Patofisiologi. Jilid 2. Terjemahan : Peter Anugrah. Jakarta : EGC.