Slamet Sugiharto
Abstract: Istilah Zaman Edan sering kita dengar ketika mendiskripsikan kondisi negara dan
bangsa. Istilah itu sebenarnya diambil dari Serat Kalatidha hasil karya pujangga Rangga
Warsita. Untuk bisa memahami Zaman Edan secara utuh maka diperlukan pemahaman
tentang Serat Kalatida yang ditulis dalam bahasa Jawa lama dalam bentuk tembang (puisi)
Sinom. Sudah banyak upaya untuk menafsir serat Kalatida. Makalah ini mencoba menafsir
ulang keseluruhan isi Serat Kalatidha dalam konteks saat ini dengan penekanan pada tiga
aspek, yaitu kehidupan berbangsa dan bernegara, kesiapan menghadapi keberlimpahan
informasi, dan terakhir berkaitan dengan pengembangan potensi diri dalam menghadapi
Zaman Edan. Di samping itu disajikan pula naskah lengkap Serat Kalatidha dalam bahasa
Jawa dan alih bahasanya ke dalam Bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan aturan
untuk tembang Sinom terkait dengan jumlah baris, jumlah suku kata dalam satu baris dan
vokal (a, i, u, e, o) pada akhir setiap baris.
Menurut Serat Kalatida sebuah negara tidak akan bisa adil makmur meskipun negara itu
memiliki pemimpin dan penyelenggara pemerintahan yang baik, sepanjang rakyatnya tidak
mampu bersatu dalam harmoni tujuan dan tindakan. Dari aspek pengelolaan informasi,
Serat Kalatida menekankan pentingnya pengendalian diri dalam menerima kelimpahan
informasi agar tidak menyusahkan diri sendiri maupun orang lain. Serat Kalatida juga
menekankan bahwa perasaan kecewa dan sedih energinya bisa disalurkan ke arah yang
positif dan produktif. Selanjutnya kita diharapkan untuk selalu eling (mengingat Tuhan
YME) dan waspada menghadapi situasi ketidak pastian Zaman Edan. Tetaplah berusaha
meningkatkan diri tanpa melupakan adanya kehendak Tuhan YME agar kita bisa sejahtera
dunia akhirat.
Pendahuluan
Pada tahun 2015 secara formal kita sudah menjadi bagian dari Masyarakat Ekonomi
ASEAN yang berarti saat ini kita sudah memasuki era globalisasi. Globalisasi bisa dilihat
sebagai suatu proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran pandangan dunia,
produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Globalisasi merupakan proses
masyarakat dunia menuju pada suatu keadaan saling terkait dan saling ketergantungan dalam
berbagai aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya. Proses globalisasi lahir
karena adanya perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi, terutama kemajuan
teknologi komunikasi, informasi dan transportasi. Salah satu akibat dari adanya globalisasi
adalah semakin tingginya situasi ketidakpastian dalam banyak aspek kehidupan dalam
berbangsa dan bernegara. Agar kita bisa menyiasati suasana ketidakpastian akibat globalisasi,
maka perlu diupayakan penggalian kearifan lokal yang berkaitan dengan bagaimana kita
menghadapi zaman yang penuh ketidakpastian tersebut guna memperkuat jati diri dan
mengoptimalkan peran bangsa dan negara kita dalam era globalisasi.
Kita sering mendengar istilah Zaman Edan ketika kita menyebut zaman yang penuh hiruk
pikuk dan ketidakpastian. Istilah tersebut bisa ditelusur berikaitan dengan karya pujangga
Keraton Surakarta Rangga Warsita yang berjudul Serat Kalatidha. Pada pupuh (bait) ke 7
baris pertama disebutkan Amenangi jaman edan yang bisa diartikan sebagai mengalami
Zaman Gila (Edan). Untuk bisa menggali pesan dalam Serat Kalatidha berkaitan dengan
Zaman Edan maka diperlukan pemahaman yang utuh atas Serat Kalatidha tersebut.
Serat Kalatidha ditulis dalam bahasa Jawa lama sehingga untuk memahaminya perlu ada
upaya untuk mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia. Upaya itu sudah banyak
dilakukan. Dalam tulisan ini akan disajikan pendekatan yang agak lain dari yang sudah ada,
yaitu mengalihbahasakan Serat Kalatidha ke dalam Bahasa Indonesia tetapi dengan tetap
mempertahankan bentuk aslinya yaitu dalam bentuk puisi Jawa (tembang Sinom) dengan
mempertahankan ketentuan tentang jumlah baris, jumlah suku kata dalam satu baris, dan
vokal pada suku kata terakhir dalam setiap barisnya.
Biasanya dalam memahami pesan yang terkandung di dalamnya, Serat Kalatidha dibagi
menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah bait 1 sampai 6, bagian kedua adalah bait 7 dan
bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12. Bagian pertama adalah tentang keadaan masa Pujanga
Rangga Warsita yang menurut beliau adalah zaman tanpa prinsip. Bagian kedua isinya adalah
tekad yang muncul dari hasil sebuah introspeksi diri. Sedangkan bagian ketiga isinya adalah
sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat. Tulisan ini juga mencoba
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
mengupas dan memaknai kembali Serat Kalatidha dari 3 (tiga) pendekatan, tetapi dengan
mencoba melihatnya sebagai satu kesatuan yang utuh. Tiga aspek sebagai dasar untuk
menggali pesan dalam Serat Kalatidha adalah pertama, pedoman hidup berbangsa dan
bernegara, ke dua pedoman dalam menghadapi keberlimpahan informasi, dan ke tiga
pedoman pengembangan potensi diri kita sebagai individu dalam menghadapi Zaman Edan.
Metodologi
Topik tentang Zaman Edan dikaji dengan didasarkan pada metode studi pustaka, yaitu
dengan mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang
ada di perpustakaan dan sumber lain termasuk internet berupa dokumen, buku, catatan,
majalah, kisah-kisah sejarah dan sebagainya yang relevan dengan topik yang dibahas. Data
dan informasi tadi selanjutnya ditelaah untuk bisa menulis ulang naskah Serat Kalatida dalam
bahasa Indonesia dan memaknai kembali Serat Kalatida sesuai dengan pendekatan yang
sudah ditetapkan.
Serat Kalatidha
Serat Kalatidha ditulis oleh Rangga Warsita, Pujangga Kraton Surakarta, kurang lebih
pada tahun 1860 Masehi. Serat Kalatidha bukanlah karya Rangga Warsita yang terpanjang.
Syair ini hanya terdiri dari 12 bait dalam bentuk tembang Sinom. Kata Kalatidha sendiri
berasal dari bahasa Sansekerta, yang merupakan gabungan antara dua kata, yaitu
kata kala dan tidha. Kala berarti waktu, keadaan, atau dapat juga berarti zaman; sedang
kata tidha berarti ragu-ragu, atau keraguan. Jadi Kalatidha secara harafiah dapat berarti
zaman penuh keraguan, penuh ketidak pastian yang bisa juga diidentikkan dengan era
globalisasi.
Kata Kalatidha terdapat pada bait pertama baris ke tujuh Serat Kalatidha. Di samping itu,
dalam Serat Kalatidha juga terdapat istilah Kalabendu yang tercantum dalam bait ke dua
baris ke enam. Kata bendu, bebendu bisa diartikan sebagai kutukan, bencana sehingga
Kalabendu bisa diartikan sebagai zaman terkutuk yang penuh persoalan. Kata Jaman Edan
sendiri baru muncul pada bait ke 7 baris pertama Serat Kalatidha. Jadi Jaman Edan bisa
dimaknai identik dengan jaman penuh keraguan (Kalatidha) dan jaman penuh persoalan
(Kalabendhu)
Berikut ini disajikan Serat Kalatida secara utuh dalam versi aslinya dan alih bahasanya ke
dalam Bahasa Indonesia dengan tetap mempertahankan ketentuan tembang Sinom terkait
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
jumlah baris dalam satu bait, jumlah sukukata dalam satu baris dan vokal pada akhir setiap
baris.
SERAT KALATIDHA (Sinom)
1. Mangkya darajating praja 1. Dan keadaan negara
kawuryan wus sonyaruni rusak parah lahir batin
rurah pangrehing ukara sulit diungkapkan kata
karena tanpa palupi teladan tiada lagi
atilar pilastuti nurani sudah pergi
sujana sarjana kelu cendekiawan membisu
kalulun Kalatidha dicekam Kalatidha
tidhem tandhaning dumadi rakyat resah dalam sunyi
hardayeng rat dening karoban rubeda negara melemah dijerat masalah
c. Bagian ketiga adalah bait 8 sampai 12 yang berisi sikap seseorang yang taat
dengan agamanya di dalam kehidupan bermasyarakat.
Selain itu, seorang penulis melihat bahwa serat Kalatidha penuh dengan ajaran yang
mengandung sifat-sifat kearifan. Kearifan itu berkaitan dengan bagaimana manusia itu
seharusnya bersikap dan berbuat dalam menghadapi gejolak kehidupan pribadi maupun
gejolak yang terjadi dalam masyarakat termasuk hubunganya dengan para pejabat dan
pemerintah, terhadap alam lingkungan sekitar maupun hubungannya dengan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Karena itu kandungan Serat Kalatidha bisa dianggap sebagai falsafah
kehidupan (Mulyoto, 2014).
Selanjutnya Mulyoto (2014) mengatakan bahwa sampai sat ini ajaran filosofis yang
terkandung di dalam Serat Kalatidha masih relevan sebagai pedoman kehidupan manusia
Jawa khususnya dan manusia Indonesia pada umumnya.
Ini berarti bahwa apa yang dimaksud di dalam falsafah Kalatidha atau jaman
edan atau kalabendu yang penuh dengan kekacauan, kajahatan, kebohongan, kemunafikan,
dan sebagainya, bukan hanya terjadi pada ketika Rangga Warsita masih hidup. Keadaan
seperti ini sudah ada sejak jaman sebelum beliau (Rangga Warsita) lahir, ketika beliau hidup,
maupun ketika beliau sudah meninggal, bahkan termasuk sekarang ini, tanda-tanda jaman
edan tersebut justru semakin jelas tampak di hadapan kita. Ajaran dalam Serat Kalatida bisa
dijadikan pedoman dalam menyikapi keadaan Zaman Edan agar bisa selamat dunia dan
akhirat.
Sukatno Cr (2006) menyebutkan bahwa ajaran moralitas serat jangka Rangga Warsita,
termasuk Serat Kalatidha, baik yang mencakup moral ketuhanan, moral individual, dan moral
masyarakat (sosial) dapat diklasifikasikan berdasarkan tema-tema yang menjadi setting sosial
zamannya berdasarkan:
a. gambaran kebobrokan moral masyarakat dan zamannya
b. bagaimana manusia mestinya bersikap, bertindak, menilai dan
mengidentifikasikan dirinya pada masa itu
c. gambaran moral yang baik sebagai basis identifikasi.
Untuk selanjutnya dalam makalah ini penulis mencoba mengelompokkan ajaran kearifan
yang terkandung dalam Serat Kalatida, baik tersurat maupun tersirat, menjadi 3 yaitu
pedoman dalam berbangsa dan bernegara, pedoman dalam menyikapi keberlimpahan
informasi, dan pedoman dalam mengembangkan potensi diri.
1. Pedoman Berbangsa dan Bernegara
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
Berdasarkan deskripsi keadaan negara pada Zaman Edan (disebut sebagai Kalatidha
dan Kalabendu) pada bait ke 1 dan ke 2, maka tersirat pentingnya keteladanan, nurani,
peran cendekiawan, dan persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
1) Keteladanan
Sampai saat ini Indonesia masih termasuk dalam kategori negara berkembang.
Dalam negara berkembang sebagian besar masyarakatnya masih cenderung
paternalistik, cenderung masih banyak bergantung kepada pimpinan, baik formal
maupun non formal. Konsekuensinya, kepemimpinan menjadi penting karena
pemimpin harus bisa menjadi acuan, menjadi teladan sikap perilaku bagi
masyarakat yang dipimpinnya. Ketika teladan tiada lagi (karana tanpa palupi),
masyarakat yang paternalistik akan menjadi kehilangan arah, resah dan mudah
terjerumus dalam konflik yang tidak jelas pemicunya (tidhem tandhaning
dumadi). Hal ini sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa seorang
pemimpin, apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, menurut Ki Hajar
Dewantara harus bisa Ing Ngarso Sung Tuladha secara konsisten bagi masyarakat
yang dipimpinnya.
2) Nurani
Nurani atau hati nurani biasanya dikaitkan dengan dorongan yang dimiliki
individu untuk bersikap dan berbuat kebaikan, untuk tidak hanya memikirkan diri
sendiri tapi juga lingkungan masyarakatnya. Ketika hati nurani sudah pergi (atilar
pilastuti) maka seseorang bisa menjadi lepas kendali, menjadi mengejar pemuasan
nafsunya semata. Masyarakat atau negara yang mayoritas individunya sudah
kehilangan nuraninya dan cenderung menggumbar nafsunya tentunya akan mustahil
untuk bisa menjadi negara yang adil makmur.
3) Cendekiawan sebagai penjaga nilai-nilai luhur
Bagaimanapun carut marutnya kondisi masyarakat atau negara, kaum cerdik
cendekia atau kaum yang berilmu diharapkan tetap bisa menjadi penerang bagi
bangsanya, untuk bisa selalu mengingatkan masyarakat di sekelilingnya untuk bisa
kembali meyakini nilai-nilai luhur bangsa dan menjadikan hati nuraninya sebagai
pemandu sikap dan tindakannya. Ketika suatu bangsa yang sudah kehilangan
tauladan dari para pemimpinnya dan kehilangan nuraninya ditambah lagi kaum
cendekiawan membisu (sujana sarjana kelu), ikut terhanyut dalam pusaran
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
Kalabendu, tidak bisa menjaga perannya sebagai penyuluh bagi bangsanya, maka
bangsa itu akan semakin lemah karena terjerat dan terlilit banyak masalah.
4) Persatuan dan kesatuan
Sila ke tiga dari Pancasila adalah Persatuan Indonesia yang menegaskan
pentingnya persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur. Serat Kalatidha juga menekankan pentingnya persatuan dan
kesatuan. Menurut Serat Kalatidha Zaman Kalabendu akan semakin parah ketika
orang senegara berbeda-beda tujuan (mandar mangkin andadra, rubeda
angreribedi, beda-beda hardane wong sanagara). Bahkan ketika para pemimpinnya
baik-baik, hal itu tak mampu mengatasi Zaman Edan ketika masyarakatnya tidak ada
kehendak untuk menjaga persatuan dan kesatuan.
Dalam konteks kekinian, Cak Nun dalam tulisannya di SKH Kedaulatan Rakyat
mengatakan bahwa orang zaman sekarang tidak merasa perlu belajar kecuali hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan nafsu dan kemewahan hidupnya. Masyarakat
sekarang tidak punya kemauan dan kemampuan untuk berdialog dengan kerendahan
hati dan kesadaran bahwa kebenaran pada setiap manusia itu bersifat relatif. Kita
tidak siap untuk sinau bareng (belajar bersama). Dengan kondisi sikap perilaku
masyarakat yang seperti itu maka potensi konflik menjadi membesar, akibatnya akan
menjadi seemakin lebih sulit untuk mewujudkan masyarakat yang adil makmur.
2. Pedoman Menghadapi Keberlimpahan Informasi
Seperti yang sudah disinggung di atas, saat ini kita berada di era globalisasi.
Globalisasi bisa dipahami sebagai proses integrasi internasional yang terjadi karena
pertukaran pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Kemajuan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf
dan Internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling
ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya. Jadi Internet adalah
produk globalisasi sekaligus penggerak (katalis) yang menghubungkan para pengguna
komputer di seluruh dunia.
Salah satu konsekuensi logis dari globalisasi adalah adanya keberlimpahan informasi.
Saat ini, bagi orang yang memiliki akun di media sosial akan begitu mudah bagi orang
tersebut untuk terpapar informasi yang berkelimpahan, baik yang berguna maupun tidak
berguna, baik secara sengaja maupun tidak. Diperlukan kearifan dalam menyikapi
keberlimpahan informasi ini agar kita tidak justru terjebak dalam permasalahan yang tidak
kita kehendaki.
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
Pada bait 3 dan 4 Serat Kalatidha digambarkan kekecewaan dan kesedihan yang harus
dialami Rangga Warsita karena terlalu mempercayai pada desas desus dan kata-kata
manis. Mendengar desas desus dan kata-kata manis terkait kemungkinan beliau
dipromosikan, beliau menerima begitu saja informasi tersebut dan menjadi terlalu
bergembira sehingga hilang kewaspadaannya (teman suka ing karsa tanpa wiweka).
Akibatnya beliau menjadi sangat berduka (Katetangi tangisira, sira sang paramengkawi,
kawileting tyas duhkita) ketika ternyata isu bahwa beliau hendak dipromosikan itu
ternyata tidak menjadi kenyataan (Dhasar karoban pawarta, Bebaratan ujar lamis,
Pinudya dadya pangarsa, Wekasan malah kawuri). Berdasarkan pesan yang tersirat
dalam bait 3 dan 4 di atas, maka dalam era dimana keberlimpahan informasi seperti ini
diperlukan sikap kehati-hatian dan waspada dalam menerima informasi agar kita tidak
terjerat masalah yang tidak kita inginkan.
Di samping itu, pada bait ke 7 Serat Kalatidha juga ditekankan pentingnya sikap ingat
dan waspada dalam menyikapi Zaman Edan (begja-begjane kang lali, luwih begja kang
eling lawan waspada). Seperti sudah disinggung di atas, Zaman Edan itu identik dengan
Zaman Penuh Keraguan (Kalatidha). Keberlimpahan informasi juga merupakan cerminan
dari itu, mengingat semakin berlimpahnya informasi maka semakin sulit membedakan
mana yang benar dan mana yang palsu (hoax), mana yang bermanfaat mana yang tidak,
mana yang mendorong persatuan mana yang memicu perpecahan.
Jadi menurut Serat Kalatidha, dalam kita menyikapi keberlimpahan informasi kita
harus memegang prinsip Eling (Ingat) dan Waspada. Eling semestinya terkait dengan isi
kandunga informasi yaitu kita harus selalu mengingat tujuan kita dalam mencari informasi
dan nilai-nilai yang harus kita pegang sebagai dasar penilaian manfaat dari informasi yang
ada. Pancasila seharusnya bisa dipakai sebagai pedoman nilai yang menjadi acuan kita
dalam menilai isi kandungan informasi yang ada. Eling juga bisa dikaitkan dengan selalu
mengingat Tuhan YME sebagai sumber dan yang memiliki kebenaran yang mutlak dan
bahwa kebenaran manusia itu relatif.
Waspada mestinya dikaitkan dengan sumber informasi. Kita harus berusaha
memastikan bahwa sumber informasi yang ingin kita ambil informasinya, baik untuk
keperluan sendiri maupun untuk disebarluaskan, memiliki kredibilitas yang baik terkaiit
rekam jejak informasi yang selama ini disajikan maupun berdasarkan penilaian dari
instasi yang bertanggungjawab mengawasi sumber informasi (situs) di internet. Dengan
pertimbangan Eling dan Waspada maka situs-situs yang cenderung memuat materi yang
provokatif sebaiknya dihindari, atau setidaknya dicerna isinya dengan penuh kehati-hatian.
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
pakolih, parandena taksih taberi ikhtiyar). Bahkan ketika sudah tuapun, dalam bait ke 8
Serat Kalatidha, kita dianjurkan untuk tetap berkarya, mengembangkan potensi diri,
meskipun tujuannya lebih diarahkan pada pengampunan dari Tuhan YME (wis tuwa arep
apa, muhung mahas ing asepi, supayantuk pangaksamaning Hyang Sukma).
Serat Kalatidha juga menegaskan bahwa setiap usaha mengembangkan potensi diri
harus diiringi dengan niatan untuk mendapat ridho dari Tuhan YME. Hal itu ditekankan di
bait ke 10 di mana usaha yang diniati untuk memperoleh ridho Tuhan YME itu harus
dilakukan dengan melakukan sesuatu dengan cara yang baik dan memilih jalan
keselamatan dengan selalu eling dan waspada (mung tumindak marak ati, angger tan
dadi prakara, karena riwayat muni, ikhtiyar iku yekni, pamilihe reh rahayu, sinambi
mbudi daya, kanthi awas lawan eling). Disamping itu kita juga diharapkan untuk selalu
berdoa mohon pertolongan kepada Tuhan YME seperti tercantum dalam bait ke 11 (mila
mugi wontena pitulung Tuwan) agar segala usaha kita memperoleh pertolongan dan ridho
dari Tuhan YME.
Akhirnya, Serat Kalattida pada bait terakhir (ke 12) menekankan pentingnya
kesabaran. Seperti sudah disinggung di atas, pengembangan potensi diri harus dilihat
sebagai upaya yang terus menerus dan keberhasilannya tidak lepas dari pertolongan Tuhan
YME, maka kemampuan kita untuk bersabar (Sageda sabar santosa) memang diperlukan
agar kita bisa tetap berbaik sangka kepada Tuhan YME. Dengan berserah diri kepada
Tuhan YME dalam kesabaran (borong angga sawarga mesi marata) maka bisa
diharapkan Tuhan akan ridho dan memberikan kemudahan.
Penutup
Upaya menuliskan dan memaknai kembali Serat Kalatidha ini masih banyak kekurangan,
mengingat penulis tidak memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja yang
sesuai. Meskipun begitu dengan telah disajikannya Serat Kalatida dalam bahasa Indonesia
dengan tetap mempertahankan gaya tembang Sinom, diharapkan upaya memahami pesan
yang terkandung dalam Serat Kalatidha menjadi lebih mudah.
Mengingat Serat Kalatidha ditulis dalam bentuk tembang atau puisi, maka dimungkinkan
adanya multitafsir terkait kandungan isinya. Penafsiran isi sebagai pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara, pedoman menghadapi keberlimpahan informasi, dan
pengembangan potensi diri hanya merupakan salah satu kemungkinan dalam menafsir serat
Kalatidha disesuaikan dengan kondisi saat ini. Masih terbuka lebar kemungkinan untuk
memberikan tafsir selain yang sudah disajikan di atas.
Proceeding Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) Nasional ke-3
Ikatan Widyaiswara Indonesia (IWI) Provinsi Banten
Tangerang, 6 9 Maret 2017
Daftar Pustaka
Sukatno Cr, O. 2006. Ramalan Ramalan Edan Ronggo Warsito. Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Martin, AD. 2003. Emotional Quality Management: refleksi, revisi dan revitalisasi hidup
melalui kekuatan emosi. Penerbit Arga, Jakarta.
Cak Nun. 2017. Indonesia Tidak Belajar Kepada Yogya. Kolom Wedang Uwuh. SKH
Kedaulatan Rakyat 17 Januari 2017
https://uns.ac.id/id/uns-update/menilik-serat-kalatidha-dalam-konteks-kekinian.html
https://karlinasetiyanti.wordpress.com/sastra-jawa/serat-kalatidha-karya-raden-ngabehi-
ranggawarsita/
http://www.kompasiana.com/kalimana/inilah-jaman-edan-menyelisik-serat-kalatidha-
ranggawarsita_581378678423bd462e94175a
https://id.wikipedia.org/wiki/Serat_Kalatidha