Anda di halaman 1dari 20

KARYA SASTRA TEMBANG MACAPAT DURMA SEBAGAI

SAKA GURU MASYARAKAT DI ERA MILENIAL

Disusun Oleh :
Airvia Yeanisya Gunawan
NIM 131323517000062102206

MADRASAH ALIYAH SALAFIYAH SYAFI’IYAH TEBUIRENG


JOMBANG
2022
BIODATA PESERTA

LOMBA ESAI PEKAN HISTORIS 2022

Nama : Airvia Yeanisya Gunawan

Tempat lahir : Blitar

Tanggal lahir : 23 Juni 2005

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat rumah : Sanggrahan – Ngadirenggo , 03/07 Wlingi – Blitar

Telp : Email : airviayg@gmail.com

Nama instansi : Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng

Judul essai : Karya Sastra Tembang Macapat Durma Sebagai Saka Guru
Masyarakat di era Milenial

Kategori : Pelajar

Jombang, 28 September 2022

Airvia Yeanisya Gunawan


Riwayat Singkat Penulis

Airvia Yeanisya Gunawan, lahir di Blitar 23 Juni 2005 dan sekarang berdomisili di
Tebuireng, Jombang. Sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Tebuireng
jurusan Keagamaan di bangku kelas XI. Aktif di bidang Jurnalistik, diantaranya
ekstrakurikuler Jurnalistik dan komunitas literasi Linimasa sebagai ketua putri.
Prestasi yang pernah diraih selama pendidikan yaitu siswa terbaik SMP A. Wahid
Hasyim bidang literasi tahun 2020, meraih juara satu lomba essai tingkat nasional
yang diadakan Mahrest ( Ma’had Aly Festival ) dengan judul essai “ Hadratussyaikh
KH. Hasyim Asyari Sebagai Figur Nasionalisme Generasi Milenial “ pada tahun
2021.
Karya Sastra Tembang Macapat Durma Sebagai Saka Guru
Masyarakat di era Milenial

Pendahuluan

Indonesia memiliki begitu banyak kekayaan, khususnya dalam keberagaman budaya.


Keberagaman budaya ini melahirkan banyak warisan budaya yang menakjubkan,
diantaranya yaitu arca, relief, adat istiadat, karya sastra berupa tembang yang berisi
petuah kehidupan. Sedikit dari para remaja milenial saat ini tidak mengenal apa itu
tembang macapat, karena beranggapan budaya ini usang dan tidak memiliki apapun,
sekedar karya lama. tembang macapat dapat dipastikan begitu syarat akan itelektual.
Nilai nilai budaya dapat menjadi media komunikasi yang merakyat, dan menyisipkan
pesan-pesan bermakna di dalamnya. (Iswidayati, 2007)

Semakin berjalannya waktu, warisan budaya mulai mengalami kritis dan mulai punah
digerus oleh zaman. Di era modern seperti ini, para generasi penerus lebih tertarik
kepada kebudayaan luar dan karya-karya di luar Indonesia, begitu juga generasi
sebelumnya yang lebih memilih mengajarkan anaknya pendidikan budaya luar karena
menurutnya lebih praktis dan lebih terdepan, padahal budaya luar kebanyakan kurang
memberikan pendidikan tata krama khususnya. Dan generasi penerus yang salah satu
alasannya adalah karena sudah bosan dengan kebudayaan Indonesia yang selalu
dipelajari berulang kali di pendidikan dan dipengaruhi kebanyakan disampaikan
dengan monoton dan akhirnya tidak menarik, mengingat generasi saat ini begitu
mudah bosan dan mudah tertarik dengan apapun.
Mengenai tembang macapat, tembang macapat masuk dalam warisan budaya tak
benda milik Indonesia. Kebudayaan ini menjadi kearifan lokal masyarakat Jawa
khususnya semenjak zaman kerajaan Majapahit. Disebut tembang karena berupa
kebudayaan yang berupa puisi yang dilagukan, macapat merupakan genre sastra Jawa
yang berbentuk puisi dan dipakai sebagai media pendidikan dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Jawa .(Tarigan, 1987:52) Tak dapat dipungkiri bahwa tembang
macapat memiliki nilai nilai kebaikan yang sudah terjaga. Jadi tak perlu khawatir
adanya nilai negatif yang terselipkan. Salah satunya tembang Durma yang
menggambarkan kemunduran etika, hal ini sudah terjadi di era modern saat ini
dimana masyarakat kurang memperhatikan tingkah laku dalam menjalani kehidupan,
sehingga berbuat semaunya sendiri.

Kemudian muncul pertanyaan di kalangan masyarakat milenial, khususnya para


orang tua dan remaja modern yang merupakan masyarakat Indonesia yang pastinya
tak ingin bumi pertiwinya kehilangan warisan budayanya. Bagaimana mengenalkan
kembali tembang macapat Durma kepada masyarakat milenial di tengah era modern
yang membawa hal-hak baru yang lebih menarik? Apakah penggunaan tembang
macapat Durma sebagai metode dapat menghidupkan kembali semangat masyarakat
milenial memelihara warisan budaya?

Dari permasalahan yang terkait, dan belum ditemukannya penyelesaian yang tepat
oleh generasi digital, maka penulis mengajukan pembahasan pada tembang macapat.
Hal ini dengan tujuan meningkatkan kembali minat masyarakat Indonesia untuk
menjaga warisan budaya.
Isi
Di era milenial, masyarakat modern memiliki banyak problematika yang mereka
hadapi di tengah kelebihan yang dimiliki, seperti teknologi yang memadai dalam
melakukan segala hal dan kebebasan yang seakan-akan memberikan semua orang
haknya, khususnya dalam mengekspresikan dirinya. Namun dibalik itu, masyarakat
milenial ini tak memiliki pegangan hidup yang tepat, sehingga sering merasa kurang
terus menerus dalam kehidupannya.

Kemudian disini kita akan membahas karya sastra Jawa yaitu tembang macapat
sebagai Saka Guru, atau bisa dibilang sebagai panutan dalam menjalani kehidupan di
era Milenial yang begitu padat. Banyak nilai- nilai dan filosofi tembang macapat yang
dapat dijadikan motivasi, salah satunya karena tembang macapat memiliki filosofi
tentang kehidupan. Manfaat pendidikan pada sastra berbentuk macapat bagi pemilik
masyarakat Jawa adalah memberi berbagai informasi tentang proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui pengajaran dan pelatihan 1. Tak ada salahnya menggunakan metode
ini kepada masyarakat milenial, apabila bisa diaplikasikan kepada masyarakat Jawa,
maka kemungkinan bisa diterapkan juga kepada masyarakat yang lebih luas lagi.

A. Menelisik Singkat Tembang Macapat Durma


Tembang macapat diperkirakan sudah ada sejak zaman berdirinya
kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Raja Prabu Brawijaya VII
tahun 1478, kemudian berkembang pada era kerajaan Demak dan
selanjutnya penyebaran tembang ini sampai ke daerah Jawa Timur hingga
Jawa Tengah hingga Bali dan daerah lainnya bahkan sampai Sunda.
1
(Santosa, FUNGSI SOSIAL KEMASYARAKATAN TEMBANG
MACAPAT, 2016)
Tembang macapat memiliki ciri khas masing-masing di setiap daerah,
namun memiliki kesamaan yaitu salah satunya sebagai petuah kehidupan.

Kali ini kita akan membahas tembang macapat Jawa, diantara beberapa
judul tembang yang dapat dijadikan motivasi kehidupan di era milenial
yaitu diantaranya Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana,
Gambuh, Dhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Kesebelas
tembang tersebut memiliki filosofi siklus kehidupan. Namun kali ini kita
akan membahas lebih dalam tentang tembang macapat Durma.

Tembang macapat Durma ialah tembang macapat yang dituliskan dalam


Serat Wulangreh, karya Pakubuwono IV. Tembang ini menceritakan
manusia yang sudah dimabukkan oleh kenikmatan Tuhan sehingga
melakukan kehidupan seenaknya dan sembrono. Manusia hanya akan
mengingat Tuhan ketika ia dalam kesusahan saja. Dimana seharusnya
manusia bersyukur ia malah bersifat angkuh, serakah, arogan, menuruti
hawa nafsu, mudah terpancing amarahnya, dan bertidak semena-mena.
Disnilah letak kemunduran etika yang menjadi inspirasi Tembang Durma.

B. Tembang Macapat Durma dan Filosofinya

Kata durma menurut Setiyadi (2012:162) berarti durmanggala yang


mengandung makna pertanda buruk, kecelakaan, ngalamat ala. Sedangkan
watak dari tembang Durma ini adalah keras, galak, dan garang. Kemudian
pada bait-bait yang akan ditelisik mengandung pelajaran budi pekerti.

1. Bait pertama
Dipun sami ambanting ing badanira. ( bekerja keraslah )
Nyuda dhahar lan guling. ( juga kurangi makan dan tidur )
Darapon sudaa. ( sebaiknya itu semua dikurangi )
Nepsu kang ngambra-ambra. ( nafsu yang bergelora )
Rerema ing tyasireki. ( tenangkan hatimu )
Dadya sabarang. ( Jadilah semua )
Karyanira lestari ( Karyamu terwujud )

Pada bait pertama, Berdasarkan dari terjemahan tersebut dapat


dimaknai bahwa dalam bait pertama tembang macapat durma,
terdapat makna pendidikan budi pekerti yaitu nilai religius, yang
berarti mendekatkan diri kepada Tuhan. 2
memiliki makna bahwa sebagai manusia hendaknya bekerja
keras dalam menjalani kehidupan. Kemudian mengurangi
makan dan tidur agar tidak datangnya kemalasan. Makan dan
tidur yang berlebihan merupakan nafsu yang buruk dan
dikurangi. Nafsu yang dimiliki manusia pasti selalu berkobar-
kobar dan apabila dituruti mendatangkan keburukan. Lalu nafsu
tersebut hendaknya ditahan dan ditenangkan agar tidak terus
membara dan membawa petaka. Apabila kita mampu menguasai
hawa nafsu maka apapun yang kita cita-citakan akan terwujud
dengan baik.

Dihubungkan dengan era milenial saat ini, masyarakat begitu


obsesi dalam kesuksesan namun tidak mau bekerja keras
selayaknya dan menghalalkan segala cara dalam mencapainya.
Sepertinya contohnya seorang pekerja kantoran yang ingin
2
(Bremara Sekar Wangsa, 2019)
jabatan tinggi, karena ia begitu gila jabatan akhirnya ia berani
menyuap agar dinaikan jabatannya. Padahal hal seperti itu
merupakan hal tercela, tak perlu menyuap, dengan kerja keras
menjadi pekerja yang baik maka jabatan yang tinggi pasti akan
dimilikinya jika waktunya. Kemudian untuk seorang remaja,
hendaknya tidak senantiasa mengikuti hawa nafsunya. Salah
satunya yaitu remaja saat ini yang begitu obsesi mengikuti tren,
yang padahal tren tersebut bukanlah kebaikan namun keburukan
yang seharusnya tak disebarkan dan diikuti. Hendaknya ia
menyeleksi setiap tren dan mengikuti yang bernilai positif saja.

2. Bait kedua
Bener luput alan becik lawan beja. ( benar salah dan baik
melawan buruk )
Cilaka mapan saking. ( celaka datang )
Ing badan priyangga. ( dari kamu sendiri )
Dudu saking wong liya. (bukan dari orang lain )
Mulane den ngati-ati. ( maka dari itu berhati-hatilah )
Sakeh dirgama. ( terhadap adanya tipuan )
Singgahana den eling ( selalu waspadalah )

Bait kedua ini memiliki makna bahwa kebaikan selalu


bertentangan dengan keburukan. Celaka atau musibah tidak
datang dari orang lain maupun diri sendiri. Maka hendaknya
dalam melakukan apapun berhati-hati, dan tidak tergesa-gesa
menyalahkan. Kemudian diharapkan waspada kepada perilaku
penipuan yang merugikan.
Filosofi bait kedua yang dapat diterapkan pada era saat ini ialah
sebagai seorang manusia haruslah berhati-hati dan waspada atas
segala hal. Khususnya para remaja yang hendaknya berhati-hati
dengan dirinya sendiri, dimana adanya masa labil yang seakan
akan begitu membawa permasalahan. Semua manusia memiliki
permasalahan sendiri-sendiri dan Tuhan pasti memberikannya
sesuai dengan kekuatan kita masing-masing. Tapi di tengah
permasalahan, terkadang banyak orang lebih memilih
mengacuhkannya dan menenangkannya dengan
menghamburkan harta, bukannya mendekatkan diri pada Tuhan.
Dalam kondisi seperti itu orang tidak lagi memiliki etika atau tata
krama. 3

3. Bait ketiga

Apan ana sesiku telung prakara. ( apabila ada tiga perkara )


Nanging gedhe pribadi. (tetapi besar bagi diri )
Puniki lirira. ( ini perkecualian )
Ya kang telung prakara. ( yaitu tiga perkara )
Poma ywa nggunggung sireki. ( janganlah menyanjung diri sendiri )
Sarta lan aja. ( dan jangan )
Nacat kepati-pati ( terlalu menjelekkan )

Makna dari bait ketiga yaitu ada tiga perkara yang mendewasakan kita,
pertama, jangan menyombongkan diri kepada siapapun, kedua, jangan
suka menghina keadaan orang lain, dan ketiga, jangan suka mencela
perilaku dan keburukan orang lain. Ketiga hal diatas lah yang
3
Zahra, S. (2018). MACAPAT TEMBANG JAWA, INDAH, DAN KAYA
MAKNA. Jakarta: Kemdikbud.
menghancurkan seseorang dalam sekejap. Bait ini mengajarkan kita
agar memiliki kepribadian yang rendah hati.

Pada masyarakat modern saat ini, menghakimi seseorang seakan sudah


hal lumrah yang dilakukan, hal tersebut perlu diwaspadai karena ketiga
perkara merupakan perilaku tercela. Seperti hadirnya media sosial
sekarang, cyber bullying sebagai salah satu contoh menghina keadaan
seseorang, sering terjadi dan menyebabkan seseorang rusak mentalnya
karena pengguna lain yang mengkritik sesuka hati tanpa ingin tahu
kebenarannya. saling perang argumen berujung dipenjara pun sudah
terjadi, hingga etika bersopan santun kini tak ada lagi nilai dalam
melakukan komunikasi dalam sosial media. 4

Kemudian menyombongkan diri juga hal biasa di kehidupan milenial


yang begitu menunjukkan sikap hedonisme. Semua hal diekspos ke
media sosial dengan niatan agar semua orang tahu bahwa ia memiliki
barang atau sesuatu yang tak bisa dimiliki banyak orang dan dianggap
seseorang yang memiliki banyak harta dan kaya.

4. Bait keempat

Mung tindake dhewe datan winaonan. ( hanya perbuatan sendiri


yang tidak dicela )
Ngrasa bener pribadi. ( merasa dirinya paling benar )
Sanadyan benera. ( walaupun memang benar )
Yen tindake wong liya. ( ketika tindakan orang lain)
Pasti den arani sisip. ( pasti dibilang salah )
Iku wong ala. ( itu orang yang buruk )
4
(Benny Sumardiana, 2018)
Nganggo bener pribadi ( membenarkan dirinya sendiri )

Bait diatas memiliki makna bahwa janganlah mencari benarnya


sendiri dan mudah menyalahkan orang lain semena-semena.
Juga hendaknya menghargai kerja keras orang lain. Sesalah
apapun seseorang, janganlah langsung dihakimi dan dijelek-
jelekan, ada baiknya memberikan saran. Menganggap diri
sendiri paling benar adalah hal buruk dan menjadikan diri
seakan-akan seseorang yang arogan.

Di era milenial, menghargai orang lain merupakan hal yang


mulai memudar. Karena menurut mereka orang lain harus sesuai
dengan apa yang mereka inginkan, bertindak egois sudah
menjadi hal wajar. Kebanyakan mengkritik atas nama ikut
membantu agar lebih baik, namun kritikan yang disampaikan
kebanyakan malah merusak mental dan membawa orang yang
mendapat kritik kepada menyalahkan diri sendiri. Memang ada
hak bagi setiap orang memberikan pendapatnya, itupun dijamin
oleh negara.5 Namun sepertinya malah dijadikan ajang
pengkritikan tidak berdasar dan hak tersebut disalahgunakan.
Maka ada baiknya jika saling menghargai satu sama lain, karena
kemampuan satu orang dengan yang lain berbeda. Dan juga
tidak ada salahnya bertukar ilmu pengetahuan dengan yang
lainnya, hal tersebut termasuk pesan moral menghargai kerja
keras orang lain, karena orang yang kita minta tukar ilmu
merasa bahwa ilmu yang dipelajarinya bermanfaat. Nilai yang
dapat kita ambil dari bait keempat ialah menghargai orang lain.

5
(Nasution, 2020)
5. Bait Kelima
Ngandhut rukun becike ngarep kewala. ( mempunyai keinginan
damai dan baik hanya di depan saja )
Ing wuri angrasani. ( di belakang membicarakan )
Ingkang ora-ora. ( yang tidak-tidak)
Kabeh kang rinasanan. ( semua yang dibicarakan )
Ala becik den rasani. ( buruk baik juga dibicarakan )
Tan parah-parah. ( tidak dipikirkan terlebih dahulu )
Wirangronge gumanti. ( berganti wirangrong )

Di bait kelima,membicarakan tentang bagaimana membicarakan


seseorang di belakangnya, kemudian ada sebuah kata yang asing
yaitu wirangrong. Menurut Setiyadi, (2012: 163) adalah, kata
wirangrong memiliki arti sedih karena terpesona atau nama
6
tembang tengahan berikutnya . Pada dasarnya bait di atas
memiliki makna di atas ialah timbulnya iri dengki seseorang
karena melihat kesuksesan orang lain. Seseorang yang tidak
suka dengan orang lain tidak dapat dihindarkan dari keinginan
menjatuhkan orang yang membuatnya iri tersebut. Watak
seperti di bait kelima saat ini dapat dilihat di media sosial
khususnya. Hal ini didasari dengan rasa obsesinya masyarakat
milenial pada populeritas.

Jika di kehidupan nyata tampak begitu baik, dalam berbicara


berperilaku, maka kebanyakan akan berbanding terbalik di
media sosial, karena di media sosial kita bisa menjadi apa saja
yang diinginkan. Biasanya di media sosial mereka akan
6
(Bremara Sekar Wangsa, 2019)
melupakan norma kesopanan dan memberi hujatan yang
berdasarkan pada kebenciannya. Apalagi melihat orang tersebut
memiliki lebih darinya, pasti ia akan mencari celah untuk
menghujatnya. Contohnya di media sosial saat ini begitu banyak
orang yang mengekspos dirinya, khususnya barang-barang
mewah, masyarakat yang melihatnya kebanyakan akan merasa
iri dan memberi kritikan seenak jidat, bukan didasari dengan
menasehati agar tidak pamer, namun atas dasar iri tak memiliki.
Tetapi ketika bertemu langsung orang yang menghujat ini pasti
memasang muka ramah dan seakan-akan bukan dia. Hal ini
dikarenakan pada media sosial sangat gampang memalsukan jati
diri 7 .Ini sama saja menjadi orang yang munafik

Dapat diambil petuah bahwa jangan menjadi pribadi yang


munafik. Watak yang dibicarakan bait ialah Orang yang
berwatak iri hati, akan selalu mencari cara untuk menjatuhkan
orang yang tidak disukainya. Watak seperti ini tidak pantas
diteladani karena akan merugikan diri sendiri dan orang lain.
Maka dari itu hendaknya masyarakat milenial saat ini bijak
dalam berperilaku dimanapun berada. Baik di dunia nyata dan
virtual.

C. Tembang Macapat Durma Sebagai Saka Guru


7
(CAHYONO, 2016)
Di era milenial kini, mengenalkan kembali budaya lawas ke masyarakat
merupakan hal yang cukup sulit mengingat hal baru –baru di era
globalisasi saat ini lebih menarik dan nampak praktis, padahal semua yang
praktis tidak menjamin itu akan bernilai. Namun di era milenial saat ini
beragam cara untuk mengembalikan kembali yang ada di masa lampau
dapat dilakukan dengan mudah.

Untuk mengenalkan kembali tembang macapat Durma kepada


masyarakat milenial sebagai panutan atau nasehat kehidupan,kita dapat
menggunakan media sosial. Saat ini masyarakat tidak bisa lepas dari
media sosial, mereka mengakses banyak hal disana. Kemudian maraknya
kata-kata motivasi dan quotes-quotes yang disebar luaskan di jejaring
sosial dapat menjadi inspirasi.

Seperti contohnya, mengambil beberapa bait tembang macapat dan


kemudian diterjemahkan, setelah itu maknanya dijelaskan dengan bahasa
yang ringan dan dikemas praktis. Misalnya dikemas seperti sebuah poster
yang sesuai dengan nuansa yang yang ada, atau dijadikan slogan yang
menarik perhatian. Seperti beberapa contoh berikut yang tersebar di dunia
maya.

Gambar 1 : potongan
tembang macapat Pocung
dengan maknanya
Gambar 2: potongan tembang macapat Kinanthi berserta makna

Gambar 3 : potongan tembang macapat karya Sunan Kalijaga Dhandanggula dan


artinya

Menjadikan tembang macapat sebagai nasihat bukanlah ide yang begitu kuno dan
ketinggalan zaman, malah apabila dilihat kembali akan menampilkan sisi aestetika
dan klasik tersendiri, karena mampu mempertahankan kebudayaan yang baik.
Kesimpulan dan Saran

Setelah menelisik lebih dalam dan memaknai beberapa bait Tembang macapat
Durma, dapat disimpulkan bahwa karya sastra tembang macapat ini dapat
menghidupkan kembali kebudayaan dengan cara menjadikannya petuah kehidupan di
era milenial yang memiliki banyak pengaruh. Pada tembang Durma memiliki nilai
sebagai berikut bagaimana harus mengendalikan diri, menahan hawa nafsu, bekerja
keras, mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukan, tidak berperilaku
egois, menghargai orang lain, tidak menjadi orang yang munafik, menanamkan sifat
rendah hati, tidak bermalas-malasan, tidak menyanjung diri, tidak mudah
menyalahkan orang lain, tidak merasa paling benar, dan tidak menyerah dalam
menjalani kehidupan juga senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di
tembang macapat Durma begitu banyak filosofi yang bisa diambil. Kemudian
tembang ini juga dapat meningkatkan kembali semangat masyarakat milenial dalam
menjaga warisan budaya karena budaya tembang macapat merupakan budaya tak
benda yang bisa dilestarikan dengan mudah dan praktis, contohnya saja seperti di
atas, mengenalkannya lewat media sosial dengan menjadikannya poster atau slogan
yang diunggah.

Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H. S. (2006). Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta : Kepel Press.
Annisa. (2018). REPRESENTASI MITOLOGI GUNUNG LAWU DALAM NOVEL
AROMA KARSA KARYA DEE LESTARI. Prosiding SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra), Vol. 2 no. 1, 26-39.

Bahri, B. I. (2013). REFLEKSI ETIKA JAWA SAJRONING RERIPTAN SASTRA


JAWA KLASIK;STUDI TEKS LAN KONTEKS SERAT WIRA ISWARA.
BARADHA, Vol 1 No 3, 1-43.

Benny Sumardiana, S. M. (2018). PENGGUNAAN INTERNET CERDAS


SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA HATE
SPEECH PADA REMAJA. Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia, Vol. 1 No.
1, 1-18.

Bremara Sekar Wangsa, E. T. (2019). Makna Budi Pekerti Remaja pada Serat
Wulangreh Karya Pakubuwono IV: Pupuh Macapat Durma. MUDRA Jurnal
Seni Budaya, Vol. 34 No. 3 , 1-5.

CAHYONO, A. S. (2016). PENGARUH MEDIA SOSIALTERHADAP


PERUBAHAN SOSIALMASYARAKAT DI INDONESIA. Publiciana, Vol.
9 No. 1 , 1-18.

Iswidayati, S. (2007). FUNGSI MITOS DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA


MASYARAKAT PENDUKUNGNYA. HARMONIA JURNAL
PENGETAHUAN DAN PEMIKIRAN SENI, VIII, 1-5.

Joko Pamungkas, d. (2022). ANALISIS MATERI TEMBANG MACAPAT


SEBAGAI
ALTERNATIFRINTISANDESABUDAYAGIRIPURWO,PURWOSARI,GU
NUNGKIDUL. Journal of Comprehensive Science, Vol. 1 No. 2, 1-5.

Monica Hidajat, A. R. (2015). Dampak Media Sosial dalam Cyber Bullying. Binus
Journal Publishing, VOL. 6 NO. 1, 72-81.

Nasution, L. (2020). Hak Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi Dalam Ruang


Publik di Era Digital. 'ADALAH : Buletin Hukum & Keadilan, Volume 4
Nomor 3, 1-12.
Rossandy, A. N. (2016). HAKIKAT HIDUP MANUSIA DENGAN
SESAMANYADALAM TEMBANG MACAPAT. EDU-KATA, Vol 4 No 2 ,
1-8.

Santosa, P. (2012). SASTRA DAN JATI DIRI BANGSA: Kontribusi Mitologi dan
Multikultural dalam Sastra Indonesia. researchgate, Vol 44, No 2, 1-9.

Santosa, P. (2016). FUNGSI SOSIAL KEMASYARAKATAN TEMBANG


MACAPAT. Widyaparwa, Vol 44, No 2 , 6-13.
Wasisto, R. H. (2020). KOMUNIKASI SOSIAL PADA TEMBANG MACAPAT.
COMMUNICARE, Vol 1, No 1, 1-7.

Zahra, S. (2018). MACAPAT TEMBANG JAWA, INDAH, DAN KAYA MAKNA.


Jakarta: Kemdikbud.

Anda mungkin juga menyukai