Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN SISTEM NEUROBEHAVIOUR

TELAAH JURNAL

Faktor Lingkungan dan Staf Keperawatan yang


Berkontribusi terhadap Perilaku Agresif dan Kekerasan
dari Pasien di Fasilitas Kesehatan Mental

Oleh :
MEDHIA IQLIMA (1411312010)

FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ANDALAS
2016
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gangguan jiwa didefenisikan sebagai suatu sindrom atau perilaku yang penting secara
klinis yang terjadi pada seseorang dan dikaitakan dengan adanya distress (misalnya
gejala nyeri) atau disabilitas (kerusakan pada satu atau lebih area fungsi yang penting).
Ancaman atau kebutuhan yang tidak terpenuhi mengakibatkan seseorang stress berat
membuat orang marah bahkan kehilangan kontrol kesadaran diri, misalnya: memaki-
maki orang di sekitarnya, membantingbanting barang, menciderai diri sendiri dan orang
lain, bahkan membakar rumah, mobil dan sepeda montor. Umumnya klien dengan
perilaku kekerasan dibawa dengan paksa ke rumah sakit jiwa. Sering tampak klien diikat
secara tidak manusiawi disertai bentakan dan pengawalan oleh sejumlah anggota
keluarga bahkan polisi.
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga/ orang lain, merusak alat rumah
tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh
keluarga. Penanganan yang dilakukan oleh keluarga belum memadai sehingga selama
perawatan klien seyogyanya sekeluarga mendapat pendidikan kesehatan tentang cara
merawat klien (manajemen perilaku kekerasan).
Perilaku kekerasan merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. WHO (2001)
menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental.
WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami gangguan
kesehatan jiwa. Pada masyarakat umum terdapat 0,2 0,8 % penderita skizofrenia dan
dari 120 juta penduduk di Negara Indonesia terdapat kira-kira 2.400.000 orang anak yang
mengalami gangguan jiwa (Maramis, 2004 dalam Carolina, 2008). Data WHO tahun
2006 mengungkapkan bahwa 26 juta penduduk Indonesia atau kira-kira 12-16 persen
mengalami gangguan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, jumlah penderita
gangguan jiwa di Indonesia mencapai 2,5 juta orang (WHO, 2006).

1.2 RUMUSAN MASALAH


- Apa itu perilaku kekerasan?
- Apa etiologi dari perilaku kekerasan?
- Bagaimana manifestasi klinis dari perilaku kekerasan?
- Bagaimana rentang respon dari perilaku kekerasan?
- Apakah factor lingkungan dan perawat dapan mempengaruhi pasien untuk
melakukan perilaku kekerasan?

1.3 TUJUAN
- Untuk mengetahui definisi dari perilaku kekerasan
- Untuk mengetahui etiologi dari perilaku kekerasan
- Untuk mengetaui manifestasi klinis dari perilaku kekerasan
- Untuk mengatahui rentang respon dari perilaku kekerasan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif.
PK (perilaku kekerasan) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat memebahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain,
disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol.

2.2 ETIOLOGI
a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami tiap orang yang merupakan factor
predisposisi, artinya mungkin terjadi/ mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika
faktor berikut dialami oleh individu:
Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang kemudian
dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan
yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar rumah, semua aspek ini
menstimulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan.
Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif agresif) dan
kontrol sosial yang tidak pasti terhadap pelaku kekerasan akan menciptakan
seolah-olah perilaku kekerasan yang diterima (permissive).
Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Prespitasi
Faktor prespitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau interaksi dengan
orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusan,
ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi penyebab perilaku
kekerasan. Demikian pula dengan situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang
mengarah pada penghinaan, kehilangan orang yang dicintai/ pekerjaan dan kekerasan
merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi sosial yang provokatif dan konflik
dapat pula memicu perilaku kekerasan.

2.3 MANIFESTASI KLINIS


Menyerang orang yang sedang mengusiknya jika sedang kesal atau kesal
Nada suara tinggi dan keras
Mengungkapkan perasaan tidak berguna
benci / kesal dengan seseorang
Suka membentak
Sering pula tampak klien memaksakan kehendak
Pandangan tajam
Suka merampas barang milik orang lain
Mata merah dan wajah agak merah
Bicara menguasai
Mengungkapkan adanya keluhan fisik, berdebar-debar, merasa tercekik, dada sesak,
bingung
Otot tegang
Berdebat
Mengeluh perasaan terancam

2.4 RENTANG RESPON


Respons kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif mal adaptif. Rentang
respon kemarahan dapat digambarkan sebagai berikut:
Frustasi adalah respons yang timbul akibat gagal mencapai tujuan atau keinginan.
Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan. Akibat dari ancaman
tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
Assertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan orang lain,
atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
Agresif merupakan perilaku yang menyertai marah namun masih dapat dikontrol oleh
individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak orang lain. Dia
berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk mendapatkan kepentingan
sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain.
Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol
diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain.
Pasif adalah respons dimana individu tidak mampu mengungkapkan perasaan yang
dialami.
BAB III
TELAAH JURNAL

3.1 Identitas Jurnal


a. Judul : Faktor Lingkungan dan Staf Keperawatan yang
Berkontribusi terhadap Perilaku Agresif dan Kekerasan dari Pasien di Fasilitas
Kesehatan Mental
b. Tahun Penelitian : 2014
c. Penulis Jurnal : Evalina van Wijk1 Annalene Traut1 Hester Julie1

3.2 Manfaat Penulisan Jurnal


Adapun manfaat dari jurnal ini yaitu:
Menambah wawasan perawat sebagai petugas kesehatan
Dengan adanya hasil penelitiaan pada jurnal ini juga bisa membuat perawat untuk
melakukan penelitian lanjutan
Dengan jurnal ini, diharapkan petugas kesehatan terutama perawat dapat membantu
dalam mencegah agar tidak terjadinya resiko perilaku kekerasan di fasilitas kesehatan
mental

3.3 Kelebihan Jurnal

Penelitian ini memaparkan dengan jelas tentang metode penelitian. Hasil penelitian
juga dipaparkan dengan sangat jelas.
3.4 Kekurangan Jurnal

Penelitian ini terbatas pada dua fasilitas kesehatan mental di Cape Town; temuannya
mungkin karena itu tidak dapat digeneralisasikan untuk fasilitas lain di tempat lain.

3.5 RINGKASAN/SINOPSIS

Latar Belakang: Perilaku agresif dan kekerasan dari pasien rawat inap di fasilitas
kesehatan mental mengganggu aliansi terapeutik dan menghambat pengobatan.
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan persepsi pasien dari
kemungkinan faktor lingkungan dan staf yang mungkin berkontribusi terhadap perilaku
agresif dan kekerasan mereka setelah masuk ke fasilitas kesehatan mental; dan untuk
mengusulkan strategi untuk mencegah dan mengelola perilaku tersebut.
Desain penelitian: Sebuah kualitatif, memanfaatkan studi fenomenologis, di mana pasien
rawat inap sebagai sampel diwawancarai selama enam bulan. Pasien rawat inap diundang
untuk berpartisipasi. Metode: Empat puluh pasien rawat inap di dua fasilitas kesehatan
mental di Cape Town berpartisipasi dalam face to face, wawancara semi-terstruktur
selama enam bulan. metode deskriptif Tesch ini terbuka membentuk kerangka kerja untuk
analisis data dan presentasi hasil. Kepercayaan dipastikan sesuai dengan prinsip-prinsip
kredibilitas, konfirmabilitas, ditransfer dan diandalkan. Hasil: Analisis data menunjukkan
dua kategori utama dalam faktor yang berkontribusi terhadap
pasien perilaku agresif dan kekerasan, yaitu, faktor lingkungan dan sikap dan perilaku
staf. Kesimpulan: Dari perspektif pasien rawat inap termasuk dalam studi ini, agresif dan
kekerasan yang umum dan memerlukan intervensi. strategi khusus untuk mencegah
seperti perilaku yang diusulkan dan dianjurkan bahwa strategi ini akan dimasukkan ke
dalam program pelatihan pelayanan staff di fasilitas kesehatan mental. Strategi ini bisa
mencegah, atau mengurangi, perilaku agresif dan kekerasan di fasilitas rawat inap.

3.6 PEMBAHASAN

Perilaku agresif dan kekerasan dari pasien di fasilitas kesehatan mental terjadi secara
global dan merupakan masalah klinis dan perawatan yang serius dan sering. Baru-baru
ini diterbitkan meta-analisis ditemukan 71 laporan dalam literatur yang berhubungan
dengan subjek ini (Papadopoulos et al. 2012). Namun, di dua rumah sakit kesehatan
mental negara besar di Cape Town, tidak jelas yang faktor yang berkontribusi terhadap
perilaku seperti itu, seperti yang terlihat dari perspektif pasien.
Dari perspektif internasional, kedua studi kualitatif dan kuantitatif melaporkan bahwa
perilaku agresif dan kekerasan pasien bukan hanya manifestasi patologi yang mendasari,
tapi bisa dipicu oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan dan lingkungan
staf (James et al. 1990).
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan di mental bangsal masuk kesehatan tertutup
pada tahun 1997, Nijman et al. (1999) melaporkan satu insiden agresif per hari. insiden
tersebut merupakan ancaman bagi keselamatan dan kesejahteraan pasien dan staf
keperawatan (Palmstierna & Wistedt 2000). Untuk meminimalkan terjadinya perilaku
agresif dan kekerasan dari pasien dengan penyakit mental, sebuah lingkungan terapeutik
harus dibuat yang mempromosikan kesehatan yang optimal dan kesejahteraan di
lingkungan yang aman dan tidak mengancam (Rawlins, Williams & Beck 1993).

Masalah: Observasi ini memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 'Apa


faktor lingkungan dan staf terkait yang dapat menyebabkan perilaku agresif dan
kekerasan pada bagian dari pasien setelah masuk ke fasilitas kesehatan mental?'
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan menggambarkan
persepsi pasien 'faktor yang mungkin (environmental- dan staf terkait) yang mungkin
berkontribusi terhadap perilaku agresif dan kekerasan mereka setelah masuk ke fasilitas
kesehatan mental, serta re-kontekstualisasi temuan sebagai proposal untuk mencegah dan
mengelola perilaku tersebut.

DESIGN DAN METODE PENELITIAN

Design Penelitian: Sesuai dengan tujuan yang dijelaskan di atas, penelitian


fenomenologis kualitatif dilakukan. Fenomenologi berkonsentrasi pada pengalaman
hidup individu dalam kehidupan dunia mereka, memunculkan kesamaan dan berbagi
makna (Polit & Beck 2013).

Objek Penelitian: Populasi untuk penelitian ini direkrut dari pasien dari dua bangsal
pada masing-masing dua fasilitas kesehatan mental negara di Cape Town. Ini bangsal
yang 'terbuka', yang memungkinkan pasien bergerak tanpa batas dan keluar dari
bangsal. Para peserta mencerminkan kelompok ras dari daerah rujukan; dengan
demikian, mereka datang dari ras campuran, hitam (terutama Xhosa) dan masyarakat
putih. Pada saat penelitian, semua pasien menerima obat.
Peserta bisa dari berbagai latar belakang budaya, tetapi harus:

* 18 tahun atau lebih tua

* Diakui selama setidaknya tujuh hari (telah dirawat setidaknya selama 7hari)

* Telah menyatakan minat dalam topik penelitian dan menunjukkan kesediaan untuk
berbagi pandangan dan pengalaman mereka dengan cara wawancara audio yang
direkam

* Berhubungan dengan kenyataan (tidak psikotik) dan memahami tujuan dari penelitian
ini

* Telah menandatangani informed consent untuk partisipasi studi.

Wawancara dengan masing-masing peserta dipandu oleh jadwal wawancara yang


semi-terstruktur. Jadwal ini terdiri satu set pertanyaan terbuka tapi telah ditentukan
berdasarkan pada model eksternal dan situasional perilaku agresif dan kekerasan,
seperti yang dijelaskan oleh Duxbury (2002). Wawancara menggunakan bahasa inggris.
Wawancara berlangsung di lingkungan yang bebas dari gangguan dan masing-masing
berlangsung selama satu sampai dua jam.

Para peserta diminta tiga pertanyaan sentral:


* Apa yang Anda pikirkan tentang faktor-faktor lingkungan yang mungkin yang dapat
berkontribusi terhadap agresi pasien dan perilaku kekerasan di lingkungan?
* Apa yang Anda pikirkan tentang faktor staf mungkin yang dapat berkontribusi
terhadap perilaku seperti di bangsal?
* Apa yang dapat dilakukan untuk mencegah dan mengelola perilaku seperti itu?

Setiap akhir wawancara, peneliti meringkas hasil wawancara dan menuliskannya


dalam catatan lapangan. Wawancara berlanjut sampai pengulangan tema dalam sampel
menunjukkan bahwa saturasi data yang telah dicapai.

Meskipun ukuran sampel ditujukan untuk penelitian ini awalnya 25 peserta, peneliti
melanjutkan untuk mewawancarai 40, terdiri dari 20 pasien di masing-masing lokasi
penelitian, sebelum ia puas bahwa saturasi data yang telah dicapai. Peningkatan ini
diperlukan karena beberapa pasien yang telah menyatakan minat dalam penelitian dan
telah memberikan persetujuan mereka, berpartisipasi buruk selama wawancara dan
tidak berlanjut setelah sekitar 10 menit, dengan hasil adalah bahwa wawancara ini tidak
memiliki kedalaman.

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI

Metode deskriptif Tesch terbuka digunakan untuk menganalisis transkrip wawancara


dan catatan lapangan. Peneliti, serta seorang peneliti eksternal berpengalaman dalam
analisis data kualitatif, baik kode set data yang sama secara independen, menggunakan
protokol dijelaskan oleh Tesch (Creswell 2012). Data dari pasien di kedua rumah sakit
diberi kode bersama dan diperiksa oleh coder eksternal. Pengawas studi memeriksa
semua transkrip untuk memastikan bahwa makna peserta belum diubah selama proses
analitik. Selanjutnya, deskripsi tematik keseluruhan dikembangkan tentang pengalaman
para pasien rawat inap dan persepsi faktor yang berkontribusi terhadap perilaku sedang
dipertimbangkan. Kedua penalaran deduktif dan induktif yang diterapkan dalam rangka
merumuskan strategi yang mungkin untuk pencegahan dan pengelolaan perilaku itu.

HASIL
Usia peserta berkisar antara 21 sampai 55 tahun. Tiga puluh dua peserta yang
menganggur dan standar pendidikan tertinggi adalah Standard 8 (kelas 10). Semua 40
peserta melaporkan telah terlibat dalam, atau terkena, beberapa bentuk agresi dan
kekerasan fisik di lingkungan. Tiga tema muncul, yang dua isu terkait di lingkungan
lingkungan: dua isu ini adalah kondisi hidup dan suasana lingkungan. Ketiga tema
bersangkutan interaksi staf (staf dan interaksi pasien). Beberapa tumpang tindih
ditemukan antara berbagai pola diidentifikasi dalam setiap tema. Penyakit mental
peserta dan kesusahan yang disebabkan oleh karena dirawat ke fasilitas kesehatan.

FAKTOR LINGKUNGAN

Tema 1: Kondisi hidup

Lingkungan tidak higienis: Setelah masuk ke fasilitas kesehatan mental, peserta


segera didorong ke sebuah lingkungan yang mereka tidak pernah percaya bisa
mungkin ada di rumah sakit. Bangsal yang kotor menyebabkan banyak kemarahan
dan ketidakpuasan. Pasien merasakan bahwa mereka sedang diabaikan oleh staf dan
tidak mendengarkan, ketika mereka mengeluh tentang keadaan miskin dan tidak
higienis lingkungan. Hal ini menyebabkan frustrasi di antara peserta dan meningkat
di amarah.
Ketika diminta untuk menyarankan strategi untuk mencegah perilaku agresif dan
kekerasan, peserta mengatakan bahwa staf harus memastikan bahwa semua item,
termasuk tempat tidur, yang bersih dan rapi; prosedur pembersihan harus dilakukan
sesuai dengan rutinitas rumah sakit dan tambahan yang diperlukan; langkah-langkah
pengendalian hama secara teratur harus di tempat; lantai harus dicuci dengan air dan
sabun setiap hari; pasien harus dididik tentang larangan mengenai merokok dan
makan di kamar mandi; kamar mandi harus disediakan dengan sampah sampah; dan
staf perawat harus mendengarkan ketika pasien meningkatkan kekhawatiran
mereka.

Kualitas dan kuantitas makanan: Frustrasi tentang kualitas dan kuantitas makanan
yang menyebabkan rasa takut dan kecemasan.

Ketidak-tersedianya pemenuhan kebutuhan sehari-hari: Setelah dirawat di fasilitas


kesehatan mental, peserta dalam penelitian merasa terhina dan ngeri tentang
ketidak-tersedianya pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Selain itu, mereka merasa
bahwa ini memberikan kontribusi terhadap kemarahan dan ketidakpuasan bahwa
mereka merasa selama mereka tinggal di bangsal.

Peserta menyarankan strategi berikut untuk mendorong kebiasaan kebersihan yang


baik dan mengurangi tingkat frustrasi pasien: staf harus memastikan bahwa ada
pasokan yang cukup sampo, wajah kain, handuk dan kertas toilet untuk perawatan
pribadi sehari-hari; dan mereka harus mendengarkan ketika pasien melaporkan
masalahini.

Kurangnya privasi: penderitaan peserta yang mengakui ke fasilitas kesehatan


mental diperparah oleh pelanggaran hak-hak pasien untuk privasi dan kesadaran
bahwa informasi pribadi mereka tidak disimpan sebagai rahasia.
Para peserta dianjurkan strategi berikut untuk menghindari perilaku negatif: tim
multidisiplin harus menyimpan informasi pasien 'rahasia; pasien dan staf
keperawatan harus didorong untuk menghormati privasi dan hak milik pribadi; dan
rumah sakit harus memberikan suatu daerah di mana pasien dapat memiliki
beberapa 'waktu sendirian' atau dapat memiliki percakapan secara pribadi dengan
kerabat dan teman-teman mereka.

Tingkat kebisingan: Meskipun para peserta menyadari bahwa mereka semua yang
membutuhkan pengobatan, mereka terombang-ambing antara perasaan marah dan
ketidakberdayaan tentang pasien sesama mereka yang berisik dan menghina pasien
lain. Hal ini mengakibatkan ledakan agresif dan kekerasan.
Berkenaan dengan tingkat kebisingan di lingkungan, peserta menyarankan bahwa
perawat harus memperhatikan keluhan pasien tentang volume yang sangat tinggi
dari TV dan musik.

Pengalaman negatif dari pengasingan: Dari 40 pasien yang terlibat dalam


penelitian ini, 37 menjadi sasaran pengasingan. Pengasingan dianggap sebagai
pengalaman menakutkan dan luar biasa.
Peserta merasa bahwa anggota staf harus menunjukkan kemampuan interpersonal
yang baik ketika membantu pasien; dan bahwa ruang yang dialokasikan untuk
pengasingan harus berada dalam lingkungan yang aman di mana pasien tidak dapat
merugikan diri mereka sendiri.

Kurangnya kegiatan terstruktur: Para peserta menyampaikan keprihatinan mengenai


kurangnya interaksi terstruktur dan sosialisasi (misalnya acara lingkungan,
kelompok terapi, wawancara.), Terutama selama akhir pekan.
Peserta menyarankan bahwa mereka harus memiliki lebih banyak akses ke terapi
okupasi dan kegiatan kelompok yang menarik. Selain itu, program pengobatan
harus dibuat lebih fleksibel sehingga dapat sesuai dengan kebutuhan mereka; dan
staf harus lebih didekati ketika pasien ingin membahas ketidakbahagiaan mereka
mengenai kurangnya aktivitas.

Tema 2: Suasana Bangsal


Tidak menghormati pasien budaya, agama dan hak: Semua peserta studi sukarela
mengatakan bahwa mereka telah diberitahu tentang hak-hak mereka pada saat
masuk, termasuk hak mereka untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
mengenai hal-hal yang mempengaruhi kesehatan mereka. Namun, peserta
melaporkan bahwa budaya, agama dan hak-hak beberapa pasien yang terlalu
dilanggar. Pasien mengeluh tentang konsistensi perawatan di bangsal dan
pergeseran keperawatan yang berbeda, melaporkan bahwa beberapa staf tidak
memperlakukan semua pasien sama-sama,
Peserta penelitian menyarankan agar pasien diberikan kebebasan berbicara
mengenai hal-hal yang mempengaruhi mereka; mereka harus diterima tanpa syarat,
terlepas dari perilaku mereka. Pada saat masuk, pasien harus diberitahu tentang hak-
hak mereka. Selain itu, integritas orang dari semua pasien harus dilindungi setiap
saat; staf perawat harus dibuat sadar tentang bagaimana menghormati ditunjukkan
dalam berbagai budaya; latar belakang budaya pasien harus dipertimbangkan ketika
rencana perawatan mereka dirumuskan; dan staf harus menghindari menciptakan
situasi yang mempermalukan pasien, dimana mereka memaksa mereka untuk
melakukan sesuatu yang bertentangan dengan agama mereka.

Penggunaan obat dan suntikan untuk menjaga pasien tenang: Sayangnya, 30 dari
40 peserta yang dirasakan sedasi sebagai mekanisme untuk menjaga mereka tenang,
bukan untuk memperlakukan mereka. Jika mereka tidak berperilaku atau bertindak
sebagai staf perawat menuntut, mereka diancam dengan pengasingan atau suntikan.
Peserta penelitian menyarankan bahwa staf harus mendengarkan apa yang pasien
katakan; dan bahwa obat-obatan, pengekangan fisik dan pengasingan tidak boleh
digunakan sebagai ancaman atau hukuman.

Kebiasaan merokok pasien: Isu mengenai rokok yang bermasalah bagi perokok dan
non-perokok. Non-perokok yang frustrasi karena hak-hak mereka tidak dilindungi.
Misalnya, mereka dipaksa untuk duduk di hari kamar yang sama dengan perokok.
Para peserta menyarankan bahwa ruang disediakan di mana perokok bisa menikmati
rokok mereka dan bahwa keluarga pasien harus didorong untuk memberikan uang
atau rokok untuk anggota keluarga mereka. Para perokok merasa bahwa staf
perawat harus melindungi mereka dari pasien yang sudah kehabisan rokok.
Merasa tidak aman di lingkungan: Untuk peserta, pasien yang berbahaya dan tak
terduga di lingkungan membuatnya merasa tidak aman.
Peserta menyarankan bahwa staf harus lebih sadar mengenai pasien ketakutan,
kecemasan, frustrasi dan perasaan intimidasi dan korban oleh sesama pasien dan
bahkan oleh anggota staf keperawatan tertentu.

FAKTOR PERAWAT

Sikap dan perilaku staf keperawatan: Peserta dalam penelitian ini menyebutkan
bahwa mereka takut dengan sikap konsisten toleran, kaku dan otokratis anggota staf
keperawatan tertentu. Akibatnya, mereka tidak merasa nyaman membicarakan emosi
mereka karena takut reaksi dari staf mereka, termasuk ancaman dari pengasingan atau
suntikan. Dalam studi ini, partisipan melaporkan bahwa beberapa anggota staf
perawat, laki-laki maupun perempuan, termasuk lembaga dan staf permanen, yang
kaku, menghakimi dan kasar. Hanya sebagian kecil dari peserta yang dirasakan staf
perawat sebagai didekati, menyenangkan dan tersedia untuk mendengarkan masalah
mereka dengan empati.

Sebuah pernyataan umum adalah bahwa semua staf perawat harus berkomunikasi
dengan pasien secara langsung dan tidak melalui staf keamanan. Selain itu, mereka
harus lebih tersedia dan bersedia untuk membantu dengan permintaan pasien.

3.7 KESIMPULAN
Dua kategori utama masalah telah diidentifikasi, setelah menganalisis faktor sukarela
oleh peserta penelitian sebagai kontribusi untuk perilaku agresif dan kekerasan mereka.
Yang pertama dari faktor-faktor lingkungan yang terlibat, seperti kondisi hidup dan
suasana lingkungan; yang kedua adalah sikap dan perilaku staf. episode agresif dan
kekerasan yang umum dan memerlukan intervensi. strategi khusus untuk mengurangi atau
mencegah perilaku seperti diusulkan, dengan penekanan pada peningkatan berkaitan
dengan interaksi pasien-staf melalui pelatihan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
PK (perilaku kekerasan) adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan
yang dapat memebahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain,
disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol. Perilaku kekerasan juga bisa
dicegah dengan berbagai cara, seperti adanya simulasi persepsi.
Perilaku kekerasan yang terjadi di fasilitas kesehatan mental ternyata dapat
dipengaruhi oleh dua factor besar yaitu factor lingkungan dan pelayanan dari perawat itu
sendiri. Oleh karena itu diperlukan strategi pencegahan atau perbaikan agar perilaku
kekerasan tidak terjadi lagi di fasilitas kesehatan mental.

4.2 SARAN
Penulis berharap agar pembaca dapat memahami dan juga mengaplikasikan hal-hal
penting dari isi jurnal penelitian ini. Agar kedepannya kita semua sebagai tim kesehatan
dapat mencegah timbulnya perilaku kekerasan di fasilitas kesehatan baik mental maupun
non-mental dan juga agar dapat memberikan pelayanan yang maksimal bagi pasien
ataupun klien.
DAFTAR PUSTAKA

www.proquest.com

Marifatul, lilik.2011.keperawatan jiwa.yogyakarta:graha ilmu

Kusumawati, farida. 2010.Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta :salemba medika

Anda mungkin juga menyukai