Anda di halaman 1dari 36

PROPOSAL TESIS

ANALISIS WACANA KIDUNG SANG HYANG


DEDARI DI DESA ADAT TALEPUD

I WAYAN WIRA RYANDIKA

PROGRAM PASCASERJANA
UNIVERSITAS HINDU NEGERI I GUSTI BAGUS SUGRIWA
DENPASAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa Adat Telepud sebagai transisi desa tua yang terletak di Kabupaten

Gianyar banyak sekali memiliki tradisi-tradisi kearifan lokal yang masih ada

sampai saat ini. Tradisi yang dimiliki masarakat bisa dilihat dari cara hidup dan

kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya. Suatu

pola kesenian yang kita kenal sebagai cara hidup masyarakat tradisional yang

diwarisi secara turun-temurun dari generasi ke generasi yang selalu dilakukan

berulang-ulang sebagai tradisi yang berada di masyarakat.

Suatu tradisi yang berada di masyarakat disampaikan secara langsung dari

mulut ke mulut dan dilakukan secara terus-menerus oleh masyarakatnya, sehingga

tradisi itu selalu ada dan diwarisi oleh generasi penerusnya. Sibarani (2015:71)

menjelaskan tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu masyarakat

yang diwarisi secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke

generasi lain baik tradisi itu berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun

tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal).

Tradisi kearifan lokal yang ada di Talepud masih dilaksanakan sampai saat ini,

salah satunya adalah tradisi Sang Hyang. Tradisi Sang Hyang merupakan tradisi

yang memiliki sifat yang sakral, magis dan memiliki kekuatan gaib, sehingga

tidak dapat dilakukan dengan semena-mena. Dibia (2012:24) menjelaskan Sang

Hyang adalah tari kerawuhan (trance) akibat dari pelaku kemasukan roh suci
(divine spirit) dari para bidadari kahyangan atau binatang-binatang lainnya yang

diyakini memiliki kekuatan gaib.

Bandem dalam Ensiklopedia Tari Bali (1983: 124) menyatakan tari Sang

Hyang tersebut merupakan peninggalan dari kebudayaan pra-Hindu. Para penari

dalam keadaan tidak sadarkan diri, kemasukan Hyang yang turun ke bumi untuk

menyelamatkan umat manusia. dalam buku Trance in Bali yang ditulis Belo juga

disebutkan ada dua puluh empat jenis Sang Hyang yaitu Sang Hyang Bojog, Sang

Hyang Boengboeng, Sang Hyang Deling, Sang Hyang Dedari, Sang Hyang Jaran,

Sang Hyang Jaran Gading, Sang Hyang Jaran Putih, Sang Hyang Dongkang, Sang

Hyang Kerekek, Sang Hyang Koeloek, Sang Hyang Lelipi, Sang Hyang Lesung,

Sang Hyang Lilit Linting, Sang Hyang Penyu, Sang Hyang Pawayangan, Sang

Hyang Sampat, Sang Hyang Teer, Sang Hyang Tjapah, Sang Hyang Tjeleng,

Sang Hyang Totoe.

Tradisi Sang Hyang di Talepud merupakan kekuatan yang dapat memberikan

kemakmuran dibidang pertanian, yang difungsikan sebagai penolak mrana di

sawah dan lingkungan sekitar. Sang Hyang di Talepud sebagai simbol perayaan

suka cita atas keberhasilannya panen padi didalam masyarakat, sehingga dalam

unsur perayaan tersebut ada suatu kegembiraan yang dituangkan dalam bentuk

seni tari, seni tabuh, dan seni musik yang dilakukan terus-menerus sampai saat ini

yang dikenal dengan tradisi Sang Hyang. Masyarakat menyebutkan dan

mempercayai Sang Hyang sebagai dewa kesenian yang kaitannya dengan taksu

yang ada di Talepud.


Tradisi Sang Hyang Dedari di Desa Adat Talepud merupakan hal yang

menarik dan unik untuk dilihat dalam kehidupan, karena dalam prosesi

pelaksanaan tradisinya menurunkan banyak bidadari-bidadari yang merasuki

seorang penari yang memang dipilih oleh beliau melalui prosesi Ngukup. Dalam

pelaksanaan dari tradisi Sang Hyang Dedari di Talepud, kesenian menjadi satu

kesatuan yang tidak bisa terlepas didalamnya, mulai dari seseorang yang menari

sebagai wujud dari seni tari, adanya gambelan pengiring sebagai wujud seni

tabuh, dan sebuah kidung yang dilantumkan untuk mengiringi sebagai wujud dari

seni musik.

Kidung sebagai genre sastra adalah salah satu satra puisi kuno yang kini

berkembang di Bali, dan diusung oleh masyarakat Bali sebagai salah satu

kekayaan kasusastraan Bali. Kidung merupakan sesuatu kasusatraan yang dimiliki

masyarakat bali. Zoetmulder dan Robson (1995:98) mengemukakan istilah kidung

mempunyai dua pengertian, yaitu (1) kidung berati nyanyian dan (2) kidung berati

karya sastra yang menggunakan metrum berbeda dengan metrum kekawin

ataupun metrum macepat. Kidung disebutkan sebagai metrum puisi tradisional

pada peralihan Jawa-Bali yang menggunakan bahasa Jawa Pertengahan.

Kamus Jawa Kuno menyatakan bahwa kidung adalah nyanyian atau puisi.

Kidung merupakan suatu bentuk puisi lama, terutama yang berkembang sejak era

sastra jawa perioda tengahan. Masyarakat Talepud mengenal kidung berupa

nyanyian-nyanyian suci yang digunakan dalam pengiring dari tradisi Sang Hyang

Dedari. Dalam pementasan tradisi Sang Hyang, kidung sebagai sarana untuk

menurukan Sang Hyang dan sebagai sarana pengiring dalam pementasan tradisi
Sang Hyang. Kidung Sang Hyang selalu dilantunkan oleh masyarakat secara

terus-menerus mulai dari awal sampai akhir pamentasan Sang Hyang.

Kidung sebagai kesusastraan Bali yang berbentuk puisi lama banyak

mengandung nilai-nilai dan makna yang bisa dijadikan pedoman dalam suatu

kehidupan masyarakat. Kidung Sang Hyang Dedari di Desa Adat Talepud, jika

digali lebih mendalam banyak sekali terdapat nilai-nilai yang terkandung

didalamnya yang bisa dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Selain

nilai, tanda-tanda suatu bahasa yang memiliki makn juga terdapat didalamnya

yang sangat perlu gali dan dianalisis sehingga diketahui oleh masyarakat.

Dalam perkembangan zaman globalisasi dan perkembangan ekonomi yang

sangat cepat. Begitu pula keberadaan masyarakat generasi milenial yang memiliki

profesi pekerjaan yang berbeda-beda sehingga banyak masyarakat yang merantau

keluar daerah sering dijadikan salah satu sumber yang dapat mengancam tidak

stabilnya budaya lokal yang ada di masyarakat. Seperti halnya keberadaan Kidung

Sang Hyang Dedari yang ada di Desa Adat Talepud sangat sedikit masyarakat

yang mengetahui dan hapal dengan kidung Sang Hyang tersebut.

Kidung Sang Hyang Dedari di Talepud selalu dinyanyikan berbarengan

dengan tradisi Sang Hyang, setiap Dedari yang turun menari memiliki kidung

yang berbeda dengan yang lainnya. Misalnya Dedari Putih menggunakan Kidung

Dedari Putih, Dedari Tunjung Biru menggunakan Kidung Dedari Tunjung Biru,

dan masih banyak kidung-kidung yang lain disebut dengan Kidung Sang Hyang

Dedari. Walaupun masyarakat selalu menyanyikan kidung tersebut dalam

pementasan Sang Hyang Dedari dari awal hingga akhir, tetapi masyarakat tidak
mengetahui bagai mana makna yang terkandung didalam Kidung Sang Hyang

tersebut.

Era globalisasi sebagai zaman kemajuan dunia, tentunya ada pengaruh yang

menggerus nilai-nilai dan budaya lokal masyarakat. Untuk mengantisipasi

tergerusnya suatu nilai kebudayaan lokal dan bisa mempertahankan nilai-nilai dan

kebudayaan tersebut. Peneliti menginginkan perlu adanya revitalisasi berupa

mendokumentasikan keberadaan Kidung Sang Hyang Dedari yang berada di Desa

Adat Talepud. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti ingin menggali dan

menganalisis lebih dalam tentang keberadaan Kidung Sang Hyang Dedari di Desa

Adat Talepud dilihat dari bentuk, nilai, dan makna yang terkandung dalam

Kidung Sang Hyang Dedari.

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, Kidung Sang hyang Dedari di Desa

Adat Talepud selalu eksis dan diketahui terkait bentuk, nilai, dan makna yang

terkandung di dalamnya. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin

merumuskan dalam sebuah tesis yang berjudul Analisis Wacana Kidung Sang

Hyang Dedari di Desa Adat Talepud.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang ada, peneliti ini akan diarahkan pada tiga masalah

yang dirumuskan sebagai berikut:

1.2.1 Bagaimana bentuk Kidung Sang Hyang Dedari di Desa Adat Talepud?

1.2.2 Apa nilai yang terkandung dalam Kidung Sang Hyang Dedari di Desa

Adat Talepud?
1.2.3 Bagaimana makna dalam Kidung Sang Hyang Dedari di Desa Adat

Talepud?

1.3 Tujuan

Setiap kegiatan yang dilakukan oleh peneliti tentunya memiliki suatu tujuan,

sehingga peneliti memiliki target-target yang ingin dicapai dalam penelitian ini.

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini dapat dijabarkan menjadi dua,

yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Pembagian tujuan menjadi dua kelompok

dimaksudkan untuk memberikan penegasan pada tujuan khusus yang berkaitan

dengan karakteristik persoalan yang dirumuskan pada rumusan masalah diatas.

Adapun tujuan umum dan tujuan khusus penelitian ini diuraikan dibawah ini.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman

yang jelas mengenai karya sastra berupa Kidung Sang Hyang Dedari di Desa Adat

Talepud dengan menganalisis bentuk, nilai, dan makna baik bagi peneliti sendiri

maupun masyarakat pada umumnya. Dalam penelitian ini, seyogyanya mampu

memberikan sumbangan pemikiran bahwa sastra kidung memiliki bentuk, nilai-

nilai dan makna yang perlu dianalisis untuk diketahui oleh masyarakat. Sehingga,

orang yang melantumkan kidung memahami isi kidung secara utuh melalui

kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini.

1.3.2 Tujuan Khusus

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk membahas sesuatu yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini yakni:

1. Menganalisis bentuk Kidung Sang Hyang Dedari di Desa Adat Talepud.


2. Menganalisis nilai yang terkandung dalam Kidung Sang Hyang Dedari di

Desa Adat Talepud.

3. Menganalisis dan memahami makna yang terkandung dalam Kidung Sang

Hyang Dedari di Desa Adat Talepud.

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap kegiatan penelitian, selain memiliki tujuan, penelitian ini juga memiliki

manfaat. Manfaat penelitian ini berorentasi pada dua hal, yaitu manfaat teoretis

dan manfaat praktis. Hal tersebut beranjak dari harapan akan penggunaan karya

ilmiah ini nantinya dapat dijadikan sebagai landasan teoretis maupun landasan

praktis bagi penelitian selanjutnya maupun pembaca. Berikut kedua jenis manfaat

tersebut dipaparkan satu persatu dibawah ini.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini memberikan kontibusi terhadap

pengembangan karya sastra mengenai bahasa, khususnya bahasa Bali, sebagai

hasil pemikiran untuk menambah daftar penelitian terhadap sastra kidung.

Manfaat penelitian ini secara teoretis juga memberikan informasi secara jelas

terkait dengan nilai dan makna yang terkandung dalam Kidung Sang Hyang

Dedari di Desa Adat Talepud. Dengan adanya penjelasan mengenai bentuk, nilai

dan makna setiap pembaca, masyarakat secara umum menyadari bahwa dalam

sebuah karya sastra bali berupa kidung banyak mengandung nilai dan makna.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak.

Manfaat praktis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:


1. Bagi pembaca, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam hal memahami

pengetahuan terkait bentuk, nilai, dan makna dalam Kidung Sang Hyang

Dedari di Desa Adat Talepud, jika dilihat dari sisi lain penelitian ini

diharapkan dapat meningkatkan minat belajar para generasi penerus

terutama terhadap karya sastra lama yang berupa kidung.

2. Bagi para peneliti, penelitian ini bisa digunakan sebagai acuan, bahan

perbandingan, dan sumber referensi dalam penelitian dibidang karya sastra

bali berupa kidung.

3. Bagi masyarakat, diharapkan mampu menjadi penyambung tangan dalam

pengenalan sastra kidung di Bali, yang memiliki nilai dan makna demikian

mendalam.

4. Bagi lembaga UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar dapat dipakai

dokumentasi penelitian sehingga bisa dijadikan dasar meneliti untuk

peneliti-peneliti mahasiswa UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka merupakan usaha atau cara dalam penulisan karya ilmiah

untuk memperoleh data dengan cara melakukan penelitian kepustakaan melalui

membaca, mengutip materi yang tentunya mempunyai hubungan atau korelasi

dengan permasalahan yang diteliti. Kajian pustaka pada hahikatnya meliputi dua

hal, yaitu deskripsi teoretis dan pembahasan penelitian terdahulu yang relevan.

Adapun tujuan dari kajian pustaka yakni mengidentifikasi temuan hasil penelitian

terdahulu yang bertentangan dengan pebelitian yang akan dilakukan (Usman dan

Akbar, 2017: 61-62).

Fungsi kajian pustaka adalah sebagai perbandingan atau sumber referensi

antara penelitian yang peneliti kerjakan dengan penelitian yang sudah ada yang

memiliki keterkaitan diantara penelitian tersebut. Dengan adanya perbandingan

dari penelitian yang sudah ada dengan penelitian yang sedang dikerjakan peneliti,

peneliti akan lebih kreatif dalam menuangkan gagasannya dan menjadikan

penelitian yang sudah ada menjadi sumber acuan dalam penelitian ini.

Setiap penelitian tentunya harus memiliki yang dinamakan kajian pustaka.

Dari kajian pustaka yang telah dipelajari, peneliti dapat menemukan data-data

maupun teori-teori pendukung yang cocok dengan penelitian yang tengah

dilakukan. Dengan kata lain, kajian pustaka juga dapat disebut sebagai referensi

dalam penelitian karya ilmiah.


Bentuk referensi atau sumber acuan tersebut dapat berupa buku, jurnal, artikel,

disertasi, tesis, maupun karya ilmiah lainnya. Dalam kajian pustaka menjelaskan

apa yang telah ditemukan oleh peneliti lain yang ada kaitannya dengan penelitian

yang tengah dilakukan. Peneliti memaparkan beberapa penelitian yang memiliki

hubungan atau keterkaitan dengan penelitian yang peneliti kerjakan, baik dalam

konteks objek penelitian dan kajian penelitian. Beberapa penelitian yang relevan

dengan pembahasan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

Sudarsana (2023) dalam penelitannya yang bejudul “Puisi “Puyung” Karya

Ida Made Giur Dipta: Analisis Struktur, Stilistika, dan Makna” membahas

struktur, stilistika, dan makna Puisi Puyung karya Ida Made Giur Dipta dengan

menggunakan teori struktur, teori stilistika dan teori semiotika. Hasil penelitian

Sudarsana menyebutkan struktur fisik puisi Puyung yang diperoleh (1) tipografi

menggunakan tifografi konvensional. (2) Diksi yang digunakan dominan

menggunakan Bahasa Bali lumbrah (biasa) yang dihiasi gaya Bahasa. (3) Imaji

yang didapatkan ialah citraan penglihatan, citraan pendengaran, citraan gerak. (4)

Ritma puisi Puyung adalah tetap. (5) Rima (pola bunyi) yang terdapat dalam puisi

Puyung adalah rima sempurna, rima tak sempurna, rima mutlak, rima terbuka,

rima tertutup, rima aliterasi, rima asonasi, rima awal, rima tengah, rima akhir, dan

rima rangkai. Stilistik puisi Puyung karya Ida Made Giur Dipta meliputi majas

perbandingan dan majas penegasan. Secara keseluruhan makna puisi Puyung

karya Ida Made Giur Dipta adalah makna belajar sepanjang ayat, yang

memberikan pemahaman terhadap pembaca agar senantiasa mengisi diri dengan

ilmu pengetahuan selama hidup di dunia ini.


Penelitian Sudarsana terfokus pada struktur dan makna yang pada penelitian

nya, sedangkan dalam penelitian ini terfokus pada struktur, nilai dan makna.

Namun ada sedikit perbedaan penelitian Sudarsana dengan penelitian yang

peneliti kerjakan saat ini, yakni terletak pada objek penelitian. Penelitian

Sudarsana mengambil objek puisi, sedangkan penelitian ini mengambil objek

kidung. Dari penelitian Sudarsana, peneliti dapat referensi yang sangat penting

mengenai penerapan teori struktur dan teori semiotika secara mendalam, sehingga

peneliti nanti mencermati terkait teori struktur dan teori semiotika.

Mahadiputra (2018) dalam penelitiannya yang berjudul “Gending Pengiring

Sang Hyang Jaran di Dusun Pundukdawa, Desa Pesinggahan, Kecamatan Dawan,

Kabupaten Klungkung (Kajian Nilai Pendidikan Sastra Lama)”. Teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah teori strukturalisme, teori nilai, dan teori

fungsi. Metoda dalam pengumpulan data menggunakan metode observasi, metoda

wawancara, dan metode kepustakaan. Hasil dalam penelitian ini adalah

Penelitian Mahadiputra menyampaikan tentang gending pengiring Sang

Hyang Jaran. Penelitian ini hanya menakankan pada fungsi dari gending tersebut

hanya sebagai pengiring serta nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Sedangkan

penelitan yang sedang peneliti kerjakan lebih menganalis tentang bentuk, nilai,

dan makna. Sedikit perbedaan dalam penelitian Mahadiputra dan penelitian ini

terletak pada objek yang diteliti. Penelitian Mahadiputra meneliti sebuah gending

Sang Hyang Jaran, sedangkan penelitian ini meneliti kidung Sang Hyang Dedari,

tetapi bisa dikatakan sama-sama sebuah musik pengiring dalam Sang Hyang.

Penelitian Mahadiputra memberikan kontribusi untuk penelitian dalam hal teori


nilai yang digunakan, sehingga peneliti mencermati atau memahami lenbih

mendalam terkait teori nilai yang akan digunakan untuk menganalisi nilai dalam

kidung Sang Hyang Dedari.

Sumardika, (2017) dalam e-jurnal yang berjudul “Kidung Tunjung Biru

Analisis Semiotik” membahas struktur dan makna Kidung Tunjung Biru. Teori

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktur dan teori semiotika.

Metoda dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini menjadi tiga tahapan,

yaitu (1) tahap pengumpulan data menggunakan membaca dibantu dengan teknik

penerjemahan, (2) tahap analisis data menggunakan metoda analisis deskritif, dan

(3) tahap penyajian data menggunakan metoda informal dan formal. Hasil yang

diperoleh dalam penelitian ini adalah struktur Kidung Tunjung Biru yang terdiri

atas metrum, penggunaan bahasa, majas (hiperbola, litoles, tautology, simile,

metafora, personifikasi), dan urutan naratif. Makna yang terkandung dalam

Kidung Tunjung Biru, terdiri atas: bunga secara simbolis, ungkapan cinta, dan

kesatuan Tuhan, Manusia, dan Alam.

Penelitian Sumardika terfokus pada Struktur dan makna yang sejalan yang

peneliti kerjakan saat ini, sedangkan dalam penelitian ini menggali tentang

struktur, makna, dan nilai yang terkandung dalam kidung. Dengan sama-sama

meneliti sebuah kidung, peneliti dapat referensi yang sangat penting mengenai

penerapan teori struktur secara mendalam. Adapun kontribusi penelitian

Simardika dalam penelitian ini adalah mengenai struktur dan makna sehingga

peneliti bisa menerapkan teori struktur yang terdapat dalam penelitian Sumardika.
Winangun (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Gending Pangiring

Tarian Sang Hyang Sampat di Kelurahan Serangan, Kecamatan Serangan, Kota

Denpasar (Kajian Sosial Budaya)” menyatakan bahwa syair gending pengiring

tarian Sang Hyang Sampat yang berkembang di Kelurahan Serangan terbagai

menjadi tiga bagian yang dilantumkan dalam tiga babak pementasan yaitu

pembukaan, permainan, dan penutup serta menggunakan gending gending rare

sebagai pengiringnya. Fungsi gending pangiring tarian sang hyang Sampat yang

berkembang di Kelurahan Serangan bila ditinjau dari persfektif sosial adalah

sebagai sarana dan pelestarian norma-norma sosial, penguat komunikasi,

pengendalian sosial dan penciptaan interaksi antar anggota masyarakat. Bila

ditinjau dari perspektif budaya yang berkembang di Desa Adat Serangan. Nilai-

nilai yang terkandung dalam gending pengirig tari sang hyang Sampat adalah nilai

pendidikan tatwa (filosofi) dan nilai susila.

2.2 Konsep

Konsep merupakan oprasionalisasi keterkaitan antar variabel-variabel yang

berasasal dari karangka teori dan berkonsentrasi pada suatu bagian dari karangka

teori (Arifah, 2018: 66). Konsep merupakan berbagai objek bahasan yang diambil

dari variabel atau judul penelitian dan dijadikan satu kajian. Dalam penelitian ini,

konsep tersebut mengarahkan peneliti pada objek yang dikaji. Dengan demikian

objek tersebut diteliti hingga tuntas, sehingga objek penelitian ini dibahas untuk

diketahui keseluruhannya. Tujuannya agar penelitia ini tersusun secara sistematis

dam mudah untuk dimengerti. Adapun konsep yang dibahas dalam penelitian ini

adalah (1) Analisis Wacana, (2) Kidung Sang Hyang Dedari


2.2.1 Analisis Wacana

Analisis wacana merupakan analisis unit linguistik terhadap penggunaan

bahasa lisan maupun tulis yang melibatkan penyampaian pesan (penutur atau

penulis) dengan penerima pesan (pendengar atau pembaca) dalam tindak

komunikasi. Kajian wacana merupakan bagian dari studi linguistik tentang

struktur pesan dalam suatu komunikasi atau telaah mengenai aneka bentuk dan

fungsi linguitik dalam kajian wacana (Rohana, 2023: 10-11).

Rohana (2023:11) menjelaskan analisis wacana membahas tentang

menafsirkan suatu teks yakni memahami apa yang sebenarnya yang dimaksudkan

oleh penyampai pesan, mengapa harus disampaikan, dan bagaimana pesan

tersusun dan dipahami serta mitif dibalik teks. Melalui analisis wacana dapat

diketahui sebuah teks mengandung wacana atau tidak.

Mc Carthy dalam Rohana (2023: 15) mengatakan bahwa analisis wacana

berkaitan dengan studi tentang hubungan antara bahasa dengan konteks dalam

pemakaian bahasa. Analisis wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian: semua

jenis teks tertulis maupun data lisan. Istilah wacana lisan digunakan untuk studi

wacana lisan maupun studi wacana tertulis.

Analisis wacana dalam penelitian ini mengkaji sebuah wacana tertulis

yang berupa Kidung Sang Hyang Dedari, untuk menganalisis apa yang

sebenarnya ingin disampaikan dalam Kidung Sang Hyang dedari melalui analisis

bentuk, nilai, dan makna yang ada di dalam Kidung Sang Hyang Dedari.

2.2.2 Kidung Sang Hyang Dedari


Kamus Jawa Kuno menyatakan bahwa kidung adalah nyanyian atau puisi.

Menurut Wikipedia Kidung merupakan suatu bentuk puisi lama, terutama yang

berkembang sejak era sastra jawa perioda tengahan, yaitu dari masa Majapahit

akhir. Sebagai puisi lama, bentuknya sangat terikat dengan metrum yang ketat,

dalam mengatur pola sajak (rima) dalam suatu bait, jumlah suku kata dalam baris,

dan jumlah baris dalam satu bait. Secara leksikal, kata kidung berasal dari Jawa

Pertengahan dan mempunyai padanan dengan tembang atau sekar, yang bermakna

nyanyian dalam bahasa jawa baru. Dalam tradisi Hindu, kidung digunakan untuk

menyajikan cerita maupun bacaan ritual.

Kidung sebagai genre sastra adalah salah satu sastra puisi kuno yang kini

berkembang di Bali, dan diusung oleh masyarakat Bali sebagai salah satu

kekayaan kesusastraan Bali. Kidung memang telah menjadi milik bersama

masyarakat Bali. Zoetmulder dan Robson (1995:98) mengemukakan bahwa istilah

kidung mempunyai dua pengertian, yaitu (1) kidung berati nyanyian dan (2)

kidung berati karya sastra yang menggunakan metrum berbeda dengan metrum

kekawin ataupun metrum macepat. Sastra kidung diartikan sebagai metrum puisi

tradisional pada peralihan Jawa-Bali yang menggunakan bahasa Jawa

Pertengahan. Kidung adalah karya sastra peniru bunyi atau laras, yakni nada ding

dung. Berawal dari nada ding dung itulah kemudian terbentuk kata kidung

(Suarka, 2007:128-129).

Sang Hyang Dedari adalah jenis tarian kerawuhan (trance dance) karena pada

waktu menari para Sang Hyang kemasukan Hyang (spire) yang menyebabkan

penari tidak sadar. Dibia (2000) menyatakan tari Sang Hyang adalah tarian
kerawuhan yang sudah tidak asing bagi masyarakat Bali. Tarian ini berfungsi

sebagai penolak wabah penyait. Dalam Sang Hyang Dedari di Desa Adat Talepud

menurunkan banyak bidadari-bidadari dalam pementasannya, yang diiringi oleh

gambelan dan nyanyian yang masyarakat menyebutkan sebagai kidung Sang

Hyang.

Kidung Sang Hyang Dedari adalah sebuah nyanyian atau puisi yang

dinyanyikan oleh masyarakat dalam proses pementasan Sang Hyang Dedari.

Kidung Sang Hyang Dedari menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan

dalam proses pementasan Sang Hyang. Kidung selalu dilantumkan mulai dari

awal hingga akhir pementasan Sang Hyang Dedari.

2.3 Teori

Teori adalah seperangkat set konsep yang berhubungan satu dengan yang

lainnya atau suatu set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan

sistematsis dari suatu gejala. Teori juga bisa didefinisikan sebagai sarana pokok

untuk menyatakan hubungan sistematis antara gejala sosial maupun gejala alam.

Teori merupakan rangkaian yang logis dari satu proposisi atau lebih. Teori juga

diartikan sebagai informasi ilmiah yang didapat dengan meningkatkan abstraksi

pengertian maupun hubungan proposisi. Teori berfungsi untuk mengarahkan

perhatian atau untuk menerangkan, merangkum pengetahuan, meramalkan fakta,

dan memeriksa gejala. Teori juga berfungsi memutuskan dalam pengajuan

masalah, judul, penyusunan karangka hopitesis, pengajuan hipotesis, metodelogi

penelitian dan pembahasan hasil penelitian (Usman dan Akbar, 2017:19).


Adapun teori yang digunakan dalam penelitian Analisis Wacana Kidung Sang

Hyang Dedari di Desa Adat Talepud yakni Teori Struktur, Teori Nilai, dan Teori

Semiotik.

2.3.1 Teori Struktur

Bertens dalam Emzir (2016: 38) menjelaskan bahwa toeri struktural

mengembangkan gagasan bahwa sebuah teks sastra adalah sebuah struktur dengan

semua elemen atau unsurnya saling terkait dan saling mempengaruhi. Tidak ada

satupun karya sastra yang dapat ditelaah dan dipelajari secara terisolasi. Dengan

kata lain, para strukturalis memandang teks sastra sebagai satu struktur dan antar

unsurnya merupakan satu kesatuan utuh (terdiri atas unsur-unsur yang saling

terkait, yang membangun satu kesatuan yang lengkap dan bermakna). Setiap

perubahan yang terjadi pada sebuah unsur yang mengakibatkan hubungan antar

unsur berubah pula. Bagi para strukturalis, semua unsur tersebut memainkan

peran dalam menentukan mengenai teks sastra itu dan sesuatu yang dilakukan

melalui teks sastra itu.

Prinsip dasar teori struktural adalah memandang unsur-unsur yang terdapat

dalam karya sastra sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena

itulah dalam penelitian ini diuraikan beberapa jauh keterkaitan masing-masing

unsur yang membangun sastra tersebut dalam membentuk suatu karya yang utuh.

Karya sastra sebagai sebuah struktur adalah organisasi menyeluruh dari cipta

sastra itu yang bahu membahu membangun keseluruhan untuk membangun imaji

yang dapat menimbulkan kesan pada pembaca sastra. Pada dasarnya teori

struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti,


semendetail dan semendalam mungkin keterkaitan semua unsur dan aspek karya

sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135).

Berdasarkan pandangan struktural, peneliti mengikuti pandangan Formalisme

Rusia, yakni konsep dominan, ciri yang menonjol dalam kasya sastra. menurut

pandangan dan pengalaman kaum Formalis dalam sebuah karya sastra seringkali

dalam aliran atau zaman tertentu aspek bahasa tertentu secara dominan

menentukan ciri khas hasil karya sastra itu, misalnya mantra atau aspek apapun

juga, sehingga dalam analisis dan interpretasi karya sastra aspek dominan itu

harus diletakan, sedangkan aspek-aspek lain sering kali menyangga yang dominan

(Teeuw, 1984: 130-131). Uraian pandangan tersebut dijadikan acuan pada

pengkajian struktur kidung Sang Hyang Dedari, teori yang digunakan dalam

penelitian ini mengikuti pandangan Formalisme Rusia dalam teori Struktural

Teeuw. Pandangan tersebut akan digunakan peneliti untuk membedah rumusan

masalah yang pertama yaitu mengenai bentuk kidung Sang Hyang Dedari di Desa

Adat Talepud.

2.3.2 Teori Nilai

Nilai-nilai dalam suatu karya sastra menurut Tarigan (1984: 194-195)

dapat berupa (1) nilai hedorik, yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan

secara langsung kepada kita, (2) nilai ertistik dan estetik yaitu bila suatu karya

dapat memanifestasikan sesuatu seni atau keterampilan seseorang dalam

melakukan suatu pekerjaan, (3) nilai etis, moral, religius yaitu bila dari suatu

karya terpancar ajaran-ajaran yang ada sangkut pautnya dengan etika, moral, dan

agama, (4) nilai sosial budaya yaitu bila suatu karya mengandung suatu hubungan
yang mendalam dengan suatu masyarakat suatu peradaban, kebudayaan, dan (5)

nilai praktis yaitu apabila karya itu mengandung hal-hal yang praktis dapat

dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

2.3.3 Teori Semiotik

Semiotika adalah ilmu tanda, yaitu metode analisis untuk mengkaji tanda.

Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya mencari jalan di dunia

ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda-tanda terletak

dimana-mana, kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas,

bendera dan sebagainya. Tanda dalam pengertian ini bukan hanya sekedar harfiah

melainkan lebih luas misalnya struktur karya sastra, struktur film, bangunan,

nyanyian burung, dan segala sesuatu dapat dianggap tanda dalam kehidupan

manusia (Zoest, dalam Sukatman 1992: 98).

Stephen W. Littlejohn (1996) menyebut Umberto Eco sebagai ahli semiotika

yang menghasilkan salah satu teori mengenai tanda yang paling komprehensif dan

kontemporer. Menurut Littlejohn, teori Eco penting karena ia mengintegrasikan

teori-teori semiotika sebelumnya dan membawa semiotika secara lebih mendalam

(Sobur, 2006). Eco menganggap tugas ahli semiotika bagaikan menjelajahi hutan,

dan ingin memusatkan perhatian pada modifikasi sistem tanda. Eco kemudian

mengubah konsep tanda menjadi konsep fungsi tanda. Eco menyimbulkan bahwa

"satu tanda bukanlah entitas semiotik yang dapat ditawar, melainkan suatu tempat

pertemuan bagi unsur-unsur independen yang berasal dari dua sistem berbeda dari
dua tingkat yang berbeda yakni ungkapan dan isi, dan bertemu atas dasar

hubungan pengkodean".

Eco menggunakan "kode-s" untuk menunjukkan kode yang dipakai sesuai

struktur bahasa. Tanpa kode, tanda-tanda suara atau grafis tidak memiliki arti

apapun, dan dalam pengertian yang paling radikal tidak berfungsi secara

linguistik. Kode-s bisa bersifat "denotatif" (bila suatu pernyataan bisa dipahami

secara harfiah), atau "konotatif" (bila tampak kode lain dalam pernyataan yang

sama). Penggunaan istilah ini hampir serupa dengan karya Saussure, namun Eco

ingin memperkenalkan pemahaman tentang suatu kode-s yang lebih bersifat

dinamis daripada yang ditemukan dalam teori Saussure, di samping itu sangat

terkait dengan teori linguistik masa kini

Riffaterre (dalam Wimmer 1987) mengemukakan empat hal pokok untuk

memproduksi makna puisi, yaitu: (1) ketidak langsungan ekspresi, (2) pembacaan

heuristik, dan retroaktif atau hermeneutik, (3) matrix atau kata kunci (keyword),

dan (4) hypogram (hipogram berkenaan dengan prinsip intertekstual). Riffaterre

mengemukakan bahwa puisi merupakan ekspresi tidak langsung.

Ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh tiga hal: (1) penggantian arti

(displacing of meaning), (2) penyimpangan arti (distorting of meaning) dan (3)

penciptaan arti (creating of meaning).

Teori Semiotik yang dikemukakan oleh Ferdinand De Saussure (1857- 1913)

menjelaskan bahwa teori ini dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda

(signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik

dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang pertanda dilihat sebagai
makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung

di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara

penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi.

Semiotika signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda

dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan

sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut. Menurut Saussure, tanda

terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier atau penanda, dan

konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Begitulah,

menurut Saussure, "signifier dan signified merupakan kesatuan, tak dapat

dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara

kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan

makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja

menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Roland

Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks

dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi

dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.

Gagasan Barthes ini dikenal dengan "order of signification", mencakup denotasi

(makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari

pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan

Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang

diusung Saussure.
Teori semiotik yang dipilih dan dijadikan landasan dalam penelitian Kidung

Sang Hyang Dedari adalah teori semiotika dari Ferdinand De Saussure. Teori ini

menjelaskan tentang relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi,

biasa disebut dengan signifikasi. Dalam hal ini, Kidung Sang Hyang Dedari

disebut sebagai penanda (signifier) dan makna yang terkandung di dalam setiap

bait pada Kidung Sang Hyang Dedari tersebut disebut dengan pertanda

(signified).

2.4 Model Penelitian


(Bagan 2.4 Model Penelitian)

BAB III

METODA PENELITIAN
Metode merupakan suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu

melalui langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodelogi merupakan suatu ilmu

tentang berbagai metode. Metodelogi penelitian adalah ilmu yang mempelajari

berbagai metode penelitian. Ditinjau dari sudut filsafat, metodelogi penelitian

merupakan epistemologi penelitian merupakan yang menyangkut bagaimana

penelitian mengadakan penelitian (Usman dan Akbar, 2017: 77).

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dan ingin dicapai, seseorang peneliti

harus menggunakan metode dan juga teknik yang baik dan tepat untuk memahami

suatu objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sehingga metode dan

teknik sangat diperlukan dalam melakukan sebuah penelitian. Dalam penelitian

ini, peneliti menguraikan beberapa tahapan metode penelitian yang digunakan

dalam penelitian, yaitu:

3.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian

Cara membedakan antara penelitian satu dengan penelitian yang lainnya

dengan membandingkan jenis dan pendekatan yang digunakan dalam sebuah

penelitian. Jenis penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penelitian

kualitatif dan penelitian kuantitatif. Dalam sebuah penelitian, pendekatan yang

digunakan pun berbeda-beda. Untuk mengetahui jenis dan pendekatan dalam

penelitian ini, peneliti menguraikan dalam uraian sebagai berikut:

3.1.1 Jenis Penelitian

Sugiyono (2018: 12) menyatakan jenis penelitian digolongkan menjadi

dua, yakni penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Metoda kulitatif


dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama. Metode ini

disebut juga sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni,

dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitiannya diperoleh

dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan dilapangan. Sedangkan metode

kuantitatif dinamakan metode tradisional, karena penggunaannya sudah cukup

lama dan mentradisi sebagai metode untuk penelitian. Metode ini disebut dengan

kuantitatif, karena data penelitiannya berupa angka-angka dan analisis

menggunakan statistik. Yang termasuk metode penelitian kualitatif adalah metode

naturalistik, sedangkan yang termasuk metoda penelitian kuantitatif adalah

metoda penelitian eksperimen dan survey.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitan ini adalah penelitian

kualitatif, karena data yang akan diperoleh dari lapangan yang berupa Kidung

Sang Hyang Dedari akan ditelaah, dianalisis dengan interpretasi melalui berbagai

sumber pendukung dan hasilnya akan diurakan dalam bentuk kata-kata atau

kalimat, serta tidak dengan menggunakan prosedur statistik.

3.1.2 Pendekatan Penelitian

Akbar (2017: 78) menyatakan terdapat 5 pendekatan penelitian dalam

penelitian kualitatif, yaitu analisis (naratif), fenomenologis, grounded theory,

etnografi dan studi kasus.

Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis dan pendekatan

fenomenologis. Pendektan analisis merupakan pendekatan yang digunakan untuk

memahami gagasan, dalam hal ini pendekatan analisis digunakan untuk


menganalisis Kidung Sang Hyang Dedari. Pendekatan fenomenologis merupakan

pendekatan untuk menangkap berbagai persoalan yang ada dimasyarakat dan

mengungkap makna yang terkadung didalamnya yang dituangkan dalam karya

sastra, dalam hal ini pendekatan fenomenologis digunakan untuk mengungkap

nalai-nilai dan makna yang terkandung dalam Kidung Sang Hyang Dedari.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Desa Adat Talepud yang dipilih sebagai lokasi penelitian yang merupakan

transisi desa tua yang terletak di Kabupaten Gianyar banyak sekali memiliki

tradisi-tradisi kearifan lokal yang masih ada sampai saat ini. Desa Adat Talepud

terletak di Banjar Pujung Kaja, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten

Gianyar, Provinsi Bali. Desa Adat Talepud sebagai salah satu desa yang masih

melaksanakan tradisi Sang Hyang Dedari dalam setiap tahun, pementasan tradisi

Sang Hyang Dedari yang ada disana diiringi dengan nyanyian atau gending yang

masyarakat disana menyebutkan dengan kidung Sang Hyang Dedari.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Muhammad (2011: 168) menyebutkan data merupakan perangkat untuk

menjawab soal-soal penelitian. Data merupakan suatu gambaran dari bahan kajian

yang bersifat sementara karena belum adanya pengolahan. Secara garis besar data

dikelompokan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.

3.3.1 Jenis Data

Dalam penelitian ilmiah terdapat data-data dari berbagai sumber, dari

berbagai sumber data yang diperoleh, maka akan dilakukan analisis data. Dengan
adanya analisis data, memerlukan adanya pengelompokan data. Dengan data yang

sudah dikelompokan maka aka nada penentuan jenis data yang akan digunakan.

Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah jenis data kualitatif, karena

data yang dianalisis merupakan berupa kata-kata dan kalimat yang dideskripsikan.

3.3.2 Sumber Data

Sumber data terkait dengan dari siapa, apa, dan dari mana informasi

mengenai fokus penelitian diperoleh. Dengan kata lain, sumber data berkaitan

dengan lokasi dan satuan penelitian. Sumber merupakan asal-usul dari apa, siapa,

dan dari mana data diperoleh, dengan hal tersebut, data secara lokasional dapat

berasal dari konteks, dokumen, dan informan. Data dapat dihasilkan karena

dengan menggunakan metode penyediaan data, seperti wawancara, pengamatan,

intropeksi, dan dokumen (Muhammad, 2011: 167). Berdasarkan sumber

pengambilan data dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

3.3.2.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung di lapangan oleh

peneliti. Data primer didapat dari observasi maupun wawancara. Selain itu data

primer dapat diperoleh melalui analisis data yang berkaitan dengan penelitian

teks. Data primer dalam penelitian ini adalah data berupa Kidung Sang Hyang

Dedari di Desa Adat Talepud yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara

di lapangan.

3.3.2.2 Data Sekunder


Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui pihak lain, data

sekunder ini sebagai data pendukung untuk data primer. Data yang diperoleh

biasanya didapat dari perpustakaan maupun laporan-laporan peneliti terdahulu.

Data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka, baik dari buku-buku, majalah,

makalah, tesis, media cetak, media elektronik, foto dan lain sebagainya. Data

sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari kajian pustaka tesis yang

menggunakan objek kajian kidung atau karya sastra, penelitian ini juga

menggunkan data sekunder dari jurnal-jurnal penelitian dengan kajian struktur,

nilai, dan semiotika, serta buku-buku penunjang sebagai refernesi dalam meneliti

Kidung Sang Hyang Dedari di Desa Adat Talepud, seperti buku teori, buku

metodelogi penelitian, dan buku penunjang lainnya.

3.4 Instrumen Penelitian

Pada prinsipnya meneliti merupakan melakukan pengukuran, dengan

demikian harus ada alat ukur yang baik digunakan. Alat ukur dalam penelitian

biasanya dinamakan istrumen penelitian. Instrumen penelitian merupakan suatu

alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati.

Secara spesifik semua fenomena ini disebut variabel penelitian (Sugiyono, 2018:

148).

Sugiyono (2018: 305) menyebutkan, dalam penelitian kualitatif yang menjadi

instrument atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif

sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih


informasi sebagai sumber data, analisis data, menafsirkan data dan membuat

kesimpulan atas temuannya. Istrumen dalam penelitian ini adalah peneliti.

3.5 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan kombinasi

(perpaduan) antara teknik purposive sampling dan snowball sampling. Pertama-

tama digunakan teknik purposive sampling, yaitu informan yang ditunjuk

berdasarkan atas orang-orang tertentu yang dianggap memahami masalah yang

diteliti. Purposive sampling ini dilakukan dengan menentukan informan kunci

secara sengaja dan diyakini lebih mengetahui dan lebih berpengalaman tentang

masalah yang dikaji. Teknik snowball sampling akan bekerja pada saat informan

kunci tersebut mengintruksikan peneliti agar mencari data pembanding dari pihak

lain yang dianggap oleh informan kunci sama-sama mengetahui dan memiliki

kapasitas dalam menjawab pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Hal tersebut

sesuai dengan prinsip snowball sampling, yaitu seperti bola salju yang terus

menggelinding dan membesar membentuk kumpulan data dari banyak informan

sesuai dengan petunjuk dari informan kunci (Sugiyono, 2005: 53-54). Proses

tersebut berlangsung secara berkelanjutan hingga data dianggap jenuh.

3.6 Metoda Pengumpulan Data

Sugiyono (2018: 308-309) menyebutkan, teknik pengumpulan data merupakan

langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan utama dalam

penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data,

maka peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang
ditetapkan. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu: studi pustaka,

observasi, dan wawancara.

3.6.1 Studi Pustaka

Metode kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

metode pengmpulan data pustaka, membaca serta mengolah bahan penelitian.

Pada umumnya, penelitian perpustakaan secara khusus meneliti tentang teks, baik

lama maupun modern. Metode perpustakaan dalam ilmu sastra disebabkan oleh

hakekat karya, di satu pihak sebagai dunia otonom, di pihak lain sebagai aktifitas

imajinasi (Ratna, 2007: 39). Teknik studi pustaka yakni menggunakan sumber-

sumber kepustakaan yang relevan dengan hal yang diteliti atau dikaji, seperti

jurnal, tesis, disertasi, buku, maupun karya lain yang mampu menunjang proses

penelitian yang sedang dilakukan. Dengan adanya pustaka yang mempuni, maka

penelitian akan jauh lebih ringan, karena peneliti memiliki bahan untuk bahan

perbandingan dan pengembangan untuk penelitian yang sedang dilaksanakan.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan berbagai sumber pustaka, terutama

penelitian berupa tesis, disertasi, buku, dan jurnal yang terkait dengan Kidung

Sang Hyang Dedari , serta bentuk, nilai dan makna.

3.6.2 Observasi

Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang

tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dalam observasi, ada dua

hal yang sangat penting, yaitu proses pengamatan dan ingatan. Observasi

memiliki ciri bisa mencakup pengamatan pada semua aspek kehidupan, baik itu
manusia, situasi lingkungan, binatang, dan objek alam yang lainnya (Sugiyono,

2010: 145). Observasi yang dilakukan untuk memperoleh data dalam penelitian

ini adalah dengan cara mencari dan mengkaji teks secara langsung untuk

melakukan pengamatan mengenai bentuk, nilai dan makna dalam Kidung Sang

Hyang Dedari, sehingga akan didapatkan data yang akurat.

3.6.3 Wawancara

Wawancara merupakan metode untuk memperoleh data dengan

mengajukan beberapa pertanyaan kepada informan. Dalam penelitian kualitatif,

wawancara memiliki dua fungsi, yaitu sebagai instrumen utama untuk

mengumpulkan data dan merupakan bagian integral dari observasi partisipatif

(Puspa, 2011: 80). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan data dari tangan

pertama (data primer), pelengkap teknik pengumpulan data, dan menguji hasil

pengumpulan data lainnya (Usman dan Setiady: 2004: 58).

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses pengurutan serta pengorganisasian data ke dalam

suatu uraian dasar yang dilakukan merumuskan masalah hingga penelitian hasil

penelitian. Adapun metode yang dilakukan untuk menganalisis data dalam

penelitian ini adalah metode Deskriptif Analisis. Peneliti menggunakan metode ini

karena data-data yang diperoleh merupakan perpaduan dari berbagai teknik

pengumpulan data yang berbeda-beda, seperti dari observasi, wawancara, sari-sari

dokumen/pustaka, catatan selama di lapangan, maupun sumber lain yang lebih

dominan berbentuk kata-kata (Yusuf, 2014: 407). Miles dan Huberman (Dalam
Yusuf, 2014: 407) menyatakan bahwa analisis data kualitatif, dapat dilakukan

langkah-langkah sebagai berikut: (1) Reduksi data (data reduction), (2) Data

display (display data), dan (3) Penarikan kesimpulan/verifikasi.

3.7.1 Reduksi Data

Reduksi data merujuk pada proses pemilihan, pemfokusan,

penyederhanaan, pemisahan, dan pentransformasian data mentah yang terlihat

dalam catatan tertulis lapangan atau written-up field notes. Tahapan reduksi data

dapat dibagi menjadi dua yakni (1) Identifikasi satuan, yaitu memilih,

mempertajam, memfokuskan, membuang, dan mengorganisasikan data dalam satu

cara, dimana kesimpulan akhir dapat digambarkan dan diverifikasi. (2)

Pengkodean, yakni memberikan kode pada setiap satuan agar tetap dapat

ditelusuri data atau satuannya berasal dari sumber mana (Yusuf, 2014: 408).

Mereduksi data berarti merangkum atau membuat ringkasan, menelusuri masalah,

membuat satuan-satuan data yang lebih kecil sesuai dengan masalah yang dikaji.

Satuan-satuan yang peneliti buat, kemudian diberi kode untuk mempermudah

pemaparan data. Selama proses pengumpulan data, peneliti melakukan kegiatan

menyeleksi atau memilah-milah hasil observasi dan wawancara serta memusatkan

perhatian sesuai dengan tema penelitian.

3.7.2 Data Display

Kegiatan selanjutnya setelah reduksi data adalah data display. Data display

berarti penyajian data dimana kumpulan informasi yang telah tersusun dan terpola

telah mengizinkan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.


Display artinya menyajikan/menampilkan data dengan memasukkan data yang

telah diperoleh ke dalam sejumlah kategori setiap data yang didapat. Penyajian ini

biasanya berbentuk teks naratif. Data display memiliki fungsi sebagai berikut: (1)

Memilah data yang sudah direduksi, (2) Memudahkan mengkontruksikan data

yang berguna untuk menuturkan, menyimpulkan dan menginterpretasikan data,

(3) Memudahkan mengetahui cakupan data yang telah terkumpul, sehingga data

yang masih dianggap kurang dapat segera dilengkapi dengan cara mengumpulkan

ulang di lapangan (Yusuf, 2014: 408-409).

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Hasil analisis data disajikan secara deskriptif analisis, yaitu data dan informasi

yang berhasil dikumpulkan melalui sebuah teks atau studi pustaka, wawancara,

observasi, maupun studi pustaka kemudian diklasifikasikan dan diinterpretasikan

sesuai dengan kaidah ilmiah untuk disajikan dalam bentuk tesis. Setelah data dan

analisis telah jenuh, maka selanjutnya akan diambil simpulan/verifikasi. Simpulan

yang semula masih kabur dan tentatif diawal, kemudian dipertajam lagi dengan

pemuktian berupa pengecekan keabsahan temuan, sehingga kesimpulan akan

menjadi lebih kuat dan sahih. Keseluruhan proses tersebut bertujuan untuk

membantu peneliti agar memiliki keyakinan penuh bahwa temuan yang diperoleh

merupakan refleksi yang tepat dari data-data yang didapatkan selama penelitian.
Daftar Pustaka

Akbar dan Usman. 2004. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi.


Bandem, I Made. 1983. Ensiklopedia Tari Bali. Denpasar: Akademisi Seni
Tari Indonesia Denpasar.
Dibia, I Wayan. 2000. Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali. Bandung:
Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999.
Dibia, I Wayan. 2012. Ilen-ilen Seni Pertunjukan Bali. Cetakan I.
Denpasar: Bali Mangsi.
Mahadiputra, I Putu Agus. 2018. Gending Pengiring Tari Sang Hyang
Jaran Di Dusun Pundukdawa, Desa Pasinggahan. Kecamatan Dawan. Kabupaten
Klungkung (Kajian Nilai Pendidikan Sastra Lama). Institut Hundu Dharma Negeri
Denpasar.
Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Rus Media.
Putra, I Gde Agus Darma. 2018. Kalangwan Dalam Kidung Bhramara
Sanu Pati. Denpasar.
Rohana & Syamsuddin. 2015. Analisis Wacana. CV. Samudra Alif-Mim.
Sudarsana, Gede Rama. 2023. Puisi “Puyung” Karya Ida Made Giur
Dipta: Analisis Struktur, Stilistika, dan Makna. Denpasar: UHN I Gusti Bagus
Sugriwa Denpasar
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka
Larasan.
Sumardika, I Wayan Pande. Dkk. 2017. Kidung Tunjung Biru: Analisis
Semiotik. Jurnal Humanis. Fakultas Ilmu Budaya Unud. Vol 20.1 Agustus 2017:
287-295.
Sugiyono. 2018. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sibarani, Robert. 2015. Pembentukan Karakter Langkah-Langkah Berbasis
Kearifan Lokal. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Badung:
Angkasa.
Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.
Usman, Husaini dan Akbar, Purnomo Setiady. 2017. Metodelogi
Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Winangun, Kerta. 2009. Gending Pengiring Tarian Sang Hyang Sampat di
Kelurahan Serangan, Kecamatan Serangan, Kota Denpasar (Kajian Sosial dan
Budaya). Denpasar: IHDN
Yusuf, A. M. (2014) Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif &
Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenadamedia Group.
Zoetmulder, P.J. dan S.O.Robson. 1995. Kamus Jawa Kuno-Indonesia.
Jilid I dan II. Penerjemah Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai