Pada dasarnya, kita sebagai manusia Jawa adalah produk peradaban simbolis, yaitu makhluk
yang berinteraksi, berkomunikasi, dan beraktivitas dengan menggunakan simbol-simbol yang
diberi makna. Maka, makna dan simbol-simbol tersebut memungkinkan manusia untuk
melanjutkan tindakan dan interaksi sesama mereka. Kemudian makna dan simbol-simbol
tersebut diinterpretasikan melalui proses berpikir yang dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi
lainnya sehingga menjadi sebuah pola kebiasaan dalam keseharian.
Pola-pola ke kebiasaan inilah yang akhirnya membentuk sebuah tradisi yang sarat dengan nilai-
nilai luhur kehidupan. Utamanya adalah interaksi manusia dengan Tuhan dan sesamanya dalam
memaknai tiga fase kehidupan yang paling penting, yaitu prosesi kelahiran, perkawinan, dan
kematian.
Masyarakat Jawa, dari dulu telah dikenal luas sebagai masyarakat yang selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai tradisi dari nenek moyangnya. Tradisi yang sarat dengan nilai-nilai luhur kebudayaan
tersebut diwariskan secara turun temurun oleh tiap generasi ke generasi berikutnya, dengan
keraton sebagai pusat pedoman-nya, baik di Yogyakarta maupun Surakarta. Di Keraton
Yogyakarta sendiri, berbagai macam hal tersebut diejawantahkan menjadi sebuah acara-acara
khusus yang seringkali dikenal banyak orang dengan istilah upacara tradisi. Upacara tradisi
sendiri adalah upacara yang penuh dengan makna simbolik yang bisa mencerminkan nilai-nilai
budaya yang berlaku dalam masyarakat.
Ada beberapa bentuk upacara tradisi yang saat ini diselenggarakan oleh masyarakat. Baik
masyarakat di dalam keraton maupun masyarakat Jawa secara luas. Namun, biasanya upacara
tradisi yang paling sering kita jumpai adalah yang berkaitan dengan upacara daur hidup
seseorang. Upacara daur hidup adalah bentuk upacara adat sebagai wujud realisasi dari
penghayatan manusia terkait dengan tiga fase penting kehidupannya. Kelahiran, perkawinan,
dan kematian. Upacara tradisi dari proses kehamilan sampai dengan kematian dapat dibagi
menjadi beberapa tahapan, diantaranya masa kehamilan itu sendiri, kelahiran, masa anak-anak,
remaja, perkawinan, dan kematian.
Dalam perkembangan kehidupan saat ini, upacara tradisi ini mulai ditinggalkan atau dikurangi
kelengkapannya terkait dengan faktor ekonomi ataupun kepraktisan. Karena memang sebuah
proses upacara tradisi selain sarat dengan komitmen dan keteguhan hati untuk
melaksanakannya, juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit dalam persiapan dan
penyelenggaran. Satu hal yang patut disyukuri bahwa proses yang dilakukan di dalam keraton
masih memegang teguh prinsip-prinsip detail upacaranya, dalam pengertian diselenggarakan
secara lengkap dan resmi.
Upacara Daur Hidup dalam Fase Kehamilan -
Persalinan
Upacara Mitoni
Upacara daur hidup sendiri, dilaksanakan sejak ada tanda-tanda kehamilan sampai manusia
meninggal dunia dengan jangka waktu tertentu. Di dalam masa kehamilan sendiri ada berbagai
jenis upacara tradisi yang harus dilakukan, yaitu mulai dari upacara Ngabor-abori. Upacara ini
adalah sebuah peringatan atau Selamatan bulan pertama yang biasanya dilakukan dengan
wujud membuat jenang sungsum.
Setelah itu berturut-turut di bulan berikutnya masih terdapat upacara tradisi lain
seperti Ngloroni (dua bulanan), Neloni (tiga bulanan), Ngapati (empat bulanan), Nglimani (lima
bulanan), Mitoni (tujuh bulanan), Ngwoloni(delapan bulanan), dan Nyangani (sembilan bulanan),
dimana masing-masing upacara membutuhkan persiapan dan ubarampe(kelengkapan upacara)
yang berbeda-beda.
Selanjutnya adalah masa persalinan. Upacara tradisi untuk menyongsong masa kelahiran bayi
ini juga diselenggarakan ke dalam beberapa tahapan. Mulai dari Mendhem ari-ari, yaitu proses
perawatan dan penguburan ari-ari bayi. Brokohan, yaitu selamatan yang dimaksudkan untuk
mengungkapkan rasa syukur sekaligus pemberitahuan kepada sanak keluarga dan para
tetangga bahwa bayi telah lahir dan selamat. Sepasaran, yaitu upacara untuk memperingati
bahwa bayi yang lahir telah berusia 5 hari (sepasar). Puputan, yaitu selamatan saat tali pusar
bayi sudah putus (usia antara 10 hari sampai dua minggu). Terakhir, Selapanan, yaitu selamatan
saat usia bayi 35 hari.
Setelah sang anak tumbuh dewasa dan menemukan jodohnya, mereka akan menjalani
perkawinan. Upacara tradisi perkawinan Jawa menjadi salah satu upacara tradisi yang hingga
kini masih banyak dilestarikan oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa
masa perkawinan adalah masa terpenting dalam siklus hidup seseorang karena fase ini adalah
pilihannya sendiri yang lahir melalui proses pendewasaan dan kematangan, sedangkan proses
kelahiran dan kematian adalah suatu hal yang sudah bisa dipastikan tanpa kehendak manusia.
Di dalam fase ini jugalah, seseorang benar-benar mengalami peralihan dari tahap
perkembangan remaja menjadi berkeluarga. Dalam tradisi Jawa, fase perkawinan mengenal tiga
tahapan besar. Tahap pra-nikah, tahap pernikahan, dan tahap paska-nikah.
Penting bagi generasi saat ini untuk kembali mempelajari dan melestarikan upacara-upacara
tradisi yang berkaitan dengan daur hidup manusia. Cara terbaik agar warisan budaya yang
sudah bagus ini tetap terjaga adalah dengan menerapkannya. Dengan demikian maka nilai-nilai
luhur budaya Jawa tetap mampu memberi makna bagi setiap manusia dalam kehidupannya,
sehingga manusia sebagai makhluk sosial dan berbudaya, tidak akan mudah kehilangan simbol-
simbol warisan tradisi dari nenek moyangnya dalam berinteraksi dan memaknai hidup. Sebab
dengan simbol-simbol itulah, di mana perwujudannya dapat berupa selamatan ataupun doa-doa,
mampu menjadi perantara manusia dengan leluhur dan Tuhannya.
Selain itu, dalam kehidupan bermasyarakat yang serba modern saat ini, manusia dituntut untuk
hidup serba cepat, praktis, dan larut pada kesibukan masing-masing sehingga semua
tindakannya akan selalu mengarah pada sifat individualis yang sangat tinggi. Hal ini dirasa dapat
membuat solidaritas dan fungsi sosialnya manusia makin memudar. Pelestarian upacara-
upacara tradisi yang bersifat kolektif ini diharapkan mampu menjadi simpul sosial dalam
kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat sehingga harmoni antar manusia dapat terus terjaga.
Kanda Pat berasal dari kata Kanda yang berarti Teman, Tutur, Petuah, Cerita, Tetingkah, Kesaktian,
Kesidian, kewisesan. Dan kata Pat memiliki arti Empat. Dapat di artikan sebagai saudara halus yang selalu
mengiringi kita saat dilahirkan ke dunia. Merupakan kekuatan Hyang Widhi yang selalu mengiringi roh/sukma
manusia sejak berupa embrio sampai dilahirkan dan meninggal.
Bentuk-bentuk kandapat yang dapat dilihat dan diraba secara nyata adalah ari-ari, lamas, getih dan yeh-
nyom. Ketika Bayi Lahir segeralah mereka dipertiwikan selanjutnya wujud mereka adalah abstrak atau tak
berwujud namun dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki kapasitas kekuatan batin untuk itu. Secara
filosofi Perwujudan tersebut adalah keempat Manifestasi Sang Hyang Tunggal atau Sang Hyang Widhi Wasa
sebagai :
Sang Suratman mencatat kelakuan manusia (bersumber dari Kanda Pat) sebagai subha dan asubha karma
yang menjadi penilaian dan pertimbangan kesucian roh untuk menentukan tercapainya moksa (bersatunya
atman-brahman) ataukah samsara (menjelma kembali). Kandapat ada dalam diri/ tubuh manusia, namun
ketika tidur, kandapat keluar dari tubuh beberapa umat yakin mereka harus dibuatkan pelinggih berupa
“pelangkiran” di kamar tidur, tempat bersemayamnya KANDA PAT ketika kita tidur pulas.
Upacara Hari Raya Saraswati merupakan upacara hari suci bagi agama Hindu.
Saraswati merupakan hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam
kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian.