Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

UPACARA TEDHAK SITEN:


PERFORMANSI DAN ISI

OLEH
Kamilatun Baroroh
NIM 187009008

MAGISTER LINGUISTIK
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2018
Upacara Tedhak Siten: Performansi dan Isi

PENGANTAR
Masyarakat Jawa masih percaya bahwa dengan melaksanakan adat istiadat didalam
kehidupan sosialnya maka mereka akan selalu diberi keselamatan. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Bratawidjaja (2000:9) bahwa: Berbagai macam adat yang terdapat dalam
masyarakat pada umumnya dan masyarakat Jawa khususnya adalah merupakan pencerminan
bahwa semua perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai
luhur tersebut diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Perubahan
tata nilai menuju perbaikan sesuai dengan tuntutan zaman. Yang jelas adalah bahwa tata nilai
yang dipancarkan melalui tata cara adat merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa
yang serba hati-hati agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapat keselamatan baik lahir
maupun batin.
Menurut Sutrisno (2005), siklus kehidupan orang Jawa terbagi menjadi enam periode,
yaitu: masa kehamilan, masa melahirkan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan
masa meninggal atau paripurna. Dalam makalah ini, penulis memilih salah satu upacara dalam
siklus masa kanak-kanak yaitu tedhak siten. Menurut Yana (2010:56) Tedhak Siten dalam
bahasa Indonesia berarti turun tanah. Secara etimologis tedhak siten berasal dari kata tedhak
yang berarti langkah atau kaki, dan siten yang berasal dari kata siti yang berarti tanah. Upacara
ini dilakukan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan karena seorang bayi yang berumur 7-8
bulan (7 Lapan) mulai menapakkan kaki di atas bumi. Si bayi akan diangkat oleh ibu/ayahnya
menaiki beberapa buah anak tangga bambu, kemudian perlahan-lahan turun kembali menapaki
anak tangga itu menuju tanah, prosesi inilah yang kemudian terkenal dengan nama Tedhak Siten.
Pada saat itu, si anak mulai menapakkan kakinya untuk pertama kali di tanah. Oleh orang tuanya
diajari atau dituntun menggunakan kakinya untuk belajar berjalan. Ritual ini menggambarkan
kesiapan seorang anak untuk menghadapi kehidupannya.
Dalam kepercayaan orang Jawa, manusia dalam hidupnya dipengaruhi oleh empat
elemen, yaitu: bumi,angin, api, dan air. Di samping itu masyarakat Jawa juga percaya bahwa
tanah atau bumi ini ada yang menjaga yaitu Betharakala.Maka, untuk menghormati bumi,
diadakanlah upacara tedhak siten ini. Harapannya agar si anak selalu sehat, selamat, dan
sejahtera dalam menapaki jalan kehidupannya. Biasanya upacara ini diadakan bertepatan dengan
weton (hari lahir) si anak, karena pada saat itu dianggap hari yang paling baik untuk
melaksanakan upacara ini. Weton adalah kombinasi antara nama hari umum dan nama hari Jawa.
Misalnya Minggu Pahing, Kemis Legi, Rebo Kliwon, dan sebagainya. Penyelenggaraan upacara
ini dilakukan pada pagi hari di halaman depan rumah.
Dari pemaparan diatas, upacara tedhak siten termasuk kedalam tradisi lisan sesuai dengan
ciri-ciri tradisi lisan yang dikemukakan oleh Sibarani (2014: 43) yaitu: merupakan kegiatan
budaya, memiliki performansi, dapat diamati, bersifat tradisional, diwariskan secara turun-
temurun, proses penyampaian dari mulut ke telinga, mengandung nilai-nilai dan norma budaya,
memiliki versi-versi, milik bersama, dan berpotensi direvitalisasi. Lebih lanjut Sibarani (2014:
47) menyimpulkan bahwa tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain, baik
tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan, maupun tradisi lain yang bukan lisan.
Tradisi lisan adalah segala wacana yang disampaikan secara lisan, mengikuti cara atau
adat istiadat yang telah memola dalam suatu masyarakat. Kandungan isi wacana tersebut dapat
meliputi berbagai hal: berbagai jenis cerita atau berbagai jenis ungkapan seremonial dan ritual.
Cerita-cerita yang disampaikan secara lisan itu bervariasi mulai dari uraian genealogis, mitos,
legenda, dongeng, hingga berbagai cerita kepahlawanan (Sedyawati, 1996: 5). Perkembangan
tradisi lisan terjadi dari mulut ke mulut sehingga menimbulkan banyak versi cerita. Menurut
Suripan Sadi Hutomo (1991:11) tradisi lisan itu mencakup beberapa hal, yakni: (1) yang berupa
kesusastraan lisan, (2) yang berupa teknologi tradisional (3) yang berupa pengetahuan folk di luar
pusat-pusat istana dan kota metropolitan, (4) yang berupa unsur-usnur religi dan kepercayaan
folk di luar batas formal agama-agama besar, (5) yang berupa kesenian folk di luar pusat-usat
istana dan kota metropolitan, (6) yang berupa hukum adat. Darma (2011:55) menyatakan bahwa
tradisi lisan dapat menjadi dasar penciptaan seni budaya baru yang berkaitan dengan usaha
pelestarian suatu kebudayaan.
Pudentia (1998: 32) memberikan pemahaman tentang hakikat kelisanan (orality) sebagai
berikut. Tradisi lisan (oral tradition) mencakup segala hal yang berhubungan dengan sastera,
bahasa, sejarah, biografi, dan berbagai pengetahuan serta jenis kesenian lain yang disampaikan
dari mulut ke mulut. Jadi tradisi lisan tidak hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa,
nyanyian rakyat, mitologi, dan legenda sebagaimana umunya diduga orang, tetapi juga berkaitan
dengan sistem kognitif kebudayaan, seperti: sejarah, hukum, dan pengobatan. Tradisi lisan
adalah “segala wacana yang diucapkan/ disampaikan secara turun-temurun meliputi yang lisan
dan yang beraksara” dan diartikan juga sebagai “sistem wacana yang bukan beraksara”.
Suprijono (2013: 224) mengungkapkan bahwa dalam sejarah muncul berulang-ulang berbagai
tradisi mitologis yang tidak konsisten tetapi bisa terus berdampingan satu sama lain tanpa adanya
integrasi teoritis. Udu (2015:55) menyatakan bahwa tradisi lisan dapat dilihat sebagai objek
kajian antropologi yang penting untuk diungkap dalam memahami sebuah kebudayaan, sistem
sosial, psikologi, maupun aspek struktur suatu masyarakat.

PERFORMANSI
Sims (2011: 131) menyatakan bahwa performansi adalah kegiatan atau aktivitas
tradisional yang membutuhkan partisipan, memiliki nilai-nilai yang dapat meningkatkan
pengalaman kehidupan, dan ada respon dari hadirin. Semua yang terlibat dalam kegiatan itu
memahami aktivitas masing-masing dan mereka semua terlibat dalam aktivitas itu. Cara mereka
menafsirkan kegiatan adat istiadat itu, merupakan milik komunitas itu sendiri. Performance is in
a sense perhaps an element in every action, and certainly a concept of general interest within
anthropology and elsewhere. While it is not possible to follow up all these aspects here, the idea
and practice of performance does clearly have a particular import for oral expression, and is
nowadays one major focus of research in verbal arts and traditions. (Finnegan, 1992: 86).
Pertunjukan berkaitan dengan sebuah akting, ia masuk dalam konsep umum serta dikaitkan
dengan kajian antropologi pada suatu wilayah.
Tedhak siten berasal dari bahasa Jawa tedhak, yang berarti turun, serta siten atau "siti"
yang berarti tanah. Oleh karena itu, upacara ini sering juga disebut dengan upacara turun tanah.
Tedhak siten merupakan sebuah upacara sekaligus budaya yang dihadiri oleh kerabat dan
keluarga yang awal mulanya diwariskan turun temurun di Kota Solo untuk memeringati hari
pertama bayi melangkah. Pada jaman sekarang, tedhak siten telah menjadi adat atau tradisi
umum bagi masyarakat di seluruh tanah Jawa. Tedhak siten diadakan ketika bayi berumur enem
lapan yang berarti 6 x 35 hari ( satu lapan sama dengan 35 hari) atau setara dengan bayi berumur
7 bulan. Upacara tedhak siten ini secara keseluruhan merupakan acara selametan atau syukuran
yang sekaligus memiliki tujuan agar anak kelak tumbuh menjadi orang yang mandiri di
kemudian hari.
Upacara tedhak siten terdiri dari beberapa tahap pelaksanaan yang masing-masingnya
memiliki pengertian yang berbeda beda. Tahap acara paling pertama yaitu sungkem, dalam tahap
ini kedua orang tua dari bayi meminta doa restu kepada dua pihak nenek dan kakek dari sang
bayi agar acara berjalan dengan lancar serta agar mereka memberkati sang bayi sebagai bekal
urip atau bekal untuk kehidupannya kelak.
Kemudian acara dilanjutkan dengan tahap injak tanah. Dalam tahap ini kedua pihak
orang tua sudah menyediakan tanah yang diambil dari halaman rumah mereka untuk kemudian
dilangkahi atau diinjak oleh sang bayi dengan cara dituntun oleh kedua orang tuanya. Hal ini
memiliki makna bahwa kedua orang tua akan menuntun sang bayi untuk mengambil langkah
pertamanya ke dalam kehidupan barunya ini untuk kemudian ditempuh dengan cara mandiri.
Setelah tahap injak tanah ini, kedua orang tua akan membasuh kedua kaki sang bayi dengan air,
yang bermakna orang tua akan selalu berusaha untuk menghindarkan sang bayi dari segala
macam hal yang membahayakannya.
Selanjutnya, terdapat tahap acara yang bernama langkah jadah, yang memiliki arti
melangkahi jadah yang merupakan jajanan yang terbuat dari beras ketan. Dalam tahap ini, sang
bayi akan dituntun oleh kedua orang tuanya untuk melangkahi satu-persatu jadah yang berjumlah
tujuh buah yang telah disusun dari yang berwarna gelap menuju terang. Makna dari hal tersebut
adalah bahwa kedua orang tua akan terus membimbing anaknya untuk melalui berbagai kesulitan
hingga akhirnya mencapai kesuksesan di kemudian hari. (penyusunan warna dari gelap sampai
dengan yang terang memiliki makna hidup dalam kesulitan menuju hidup dengan penuh
kesuksesan yang ditandai dengan diakhirinya pada nomor ketujuh yang merupakan angka
keberuntungan).
Untuk tahap acara berikutnya, akan disediakan sebuah tangga yang terbuat dari tebu
wulung atau tebu ungu, tebu yang biasa digunakan oleh masyarakat tradisional sebagai enangkal
dari kuasa kegelapan atau guna-guna. Dalam tahap ini, kedua orang tua akan menuntun sang
bayi untuk menaiki tangga tebu tersebut satu-persatu hingga mencapai puncak. Hal ini bermakna
bahwa kedua orang tua akan terus menuntun dan membimbing sang anak hingga mencapai
puncak kejayaan dan kesuksesan dengan melalui kejadian serta pengalaman yang manis. (tangga
yang terbuat dari bahan tebu memiliki pengertian sebagai kehidupan ynag dilalui bayi akan terus
manis selayaknya tebu).
Setelah menaiki tangga tebu, bayi akan dimasukkan kedalam kurungan kayu yang di
dalamnya berisi segala macam barang serta mainan yang menandakan berbagai profesi, seperti
contoh mainan bola menandakan sebagai atlit bola, celengan sebagai banker, atau pengusaha
yang sukses, alat musik sebagai musisi, alat tulis sebagai seorang pengajar, dan lainnya. Di
dalam kurungan, bayi akan mengambil salah satu dari sekian banyak barang yang ada untuk
kemudian didoakan secara bersama-sama agar kelak ketika dewasa bayi akan memperoleh
kesuksesan dalam profesi yang bayi pilih berdasarkan barang yang diambil sebelumnya.
Melanjutkan ke tahap berikutnya, pranata cara atau pembawa acara akan mempersilahkan
bayi untuk diganti pakaiannya sebanyak tujuh kali yang kemudian ketika bayi telah mengenakan
pakaiannya yang ketujuh, pranata cara akan menanyakan kepada hadirin dengan pertanyaan
sebagai berikut, " Para sederek, menapa sampun pantes agemanipun?", kalimat tersebut memiliki
arti bahwa sang pembawa acara menanyakan kepada hadirin apakah pakaian yang digunakan
oleh sang bayi sudah cocok. Tahap ini memiliki makna bahwa bayi didoakan agar memperoleh
kehidupan yang makmur dan melimpah seterusnya dalam kehidupannya.
Pada tahap yang terakhir, kedua orang tua serta sang bayi akan menyebarkan kepingan
uang logam yang kemudian akan diambil oleh seluruh hadirin yang ada. Tahap ini memiliki arti
bahwa sang bayi didoakan agar menjadi pribadi yang dermawan serta mau menolong dan
berbagi pada semua orang ketika dewasa kelak. Pada penghujung acara, seluruh hadirin
undangan akan menyantap hidangan yang berupa tumpeng, yang berupa hidangan nasi kuning
yang disusun seperti gunung yang dikelilingi oleh beragam lauk pauk. (tumpeng merupakan cara
penyajian hidangan yang merupakan trradisi atau adat masyarakat Jawa yang menyimbolkan
sebuah gunung yang terus mengalirkan mata air kehidupan)
Dari pemaparan di atas, perlengkapan atau uba rampe yang harus dipersiapkan dalam
upacara Tedhak Siten adalah:

1. Nasi tumpeng.
Tumpeng yang diperlukan dalam tedhak siten adalah nasi tumpeng lengkap—
tumpeng robyong dan atau tumpeng gundhul— dengan sayuran atau urap.
Masyarakat Yogya menyebutnya gudhangan, masyarakat Jawa Timur
menyebutnya urap-urap. Tumpeng dapat berwarna putih dan kuning.
2. Jenang (bubur).
Jenang yang disiapkan berwarna merah dan putih. Selain jenang merah dan putih
juga terdapat jenang baro-baro, jenang (bubur) putih penuh yang di atasnya diberi
sedikit parutan kelapa dan irisan gula merah.
3. Jajan pasar lengkap.
Jajan pasar ini meliputi: bacang, bikang, bugis kroket, kue khu, kue tok, lapis,
lemper, lumpia, martabak, nagasari, onde-onde, risoles, wajik, dan lain-lainya.
Selain jenis kue basah biasanya juga disiapkan kacang rebus dan pala pendem.
4. Juadah tujuh macam warna.
Juadah (kadang disebut jadah) adalah kue ketan. Tujuh warna adalah merah,
hitam, putih, kuning, merah muda, biru, dan ungu. Warna yang ditetapkan
biasanya berbeda, tergantung daerah masing-masing.
5. Bunga Setaman.
Bunga atau sekar setaman ditempatkan dalam sebuah wadah besar. Bunga
setaman biasanya terdiri dari mawar, melati, dan kenanga (kembang telon).
6. Tangga dari batang .
Tebu wulung atau tebu arjuna.
7. Ayam panggang.
Ayam panggang biasanya diikatkan menjadi satu dengan tebu wulung dan atau
tebu arjuna. Ada juga satu lirang pisang raja yang diikatkan dengan lawe wenang.
8. Kurungan Ayam.
Kurungan ayam di sini bukan sekadar kurungan biasa, melainkan kurung yang
sudah dihiasi. Di dalamnya dimasukkan beberapa barang beharga atau perhiasan
seperti gelang, kalung, dan perhiasan lainya. Selain perhiasan juga terdapat al-
Quran, alat-alat tulis, buku, mainan, beras, padi, kapas, peralatan rias (jika
perempuan), dan uang kertas atau logam. Ada juga yang memasukan wayang.
9. Banyu gege.
Banyu gege adalah air yang telah didiamkan selama satu malam di tempat yang
terbuka dan paginya kemudian harus tersinari cahaya matahari sampai jam 8 pagi.
10. Undhik-Undhik.
Adalah beras yang telah diwarnai dengan pewarna alami dengan kunyit atau
kunir. Kemudian dimasukkan uang logam.

Setiap tradisi lisan mempunyai bentuk dan isi. Bentuk terbagi atas teks, ko-teks, dan
konteks. Teks memiliki struktur, ko-teks memiliki elemen, dan konteks memiliki kondisi, yang
formulanya dapat diungkapkan dari kajian tradisi lisan. Teks merupakan unsur verbal baik
berupa Bahasa yang tesusun ketat “tightly formalized language” seperti bahasa sastra maupun
bahasa naratif yang mengantarkan tradisi lisan nonverbal seperti teks pengantar sebuah
performansi (Sibarani, 2014:245).

Teks dalam upacara Tedhak Siten berupa Bahasa naratif sebagai pengantar upacara yang
dibawakan oleh seorang pranatacara yang bisa dianggap sesepuh atau orang yang dianggap tetua
adat atau kyai. Kyai tersebut juga memimpin doa selamat yang juga termasuk teks dalam tradisi
Tedhak Siten. Sedangkan ko-teks dalam tradisi Tedhak Siten adalah penutur (pranatacara, bapak
dan ibu dari si anak, ayah, kakek dan nenek si anak), partisipan (keluarga, kerabat, dan tetangga
terdekat), dan alat kelengkapan upacara (uba rampe). Konteks upacara Tedhak Siten adalah
performansi atau pertunjukan ataupun kegiatan dari upacara Tedhal Siten itu sendiri.

ISI TRADISI TEDHAK SITEN

Disamping bentuk, sebuah tradisi lisan juga memiliki isi tradisi lisan berupa nilai atau
norma, yang dikristalisasi dari makna, maksud, peran, dan fungsi. Nilai atau norma tradisi lisan
yang dapat digunakan menata kehidupan social itu disebut dengan kearifan lokal. Tingkatan
pertama isi adalah makna atau maksud dari fungsi atau peran. Tingkatan kedua adalah nilai atau
norma yang dapat diinferensikan dari makna atau maksud dan fungsi atau peran dengan adanya
keyakinan terhadap nilai atau norma itu. Tingkatan ketiga adalah kearifan lokal yang merupakan
penggunaan nilai dan norma budaya dalam menata kehidupan sosial secara arif.
TABEL MAKNA DAN FUNGSI

MAKNA FUNGSI
1. Orangtua menginjakkan kaki di tanah, 1. Air digunakan sebagai simbol, sebagai
kemudian mencucinya hingga bersih, pencuci yang paling tepat untuk
maknanya adalah orangtua akan selalu membersihkan/mencuci kotoran.
berada disisi anak, mendampingi untuk
memperbaiki kesalahan yang mungkin
diperbuat si anak.

2. Orangtua anak membimbing si anak 2. Juadah digunakan sebagai simbol karena


menginjakkan kakinya di tanah kemudian teksturnya yang lengket, menjadi
menginjakkannya ke juadah yang berjumlah perlambang bahwa kehidupan manusia
tujuh perjalanan hidup yang akan dilalui selalulekat dengan masalah.
oleh si anak. Menggambarkan kehidupan
yang penuh cobaan, suka dan duka sehingga
membutuhkan keuletan. Juadah tujuh
macam warna melambangkan suatu harapan
agar anak dalam setiap harinya dapat
mengatasi berbagai macam kesulitan.

3. Anak dibimbing menaiki tangga tebu. 3. Tebu yang digunakan adalah tebu
Setelah sampai pada tebu yang teratas, lalu wulung/tebu Arjuna, dipilih karena tebu
diturunkan untuk menapaki juadah itu Wulung mempunyai tekstur kuat tetapi
lagi.untuk menggambarkan perjalanan hidup lentur.
dan mencapai cita-cita yang tinggi dan
luhur. Menandakan si anak mengenal
kenyataan hidup yang akan dilalui di
kemudian hari. Tangga tebu melambangkan
tingkat-tingkat kehidupan yang mengandung
harapan suatu ketetapan hati (antebing
kalbu, Jawa) dalam mengejar tingkatan
hidup yang lebih baik.

4. Anak dituntun untuk berjalan dionggokan 4. Pasir digunakan sebagai simbol pencarian
pasir mencari makan. Maksudnya si anak yang sulit.
setelah dewasa akan mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya.

5. Anak dibimbing untuk masuk kurungan 5. Kurungan sebagai tempat yang membatasi
ayam. Di dalam kurungan ayam tersebut dan berbagai mainan, juga alat yang
terdapat beberapa barang seperti barang digunakan untuk suksesnya kehidupan.
perhiasan, alat-alat tulis, padi, barang-
barang mainan, dan lain-lain.Melambangkan
dunia fana yang terbatas, atau suatu
lingkungan masyarakat yang akan
dimasukinya dengan mematuhi segala
peraturan dan adat istiadat setempat.
Kurungan yang dihiasi dengan berbagai
macam mainan : maknanya menggambarkan
dunia dengan berbagai pilihan untuk hidup
di kemudian hari.

6. Ayah dan kakek si bocah menyebar udik- 6. Beras kuning dan uang logam yang
udik, yaitu uang logam dicampur berbagai disimbolkan sebagai benda berharga.
macam bunga dan beras kuning. Maksudnya
si anak sewaktu dewasa menjadi orang yang
dermawan, suka menolong orang lain.
Karena suka menberi, baik hati, dia juga
akan mudah mendapatkan rejeki.

7. Anak dimandikan dengan air kembang 7. Digunakan air kembang setaman dari 7 mata
setaman lalu pakaian dikenakan air. 7 (tujuh) atau pitu dalam Bahasa jawa
menggambarkan bahwa anak tetap sehat adalah kependekan dai pitulungan
jasmani dan rohani. Membawa keharuman (pertolongan) dan kembang setaman
nama keluarga. digunakan karena megeluarkan keharuman.

TABEL NILAI DAN NORMA

NILAI NORMA
1. Mempererat kekerabatan, menguatkan 1. Mengatur bahwa keluarga dan tetangga
kekeluargaan, juga persaudaraan dan saling terdekat adalah orang yang terlebih dahulu
tolong menolong antartetangga. diundang dan diberitahu, karena tetangga
terdekatlah yang akan diminta pertolongan
ketika sesuatu terjadi.

2. Mengajarkan bahwa untuk mencapai 2. Mengatur bahwa kesuksesan yang dicapai


sesuatu kesuksesan harus dengan kerja harus melalui jalan yang lurus sesuai dengan
keras. aturan yangberlaku tidak dengan kehendak
sendiri.

3. Bersabar dalam melewati persoalan yang 3. Menahan diri untuk selalu mengikuti aturan
terjadi dalam kehidupan. yang ada dalam masyarakat, seperti dalam
mencapai sesuatu harus melewati tahapan-
tahapan yang sudah disepakati.

4. Menghormati orang tua. 4. Yang lebih muda meminta doa rertu kepada
yang lebih tua.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai