Disusun Oleh :
Airvia Yeanisya Gunawan
NIM 131323517000062102206
Judul essai : Karya Sastra Tembang Macapat Durma Sebagai Saka Guru
Masyarakat di era Milenial
Kategori : Pelajar
Airvia Yeanisya Gunawan, lahir di Blitar 23 Juni 2005 dan sekarang berdomisili di
Tebuireng, Jombang. Sedang menempuh pendidikan di Madrasah Aliyah Tebuireng
jurusan Keagamaan di bangku kelas XI. Aktif di bidang Jurnalistik, diantaranya
ekstrakurikuler Jurnalistik dan komunitas literasi Linimasa sebagai ketua putri.
Prestasi yang pernah diraih selama pendidikan yaitu siswa terbaik SMP A. Wahid
Hasyim bidang literasi tahun 2020, meraih juara satu lomba essai tingkat nasional
yang diadakan Mahrest ( Ma’had Aly Festival ) dengan judul essai “ Hadratussyaikh
KH. Hasyim Asyari Sebagai Figur Nasionalisme Generasi Milenial “ pada tahun
2021.
Karya Sastra Tembang Macapat Durma Sebagai Saka Guru
Masyarakat di era Milenial
Pendahuluan
Semakin berjalannya waktu, warisan budaya mulai mengalami kritis dan mulai punah
digerus oleh zaman. Di era modern seperti ini, para generasi penerus lebih tertarik
kepada kebudayaan luar dan karya-karya di luar Indonesia, begitu juga generasi
sebelumnya yang lebih memilih mengajarkan anaknya pendidikan budaya luar karena
menurutnya lebih praktis dan lebih terdepan, padahal budaya luar kebanyakan kurang
memberikan pendidikan tata krama khususnya. Dan generasi penerus yang salah satu
alasannya adalah karena sudah bosan dengan kebudayaan Indonesia yang selalu
dipelajari berulang kali di pendidikan dan dipengaruhi kebanyakan disampaikan
dengan monoton dan akhirnya tidak menarik, mengingat generasi saat ini begitu
mudah bosan dan mudah tertarik dengan apapun.
Mengenai tembang macapat, tembang macapat masuk dalam warisan budaya tak
benda milik Indonesia. Kebudayaan ini menjadi kearifan lokal masyarakat Jawa
khususnya semenjak zaman kerajaan Majapahit. Disebut tembang karena berupa
kebudayaan yang berupa puisi yang dilagukan, macapat merupakan genre sastra Jawa
yang berbentuk puisi dan dipakai sebagai media pendidikan dalam kehidupan sehari-
hari masyarakat Jawa .(Tarigan, 1987:52) Tak dapat dipungkiri bahwa tembang
macapat memiliki nilai nilai kebaikan yang sudah terjaga. Jadi tak perlu khawatir
adanya nilai negatif yang terselipkan. Salah satunya tembang Durma yang
menggambarkan kemunduran etika, hal ini sudah terjadi di era modern saat ini
dimana masyarakat kurang memperhatikan tingkah laku dalam menjalani kehidupan,
sehingga berbuat semaunya sendiri.
Dari permasalahan yang terkait, dan belum ditemukannya penyelesaian yang tepat
oleh generasi digital, maka penulis mengajukan pembahasan pada tembang macapat.
Hal ini dengan tujuan meningkatkan kembali minat masyarakat Indonesia untuk
menjaga warisan budaya.
Isi
Di era milenial, masyarakat modern memiliki banyak problematika yang mereka
hadapi di tengah kelebihan yang dimiliki, seperti teknologi yang memadai dalam
melakukan segala hal dan kebebasan yang seakan-akan memberikan semua orang
haknya, khususnya dalam mengekspresikan dirinya. Namun dibalik itu, masyarakat
milenial ini tak memiliki pegangan hidup yang tepat, sehingga sering merasa kurang
terus menerus dalam kehidupannya.
Kemudian disini kita akan membahas karya sastra Jawa yaitu tembang macapat
sebagai Saka Guru, atau bisa dibilang sebagai panutan dalam menjalani kehidupan di
era Milenial yang begitu padat. Banyak nilai- nilai dan filosofi tembang macapat yang
dapat dijadikan motivasi, salah satunya karena tembang macapat memiliki filosofi
tentang kehidupan. Manfaat pendidikan pada sastra berbentuk macapat bagi pemilik
masyarakat Jawa adalah memberi berbagai informasi tentang proses pengubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui pengajaran dan pelatihan 1. Tak ada salahnya menggunakan metode
ini kepada masyarakat milenial, apabila bisa diaplikasikan kepada masyarakat Jawa,
maka kemungkinan bisa diterapkan juga kepada masyarakat yang lebih luas lagi.
Kali ini kita akan membahas tembang macapat Jawa, diantara beberapa
judul tembang yang dapat dijadikan motivasi kehidupan di era milenial
yaitu diantaranya Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanthi, Asmaradana,
Gambuh, Dhanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, dan Pucung. Kesebelas
tembang tersebut memiliki filosofi siklus kehidupan. Namun kali ini kita
akan membahas lebih dalam tentang tembang macapat Durma.
1. Bait pertama
Dipun sami ambanting ing badanira. ( bekerja keraslah )
Nyuda dhahar lan guling. ( juga kurangi makan dan tidur )
Darapon sudaa. ( sebaiknya itu semua dikurangi )
Nepsu kang ngambra-ambra. ( nafsu yang bergelora )
Rerema ing tyasireki. ( tenangkan hatimu )
Dadya sabarang. ( Jadilah semua )
Karyanira lestari ( Karyamu terwujud )
2. Bait kedua
Bener luput alan becik lawan beja. ( benar salah dan baik
melawan buruk )
Cilaka mapan saking. ( celaka datang )
Ing badan priyangga. ( dari kamu sendiri )
Dudu saking wong liya. (bukan dari orang lain )
Mulane den ngati-ati. ( maka dari itu berhati-hatilah )
Sakeh dirgama. ( terhadap adanya tipuan )
Singgahana den eling ( selalu waspadalah )
3. Bait ketiga
Makna dari bait ketiga yaitu ada tiga perkara yang mendewasakan kita,
pertama, jangan menyombongkan diri kepada siapapun, kedua, jangan
suka menghina keadaan orang lain, dan ketiga, jangan suka mencela
perilaku dan keburukan orang lain. Ketiga hal diatas lah yang
3
Zahra, S. (2018). MACAPAT TEMBANG JAWA, INDAH, DAN KAYA
MAKNA. Jakarta: Kemdikbud.
menghancurkan seseorang dalam sekejap. Bait ini mengajarkan kita
agar memiliki kepribadian yang rendah hati.
4. Bait keempat
5
(Nasution, 2020)
5. Bait Kelima
Ngandhut rukun becike ngarep kewala. ( mempunyai keinginan
damai dan baik hanya di depan saja )
Ing wuri angrasani. ( di belakang membicarakan )
Ingkang ora-ora. ( yang tidak-tidak)
Kabeh kang rinasanan. ( semua yang dibicarakan )
Ala becik den rasani. ( buruk baik juga dibicarakan )
Tan parah-parah. ( tidak dipikirkan terlebih dahulu )
Wirangronge gumanti. ( berganti wirangrong )
Gambar 1 : potongan
tembang macapat Pocung
dengan maknanya
Gambar 2: potongan tembang macapat Kinanthi berserta makna
Menjadikan tembang macapat sebagai nasihat bukanlah ide yang begitu kuno dan
ketinggalan zaman, malah apabila dilihat kembali akan menampilkan sisi aestetika
dan klasik tersendiri, karena mampu mempertahankan kebudayaan yang baik.
Kesimpulan dan Saran
Setelah menelisik lebih dalam dan memaknai beberapa bait Tembang macapat
Durma, dapat disimpulkan bahwa karya sastra tembang macapat ini dapat
menghidupkan kembali kebudayaan dengan cara menjadikannya petuah kehidupan di
era milenial yang memiliki banyak pengaruh. Pada tembang Durma memiliki nilai
sebagai berikut bagaimana harus mengendalikan diri, menahan hawa nafsu, bekerja
keras, mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukan, tidak berperilaku
egois, menghargai orang lain, tidak menjadi orang yang munafik, menanamkan sifat
rendah hati, tidak bermalas-malasan, tidak menyanjung diri, tidak mudah
menyalahkan orang lain, tidak merasa paling benar, dan tidak menyerah dalam
menjalani kehidupan juga senantiasa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di
tembang macapat Durma begitu banyak filosofi yang bisa diambil. Kemudian
tembang ini juga dapat meningkatkan kembali semangat masyarakat milenial dalam
menjaga warisan budaya karena budaya tembang macapat merupakan budaya tak
benda yang bisa dilestarikan dengan mudah dan praktis, contohnya saja seperti di
atas, mengenalkannya lewat media sosial dengan menjadikannya poster atau slogan
yang diunggah.
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, H. S. (2006). Strukturalisme Levi Strauss: Mitos dan Karya Sastra.
Yogyakarta : Kepel Press.
Annisa. (2018). REPRESENTASI MITOLOGI GUNUNG LAWU DALAM NOVEL
AROMA KARSA KARYA DEE LESTARI. Prosiding SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra), Vol. 2 no. 1, 26-39.
Bremara Sekar Wangsa, E. T. (2019). Makna Budi Pekerti Remaja pada Serat
Wulangreh Karya Pakubuwono IV: Pupuh Macapat Durma. MUDRA Jurnal
Seni Budaya, Vol. 34 No. 3 , 1-5.
Monica Hidajat, A. R. (2015). Dampak Media Sosial dalam Cyber Bullying. Binus
Journal Publishing, VOL. 6 NO. 1, 72-81.
Santosa, P. (2012). SASTRA DAN JATI DIRI BANGSA: Kontribusi Mitologi dan
Multikultural dalam Sastra Indonesia. researchgate, Vol 44, No 2, 1-9.