Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
AGREGAT ANAK SEKOLAH DENGAN GASTRO ENTERITIS AKUT

Disusun Oleh:
1. Baruno Eko (S160
2. Dewi Yuni A. (S160
3. Kiki (S16034)
4. M. Rais P. (S16030)
5. Rika Nilam (S16051)
6. Sari Malak (S16055)
7. Siti Zumrotun M. (S16058)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKES KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan usia yang rawan terserang berbagai penyakit, misalnya
diare, kecacingan dan anemia. Berdasarkan data WHO bahwa setiap tahun
100.000 anak Indonesia meninggal akibat diare, angka ke'adian kecacingan
mencapai angka 40-60 % (Depkes, 2010).
Anak usia sekolah merupakan individu yang berusia antara 5-12 dan
merupakan masa peralihan antara masa anak)anak dengan masa rema'a,
sedangkan anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-13 tahun yang
masih duduk dibangku sekolah dasar (Stanhope & Lancaster, 2009 Steward,
2009).
Menurut World Helath Organization (WHO) diare adalah kejadian buang
airbesar dengan konsistensi lebih cair dari biasanya, dengan frekuensi tiga kali
atau lebih dalam periode 24 jam. Diare merupakan penyakit berbasis lingkungan
yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit,
protozoa, dan penularannya secara fekal-oral. Diare dapat mengenai semua
kelompok umur baik balita, anak-anak dan orang dewasa dengan berbagai
golongan sosial. Diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di
kalangan anak-anak kurang dari 5 tahun. Secara global terjadi peningkatan
kejadian diare dan kematian akibat diare pada balita dari tahun 2015-2017. Pada
tahun 2015, diare menyebabkan sekitar 688 juta orang sakit dan 499.000
kematian di seluruh dunia tejadi pada anak-anak dibawah 5 tahun. Data WHO
(2017) menyatakan, hampir 1,7 miliar kasus diare terjadi pada anak dengan
angka kematian sekitar 525.000 pada anak balita tiap tahunnya.
Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan merupakan penyakit
potensial Kejadian Luar Biasa (KLB) yang sering disertai dengan kematian.
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia (2016), terjadi KLB diare tiap tahun
dari tahun 2013 sampai 2016 dengan disertai peningkataan CFR (Case Fatality
Rate). Pada tahun 2013, CFR diare adalah 1,08% meningkat menjadi 1,14% pada
tahun 2014. Peningkatan CFR saat KLB di Indonesia terus terjadi hingga 2,47%
pada tahun 2015 dan 3,04% pada tahun 2016. Angka CFR ini belum sesuai
dengan yang diharapkan yaitu <1%.(6) Data Kementrian Kesehatan Indonesia
(2016) menyatakan, jumlah kasus diare yang ditangani instansi kesehatan di
Indonesia menurun tiap tahunnya. Pada tahun 2016 penderita diare di Indonesia
yang ditangani sebanyak 46,4% dari jumlah penderita diare keseluruhan yang
tercatat berjumlah 6.897.463 orang.(6) Pada tahun 2015, jumlah kasus yang
ditangani 4.017.861 orang, sedangkan pada tahun 2014 jumlah penangan kasus
diare oleh instansi kesehatan adalah 8.490.976 orang.
Menurut WHO, kejadian diare sering dikaitkan dengan sumber air yang
tercemar, sanitasi yang tidak memadai, praktik kebersihan yang buruk, makanan
yang terkontaminasi dan malnutrisi.(13) Kejadian diare dapat disebabkan
beberapa faktor antara lain : faktor pendidikan, pekerjaan, sosial ekonomi dan
faktor makanan dan minuman yang dikonsumsi, faktor balita seperti umur balita,
gizi balita, serta faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian Anjar (2009), diketahui bahwa ada hubungan
antara faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi dengan kejadian diare balita.
Menurut Seftalina (2016), terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dan
penghasilan keluarga dengan kejadian diare pada balita. Penelitian ini juga
didukung oleh Risa (2015) yang menyatakan terdapat hubungan yang bermakna
antara pendidikan ibu, umur balita, sumber air minum, pengolahan air, kualitas
fisik air dan tempat buang air (sanitasi) dengan kejadian diare balita di Sumatera.
Penelitian Lendra (2014) menyatakan terdapat hubungan yang bermakna
antara sumber air minum yang tidak memnuhi syarat dengan kejadian diare pada
anak balita. Penelitan Azkiya (2014) menyatakan sarana air bersih yang tidak
memenuhi syarat memiliki resiko 1,8 kali menyebabkan diare balita. Salah satu
sarana air bersih (SAB) yang memiliki pengaruh besar terhadap kejadian diare
adalah sumber air minum. Balita yang mengkonsumsi air minum yang tidak
memenuhi syarat memiliki resiko menderita diare 2,61 kali dibandingkan dengan
balita yang mengkonsumsi air minum yang memenuhi syarat.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh GEA (Gastro Enteritis Akut)
terhadap usia anak sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. KONSEP ANAK USIA SEKOLAH


Anak merupakan usia yang rawan terserang berbagai penyakit,
misalnya diare, kecacingan dan anemia. Berdasarkan data WHO bahwa setiap
tahun 100.000 anak Indonesia meninggal akibat diare, angka ke'adian
kecacingan mencapai angka 40-60 % (Depkes, 2010).
Anak usia sekolah merupakan individu yang berusia antara 5-12 dan
merupakan masa peralihan antara masa anak)anak dengan masa rema'a,
sedangkan anak usia sekolah dasar adalah anak yang berusia 6-13 tahun yang
masih duduk dibangku sekolah dasar (Stanhope & Lancaster, 2009 Steward,
2009).
Anak usia sekolah merupakan generasi penerus bangsa sebagai sumber
daya manusia pada masa yang akan datang. Kualitas bangsa dimasa depan di
tentukan oleh kualitas anak-anak saat ini. Anak usia sekolah sering disebut
sebagai periode peralihan antara masa pra sekolah dengan masa remaJa. Pada
kondisi ini akan terjadi banyak perubahan pada diri anak usia sekolah (AUS)
baik dari kondisi fisik, mental, sosial serta terjadi peningkatan kemampuan
dan keterampilan motorik. Hal ini akan mempengaruhi tumbuh kembang dan
kesehatan usia sekolah (AUS) (Suryani, 2009).
Perilaku Hidup Bersih Sehat dapat diterapkan di sekolah atau
diberikan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan. Pendidikan
kesehatan merupakan usaha untuk menyiapkan siswa agar dapat tumbuh
kembang sesuai, selaras, seimbang dan sehat baik fisik, mental, sosial dan
lingkungan melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan yang
diperlukan bagi peranannya saat ini maupun di masa yang akan datang
(Ananto, 2010). Pendidikan kesehatan bagi anak bertujuan menambah
kebiasaan hidup sehat agar dapat bertangung jawab terhadap kesehatan diri
sendiri dan lingkungannya serta ikut aktif dalam usaha-usaha kesehatan.
Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah memberikan pengetahuan tentang
prinsip dasar hidup sehat, menimbulkan sikap dan perilaku hidup sehat, dan
membentuk kebiasaan hidup sehat (Fitriani, 2012). Ada beberapa indikator
PHBS yang dilakukan di sekolah, yaitu cuci tangan dengan air bersih dan
sabun; jajan di kantin sekolah, BAB dan BAK di jamban; buang sampah di
tempatnya; berolah raga; mengukur tinggi dan berat badan; memeriksa jentik
nyamuk; dan tidak merokok di sekolah (NotoatmodJo, 2010). Salah satu
perilaku hidup sehat yang dilakukan anak sekolah diantaranya adalah mencuci
tangan dengan sabun.
WHO (2009) memperkirakan sekitar 3 triliun penduduk dunia, 2
milyar diantaranya menderita penyakit infeksi. Jumlah tersebut didominasi
oleh populasi anak usia sekolah. Anak pada hakikatnya merupakan aset
terpenting dalam tercapainya keberhasilan suatu negara, karena merupakan
generasi penerus bangsa selan'utnya.derajat kesehatan anak pada saat ini
belum bisa dikatakan baik karena masih banyak terdapat masalah kesehatan
khususnya pada anak sekolah. Anak usia sekolah merupakan kelompok usia
yang kritis karena pada usia tersebut rentan terhadap masalah kesehatan.
masalah tersebut timbul karena kurangnya pengetahuan serta kesadaran akan
pentingnya kesehatan terutama kebiasaan mencuci tangan.
Cuci tangan merupakan salah satu solusi yang murah dan efektif
dalam pencegahan penyakit menular, namun kebiasaan mencuci tangan
hingga saat ini masih dianggap remeh. Berdasarkan kajian WHO cuci tangan
menggunakan sabun dapat mengurangi angka kejadian diare sebesar 47%.
Berbagai macam jenis penyakit yang dapat timbul terkait kebiasaan mencuci
tangan yaitu diare, infeksi saluran pernapasan, flu burung (H1N1) , dan
cacingan. Penyakit-penyakit yang timbul tersebut akan mempengaruhi
tumbuh kembang anak sehingga mengakibatkan proses belaJar mengajar
terganggu (Romeo, 2011).
Upaya pemerintah dalam mengatasi masalah tentang kebersihan yaitu
dengan mengeluarkan keputusan menteri kesehatan nomor
1193/menkes/SK/X/2004 tentang visi Promosi kesehatan RI adalah Perilaku
Hidup Bersih Sehat (2010). Perilaku hidup bersih dan sehat atau PHBS terdiri
dari beberapa indikator khususnya PHBS tatanan sekolah yaitu mencuci
tangan dengan air yang mengalir dan memakai sa bun (Romeo, 2011).

II. LAPORAN PENDAHULUAN


A. Pengertian
Gastroentrintis atau diare adalah penyakit yang ditandai dengan
bertambahnya defekasi berlebih dari biasanya (>3x/sehari) disertai dengan
perubahan konsistensi tinja menjadi cair. (Nanda 2018)
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinal yang
disebabkan oleh bakteri yang bermacam macam, virus dan parasit yangn
pathogen (wong 2015).

B. Etiologi
Menurut surharyono dalam wicaksono (2011) , ditinjau dari sudut
patofisiologinya, maka penyebab gastroenteritis akut (diare akut) dapat dibagi
menjadi 2 golongan yaitu :
a. Diare sekresi (secretory diarrhea), disebabkan oleh :
1) Infeksi virus, kuman kuman patogen dan apatogen :
a) Infeksi bakteri misalnya Escherichia coli, shigella dusentriae
b) Infeksi virus misalnya rotavirus, Norwalk
c) Infeksi parasit misalnya Entamoeba hystolitica, giardiasis lambia
2) Hiperperistaltik usus halus yang dapat disebabkan oleh bahan bahan
kimia, makanan, gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf,
hawa dingin, alergi
b. Diare osmotic (osmotic diarrhea), disebabkan oleh :
a. Malabsorbsi makanan (karbohidrat, lemak, protein, vitamin dan
mineral)
b. Kurang kalori protein
c. Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir

C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari gastroenteritis akut biasanya bervariasi. dari
salah satu hasil penelitian yang dilakukan pada orang dewasa, mual (93%),
muntah (81%) atau diare (89%), dan nyeri abdomen (76%) umumnya
merupakan gejala yang paling sering dilaporkan oleh kebanyakan pasien.
Selain itu terdapat tanda-tanda dehidrasi sedang sampai berat, seperti
membran mukosa yang kering, penurunan turgor kulit, atau perubahan status
mental, terdapat pada <10 % pada hasil pemeriksaan. Gejala pernafasan, yang
mencakup radang tenggorokan, batuk, dan rinorea, dilaporkan sekitar 10%.
(Bulens,2012)
Sedangkan gatroenteritis akut karena infeksi bakteri yang mengandung
atau memproduksi toksin akan menyebabkan diare sekretorik (watery
diarhhea) dengan gejala-gejala mual, muntah, dengan atau tanpa demam yang
umumnya ringan, disertai atau tanpa nyeri/kejang perut, dengan feses lembek
atau cair. Umumnya gejala diare sekretorik timbul dalam beberapa jam setelah
makan atau minurnan yang terkontaminasi.( Sudoyo,2009)
Diare sekretorik (watery diarhea) yang berlangsung beberapa waktu
tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan kematian
karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau
karena gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena
kehilangan cairan seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata
menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menumn serta
suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini disebabkan deplesi air yang
isotonik. ( Sudoyo,2009)
Sedangkan kehilangan bikarbonas dan asam karbonas berkurang yang
mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan
Kussmaul). Reaksi ini adalah usaha badan untuk mengeluarkan asam
karbonas agar pH darah dapat kembali normal. Gangguan kardiovaskular pada
tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda
denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun sampai tidak terukur. Pasien
mulai gelisah muka pucat ujung-ujung ektremitas dingin dan kadang sianosis
karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat timbul aritmia jantung.
( Sudoyo,2009)

D. Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi
utama, terutama pada lanjut usia dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera,
kehilangan cairan terjadi secara mendadak sehingga cepat terjadi syok
hipovolemik. Kehilangan elektrolit melalui feses dapat mengarah terjadinya
hipokalemia dan asidosis metabolic. (Amin,2015)
Pada kasus-kasus yang terlambat mendapat pertolongan medis, syok
hipovolemik sudah tidak dapat diatasi lagi, dapat timbul nekrosis tubular akut
ginjal dan selanjutnya terjadi gagal multi organ. Komplikasi ini dapat juga
terjadi bila penanganan pemberian cairan tidak adekuat, sehingga rehidrasi
optimal tidak tercapai. (Amin,2015)
Haemolityc Uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi terutama
oleh EHEC. Pasien HUS menderita gagal ginjal, anemia hemolisis, dan
trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS meningkat setelah
infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti-diare, tetapi hubungannya
dengan penggunaan antibiotik masih kontroversial. (Amin,2015)
Sindrom Guillain – Barre, suatu polineuropati demielinisasi akut,
merupakan komplikasi potensial lain, khususnya setelah infeksi C. jejuni; 20-
40% pasien Guillain – Barre menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu
sebelumnya. Pasien menderita kelemahan motorik dan mungkin memerlukan
ventilasi mekanis. Mekanisme penyebab sindrom Guillain – Barre belum
diketahui.2 Artritis pascainfeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah
penyakit diare karena Campylobacter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia spp.
(Amin,2015)

E. Patofisiologi dan pathway


Gastroenteritis bisa disebabkan oleh 4 hal, yaitu faktor infeksi (bakteri,
virus, parasit), faktor malabsorbsi, faktor makanan dan faktor psikologis.
Diare karena infeksi seperti bakteri, berawal dari makanan atau minuman
yang terkontaminasi dan tertelan masuk ke dalam saluran pencernaan. Sistem
pertahanan tubuh di lambung yaitu asam lambung, dapat membunuh bakteri
yang masuk ke dalam lambung, namun apabila jumlah bakteri terlalu banyak,
maka dapat lolos dan masuk ke duodenum kemudian berkembang biak. Pada
kebanyakan kasus gastroenteritis, organ tubuh yang diserang adalah usus.
Bakteri di dalam usus akan memproduksi enzim yang dapat mencairkan
lapisan lendir permukaan usus, sehingga bakteri dapat masuk ke dalam
membran epitel, dan akan mengeluarkan toksin yang dapat merangsang
sekresi cairan-cairan usus di bagian kripta villi dan menghambat absorbsi
cairan. Akibatnya volume cairan di dalam lumen usus meningkat yang
mengakibatkan dinding usus menggembung dan tegang, dan akan terjadi
hipemotilitas untuk menyalurkan cairan di usus besar. Apabila jumlah cairan
tersebut melebihi kapasitas absorbsi usus maka akan terjadi diare (Ngastiyah,
2012).
Diare yang disebabkan malabsorbsi makanan oleh usus terjadi karena
peningkatan tekanan osmotik di dalam rongga usus. Peningkatan tekanan
osmotik terjadi karena makanan atau zat di usus yang tidak dapat diserap.
Sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga
usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
terjadi diare (Ngastiyah, 2012).
Makanan beracun juga dapat menyebabkan diare apabila tertelan.
Makanan beracun di dalam usus akan menyebabkan iritasi mukosa usus dan
mengakibakan hiperperistaltik, sehingga terjadi penurunan absorbsi usus, dan
timbul diare. Peristaltik yang menurun juga dapat menyebabkan diare karena
bakteri tumbuh berlebihan (Ngastiyah, 2012).
Adanya iritasi mukosa usus dan peningkatan volume cairan di lumen
usus menyebabkan nyeri pada abdomen. Selain itu, nyeri abdomen atau kram
juga timbul karena metabolisme karbohidrat oleh bakteri di usus yang
menghasilkan gas H2 dan CO2 yang juga akan menimbulkan kembung dan
flatus berlebihan. Biasanya pada keadaan ini juga akan timbul keluhan mual
muntah dan nafsu makan menurun. Hal ini dikarenakan terjadinya
ketidakseimbangan asam-basa dan elektrolit (Ngastiyah, 2012).
Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan akan menyebabkan
dehidrasi, yang ditandai dengan penurunan berat badan, turgor kulit berkurang,
mata cekung, mukosa bibir dan mulut serta kulit tampak kering. Tubuh yang
kehilangan cairan dan elektrolit berlebihan, terjadi penurunan volume cairan
ekstrasel dan intrasel dan juga mengalami penurunan Na, K dan ion karbonat.
Bila keadaan ini terus berlangsung, maka volume darah juga akan berkurang.
Tubuh akan mengalami gangguan sirkulasi, perfusi jaringan terganggu dan
akhirnya dapat menyebabkan syok hipovolemik dengan gejala denyut jantung
meningkat, nadi cepat dan lemah, penurunan tekanan darah , dan penurunan
kesadaran. Akibat lain dari kehilangan cairan tubuh yang berlebihan adalah
terjadinya asidosis metabolik dimana pasien akan pucat dan pernapasan
menjadi cepat dan dalam (pernapasan kussmaul) (Ngastiyah, 2012).
Faktor psikologis juga dapat menyebabkan diare. Kondisi psikologis
seperti stress, marah dan takut dapat merangsang kelenjar adrenalin di bawah
pengendalian sistem persarafan simpatis untuk merangsang pengeluaran
hormon yang bekerja mengatur metabolisme tubuh. Sehingga bila terjadi stres
maka metabolisme meningkat dalam bentuk peningkatan motilitas usus
(Ngastiyah, 2005).

Skema 2.1 Patofisiologi Gastroenteritis


(ngastiyah,2012)
F. Penatalksanaan (medis dan keperawatan)
a. Medis
Penatalaksanaan diare akut karena infeksi pada orang dewasa terdiri atas:
rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan, memberikan terapi
simptomatik, dan memberikan terapi definitive ( Sudoyo,2009)
1) Terapi Rehidrasi
Langkah pertama dalam menterapi diare adalah dengan rehidrasi,
dimana lebih disarankan dengan rehidrasi oral. Akumulasi kehilangan
cairan (dengan penghitungan secara kasar dengan perhitungan berat
badan normal pasien dan berat badan saat pasien diare) harus ditangani
pertama. Selanjutnya, tangani kehilangan cairan dan cairan untuk
pemeliharaan. Hal yang penting diperhatikan agar dapat memberikan
rehidrasi yang cepat dan akurat, yaitu (Barr.2017)
a) Jenis cairan
Pada saat ini cairan Ringer Laktat merupakan cairan pilihan karena
tersedia cukup banyak di pasaran, meskipun jumlah kaliumnya
lebih rendah bila dibandingkan dengan kadar Kalium cairan tinja.
Apabila tidak tersedia cairan ini, boleh diberikan cairan NaCl
isotonik. Sebaiknya ditambahkan satu ampul Na bikarbonat 7,5%
50 ml pada setiap satu liter infus NaCl isotonik. Asidosis akan
dapat diatasi dalam 1-4 jam. Pada keadaan diare akut awal yang
ringan, tersedia di pasaran cairan/bubuk oralit, yang dapat
diminum sebagai usaha awal agar tidak terjadi dehidrasi dengan
berbagai akibatnya. Rehidrasi oral (oralit) harus mengandung
garam dan glukosa yang dikombinasikan dengan air.
( Sudoyo,2009)
b) Jumlah Cairan
Pada prinsipnya jumlah cairan yang hendak diberikan sesuai
dengan jumlah cairan yang keluar dari badan. Kehilangan cairan
dari badan dapat dihitung dengan memakai Metode Daldiyono
berdasarkan keadaan klinis dengan skor. Rehidrasi cairan dapat
diberikan dalam 1-2 jam untuk mencapai kondisi rehidrasi
(Amin,2015)
c) Jalur Pemberian Cairan
Rute pemberian cairan pada orang dewasa terbatas pada oral dan
intravena. Untuk pemberian per oral diberikan larutan oralit yang
komposisinya berkisar antara 29g glukosa, 3,5g NaCl, 2,5g Na
bikarbonat dan 1,5g KCI setiap liternya. Cairan per oral juga
digunakan untuk memperlahankan hidrasi setelah rehidrasi inisial.
( Sudoyo,2009).
2) Terapi Simtomatik
Pemberian terapi simtomatik haruslah berhati-hati dan setelah
benar-benar dipertimbangkan karena lebih banyak kerugian daripada
keuntungannya. Hal yang harus sangat diperhatikan pada pemberian
antiemetik, karena Metoklopropamid misalnya dapat memberikan
kejang pada anak dan remaja akibat rangsangan ekstrapiramidal. Pada
diare akut yang ringan kecuali rehidrasi peroral, bila tak ada
kontraindikasi dapat dipertimbangkan pemberian Bismuth subsalisilat
maupun loperamid dalam waktu singkat. Pada diare yang berat obat-
obat tersebut dapat dipertimbang dalam waktu pemberian yang singkat
dikombinasi dengan pemberian obat antimikrobial.3
3) Terapi Antibiotik
Pemberian antibiotik secara empiris jarang diindikasikan pada
diare akut infeksi, karena 40% kasus diare sembuh kurang dari 3 hari
tanpa pemberian antibiotik. (amin.2015)
Antibiotik diindikasikan pada pasien dengan gejala dan tanda
diare infeksi, seperti demam, feses berdarah, leukosit pada feses,
mengurangi ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau
penyelamatan jiwa pada diare infeksi, diare pada pelancong dan pasien
immunocompromised. Pemberian antibiotic dapat secara empiris,
tetapi antibiotic spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi
kuman (Amin,2015)
b. Keperawatan
Masalah klien diare yang perlu diperhatikan adalah resiko terjadinya
ganggaun sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, gangguan rasa nyaman,
resiko komplikasi mengingat sebagian besar diare menular, maka perlu
dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada yang
lain. Selain daripada itu dapat dilakukan pemberian nutrisi yang adekuat
dan menjaga asupan makanan yang masuk ketubuh merupakan makanan
yang sehat dan bergizi (tarwoto, 2015).
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian
a. Pengkajian Keperawatan
1) Identitas
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan.
Kebanyakan kuman usus merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini
membantu menjelaskan penurunan insidence penyakit pada anak yang lebih
besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif mulai terbentuk.
Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric
menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi
juga berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
2) Keluhan Utama
BAB lebih dari 3 kali sehari
3) Riwayat Penyakit Sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercampur lendir dan darah atau lendir saja.
Konsistensi encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari
(diare akut), lebih dari 7 hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari
(diare kronis).
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau
kortikosteroid jangka panjang (perubahan candida albicans dari saprofit
menjadi parasit), alergi makanan, ISPA, ISK, OMA campak.
5) Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa,
porsi yang diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu.
kekurangan gizi pada anak usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan
makanan yang baik, menjaga kebersihan dan sanitasi makanan, kebiasan
cuci tangan,
6) Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
7) Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan,
lingkungan tempat tinggal.
8) Riwayat Pertumbuhan dan perkembangan
a) Pertumbuhan
1) Kenaikan BB karena umur 1 –3 tahun berkisar antara 1,5-2,5 kg
(rata-rata 2 kg), PB 6-10 cm (rata-rata 8 cm) pertahun.
2) Kenaikan linkar kepala : 12cm ditahun pertama dan 2 cm ditahun
kedua dan seterusnya.
3) Tumbuh gigi 8 buah : tambahan gigi susu; geraham pertama dan
gigi taring, seluruhnya berjumlah 14 – 16 buah
4) Erupsi gigi : geraham perama menusul gigi taring.
b) Perkembangan
Tahap perkembangan Psikoseksual menurut Sigmund Freud:
 Fase anal : Pengeluaran tinja menjadi sumber kepuasan libido,
mulai menunjukan keakuannya, cinta diri sendiri/ egoistic, mulai
kenal dengan tubuhnya, tugas utamanyan adalah latihan kebersihan,
perkembangan bicra dan bahasa (meniru dan mengulang kata
sederhana, hubungna interpersonal, bermain).
Tahap perkembangan psikososial menurut Erik Erikson:
 Autonomy vs Shame and doundt
 Perkembangn ketrampilan motorik dan bahasa dipelajari anak
toddler dari lingkungan dan keuntungan yang ia peroleh Dario
kemam puannya untuk mandiri (tak tergantug). Melalui dorongan
orang tua untuk makan, berpakaian, BAB sendiri, jika orang tua
terlalu over protektif menuntut harapan yanag terlalu tinggi maka
anak akan merasa malu dan ragu-ragu seperti juga halnya perasaan
tidak mampu yang dapat berkembang pada diri anak.
 Gerakan kasar dan halus, bacara, bahasa dan kecerdasan, bergaul
dan mandiri : Umur 2-3 tahun :
1. berdiri dengan satu kaki tanpa berpegangan sedikitpun
2. hitungan (GK)
3. Meniru membuat garis lurus (GH)
4. Menyatakan keinginan sedikitnya dengan dua kata (BBK)
5. Melepas pakaian sendiri (BM)
9) Pemeriksaan Fisik
a) pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan
mengecil, lingkar kepala, lingkar abdomen membesar,
b) keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran
menurun.
c) Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada
anak umur 1 tahun lebih
d) Mata : cekung, kering, sangat cekung
e) Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen,
peristaltic meningkat > 35 x/mnt, nafsu makan menurun, mual
muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap dan kelihatan
haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum
f) Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena
asidosis metabolic (kontraksi otot pernafasan)
g) Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi
menurun pada diare sedang.
h) Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu
meningkat > 375 0
c, akral hangat, akral dingin (waspada syok),
capillary refill time memajang > 2 detik,kemerahan pada
daerahperianal.
i) Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400
ml/ 24 jam ), frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j) Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami
stress yang berupa perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap
tindakan invasive respon yang ditunjukan adalah protes, putus asa,
dan kemudian menerima.
10) Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium :
 feses kultur : Bakteri, virus, parasit, candida
 Serum elektrolit : Hiponatremi, Hipernatremi, hipokalemi
 AGD : asidosis metabolic ( Ph menurun, PO2 meningkat,
PCO2 meningkat, HCO3 menurun )
 Faal ginjal : UC meningkat (GGA)
2) Radiologi : mungkin ditemukan bronchopemoni

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangan cairan skunder terhadap diare.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan diare
atau output berlebihan dan intake yang kurang
3. Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses infeksi
sekunder terhadap diare
4. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan
frekwensi diare.
5. Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive.
6. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang
pengetahuan.
c. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan
dengan kehilangan cairan skunder terhadap diare
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
keseimbangan dan elektrolit dipertahankan secara maksimal
Kriteria hasil :
 Tanda vital dalam batas normal (N: 120-60 x/mnt, S; 36-37,50 c, RR : <
40 x/mnt )
 Turgor elastik , membran mukosa bibir basah, mata tidak cowong, UUB
tidak cekung.
 Konsistensi BAB lembek, frekwensi 1 kali perhari
Intervensi :
1) Pantau tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit
2) Beri LRO (larutan rehidrasi oral)
3) Berikan LRO sedikit tapi sering/anjurkan keluarga untuk memberi minum
banyak pada kien, 2-3 lt/hr
4) Setelah rehidrasi berikan diet regular pada anak sesuai toleransi
5) Pantau intake dan output (urin, feses, dan emesis)
6) Timbang berat badan setiap hari
7) Kaji TTV, turgor kulit, membrane mukosa, dan status mental setiap 4 jam
atau sesuai indikasi
8) Hindari masukan cairan jernih seperti jus buah, minuman berkarbonat, dan
gelatin
9) Kolaborasi :
- Pemeriksaan laboratorium serum elektrolit (Na, K,Ca,
BUN)
- Cairan parenteral ( IV line ) sesuai dengan umur
- Obat-obatan : (antisekresin, antispasmolitik, antibiotik)
10) Instruksikan keluarga dalam memberikan terapi yang tepat, pemantauan
masukkan dan keluaran, dan mengkaji tanda-tanda dehidrasi
Diagnosa 2 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan tidak adekuatnya intake dan out
put
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama dirumah di RS
kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria : - Nafsu makan meningkat
- BB meningkat atau normal sesuai umur
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan tentang pembatasan diet (makanan berserat tinggi,
berlemak dan air terlalu panas atau dingin)
2) Ciptakan lingkungan yang bersih, jauh dari bau yang tak sedap atau sampah,
sajikan makanan dalam keadaan hangat
3) Berikan jam istirahat (tidur) serta kurangi kegiatan yang berlebihan
4) Observasi dan catat respos terhadap pemberian makan
5) Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
a. terapi gizi : Diet TKTP rendah serat, susu
b. obat-obatan atau vitamin ( A)
6) Instruksikan keluarga dalam memberikan diet yang tepat

Diagnosa 3 : Resiko peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses


infeksi dampak sekunder dari diare
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 3x 24 jam tidak terjadi
peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil : suhu tubuh dalam batas normal ( 36-37,5 C)
Tidak terdapat tanda infeksi (rubur, dolor, kalor, tumor, fungtio leasa)
Intervensi :
1) Monitor suhu tubuh setiap 2 jam
2) Berikan kompres hangat
3) Kolaborasi pemberian antipirektik

Diagnosa 4 :Resiko gangguan integritas kulit perianal berhubungan dengan


peningkatan frekwensi BAB (diare)
Tujuan : setelah dilakukan tindaka keperawtan selama di rumah sakit integritas
kulit tidak terganggu
Kriteria hasil : - Tidak terjadi iritasi : kemerahan, lecet, kebersihan terjaga
- Keluarga mampu mendemontrasikan perawatan perianal dengan baik
dan benar
Intervensi :
1) Diskusikan dan jelaskan pentingnya menjaga tempat tidur
2) Demontrasikan serta libatkan keluarga dalam merawat perianal (bila basah
dan mengganti pakaian bawah serta alasnya)
3) Atur posisi tidur atau duduk dengan selang waktu 2-3 jam

Diagnosa 5 : Kecemasan anak berhubungan dengan tindakan invasive


Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan selama di rumah sakit, klien
mampu beradaptasi
Kriteria hasil : Mau menerima tindakan perawatan, klien tampak tenang dan tidak
rewel
Intervensi :
1) Libatkan keluarga dalam melakukan tindakan perawatan
2) Hindari persepsi yang salah pada perawat dan RS
3) Berikan pujian jika klien mau diberikan tindakan perawatan dan pengobatan
4) Lakukan kontak sesering mungkin dan lakukan komunikasi baik verbal
maupun non verbal (sentuhan, belaian dll)
5) Berikan mainan sebagai rangsang sensori anak.
Diagnosa 6 : Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi,
kurang pengetahuan.
Tujuan : Keluarga memahami tentangg penyakit anaknya dan pengobatannya
serta mampu memberikan perawatan.
Kriteria hasil : Keluarga menunjukkan kemampuan untuk merawat anak, khususnya
di rumah.
Intervensi :
1) Berikan informasi pada keluarga tentang penyakit anak dan tindakan terapeutik
2) Bantu keluarga dalam memberikan rasa nyaman dan dukungan pada anak.
3) Izinkan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak sebanyak
yang mereka inginkan
4) Instruksikan keluarga mengenai pencegahan
5) Atur perawatan kesehaan pascahospitalisasi
6) Rujuk keluarga pada lembaga perawatan kesehatan komunitas
DAFTAR PUSTAKA

Amin L. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education. 2015;42(7):504-8.

Barr, w. and smith, a. (2017). [online] Available at: http://Acute Diarrhea in Adults
WENDY BARR, MD, MPH, MSCE, and ANDREW SMITH, MD Lawrence
Family Medicine Residency, Lawrence, Massachusetts [Accessed 5 Mar. 2017].

Bresee, J., Bulens, S., Beard, R., Dauphin, L., Slutsker, L., Bopp, C., Eberhard, M.,
Hall, A., Vinje, J., Monroe, S. and Glass, R. (2012). The Etiology of Severe
Acute Gastroenteritis Among Adults Visiting Emergency Departments in the
United States. Journal of Infectious Diseases, 205(9), pp.1374-1381.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009

Ngastiyah. 2012 Perawatan Anak Sakit, Edisi.II. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai