Anda di halaman 1dari 15

Zaman Edan, memaknai kembali Serat Kalatidha

Ir. Slamet Sugiharto, MURP

Widyaiswara Utama
Pusdiklat Kementrian Dalam Negeri Regional Yogyakarta
Jl. Melati Kulon 1 Baciro, Yogyakarta 55225
E-mail: ssugiharto81@yahoo.com

ABSTRAK

Istilah Zaman Edan sering kita dengar ketika mendiskripsikan


kondisi negara dan bangsa. Istilah itu sebenarnya diambil dari Serat
Kalatidha hasil karya pujangga Rangga Warsita. Untuk bisa
memahami Zaman Edan secara utuh maka diperlukan pemahaman
tentang Serat Kalatida yang ditulis dalam bahasa Jawa lama dalam
bentuk tembang (puisi) Sinom. Sudah banyak upaya untuk menafsir
serat Kalatida. Makalah ini mencoba menafsir ulang keseluruhan isi
Serat Kalatidha dalam konteks saat ini dengan penekanan pada tiga
aspek, yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara, kesiapan
menghadapi keberlimpahan informasi, dan terakhir berkaitan
dengan pengembangan potensi diri dalam menghadapi Zaman
Edan. Di samping itu disajikan pula naskah lengkap Serat Kalatidha
dalam bahasa Jawa dan alih bahasanya ke dalam Bahasa Indonesia
dengan tetap mempertahankan aturan untuk tembang Sinom
terkait dengan jumlah baris, jumlah suku kata dalam satu baris dan
vokal (a, i, u, e, o) pada akhir setiap baris.

Menurut Serat Kalatida sebuah negara tidak akan bisa adil makmur
meskipun negara itu memiliki pemimpin dan penyelenggara
pemerintahan yang baik, sepanjang rakyatnya tidak mampu
bersatu dalam harmoni tujuan dan tindakan. Dari aspek
pengelolaan informasi, Serat Kalatida menekankan pentingnya
pengendalian diri dalam menerima kelimpahan informasi agar tidak
menyusahkan diri sendiri maupun orang lain. Serat Kalatida juga
menekankan bahwa perasaan kecewa dan sedih energinya bisa
disalurkan ke arah yang positif dan produktif. Selanjutnya kita
diharapkan untuk selalu eling (mengingat Tuhan YME) dan waspada
menghadapi situasi ketidak pastian Zaman Edan. Tetaplah berusaha
meningkatkan diri tanpa melupakan adanya kehendak Tuhan YME
agar kita bisa sejahtera dunia akhirat.

1
Kata Kunci: Zaman Edan, Serat Kalatidha

PENDAHULUAN
Pada tahun 2015 secara formal kita sudah menjadi bagian dari
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berarti saat ini kita sudah
memasuki era globalisasi. Globalisasi bisa dilihat sebagai suatu
proses integrasi internasional yang terjadi karena
pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-
aspek kebudayaan lainnya. Globalisasi merupakan proses
masyarakat dunia menuju pada suatu keadaan saling terkait dan
saling ketergantungan dalam berbagai aspek kehidupan, baik
politik, ekonomi, sosial dan budaya. Proses globalisasi lahir karena
adanya perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi,
terutama kemajuan teknologi komunikasi, informasi dan
transportasi. Salah satu akibat dari adanya globalisasi adalah
semakin tingginya situasi ketidakpastian dalam banyak aspek
kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Agar kita bisa
menyiasati suasana ketidakpastian akibat globalisasi, maka perlu
diupayakan penggalian kearifan lokal yang berkaitan dengan
bagaimana kita menghadapi zaman yang penuh ketidakpastian
tersebut guna memperkuat jati diri dan mengoptimalkan peran
bangsa dan negara kita dalam era globalisasi.

Kita sering mendengar istilah Zaman Edan ketika kita


menyebut zaman yang penuh hiruk pikuk dan ketidakpastian. Istilah
tersebut bisa ditelusur berikaitan dengan karya pujangga Keraton
Surakarta Rangga Warsita yang berjudul Serat Kalatidha. Pada
pupuh (bait) ke 7 baris pertama disebutkan Amenangi jaman edan
yang bisa diartikan sebagai mengalami Zaman Gila (Edan). Untuk
bisa menggali pesan dalam Serat Kalatidha berkaitan dengan
Zaman Edan maka diperlukan pemahaman yang utuh atas Serat
Kalatidha tersebut.

Serat Kalatidha ditulis dalam bahasa Jawa lama sehingga


untuk memahaminya perlu ada upaya untuk
mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia. Upaya itu
sudah banyak dilakukan. Dalam tulisan ini akan disajikan
pendekatan yang agak lain dari yang sudah ada, yaitu
mengalihbahasakan Serat Kalatidha ke dalam Bahasa Indonesia
tetapi dengan tetap mempertahankan bentuk aslinya yaitu dalam
bentuk puisi Jawa (tembang Sinom) dengan mempertahankan

2
ketentuan tentang jumlah baris, jumlah suku kata dalam satu baris,
dan vokal pada suku kata terakhir dalam setiap barisnya.

Biasanya dalam memahami pesan yang terkandung di


dalamnya, Serat Kalatidha dibagi menjadi tiga bagian: bagian
pertama adalah bait 1 sampai 6, bagian kedua adalah bait 7 dan
bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12. Bagian pertama adalah
tentang keadaan masa Pujanga Rangga Warsita yang menurut
beliau adalah zaman tanpa prinsip. Bagian kedua isinya adalah
tekad yang muncul dari hasil sebuah introspeksi diri. Sedangkan
bagian ketiga isinya adalah sikap seseorang yang taat dengan
agama di dalam masyarakat. Tulisan ini juga mencoba mengupas
dan memaknai kembali Serat Kalatidha dari 3 (tiga) pendekatan,
tetapi dengan mencoba melihatnya sebagai satu kesatuan yang
utuh. Tiga aspek sebagai dasar untuk menggali pesan dalam Serat
Kalatidha adalah pertama, pedoman hidup berbangsa dan
bernegara, ke dua pedoman dalam menghadapi keberlimpahan
informasi, dan ke tiga pedoman pengembangan potensi diri kita
sebagai individu dalam menghadapi Zaman Edan.

METODE
Topik tentang Zaman Edan dikaji dengan didasarkan pada
metode studi pustaka, yaitu dengan mengumpulkan informasi dan
data dengan bantuan berbagai macam material yang ada di
perpustakaan dan sumber lain termasuk internet berupa dokumen,
buku, catatan, majalah, kisah-kisah sejarah dan sebagainya yang
relevan dengan topik yang dibahas. Data dan informasi tadi
selanjutnya ditelaah untuk bisa menulis ulang naskah Serat Kalatida
dalam bahasa Indonesia dan memaknai kembali Serat Kalatida
sesuai dengan pendekatan yang sudah ditetapkan.

SERAT KALATIDHA
Serat Kalatidha ditulis oleh Rangga Warsita, Pujangga Kraton
Surakarta, kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Serat Kalatidha
bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang. Syair ini hanya
terdiri dari 12 bait dalam bentuk tembang Sinom.
Kata Kalatidha sendiri berasal dari bahasa Sansekerta, yang
merupakan gabungan antara dua kata, yaitu kata kala dan tidha.
Kala berarti waktu, keadaan, atau dapat juga berarti zaman; sedang

3
kata tidha berarti ragu-ragu, atau keraguan. Jadi Kalatidha secara
harafiah dapat berarti zaman penuh keraguan, penuh ketidak
pastian yang bisa juga diidentikkan dengan era globalisasi.

Kata Kalatidha terdapat pada bait pertama baris ke tujuh


Serat Kalatidha. Di samping itu, dalam Serat Kalatidha juga terdapat
istilah Kalabendu yang tercantum dalam bait ke dua baris ke enam.
Kata bendu, bebendu bisa diartikan sebagai kutukan, bencana
sehingga Kalabendu bisa diartikan sebagai zaman terkutuk yang
penuh persoalan. Kata Jaman Edan sendiri baru muncul pada bait ke
7 baris pertama Serat Kalatidha. Jadi Jaman Edan bisa dimaknai
identik dengan jaman penuh keraguan (Kalatidha) dan jaman penuh
persoalan (Kalabendhu)

Berikut ini disajikan Serat Kalatida secara utuh dalam versi


aslinya dan alih bahasanya ke dalam Bahasa Indonesia dengan
tetap mempertahankan ketentuan tembang Sinom terkait jumlah
baris dalam satu bait, jumlah sukukata dalam satu baris dan vokal
pada akhir setiap baris.

SERAT KALATIDHA (sinom)


1. Mangkya darajating praja 1. Dan keadaan negara
kawuryan wus sonyaruni rusak parah lahir batin
rurah pangrehing ukara sulit diungkapkan kata
karena tanpa palupi teladan tiada lagi
atilar pilastuti nurani sudah pergi
sujana sarjana kelu cendekiawan membisu
kalulun Kalatidha dicekam Kalatidha
tidhem tandhaning dumadi rakyat resah dalam sunyi
hardayeng rat dening karoban negara melemah dijerat masalah
rubeda

2. Ratune ratu utama 2. Ratunya ratu utama


patihe patih linuwih patihnya patih terpilih
pra nayaka tyas raharja pejabatnya bersemangat
panekara becik-becik pegawainya baik-baik
parandene tan dadi itupun tak menjadi
paliyasing Kalabendu penghambat si Kalabendu
mandar mangkin andadra justru semakin parah
rubeda angreribedi bencana silih berganti
beda-beda hardane wong orang senegara berbeda tujuan
sanagara

3. Katetangi tangisira 3. Terpicu tangis dukanya


sira sang paramengkawi dia sang pujangga jati
kawileting tyas duhkita dililit duka nestapa

4
kataman ing reh wirangi dipermalukan sekali
dening upaya sandi oleh upaya sandi
sumaruna anarawung yang tidak terlihat kalbu
mangimur manuhara terlanjur bergembira
met pamrih melik pakolih berharap yang belum pasti
teman suka ing karsa tanpa terlalu suka hingga hilang
wiweka waspada

4. Dhasar karoban pawarta 4. Terpapar jutaan kabar


Bebaratan ujar lamis terlena kata yang manis
Pinudya dadya pangarsa dibilang jadi pimpinan
Wekasan malah kawuri tapi ternyata tak jadi
yen pinikiir sayekti kalau benar dipikir
mundhak apa aneng ngayun untuk apa pangkat itu
andhedher kaluputan menanam kesalahan
sinirama banyak lali disirami lupa diri
lamun tuwuh dadi kekembanging jika tumbuhpun jadi sumber
beka bencana

5. Ujaring paniti sastra 5. Berujarlah sang pujangga


awewarah asung peling mengajar memperingati
ing jaman keneng musibat di jaman penuh musibah
wong ambeg jatmika kontit orang bijakpun tersingkir
mangkono yen niteni perhatikan yang ini
pedah apa amituhu tak guna percaya itu
pawarta lalawora berita yang tak jelas
mundhak angreranta ati hanya menyedihkan hati
angur baya angiket cariteng kuna lebih baik menulis cerita lama

6. Keni kinarya darsana 6. Yang bisa jadi teladan


panglimbang ala lan becik pertimbangan buruk baik
sayekti akeh kewala sangat banyak sebenarnya
lelakon kang dadi tamsil cerita sebagai tamsil
masalahing ngaurip masalah hidup ini
wahana nira tinemu sarana kita bertemu
temahan anarima akhirnya menerima
mupus pepesthening takdir memupus telunjuk takdir
puluh-puluh anglakoni kaelokan hati ikhlas menjalani kehidupan

7. Amenangi jaman edan 7. Mengalami jaman gila


ewuh aya ing pambudi serba ragu dalam hati
melu edan ora tahan ikut gila tidak tahan
yen tan melu anglakoni jika tak libatkan diri
boya kaduman melik tidak mendapat milik
kaliren wekasanipun kelaparanlah dirimu
ndilalah karsa Allah tapi kehendak Allah
begja-begjane kang lali seberuntung lupa diri

5
luwih begja kang eling lawan lebih beruntung yang ingat dan
waspada waspada

8. Samono iku bebasan 8. Bisa saja orang bilang


padu-padune kepengin itu karena ambisi
enggih makaten Man Doplang bukan begitu Man Doplang?
bener ingkang angarani betul yang menyebut ini
nanging sajroning batin tapi di dalam batin
sejatine nyamut-nyamut tidak demikian itu
wis tuwa arep apa tuk apa sudah tua
muhung mahas ing asepi lebih baiklah menyepi
supayantuk pangaksamaning agar dapat pengampunan Hyang
Hyang Sukma Sukma

9. Beda kang wus santosa 9. Beda yang sudah sentosa


kinarilan ing Hyang Widhi mendapat berkah Hyang Widhi
satiba malanganeya semua menjadi mudah
tan susah ngupaya kasil tak sulit mendapat hasil
saking mangunah prapti dari usaha diri
Pangeran paring pitulung Tuhan menolong selalu
marga samaning titah melalui sesama
rupa sabarang pakolih kebutuhan terpenuhi
parandena taksih taberi ikhtiyar tapi tetap juga gigih berusaha

10.Sakadare linakonan 10.Apapun yang dilakukan


mung tumindak marak ati slalu yang menarik hati
angger tan dadi prakara lagipun tak bermasalah
karena riwayat muni riwayat tunjukkan ini
ikhtiyar iku yekni ikhtiar itu pasti
pamilihe reh rahayu memilih jalan rahayu
sinambi mbudi daya tekunlah berusaha
kanthi awas lawan eling dengan awas mengingati
kang kaesthiantuka parmaning mengharapkan ridho Yang Maha
Sukma Kuasa

11.Ya Allah ya Rasulullah 11.Ya Allah ya Rasulullah


kang sipat murah lan asih yang pemurah dan pengasih
mugi-mugi aparinga semoga Kau memberikan
pitulung kang martani pertolongan yang sejati
ing alam awal akhir di alam awal akhir
dumunung ing gesang ulun dalam kehidupan hamba
mangkya sampun awredha yang sudah tua renta
ing wekasan kadi pundi apapun akhirnya nanti
mila mugi wontena pitulung slalu berharap pertolonganMu
Tuwan Tuhan

12.Sageda sabar santosa 12.Bisa selalu bersabar

6
mati ing sajrone urip selagi hidup pun mati
kalis ing reh aruhara terhindar dari bahaya
murka angkara sumingkir angkara murka menyingkir
tarlen meleng malat sih yang tinggal hanya kasih
sanityaseng tyas mematuh slalu berkehendak patuh
badharing sapu dhendha dibatalkan hukuman
antuk mayar sawatawis dapat ampunan sedikit
borong angga sawarga mesi kupasrahkan jiwa ragaku ya Allah
marata

MEMAKNAI KEMBALI SERAT KALATIDHA


Sudah cukup banyak penulis yang mencoba menafsir pesan
yang terdapat dalam Serat Kalatida. Pada umumnya mereka sepakat
bahwa Serat Kalatida bisa dibagi menjadi tiga bagian:

a. Bagian pertama adalah bait 1 sampai 6 yang berisi


tentang keadaan negara dan bangsa pada masa ketika
Rangga Warsito menulis Serat Kalatida yang menurut
beliau tanpa prinsip, zaman penuh keraguraguan.
b. Bagian kedua adalah bait 7 yang berisi introspeksi diri
dan tekad beliau untuk menghadapai zaman yang tanpa
prinsip atau Zaman Edan tersebut.
c. Bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12 yang berisi sikap
seseorang yang taat dengan agamanya di dalam
kehidupan bermasyarakat.

Selain itu, seorang penulis melihat bahwa serat


Kalatidha penuh dengan ajaran yang mengandung sifat-sifat
kearifan. Kearifan itu berkaitan dengan bagaimana manusia itu
seharusnya bersikap dan berbuat dalam menghadapi gejolak
kehidupan pribadi maupun gejolak yang terjadi dalam masyarakat
termasuk hubunganya dengan para pejabat dan pemerintah,
terhadap alam lingkungan sekitar maupun hubungannya dengan
Tuhan Yang Maha Kuasa. Karena itu kandungan Serat Kalatidha bisa
dianggap sebagai falsafah kehidupan (Mulyoto, 2014).

Selanjutnya Mulyoto (2014) mengatakan bahwa sampai sat ini


ajaran filosofis yang terkandung di dalam Serat Kalatidha masih
relevan sebagai pedoman kehidupan manusia Jawa khususnya dan
manusia Indonesia pada umumnya.
Ini berarti bahwa apa yang dimaksud di dalam
falsafah Kalatidha atau jaman edan atau kalabendu yang penuh
dengan kekacauan, kajahatan, kebohongan, kemunafikan, dan

7
sebagainya, bukan hanya terjadi pada ketika Rangga Warsita masih
hidup. Keadaan seperti ini sudah ada sejak jaman sebelum beliau
(Rangga Warsita) lahir, ketika beliau hidup, maupun ketika beliau
sudah meninggal, bahkan termasuk sekarang ini, tanda-tanda jaman
edan tersebut justru semakin jelas tampak di hadapan kita. Ajaran
dalam Serat Kalatida bisa dijadikan pedoman dalam menyikapi
keadaan Zaman Edan agar bisa selamat dunia dan akhirat.

Sukatno Cr (2006) menyebutkan bahwa ajaran moralitas serat


jangka Rangga Warsita, termasuk Serat Kalatidha, baik yang
mencakup moral ketuhanan, moral individual, dan moral
masyarakat (sosial) dapat diklasifikasikan berdasarkan tema-tema
yang menjadi setting sosial zamannya berdasarkan:

a. gambaran kebobrokan moral masyarakat dan zamannya


b. bagaimana manusia mestinya bersikap, bertindak,
menilai dan mengidentifikasikan dirinya pada masa itu
c. gambaran moral yang baik sebagai basis identifikasi.

Untuk selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba


mengelompokkan ajaran kearifan yang terkandung dalam Serat
Kalatida, baik tersurat maupun tersirat, menjadi 3 yaitu pedoman
dalam berbangsa dan bernegara, pedoman dalam menyikapi
keberlimpahan informasi, dan pedoman dalam mengembangkan
potensi diri.

1. Pedoman Berbangsa dan Bernegara

Berdasarkan deskripsi keadaan negara pada Zaman Edan


(disebut sebagai Kalatidha dan Kalabendu) pada bait ke 1 dan ke
2, maka tersirat pentingnya keteladanan, nurani, peran
cendekiawan, dan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.

1) Keteladanan

Sampai saat ini Indonesia masih termasuk dalam kategori


negara berkembang. Dalam negara berkembang
sebagian besar masyarakatnya masih cenderung
paternalistik, cenderung masih banyak bergantung
kepada pimpinan, baik formal maupun non formal.
Konsekuensinya, kepemimpinan menjadi penting karena
pemimpin harus bisa menjadi acuan, menjadi teladan
sikap perilaku bagi masyarakat yang dipimpinnya. Ketika
teladan tiada lagi (karana tanpa palupi), masyarakat
yang paternalistik akan menjadi kehilangan arah, resah

8
dan mudah terjerumus dalam konflik yang tidak jelas
pemicunya (tidhem tandhaning dumadi). Hal ini
sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa
seorang pemimpin, apalagi di negara berkembang seperti
Indonesia, menurut Ki Hajar Dewantara harus bisa Ing
Ngarso Sung Tuladha secara konsisten bagi
masyarakat yang dipimpinnya.

2) Nurani

Nurani atau hati nurani biasanya dikaitkan dengan


dorongan yang dimiliki individu untuk bersikap dan
berbuat kebaikan, untuk tidak hanya memikirkan diri
sendiri tapi juga lingkungan masyarakatnya. Ketika hati
nurani sudah pergi (atilar pilastuti) maka seseorang
bisa menjadi lepas kendali, menjadi mengejar pemuasan
nafsunya semata. Masyarakat atau negara yang
mayoritas individunya sudah kehilangan nuraninya dan
cenderung menggumbar nafsunya tentunya akan
mustahil untuk bisa menjadi negara yang adil makmur.

3) Cendekiawan sebagai penjaga nilai-nilai luhur

Bagaimanapun carut marutnya kondisi masyarakat atau


negara, kaum cerdik cendekia atau kaum yang berilmu
diharapkan tetap bisa menjadi penerang bagi bangsanya,
untuk bisa selalu mengingatkan masyarakat di
sekelilingnya untuk bisa kembali meyakini nilai-nilai luhur
bangsa dan menjadikan hati nuraninya sebagai pemandu
sikap dan tindakannya. Ketika suatu bangsa yang sudah
kehilangan tauladan dari para pemimpinnya dan
kehilangan nuraninya ditambah lagi kaum cendekiawan
membisu (sujana sarjana kelu), ikut terhanyut dalam
pusaran Kalabendu, tidak bisa menjaga perannya sebagai
penyuluh bagi bangsanya, maka bangsa itu akan
semakin lemah karena terjerat dan terlilit banyak
masalah.

4) Persatuan dan kesatuan

Sila ke tiga dari Pancasila adalah Persatuan Indonesia


yang menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur. Serat Kalatidha juga menekankan pentingnya
persatuan dan kesatuan. Menurut Serat Kalatidha Zaman

9
Kalabendu akan semakin parah ketika orang senegara
berbeda-beda tujuan (mandar mangkin andadra,
rubeda angreribedi, beda-beda hardane wong
sanagara). Bahkan ketika para pemimpinnya baik-baik,
hal itu tak mampu mengatasi Zaman Edan ketika
masyarakatnya tidak ada kehendak untuk menjaga
persatuan dan kesatuan.

Dalam konteks kekinian, Cak Nun dalam tulisannya di


SKH Kedaulatan Rakyat mengatakan bahwa orang zaman
sekarang tidak merasa perlu belajar kecuali hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan nafsu dan kemewahan
hidupnya. Masyarakat sekarang tidak punya kemauan
dan kemampuan untuk berdialog dengan kerendahan hati
dan kesadaran bahwa kebenaran pada setiap manusia itu
bersifat relatif. Kita tidak siap untuk sinau bareng (belajar
bersama). Dengan kondisi sikap perilaku masyarakat
yang seperti itu maka potensi konflik menjadi membesar,
akibatnya akan menjadi seemakin lebih sulit untuk
mewujudkan masyarakat yang adil makmur.

2. Pedoman Menghadapi Keberlimpahan Informasi

Seperti yang sudah disinggung di atas, saat ini kita berada di era
globalisasi. Globalisasi bisa dipahami sebagai proses integrasi
internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia,
produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk
kemunculan telegraf dan Internet, merupakan faktor utama dalam
globalisasi yang semakin mendorong saling ketergantungan
(interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya. Jadi
Internet adalah produk globalisasi sekaligus penggerak (katalis)
yang menghubungkan para pengguna komputer di seluruh dunia.

Salah satu konsekuensi logis dari globalisasi adalah adanya


keberlimpahan informasi. Saat ini, bagi orang yang memiliki akun
di media sosial akan begitu mudah bagi orang tersebut untuk
terpapar informasi yang berkelimpahan, baik yang berguna
maupun tidak berguna, baik secara sengaja maupun tidak.
Diperlukan kearifan dalam menyikapi keberlimpahan informasi ini
agar kita tidak justru terjebak dalam permasalahan yang tidak
kita kehendaki.

10
Pada bait 3 dan 4 Serat Kalatidha digambarkan kekecewaan dan
kesedihan yang harus dialami Rangga Warsita karena terlalu
mempercayai pada desas desus dan kata-kata manis. Mendengar
desas desus dan kata-kata manis terkait kemungkinan beliau
dipromosikan, beliau menerima begitu saja informasi tersebut dan
menjadi terlalu bergembira sehingga hilang kewaspadaannya
(teman suka ing karsa tanpa wiweka). Akibatnya beliau
menjadi sangat berduka (Katetangi tangisira, sira sang
paramengkawi, kawileting tyas duhkita) ketika ternyata isu
bahwa beliau hendak dipromosikan itu ternyata tidak menjadi
kenyataan (Dhasar karoban pawarta, Bebaratan ujar lamis,
Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri ).
Berdasarkan pesan yang tersirat dalam bait 3 dan 4 di atas, maka
dalam era dimana keberlimpahan informasi seperti ini diperlukan
sikap kehati-hatian dan waspada dalam menerima informasi agar
kita tidak terjerat masalah yang tidak kita inginkan.

Di samping itu, pada bait ke 7 Serat Kalatidha juga ditekankan


pentingnya sikap ingat dan waspada dalam menyikapi Zaman
Edan (begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling
lawan waspada). Seperti sudah disinggung di atas, Zaman Edan
itu identik dengan Zaman Penuh Keraguan (Kalatidha).
Keberlimpahan informasi juga merupakan cerminan dari itu,
mengingat semakin berlimpahnya informasi maka semakin sulit
membedakan mana yang benar dan mana yang palsu (hoax),
mana yang bermanfaat mana yang tidak, mana yang mendorong
persatuan mana yang memicu perpecahan.

Jadi menurut Serat Kalatidha, dalam kita menyikapi


keberlimpahan informasi kita harus memegang prinsip Eling
(Ingat) dan Waspada. Eling semestinya terkait dengan isi
kandunga informasi yaitu kita harus selalu mengingat tujuan kita
dalam mencari informasi dan nilai-nilai yang harus kita pegang
sebagai dasar penilaian manfaat dari informasi yang ada.
Pancasila seharusnya bisa dipakai sebagai pedoman nilai yang
menjadi acuan kita dalam menilai isi kandungan informasi yang
ada. Eling juga bisa dikaitkan dengan selalu mengingat Tuhan YME
sebagai sumber dan yang memiliki kebenaran yang mutlak dan
bahwa kebenaran manusia itu relatif.

Waspada mestinya dikaitkan dengan sumber informasi. Kita harus


berusaha memastikan bahwa sumber informasi yang ingin kita
ambil informasinya, baik untuk keperluan sendiri maupun untuk
disebarluaskan, memiliki kredibilitas yang baik terkaiit rekam

11
jejak informasi yang selama ini disajikan maupun berdasarkan
penilaian dari instasi yang bertanggungjawab mengawasi sumber
informasi (situs) di internet. Dengan pertimbangan Eling dan
Waspada maka situs-situs yang cenderung memuat materi yang
provokatif sebaiknya dihindari, atau setidaknya dicerna isinya
dengan penuh kehati-hatian.

3. Pedoman Pengembangan Potensi Diri

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, potensi diberi pengertian


sebagai kemampuan yang mempunyai kemungkinan untuk
dikembangkan, kekuatan, kesanggupan, daya. Selanjutnya
Menurut Endra K Pihadhi (dalam Riadi, 2013) potensi diartikan
sebagai kekuatan, energi, atau kemampuan yang terpendam
yang dimiliki dan belum dimanfaatkan secara optimal. Jadi potensi
diri bisa dimaknai sebagai suatu kekuatan yang masih terpendam
yang berupa fisik, karakter, minat, bakat, kecerdasan dan nilai-
nilai yang terkandung dalam diri seseorang tetapi belum atau
belum sepenuhnya dimanfaatkan dan diolah.

Salah satu potensi diri terkait dengan apa yang kita kenal sebagai
kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan
merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya
dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan,
untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri sendiri
dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan
secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Hal itu ditunjukkan dalam bait ke 5 dan 6 Serat Kalatidha. Pada


bait itu Rangga Warsita mengatakan bahwa daripada hanya
bersedih hati (mundhak angreranta ati) mengikuti rasa
kecewanya lebih baik menuliskan sesuatu yang bermanfaat,
sesuatu yang bisa menjadi acuan pertimbangan baik dan buruk
(angur baya angiket cariteng kuna, Keni kinarya darsana,
panglimbang ala lan becik). Ini merupakan perwujudan dari
kecerdasan emosional yang dimiliki Rangga Warsita, yang mampu
mengelola energi kesedihannya menjadi energi kreatif untuk
menghasilkan karya yang bermanfaat bagi sesama. Hal itu sejalan
dengan saran terkait bagaimana mengembangkan kecerdasan
emosional yang diberikan oleh Martin (2003) yaitu mulailah untuk
belajar mengelola emosi yang tidak menyenangkan yang Anda
rasakan, dan berpikir positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Rangga Warsita telah berhasil mengelola emosi kecewa dan

12
sedihnya menjadi energi positif untuk menghasilkan karya yang
bermanfaat bagi dirinya dan orang lain.

Pengembangan potensi diri dalam rangka meraih keberhasilan


dunia akhirat harus dilihat sebagai suatu upaya yang
berkelanjutan, sebagai upaya seumur hidup. Bait ke 9 serat
Kalatidha menekankan bahwa kita tidak dianjurkan untuk
menghentikan upaya peningkatan diri, bahkan ketika sepertinya
semua begitu mudah diperoleh, ketika sepertinya Tuhan YME
selalu siap menolong dan memberikan kemudahan, kita tetap
harus gigih berusaha (Pangeran paring pitulung, marga
samaning titah, rupa sabarang pakolih, parandena taksih
taberi ikhtiyar). Bahkan ketika sudah tuapun, dalam bait ke 8
Serat Kalatidha, kita dianjurkan untuk tetap berkarya,
mengembangkan potensi diri, meskipun tujuannya lebih
diarahkan pada pengampunan dari Tuhan YME (wis tuwa arep
apa, muhung mahas ing asepi, supayantuk
pangaksamaning Hyang Sukma).

Serat Kalatidha juga menegaskan bahwa setiap usaha


mengembangkan potensi diri harus diiringi dengan niatan untuk
mendapat ridho dari Tuhan YME. Hal itu ditekankan di bait ke 10
di mana usaha yang diniati untuk memperoleh ridho Tuhan YME
itu harus dilakukan dengan melakukan sesuatu dengan cara yang
baik dan memilih jalan keselamatan dengan selalu eling dan
waspada (mung tumindak marak ati, angger tan dadi
prakara, karena riwayat muni, ikhtiyar iku yekni, pamilihe
reh rahayu, sinambi mbudi daya, kanthi awas lawan eling).
Disamping itu kita juga diharapkan untuk selalu berdoa mohon
pertolongan kepada Tuhan YME seperti tercantum dalam bait ke
11 (mila mugi wontena pitulung Tuwan) agar segala usaha
kita memperoleh pertolongan dan ridho dari Tuhan YME.

Akhirnya, Serat Kalattida pada bait terakhir (ke 12) menekankan


pentingnya kesabaran. Seperti sudah disinggung di atas,
pengembangan potensi diri harus dilihat sebagai upaya yang
terus menerus dan keberhasilannya tidak lepas dari pertolongan
Tuhan YME, maka kemampuan kita untuk bersabar (Sageda
sabar santosa) memang diperlukan agar kita bisa tetap berbaik
sangka kepada Tuhan YME. Dengan berserah diri kepada Tuhan
YME dalam kesabaran (borong angga sawarga mesi marata)
maka bisa diharapkan Tuhan akan ridho dan memberikan
kemudahan.

13
KESIMPULAN
Upaya menuliskan dan memaknai kembali Serat Kalatidha ini
masih banyak kekurangan, mengingat penulis tidak memiliki latar
belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang sesuai. Meskipun
begitu dengan telah disajikannya Serat Kalatida dalam bahasa
Indonesia dengan tetap mempertahankan gaya tembang Sinom,
diharapkan upaya memahami pesan yang terkandung dalam Serat
Kalatidha menjadi lebih mudah.

Mengingat Serat Kalatidha ditulis dalam bentuk tembang atau


puisi, maka dimungkinkan adanya multitafsir terkait kandungan
isinya. Penafsiran isi sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan
bernegara, pedoman menghadapi keberlimpahan informasi, dan
pengembangan potensi diri hanya merupakan salah satu
kemungkinan dalam menafsir serat Kalatidha disesuaikan dengan
kondisi saat ini. Masih terbuka lebar kemungkinan untuk
memberikan tafsir selain yang sudah disajikan di atas.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, SW .2014. Kitab Sakti Ajaran Ranggawarsita, membongkar
saripati ajaran-ajaran kebajikan Sang Pujangga Besar. Araska
Publisher, Yogyakarta

Sukatno Cr, O. 2006. Ramalan Ramalan Edan Ronggo Warsito. Pustaka


Pelajar, Yogyakarta

Martin, AD. 2003. Emotional Quality Management: refleksi, revisi dan


revitalisasi hidup melalui kekuatan emosi. Penerbit Arga, Jakarta.

Cak Nun. 2017. Indonesia Tidak Belajar Kepada Yogya. Kolom Wedang
Uwuh. SKH Kedaulatan Rakyat 17 Januari 2017

Mulyoto. 2014. FalsafahKalatidha Cermin Kearifan Masyarakat Orang


Jawa Dalam Menghadapi Perkembangan Dan Globalisasi
Kehidupan (Suatu Analisis Reflektif Fenomenologis). Download
dari
http://akucintanusantaraku.blogspot.co.id/2014/02/serat-
kalatidha-rng-ronggowarsito-dan.html

Riadi, M. 2013. Potensi Diri. Download dari


http://www.kajianpustaka.com/2013/10/potensi-diri.html

14
https://uns.ac.id/id/uns-update/menilik-serat-kalatidha-dalam-
konteks-kekinian.html

https://karlinasetiyanti.wordpress.com/sastra-jawa/serat-kalatidha-
karya-raden-ngabehi-ranggawarsita/

http://www.kompasiana.com/kalimana/inilah-jaman-edan-menyelisik-
serat-kalatidha-
ranggawarsita_581378678423bd462e94175a

https://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Kalatidha

15

Anda mungkin juga menyukai