Anda di halaman 1dari 5

Desa Adat Penglipuran Bali

1. Basa sing Digunakake

Basa sing digunakake ing desa Penglipuran Bali yaiku Bali. Bali iku basa Austronesia saka cabang
Sundik lan luwih spesifik tinimbang anak cabang Bali-Sasak. Basa iki utamané dipituturake ing pulo
Bali, bagéan kulon pulo Lombok, lan sethithik ing tlatah wétan pulo Jawa. Penglipuran wong pribumi
ing Bali yaiku wong pribumi sing ngerti modernisasi. Senadyan status masarakat pribumi, masyarakat
Desa Penglipuran ing Bali ora nutup diri ing modhèrnisasi. Salah sijine yaiku ana macem-macem jenis
barang modern sing biasa digunakake ing saben dinten kayata sepeda motor, mesin cuci, televisi, lan
liya-liyane. Penghidupan ing Desa Penglipuran tradisional Bali sing heterogen, nanging luwih
dominan ing pertanian. Uga akeh wong sing ngupaya kawruh ing sanjabane wilayah supaya ana
wong sing dadi Pegawai Negeri Sipil, malah akeh wong sing kerja ing kapal pesiar.

Desa adat Penglipuran dipimpin dening pimpinan adat utawa biasa disebut Jero Pendesa sing
asmane I Wayan Supat. Desa-desa adat cenderung nutup diri kanggo budaya njaba, nanging ing
babagan pendidikan ing desa tradisional Penglipuran ana akeh bocah-bocah enom sing sinau nganti
tingkat dhuwur. Malah ing ngarep lawang ing Desa Penglipuran ana jenis sekolah kanggo TK utawa
pendidikan awal kanak-kanak. Sing mbuktekake yen ing Desa Penglipuran sistem pangetahuan wis
maju.

http://sinurasinura.blogspot.com/2013/12/desa-adat-penglipuran-bali.html
SISTEM KEPERCAYAAN
A. Bentuk Kepercayaan dalam Ritual Keagamaan di Desa Adat Penglipuran

Pada masa pra Hindu ajaran keyakinan yang ada pada masyarakat Bali
adalah sistem kepercayaan terhadap berbagai bentuk manifestasi alam sebagai
sumber dan dasar untuk melakukan berbagai ritual. Di sini pada desa adat
penglipuran juga memiliki corak kepercayaannya tersendiri sebelum masa Hindu
berjalan. Masyarakat Penglipuran percaya terhadap keberadaan roh nenek moyang
dan percaya bahwa setiap wilayah maupun tumbuhan ada yang memelihara.
Dalam masyarakat penglipuran sesungguhnya meyakini hal hal yang gaib dalam
dunia niskala. Mereka juga percaya terhadap kekuatan-kekuatan alam dimana
seluruh jalanya perputaran kehidupan ditentukan oleh kekuatan yang gaib dan
tidak dapat dipikirkan secara logika rasional. Mereka juga percaya terhadap
keberadaan roh dan mahluk halus lainnya. Masyarakat penglipuran percaya bahwa
setiap tempat dialam ini ada yang mengendalikan dan sebagai penunggu
lingkungan tersebut.
Setelah masuknya zaman pra Hindu maka bentuk-bentuk kepercayaan
tidaklah menghilang namun menyesuaikan terhadap sistem keagamaan dalam hal
ini agama Hindu sebagai yang mempengaruhi lebih dominan. Kepercayan-
kepercayaan lokal masih tetap dipelihara dan terkadang sulit untuk membedakan
antara kepercayaan pra Hindu atau zaman Hindu. Untuk melakukan identifiasi
terhadap prosesi kepercayaan lokal maka dapat dilihat dari mitologi maupun
dalam berbagai bentuk tradisi lokal genius di masing-masing tempat atau
komunitas adat atau desa Adat.
Ajaran kepercayaan yang telah terkolaborasi menjadi satu dengan ajaran
keagamaan pada kepercayaan komunitas adat Penglipuran terimplimentasi lewat
berbagai kegiatan atau aktivitas ritual yang cukup tinggi dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menjalankan prosesi ritual itu dapat dilakukan oleh kelompok kerabat ataupun
gambungan dari kerabat yang lebih besar maupun komunitas adat. Pada
pengaruh Hindu tentu saja dapat dilihat dari ritual-ritual yang berpatokan pada
dasar sastra yaitu Weda. Dalam ajaran agama Hindu seluruh jenis upacara pada
umumnya di Bali dan Penglipuran khususnya, digolongkan ke dalam lima
komponen yang terstruktur yakni disebut dengan panca yadnya , dalam arti
harfiahnya panca artinya lima dan yadnya artinya korban suci. Adapun lima
komponen dari panca yadnya yaitu:
a. Manusia yadnya, yaitu meliputi upacara daurhidup dari masa bayi masih
dalam kandungan sampai dewasa.
b. Pitra yadnya, yaitu : merupakan upacara yang ditunjukan kepada roh-roh
leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh
leluhur.
c. Dewa yadnya, yaitu upacara yang dilakukan di pura umum seperti Tri
Kahyangan Tiga mapun pura Jagat (pura umum) maupun yang lebih kecil
adalah upacara yang dijalankan di pura keluarga.
d. Resi yadnya, merupakan upacara yang berhubungan dengan pentasbihan
pendeta.
e. Bhuta yadnya, meliputi upacara yang ditunjukan kepad bhuta dan kala,
yaitu roh-roh halus, yang ada dialam dan disekitar manusia sehingga tidak
menggangu kehidupan manusia.

Lima komponen tersebut di atas, menjadi pedoman dalam melaksanakan


kewajiban-kewajiban yang tentunya bertujuan untuk mendapatkan keselamatan,
kemakmuran atau kesejahteraan terhadap Tuhannya selain lima komponen yang
dijadikan dasar juga ada keyakinan-keyakinan lebih khusus terhadap yang gaib.
Dalam pandangan agama Hindu dan masyarakat Penglipuran memiliki keyakinan atau
kepercayaan dalam konsep “Panca Sradha”. Yang terdiri dari (1) Percaya akan
adanya Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa), (2) percaya akan
adanya atman atau (roh), (3) Percaya akan adanya punarbhawa/renkarnasi (kelahiran
kembali), (4) Percaya akan adanya Karma Phala (buah dari perbuatan), (5) Percaya
akan adanya Moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).
Sebagai mana pada masyarakat Penglipuran lainnya juga menjalankan kewajiban,
melaksanakan berbagai upacara pada pura umum dalam rangka hari jadi
(pengusabaan) pada masing-masing pura yang di sungsung oleh desa. Pada hari-
hari tertentu pedewasaan ayu (hari baik) juga banyak ritual keagamaan
dilakukan oleh masyarakat Penglipuran. Setiap bulan purnama atau Tilem (bulan
mati), masyarakat desa melakukan prosesi upacara di Pura Dalem dan Pura
Penataran. Prosesi tersebut dilakukan dengan penuh hikmat dan berbagai
peralatan upacara maupun sarana pelengkap upacara digunakan. Pada bulan
purnama, persembahyangan dilakukan di pura Penataran dan pada Tilem (bulan
mati) dilakukan di pura Dalem. Selain itu pada hari hari biasa masyarakat juga
menghaturkan puja atau persembahyangan di prahyangan rumah tempat tinggal
masing-masing.

B. Sistem Kepercayaan Daur hidup Masyarakat Penglipuran

Dalam kehidupan masyarakat tentunya memiliki sistem kepercayaan pada setiap


komunitasnya sebagai pembentukan sebuah identitas. Begitu pula pada
masyarakat Penglipuran yang hampir seluruhnya menganut agama Hindu sebagai
sistem keyakinan terhadap Tuhannya. Masyarakat penglipuran selalu memaknai
setiap jenjang atau tingkat kehidupan dengan cara melakukan upacara ritual
inisiasi terhadap seseorang yang akan memasuki kehidupan yang lebih dewasa. Ini
juga untuk berikan kekuatan lahir batin karena pada saat pralihan menuju tingkat
kehidupan yang lebih dewasa sangat riskan terhadap gangguan sekala dan niskala.
Gangguan sekala maksudnya sesuatu yang berdampak buruk tersebut tidak
menyebakan penyakit terhadap seseorang yang akan mengarungi kehidupan
selanjutnya. Aktualisasi dalam pelaksanaan konsep panca yadnya tersebut, di atas
terimplimentasikan dari berbagai aktivitas ritual atau persembahan yadnya oleh
masyarakat desa Penglipuran. Bentuk dari ajaran panca yadnya pada masyarakat
penglipuran terlihat dari berbagai bidang kehidupan yakni mulai dari upacara daur
kehidupan yaitu melakukan berbagai ritual peralihan dari berbagai tingkat
kehidupan seperti misalnya upacara magedong-gedongan dimana upacara tersebut
dilakukan pada saat bayi masih di dalam kandungan. Tujuan dari upacara ini
adalah penyambutan dan memohon agar calom bayi lahir dengan selamat. Setelah
kelahiran berumur 1 (satu) bulan 7 (tujuh) hari juga diadakan ritual ‘kepus pungsed’
ritual ini bertujuan agar bayi sehat dan terhindari dari pengaruh buruk alam
maupun yang bersifat magis.
Beberapa ritual daur hidup lainnya seperti inisiasi bagi orang yang
memasuki usia remaja (akil balig). Tradisi dalam upacara menek kelih (menginjak
dewasa) di mana seseorang akan dibuatkan semacam ritual dengan menggunakan
berbagai saran upacara dan perlengkapan lainnya. Mereka yang diupacarai baik
perempuan maupun laki-laki akan dibersihkan dari unsur negatif yang menempel
dibadan dan seluruh tubuh. Dengan doa dan sirman tirta bagi mereka yang
diupacarai bertujuan memberikan semangat dan motivasi agar diusia yang remaja
dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik. Pada tahapan selanjutnya seseorang
yang akan mengijak kejenjang perkawinan selalu juga diadakan upacara
pembersihan (penyucian) bagi mereka yang menikah. Karena pada tingkat ini
dianggap suatu yang penting dan sebagian menggap ini sebuah krisis dimana
seseorang harus diruat atau didoakan sehingga orang tersebut dapat selamat sehat dan
bisa mengarungi bahtera kehidupanya dengan bahagia. Pada masyarakat
Penglipuran menganggap peralihan dari remaja ke jenjang pernikahan perlu
dilakukan upacara perkawinan yang disahkan secara adat oleh tokoh masyarakat
seperti klian adat, jero kubayan dan disaksikan oleh masyarakat lainnya. Pada
tahapan ini seseorang yang telah disahkan perkawinannya secara adat akan masuk
dalam keanggotan adat (meseke) di samping itu memiliki kewajiban-kewajiban
yang harus dijalankan baik dalam ritual keagamaan ataupun dalam adat istiadat
sesuai awig-awig yang dikukuhkan masyarakat adat Penglipuran.

C. Kepercayaan masyarakat terkait dengan Ritual Kematian

Upacara kematian merupakan ritual yang dianggap penting sebagai siklus


perjalanan kehidupan manusia. Upacara kematian atau penguburan terhadap
mereka yang meninggal tidak lain bertujuan mendoakan arawah atau roh yang
telah meninggal. Dengan ritual ini maka roh yang meninggal tersebut diharapkan
mendapat tempat yang layak dialam niskala.Ritual kematian pada masyarakat
Penglipuran dilakukan secara kolektif dimana semua warga berparisipasi dalam
kelangsungan pelaksanaan upacara tersebut. Pada masyarakat penglipuran
sebagaimana masyarakat umumnya di Bali, tidak melakukan pembakaran mayat
atau sering disebut ngaben, namun, prosesi upacara dilakukan secara sederhana
namun tetap dalam kaedah-kaedah adat maupun agama Hindu. Upacara ritual
kematian di desa penglipuran tidaklah melakukan pembakaran mayat namun lebih
pada simbolisasi terhadap makna ngaben dimana dalam prosesi ritual kematian,
orang yang meninggal di desa Penglipuran digunakan cara dikubur.
Ada beberapa asumsi bahwa penguburan lebih cocok karena berada di daerah
pegunungan, di samping itu ada kepercayan masyarakat menganggap bahwa
daerah di sekitar penglipuran wilayah yang sacral karena dekat dengan Gunung
Batur. Untuk menjaga kesucian zona tersebut, dalam awig-awig meniadakan
upacara ngaben, akan tetapi cara yang dilakukan adalah dengan cara dikuburkan.
Ini juga merupakan pengaruh kebudayaan prasejarah di mana budaya local genius
masyarakat setempat masih sangat kental.Salah satu unsur-unsur dari budaya Bali
kuno adalah menguburkan jenasah dianggap lebih terhormat.

https://studylibid.com/doc/579624/sistem-kepercayaan-masyarakat-penglipuran

Anda mungkin juga menyukai