Anda di halaman 1dari 23

1

Pengantar

A. Latar Belakang
Arak-arakan merupakan sebuah kebudayaan yang tidak asing bagi masyarakat di
Indonesia. Hampir setiap kebudayaan di Nusantara ini mempunyai peristiwa budaya arak-
arakan. Peristiwa arak-arakan di Jawa Barat dikenal sebagai helaran, khususnya bagi
masyarakat yang hidup dari hasil perladangan padi (huma). Pada dasarnya di Jawa Barat
bentuk kesenian angklung merupakan jenis kesenian helaran.1 Dalam peristiwa helaran
biasa diakhiri oleh sebuah pergelaran berupa petunjukan atau atraksi-atraksi dari kesenian
angklung.
Kesenian angklung badud merupakan kesenian yang berasal dari Dusun Margajaya
Kabupaten Pangandaran. Pada awalnya kesenian angklung badud digunakan sebagai
bagian dari ritus padi pada upacara ngidepkeun2 (membawa padi dari huma3menuju leuit4)
5
masyarakat setempat. Prosesi membawa padi dari huma menuju leuit tersebut yang
dinamakan helaran. Akan tetapi dalam perkembangannya ritual tersebut hari ini sudah
jarang dilakukan, karena pola tanam masyarakat yang berubah dan tergerusnya nilai-nilai
budaya lokal oleh nilai budaya global. Hari ini kesenian angklung badud lebih banyak
digunkan untuk hiburan dalam hajatan, hari-hari besar serta sebagai alat penunjang
pariwisata Kabupaten Pangandaran. Dengan kata lain kesenian angklung badud sudah
tercerabut dari akar masyarakat kolektif dusun Margajaya, hal tersebut membuat kesenian
tersebut berubah pada tataran tertentu, contohnya fungsi kesenian tersebut sudah tidak
digunakan dalam ritual ngidepkeun, sekarang lebih difungsikan sebagai hiburan dalam
hajatan, hari-hari besar atau acara-acara lain yang tidak berhubungan dengan ritus padi
masyarakat setempat.
Akan tetapi uniknya pergeseran tersebut tidak menggeser fungsi kesenian angklung
badud dan helarannya sebagai medium dalam sebuah perayaan. Hari ini helaran kesenian
angklung badud digunakan untuk mengarak pengantin sunat, pengantin gusaran atau
pembesar keliling kampung. Format pertunjukan lama tetap dipertahankan mulai dari iringan

1
Dinda Satya Upaja Budi, “Angklung Baduy dalam Upacara Ritual Ngaseuk”, tesis, Program Studi
Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 2001,
hal. 57.
2
Ngidepkeunberasal dari kata ngidep atau madep (bahasa sunda) yang yang berarti menghadap, jadi
ngidepkeeun berarti mengahadapkan.
3
Humaadalah sistem pertanian padi di ladang, lihat buku Jakob Sumardjo; Sunda Pola Rasionalitas
Budaya
4
Rumah penyimpanan padi sementara milik masyarakat
5
Asep Zery Kusmaya, “Perkembangan dan Sistem Pewarisan Kesenian Angklung Badud di Cijulang -
Pangandaran”, Jurusan Pendidikan Seni Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta,
Yogyakarta, 2014, hal. 3-4.
2

musik sampai format barisan dalam helaran tersebut sama seperti pada waktu upacara
ngidepkeun, yang berbeda hanya objek yang diarak, pada upacara ngidepkeun objek yang
diarak adalah padi.
Perayaan merupakan sebuah ungkapan batin atau sikap manusia terhadap sesuatu
yang telah diterimanya yang di reprentasikan dalam berbagai tindakan. Perayaan dapat
dikatakan wujud atau tindakan dari sebuah ritual yang bersifat kolektif. Richard Schechner
dalam bukunya Performance Studies: An Introductions mengungkapkan bahwa “ritual are
collective memories encoded into action”6. Jadi ritual merupakan sebuah tindakan yang
bersumber dari ingatan kolektif, untuk menyikapi kenyataan atau fenomena yang dihadapi.
Sebuah perayaan tentu menyiratkan sebuah pesan tertentu atau tujuan tertentu pada
masyarakatnya. Pesan-pesan tersebut muncul dari ekspresi tindakan kolektif yang dilakukan
dalam sebuah perayaan. Artinya tindakan kolektif tersebut menjadi semacam tanda yang
mempunyai daya atau saya sebut sebagai kerayaan (kata sifat dari perayaan), agar pesan-
pesan tersebut sampai pada penerimanya. Selain itu daya dari tindakan kolektif (kerayaan)
dipengaruhi oleh tindakan individu dalam yang mendukung perayaan tersebut. Kerayaan
dari perayaan mempengaruhi pesan yang diterima oleh individu dan daya individu pelaku
perayaan juga mempengaruhi capaian kerayaan tersebut, ada sebuah hubungan causalitas
didalam sebuah perayaan. Daya dari kerayaan terdapat dalam display-display dalam
sebuah helaran.
Dari uraian diatas saya ingin mengungkap Bagaimana keramaian helaran menjadi
medium ritual dalam perayaan di masyarakat. Serta ingin mengungkap Bagaimana posisi
helaran sebagai perayaan dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keramaian helaran menjadi medium ritual dalam perayaan di masyarakat?
2. Bagaimana posisihelaran sebagai perayaan dalam masyarakat?

C. Kerangka Teori
1. Angklung dan Helaran di Jawa Barat
Angklung merupakan alat musik bambu yang berkembang pesat di Jawa Barat.
Secara Etimologi angklung dari kata angka (nada) dan lung (patah/hilang) 7, maka tidak aneh
apabila mendengar bunyi dari alat musik angklung itu terpatah-patah. Secara garis besar
ada dua jenis angklung yang berkembang pada masyarakat Jawa Barat yaitu angklung
buhun, yaitu angklung yang masih bersifat tradisional yang biasanya menggunakan tangga

6
Richard Schechner Performance Studies: An Introduction (New York: Routledge, 2013) 52.
7
UbunKubarsah .R,Waditra; Mengenal Alat-Alat Kesenian Daerah Jawa Barat,(Bandung, CV Sampurna;
1994), 58
3

nada pentatonis salendro dan angklung Pa Daeng (modern) yaitu angklung yang telah
dikembangkan oleh Daeng Soetigna menjadi bersifat lebih modern dengan tangga nada
diatonis kromatis.
Dinda Satya Upaja Budi berpendapat bahwa angklung berkembang di masyarakat
Jawa Barat (Sunda) yang berbudaya agraris tradisional, orang Sunda menamakanya
dengan “ngahuma”.8 Dilihat dari fungsinya angklung dalam masyarakat sunda selalu
dikaitkan dengan upacara ritual yang ditujukan kepada Dewi Sri, yang dipercaya oleh
masyarakat sunda sebagai dewi kesuburan. Anis Djatisunda mengungkapkan bahwa“proses
menanam padi tersebut bukan sekedar mencukupi kebutuhan makanansaja, tetapi
mengandung unsur ritual menghormati kehidupan dankelanggengan sukma padi yang
dipersonifikasikan dalam diri Nyi PohaciSanghyang Sri atau Dewi Sri”. 9Rasa syukur
terhadap hasil panen yangmelimpah, mereka ekspresikan dengan cara mengarak padi dari
sawah(huma), ke tempat penyimpanan sementara (leuit), dengan diiringi alat
musikangklung. Dinda Satya Upaja Budi mengungkapkan bahwa “pada dasarnya di Jawa
Barat bentuk kesenian angklung merupakan jenis kesenian helaran atau arak-arakan”.10
Nilai-nilai gotong royong, kebersamaan, dan silaturahmi sangat kental dalam ritual ini. Nilai-
nilai tersebut sangat penting bagi kehidupan masyarakat, agar harmoni dan perpecahan
dapat dihindarkan.
2. Ritual dalam Perayaan (antara chaos dan refleksi)
Ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang
berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus,
yaitu bersifat extraordinary, karena dalam proses ritual membutuhkan ruang, waktu,
peralatan dan kekhususan tertentu.11 Hal tersebut dapat kita lihat dalam setiap proses ritual
keagamaan yang selalu menuntut sesuatu diluar keseharian, misalnya ritual ibadah sholat
bagi umat islam ditentukan tempatnya yang harus bersih, dilaksanakan pada waktu-waktu
tertentu, dan menggunakan prasyarat kostum atau pakaian yang sudah ditentukan pula.
Artinya ritual membutuhkan prasyarat yang bersifat tidak sehari-hari, agar proses tersebut
dinamakan sebagai sebuah ritual.
Selain sifatnya yang tidak sehari-hari dan membutuhkan prasayarat tertentu, ritual
juga mempunyai tahapan-tahapan tertentu yang merujuk pada sebuah tujuan tertentu pula.
Lebih lanjut Victor Tuner berpendapat bahwa dalam ritual terdapat tahap ambang (beetwen)
atau disebut sebagai tahap liminal. Turner menjelaskan bahwa dalam ritual berlangsung tiga
tahapan yaitu: (1) pemisahan (separation), (2) ambang (liminal), dan (3) penyatuan kembali

8
Dinda Satya Upaja Budi, 2001. Hal 3
9JujuMasunah, Angklung di Jawa Barat (Bandung, PAST UPI;2003), 9
10Dinda Satya Upaja Budi, 2001, 57
11Y. Sumandiyo Hadi, Seni dalam Ritual Agama, (Yogyakarta, Pustaka; 2006), 31
4

(reincorporation).12 Tahap-tahap tersebut merupakan sebuah proses yang dialami oleh


setiap individu atau kelompok yang melaksanakan sebuah ritual. Berikut dijelaskan masing-
masing tahap dalam sebuah proses ritual, sebagai berikut:
1. Tahap Pemisahan (Separation)
Pada proses pemisahan ini peserta ritual mengalami pemisahan secara simbolik
individu dari struktur sosial atau tatanan sosial yang biasanya berlaku dalam
kehidupan sehari-hari, artinya disini peserta ritual memasuki ruang dan peristiwa yang
tidak sehari-sehari atau extraordinary. Prasayarat sebuah ritual dipenuhi oleh individu
pada tahap pemisahan ini.
2. Tahap Ambang ( Liminal)
Pada tahap kedua yaitu tahap ambang, peserta ritual mengalami keadaan yang
ambigu, artinya terjadi pemutarbalikan simbol-simbol yang biasa berlaku dalam
tatanan kehidupan sehari-hari. Pemutarbalikan tersebut dimaksudkan agar peserta
ritual dapat melakukan refleksi terhadap tatanan atau struktur yang berlaku dalam
kehidupan sehari-hari. Gagasan sebuah ritual tersampaikan melalui tahap ambang ini,
walaupun sebuah gagasan dalam sebuah peristiwa ritual tidak serta merta dapat
sampai secara menyeluruh pada peserta ritual. Tahap ini juga merupakan isi dari
sebuah ritual yang memungkinkan peserta menubuhkan apa yang dialami dalam
sebuah ritual. Pada tahap ini semua hadir dan berbaur dalam pasangan yang janggal,
tidak pada tempatnya, atau juga bersifat kacau-balau (chaotic), maka disebut sebagai
anti-struktur. Brian Sutton-Smith berpendapat bahwa:
Struktur normatif mencerminkan keseimbangan yang berlaku, “anti struktur”
mencerminkan potensi sistem tandingan yang terpendam, yang kebaruannya akan
muncul saat keadaan sistem normatif memintanya. Kita dapat menyebut kedua sistem
ini secara lebih tepat sebagai protokultural karena ia adalah cikal bakal bagi bentuk-
bentuk pengaturan yang inovatif. Ia merupakan sumber bagi budaya baru. 13

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam ritual dan dari ritual, masyarakat
digiring pada posisi ambang, yang berujung pada refleksi untuk merefleksikan kembali
realitas kehidupan normal (daily life). Selanjutnya menurut Turner bahwa status
ambang yang bersifat individualistik dan terbatas disebut sebagai “liminoid”. Aktifitas
liminoid yaitu aktifitas individu diluar kehidupan reguler (diluar daily life), seperti
olahraga, permainan, pengisi waktu luang dan seni.14 Pada dasarnya liminoid sama
dengan liminal, hanya liminod lebih bersifat individualistik, dan oleh karenanya

12Lono Simatupang, Pergelaran; Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya (Yogyakarta, Jalasutra;2013),


110
13
Lono Simatupang, 2013, 112
14
Lono Simatupang, 2013, 113
5

memberikan ruang-ruang anti struktur yang lebih besar. Artinya pada posisi liminoid
individu lebih bebas untuk merefleksikan kembali tatanan sosialnya.

3. Penyatuan Kembali (Recorporation)


Tahap terakhir dari sebuah proses ritual adalah tahap penyatuan kembali. Tahap ini
merupakan tahapan pasca ritual yang merupakan tujuan akhir dari pemutarbalikan
struktur, yang memungkinkan terjadinya pembaruan kesadaran peserta ritual terhadap
tatanan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari. Pada tahap ini gagasan sebuah
ritual sudah tertubuhkan pada peserta ritual, sehingga lahirlah sebuah gagasan baru
dalam diri peserta ritual.
Dari uraian diatas kita dapat melihat bahwa sebuah ritual memungkinkan terjadinya
transmisi nilai dan gagasan yang melahirkan pemikiran, konsep dan gagasan baru yang
tertubuhkan pada peserta ritual. Lono Simatupang menegaskan bahwa lewat tahap
penyatuan kembali tersebut lahirlah manusia baru, yang siap memasuki dan menempatkan
diri dalam tatanan sosial yang berlaku.15
Ritual dalam sebuah perayaan juga memperlihatkan tahapan-tahapan diatas, hal
tersebut tercemin dari perilaku, kostum dan kesadaran individu pada saat memasuki proses
ritual tidak sesuai dengan tatanan sosial sehari-hari. Misalnya saja dalam perayaan
syukuran atau hajatan pengantin sunat, ia akan merasa menjadi raja sehari dalam proses
perayaan tersebut. Hal tersebut karena para peserta ritual mengalami pemutar balikan
simbol, sehingga menganggap pengantin sunat tersebut istimewa karena akan mengalami
masa peralihan dari dunia anak dan dunia dewasa, hal tersebut juga dialami oleh si
pengantin sunat. Itulah dunial liminal yang dialami para peserta ritual hajatan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah perayaan terdapat proses ritual dengan tahapan-
tahapan tertentu, yang bertujuan menubuhkan pemikiran, konsep dan gagasan baru yang
akhirnya melahirkan manusia-manusia baru dalam sebuah tatanan sosial.
3. Rame Perayaan, (Penjinakan Chaos dengan tontonan)
Sulit terbantahkan bahwa jarang ada ruang atau tempat didunia ini yang tidak
menghadirkan keramaian. Setiap sudut ruang didunia menghadirkan keramaian pada
tataran tertentu. Pasar, mall, tempat ibadah, stadion, bahkan hutan belantara yang tak ada
satu manusiapun selalu menghadirkan keramaian. Hutan dengan berbagai macam
tumbuhan, warna-warna bunga, beraneka ragam satwa, termasuk kemerisik suara daun
beradu, cicit burung, lolong serigala, dan banyak lain lagi apakah itu bukan keramaian?

15 Lono Simatupang, 2013, 111.


6

Kata rame menurut Poerwardarminta sama artinya dengan njawara seroe (bersuara
keras), goemeder (gemuruh), akeh wonge (banyak orang).16Keramaian dapat berwujud
visual, auditif maupun gabungan keduanya. Keramaian visual tergambar dalam lukisan,
baligo di sudut-sudut kota, pernak-pernik kostum pernikahan, dan sebagainya. Keramaian
auditif tergambar dari soundscape sebuah kota, hutan, kampung, atau sound scape dalam
peristiwa-peristiwa komunal maupun dari konser musik, bahkan dalam peristiwa individu
mendengarkan musik dari handphone dan sebagainya. Keramaian cenderung tumpang
tindih/ kacau balau (chaostic) antara yang bersifat auditif dan visual.
Christhoper Small, menggambarkan keramaian auditif selalu mengisi ruang-ruang
tertentu, misalnya gedung konser, supermarket, stadion, jalan-jalan dikota, hingga dirumah
selalu ada bunyi-bunyian, selalu ada musik.17 Keramaian bunyi juga seolah-olah menandai
adanya kehidupan, seperti peristiwa adzan subuh dimasjid-masjid bergemuruh seretantak
dalam satu waktu diwilayah tertentu, menandai peralihan dari tidur (statis) menuju
kehidupan sirkuler (dinamis). Keramaian pasar menhadirkan display kehidupan bermacam-
macam bunyi.
Keramaian juga dapat terbabar dalam peristiwa-peristiwa perayaan, atau upacara adat
komunal. Dalam sebuah perayaan tentu menghadirkan berbagai macam-macam warna,
bentuk, bunyi, perilaku tindakan yang menghasilkan keramaian. Mengapa keramaian selalu
menyertai dalam sebuah perayaan, atau perayaan selalu menghadirkan keramaian? R.
Murray Schafer menyatakan bahwa keramaian merupakan kebutuhan untuk menyatakan
ketaksendirian sekaligus pembanding dari keheningan yang dianggap kosong dan negatif. 18
Jadi keramaian perayaan merupakan kebutuhan manusia untuk menyatakan
ketidaksendirian karena selain sebagai wahana refleksi perayaan juga dapat menjadi ajang
interksi sosial.
Lalu apakah keramaian perayaan adalah sebuah tontonan? Kita sering melihat rame-
rame maling dihakimi masa, demo mahasiswa, atau situasi penggerebekan teroris, dan
anehnya mengapa kita selalu punya dorongan untuk menontonnya. Lono Simatupang
(selanjutnya saya sebut Mas Lono, sebagai panggilan akrab saya) berpendapat bahwa
suatu aktivitas baru disebut tontonan apabila ia dilakukan dengan kesengajaan maksud
untuk dilihat oleh orang lain, dipertontonkan atau digelar. Jadi kehendak untuk
mempergelarkan sesuatu merupakan sifat pertama tontonan. 19 Namun mengapa kita tetap
mempunyai dorongan untuk menonton sebuah keramaian yang tidak dimaksudkan untuk

16
W. J. S., Poerwadarminta, Baoesastra Djawa, (Groningen, Batavia: B. Wolters uitgevers Maatschappij
N.V, 1939), 518.
17
Cristhoper Small, Musicking; the Meanings of Performing and Listening, (Middletown, Connecticiut;.
Wesleyan University Press; 1998), 1-2.
18
R. Murray Schafer, The Tuning of the World, (New York, Alfred A. Knopf; 1977)
19
Lono Simatupang, 2013, 64-65
7

ditonton atau dilihat? Senada dengan hal diatas menurut Mas Lono, karena peristiwa-
peristiwa tersebut menyajikan sesuatu yang tidak biasa (extraordinary).20 Jadi sifat
ketidakbiasaan tersebut merupakan sifat kedua dari tontonan. Sifat ketiga adalah pertemuan
antara penyaji tontonan untuk menggelar sesuatu yang tidak biasa dengan penonton untuk
mengalami sesuatu yang tidak biasa.21Jadi jika diringkas sebuah pergelaran harus bersifat
disengaja untuk dipertontonkan, besifat tidak sehari dan harus terjadi pertemuan antara
penyaji dengan penonton dalam suatu dunia yang tidak biasa. Dapat disimpulkan bahwa
suatu pergelaran merupakan sebuah interaksi publik dalam ketidakbiasaan. Ketidakbiasaan
dalam tontonan merupakan situasi liminal, dimana penonton dan penyaji berada pada suatu
realitas tidak sehari-hari, yang memungkinkan keduanya dapat melakukan refleksi.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa jika sebuah keramaian jika bersifat
disengaja, menghadirkan peristiwa yang tidak sehari dan terjadi pertemuan antara penyaji
dengan penonton itulah pergelaran. Hal tersebut sama seperti sebuah helaran di Jawa
Barat. Keramaian helaran merupakan penjinakan chaostic masyarakatdari kejenuhan daily
life, dengan menghadirkan tontonan perayaan, agar dapat kembali merefleksikan nilai-nilai
identitasnya, sehingga nilai tersebut dapat terabadikan.

4. Ekspresi Perayaan Sebagai Wahana Komunikasi Gagasan


Perayaan sebagai sebuah tontonan tentu mengandung ekspresi-ekspresi yang
terbangun dalam sebuah keramaian perayaan. Ekspresi dalam perayaan tentu mengandung
makna yang ingin dikomunikasikan pada peserta perayaan, maka disini saya akan sedikit
membahas ekspresi dalam sebuah perayaan.
Sebenarnya berbicara masalah ekspresi adalah sesuatu masalah yang pelik yang
tidak begitu saja kita tangkap maknanya. Tetapi dalam makalah ini saya akan memaknai
ekspresi pada tataran tertentu saja, sebagai sebuah rujukan singkat dalam melihat suatu
fenomena perayaan.
Secara sederhana ekspresi adalah “sesuatu yang dikeularkan atau ditampakan”. 22
Dalam memahami seni tidak terlepas dari persoalan ekspresi dalam benda seni. Setiap
karya seni baik itu yang bersifat visual, audio atau audio visual dituntut untuk
dipresentasikan agar karya seni hasil kreasi seniman itu utuh dalam proses kesenian.
Presentasi bentuk karya seni hasil kreasi tersebut menampilkan atau menampakan
ekspresi-ekspresi tertentu dari bentuk karya seninya. Jadi ekspresi adalah citra ungkapan

20
Lono Simatupang, 2013, 65
21
Lono Simatupang, 2013, 65
22
Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, (Bandung, Penerbit ITB;2000), 73
8

dari bentuk sesuatu, hasil dari kreasi individu atau kolektif, yang tertampakan atau
ditampakan.23
Dalam ekspresi terkandung penggambaran atau citra yang ingin diungkapkan dari
gagasan atau emosi yang dibentuk oleh kreator melalui proses kreasi. 24 Ekspresi seni
adalah ungkapan citra estetis yang mengandung gagasan atau emosidalam bentuk karya
seni hasil kreasi seniman, yang tertampakan atau ditampakan dalam medium
karyanya.Daya-daya estetis dari ekspresi-ekspresi karya seni yang ditampakan atau
tertampakan itu adalah performativitasnya.
Jadi ekspresi merupakan bentuk dari komunikasi. Proses pembentukan medium
komunikasi itulah kreasi, unsur-unsur kenampakan atau citra-citra yang tergambar dalam
bentuk itulah ekspresi, dan daya-daya dari kenampakan ekspresi, itulah ketinampilannya
atau performativitasnya. Performativitas atau ketinampilan dari karya seni tersebut memuat
sebuah teknik pesona dari sang kreator. Alfred Gell berpendapat bahwa seni (termasuk
didalamnya seni pergelaran) merupakan technology of enchanment atau teknik pesona.25
Lebih lanjut ekspresi dalam sebuah perayaan tertampakan dari tindakan individu,
kostum dan peralatan yang digunakan dalam sebuah perayaan. Ekpresi-ekspresi individu
tersebut jalin menjalin sehingga dapat dibaca maknanya secara utuh menjadi ekspresi
komunal dalam perayaan. Misalnya saja dalam perayaan panen padi, para peserta
perayaan biasanya menggunakan baju pangsi, baju tersebut biasanya digunakan untuk
bertani disawah. Selain itu biasanya dalam keseniannya sering muncul karakter atau topeng
binatang-binatang hama, padi yang masih bertangkai, dan alat-alat pengusir hama (bisa
berbentuk alat musik, atau orang-orangan sawah dan sebagainya). Hal tersebut merupakan
ingatan kolektif masyarakat akan dunia pertanian dan biasanya diekspresikan sebagai
simbol-simbol permohonan pada Dewi Kesuburan agar hasil pertanian mendatang lebih baik
dari hari ini. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekspresi dalam sebuah perayaan merupakan
simbol dari gagasan sebuah perayaan.

D. Pembahasan
1. Helaran dalam Kesenian Angklung Badud
a. Sejarah Singkat Kesenian Angklung Badud
Pemaparan tentang sejarah singkat ini didasarkan pada penelitian skripsi saya
terdahulu. Dalam pemaparan ini tidak akan dijelaskan seluruh periode perkembangan
sejarah kesenian angklung badud, hanya akan difokuskan pada yang berhubungan dengan
helarannya.

23
Suzanne K. Langer, Problematika Seni, (Bandung, Sunan Ambu Press; 2006), 17-23
24
Suzanne K. Langer, 2006, 31-34
25
Lono Simatupang, 2013, 65
9

Kesenian angklung badud adalah salah satu kesenian angklung buhun yang berasal
dari Dusun Margajaya Kecamatan Cijulang Kabupaten Pangandaran. Kesenian angklung
badud tersebut pada awalnya digunakan sebagai sarana ritual yang berhubungan dengan
padi pada masyarakat Cijulang, sebagai ungkapan rasa syukur terhadap keberhasilan
panen padi yang ditujukan kepada Dewi Sri26. Jaja Sukardja Kasi Kebudayaan Daerah
Kabupaten Ciamis tahun 1997 menyatakan :
“Seni badud ini telah hidup sejak awal abad 20. Pertama kali badud ini digelar oleh
orang Cidawung sebagai ungkapan rasa syukur dan suka cita atas keberhasilan nya
dalam mengolah sawah, sehingga mendapatkan hasil yang melimpah. Kini, seni
badud hanya ditampilkan pada acara hajatan di masyarakat”.27

Perwujudan dari rasa suka cita pasca panen tersebut adalah sebuah upacara
penghormatan terhadap Dewi Padi. Upacara tersebut dinamakan upacara ngidepkeun.
Pada praktik upacara ngidepkeun terdapat sebuah peristiwa membawa padi dari huma
menuju leuit. Prosesi tersebutlah yang dinamakan helaran.
Mengapa dalam penjelasan diatas dikatakan bahwa pertama kali kesenian angklung
badud digelar oleh Cidawung, apa hubungannya dengan Dusun Margajaya? Menurut
Endang Suryana, S.E bahwa pada tahun 1992 Dusun Cidawung dimekarkan menjadi tiga
wilayah yaitu Dusun Pangancraan, Dusun Margajaya dan Dusun Cidawung itu sendiri. 28 Jadi
Dusun Margajaya adalah hasil pemekaran dari dusun Cidawung.
Kesenian angklung badud merupakan pengembangan kesenian ngadogdog. Pada
awalnya yang berkembang pada sekitar tahun 1830an. Menurut H. Adwidi, salah seorang
pewaris kesenian tersebut menyatakan bahwa:
“Memang pada awalnya kesenian ini dinamakan kesenian ngadogdog, dulu yang
memainkan kesenian itu adalah kakek saya, ya sekitar tahun 1830an lah kata kakek
saya”29

Dalam masyarakat sunda alat musik dogdog merupakan sebuah simbol komunikasi
kesucian. Dogdog merupakan simbol untuk menyampaikan entang sangkan paran manusia
sunda, hal tersebut ditegaskan oleh Ubun Kubarsah bahwa dogdog yang paling besar
adalah bedug, yang digunakan sebagai pengingat waktu solat.30 Jadi wajar jika dogdog
banyak digunakan dalam kesenian sunda buhun (sunda lama). Selain itu dalam
perkembangan awal kesenian ngadogdog memang sudah digunakan sebagai medium
dalam helaran upacara ngidepkeun.31. Tidak dapat dipastikan sejak kapan masyarakat
Dusun margajaya pertama kali menyelenggarakan upacara ngidepkeun, akan tetapi yang

26
Juju Masunah, 2003, 42.
27
JujuMasunah 2003, 43.
28
Asep Zery Kusmaya, 2014, 54.
29
Asep Zery Kusmaya, 2014, 55.
30
Ubun Kubarsah R., 1994, 80
31
Asep Zery Kusmaya, 2014, 57-58.
10

perlu ditegaskan bahwa upacara ngidepkeun dan helarannya sudah terlebih dahulu ada
sebelum kesenian angklung badud berkembang.
Ritus padi di daerah sunda merupakan sesuatu hal yang penting karena padi
merupakan soko guru kehidupan manusia sunda, jadi padi adalah kehidupan bagi manusia
sunda. Kehidupan adalah kesucian yang mempunyai sifat yang tinggi dalam konsep
tritangtu masyarakat tradisional sunda.32 Artinya masyarakat sunda sangat menjunjung
tinggi padi sebagai sesuatu yang tinggi dan transenden yang harus dihormati dan dirawat
dengan baik.
Pada awalnya sebelum angklung menjadi bagian jadi kesenian ngadogdog, kesenian
tersebut hanya disertai tetabuhan yang bersifat perkusif dari potongan-potongan bambu.
Selain sebagai medium dalam upacara, mereka juga memainkan permainan ngadogdog
untuk mengisi waktu senggang di saung huma (gubuk di huma), dan untuk menakut-nakuti
hama.33 Artinya kesenian ngadogdog memang sudah menjadi kebutuhan sehari-hari
masyarakat atau sudah tertubuhkan dalam masyarakat.
Perkembangan selanjutnya sekitar tahun 1920an, alat musik angklung masuk sebagai
pelengkap helaran dan upacara ngidepkeun. Pendapat tersebut dibenarkan oleh sebagian
besar pewaris kesenian tersebut, salah satunya oleh Abah Karsodi. 34 Masuknya angklung
kedalam kesenian dibawa oleh Abah Sukinta, yang terinspirasi dari sebuah upacara panen
padi di daerah Banjar Patroman dan Tasikmalaya. Jadi alat musik angklung merupakan
hasil difusi dari daerah lain.
Sekitar tahun 1960an di Kecamatan Cijulang terdapat perubahan pola tanam padi, hal
tersebut yang menjadi penyebab utama upacara ngidepkeun perlahan-lahan mulai hilang,
dan hilang sama sekali hari ini. Agus Ruhiyat, Kepala B3K Pertanian Kecamatan Cijulang
menyatakan bahwa, perubahan pola tanam tersebut disebabkan karena memang program
dari pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan daerah. 35 Sejak saat itulah upacara
ngidepkeun perlahan-lahan punah, dan tidak ditemukan lagi hari ini.
Pada perkembangan selanjutnya peristiwa helaran tercerabut dari budaya ritus padi
yaitu dari keperluan untuk perayaan pasca panen (upacara ngidepkeun), ke perayaan
seperti hajatan, gusaran, hajat laut dan perayaan-perayaan lain. Ketercerabutan tersebut
tidak menghilangkan eksistensi helaran. Helaran dan kesenian angklung badud masihg
tetap bertahan hingga hari ini.36

32
Jakob sumardjo, Sunda; Pola Rasionalitas Budaya, (Bandung, Kelir; 2011), 31-35.
33
Asep Zery Kusmaya, 2014, 59.
34
Asep Zery Kusmaya, 2014, 62.
35
Asep Zery Kusmaya, 2014, 74.
36
Asep Zery Kusmaya, 2014, 88-90.
11

b. Alat Musik dan Properti dalam Helaran


Beberapa alat musik yang digunakan dalam helaran adalah 4 buah dogdog dengan
ukuran berbeda. Dogdog dengan ukuran terkecil dinamakan dogdog endol, dogdog sedikit
lebih besar disebut dogdog tolol, dogdog lebih besar lagi dinamakan dogdog bondol dan
dogdog yang ke empat dan terbesar disebut dogdog dalang. Masing-masing jenis dogdog
berjumlah 1 buah. Dogdog tersebut adalah dogdog yang dibuat pada periode awal. Berikut
disajikan gambar empat buah dogdogperiode awal perkembangan sebagai berikut:

Gambar I: Dogdog yang digunakan dalam kesenian angklung badud pada periode awal
(koleksi Asep Zery, 2014)

Selanjutnya ada dogdog yang dibuat pada periode berikutnya yaitu dogdogbajidor.
Dogdog tersebut berjumlah dua buah dengan nama sama hanya disertakan nomor untuk
menerangkan ukuran dogdog. Dogdog yang lebih besar dinamakan dogdogbajidor 1
sedangkan yang berukuran lebih kecil dinamakan dogdogbajidor 2. Berikut disajikan gambar
dogdogtersebut:

1 2
Gambar II: dogdogbajidor 1 dan dogdog bajidor 2 (koleksi Asep Zery, 2014)

Selain dogdog digunakan pula angklung sebagai alat melodis yang berposisi sebagai
iringan. Iringan yang dibentuk dari komposisi melodi angklung tersebut berposisi sebagai
balunganing gending, artinya komposisi melodinya berupa rangka dasar atau cantus firmus
untuk mengiringi lagu-lagu-lagu. Tangga nada yang digunakan dalam angklung tersebut
12

adalah tangga nada salendro padantara sunda yaitu 1 (da), 2 (mi), 3 (na), ti (4). Jumlah
angklung terdiri dari 8 buah,diantaranya sebagai berikut diurutkan dari yang paling besar:
1. angklung jengglong, nada 2 (mi) rendah
2. angklung penerus, nada 1 (da) rendah
3. angklung ambruk 1, nada 3 (na) rendah
4. angklung ambruk 2, nada 4 (ti) rendah
5.angklung sorolok, nada 2 (mi) tinggi
6. angklung aclik, nada 3 (na) tinggi
7. angklung roel 2, nada 1 (da) tinggi
8. angklung roel 1, nada 4 (ti) tinggi

Berikut disajikan gambar angklung badud, sebagai berikut:

Gambar III: angklung badud (koleksi Asep Zery, 2014)

Selain alat musik terdapat beberapa kotum yang digunakan, yaitu berupa kostum
pangsi hitam untuk para pemusik dan kostum binatang dan citra abah dan ema (kakek dan
nenek) untuk para penari. Binatang yang digambarkan dalam kotum tersebut adalah citra
dari babi hitam, macan dan lutung. Kostum binatang tersebut merupakan simbol dari hama
yang sering mengganggu di huma. Abah dan ema menyimbolkan penjaga ladang. Berikut
disajikan kostum yang digunakan dalam kesenian angklung badud, sebagai berikut:
13

Gambar IV: Kostum yang digunakan dalam kesenian angklung badud (koleksi Asep Zery,
2014)

c. Musik Iringan dan Lagu


Pada bagian ini saya akan menyajikan beberapa repertoar lagu yang digunakan dalam
helaran kesenian angklung badud hingga hari ini. Lagu-lagu yang digunakan dalam helaran
dibuka dengan tatalu, selanjutnya untuk mengiringi pengantin sunat atau pada saat berjalan
keliling kampung dimainkan lagu budak ceurik dan lagu badud secara bergantian.
Selanjutnya jika sudah sampai di tempat hajatan atau tempat perayaan berlangsung
dimainkan kembali tatalu.37
Selanjutnya dipertunjukan kembali atraksi-atraksi dari citra binatang dan kakek-kakek
nenek. Biasanya atraksi dilakukan dengan cara memasukan roh halus (mendem) ke para
penarinya. Setelah selesai atraksi helaran ditutup dengan tatalu.38 Tatalu merupakan musik
untuk pembuka atau penutup helaran, yang bersifat atraktif. Tatalu berasal dari bahasa
sunda yang artinya tetabuhan, sesuai dengan artinya musik tatalu lebih bersifat perkusif.
Musik tatalu hanya dimainkan oleh dogdog, yang garapan musiknya diambil dari permainan
dogdog pada lagu badud. Lagu badud merupakan lagu khas dari kesenian angklung
angklung. Lagu badud biasanya digunakan setelah tatalu, kemudian sebagai iringan tari dan
atraksi.39 Berikut disajikan transkripsi angklung pada lagu badud, sebagai berikut:

37
Asep Zery Kusmaya, 2014, 85.
38
Asep Zery Kusmaya, 2014, 86.
39
Asep Zery Kusmaya, 2014, 83.
14

Gambar V: Transkripsi partitur angklung lagu badud yang telah divalidasi oleh Kang Didin
sebagai pewaris kesenian angklung badud
(sumber Asep Zery Kusmaya, 2014)

Berikut disajikan transkripsi dogdog dalam lagu badud, yang juga digunakan sebagai
iringan musik dalam tatalu, sebagai berikut:

Gambar VI: Transkripsi partitur dogdog dalam lagu badud yang telah divalidasi oleh Kang
Didin (sumber Asep Zery, 2014)

Selain itu ada lagu budak ceurik, lagu sancang, yang biasanya digunakan bergantian
dengan lagu badud.40 Berikut disajikan transkripsi angklung pada lagu sancang ke dalam
partitur, sebagai berikut:

40
Asep Zery Kusmaya, 2014, 85.
15

Gambar VII: Transkripsi partitur lagu sancang, telah divalidasi oleh kang Didin (sumber
Asep Zery, 2014)

Pola iringan dogdog dalam lagu sancang dan budak ceurik sama dengan iringan
dogdog pada lagu badud.41 Berikut disajikan partitur angklung lagu budak ceurik, sebagai
berikut:

Gambar VIII: Transkripsi partitur angklung lagu budak ceurik, telah divalidasi Kang
Didin (sumber Asep Zery, 2014)

Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam kesenian angklung badud jumlah repertoar
lagunya hanya 3 lagu. Dalam pembukaan dan penutupan atau tataluhelaran digunakan
iringan dogdog yang diambil dari iringan lagu badud, begitu juga pada lagu budak ceurik dan
lagu sancang.

d. Format Helaran
Bentuk helaran kesenian angklung badud terdiri dari dua bagian yaitu helaran itu
sendiri (arak-arakan) dan mamarung (atraksi-atraksi), sebagai penutup dari helaran
tersebut.42

41
Asep Zery Kusmaya, 2014, 82.
42
Asep Zery Kusmaya, 2014, 84.
16

Pada peristiwa arak-arakan biasa start dimulai dari tempat yang telah ditentukan
sebelumnya oleh yang punya acara tersebut, jika pada masa perkembangan awal tempat
start helaran adalah dimulai dari huma menuju ke leuit. Urutan barisanpun ditentukan sejak
awal, tetapi tidak secara kaku hanya sebagai penanda saja, siapa yang menjadi “tuannya”
dan siapa yang mengikutinya.
Urutan berjalan dalam arak-arakan berurutan sebagai berikut:
1. Pengatin sunat atau gusaran atau pembesar dan yang punya hajat
2. Karakter nenek-nenek dan kakek-kakek
3. Karakter binatang (babi hutan, lutung dan harimau)
4 Para pemain dogdog
5. Para pemain angklung
Selanjutnya dimanakah penonton berada? Helaran merupakan konsep pertunjukan
yang organik artinya tidak ada frame atau batas yang jelas yang memisahkan penonton dan
penampil. Jadi dalam peristiwa arak-arak ini penonton bebas saja menempatkan diri, mau
ikut berjalan bersama atau sekedar menonton dipinggir jalan asal tidak mengganggu satu
sama lain.
Setelah sampai ditempat yang punya hajat, maka segera diselenggarakan atraksi-
atraksi (mamarung). Biasanya pertunjukan dibuka dengan tatalu, lalu disambung dengan
lagu badud, lagu budakceurik dan lagu sancang dimainkan secara bergantian. Terakhir
ditutup dengan tatalu yang rancak. Posisi pemain musik membentuk posisi setengah
lingkaran atau berbaris dua shaf dibelakang para penari/ yang melakukan atraksi. Berikut
disajikan gambar suana helaran (mamarung dan arak-arakan), sebagai berikut:

Gambar IX: Suasana helaran (arak-arakan) (sumber Kang didin,2014)


17

Gambar X: Suasana atraksi-atraksi(mamarung) (sumber Asep Zery, 2014)

Jadi dapat disimpulkan bahwa helaran dalam kesenian angklung badud terdiri dari dua
bagian yaitu helaran itu sendiri (arak-arakan) dan mamarung (atraksi).

2.Helaran (Ritual Pasca Panen dan Masyrakat yang Tercerabut )


Telah diketahui bahwa pada awalnya memang kesenian angklung badud merupakan
kesenian yang digunakan sebagai medium ritual, yaitu pada upacara ngidepkeun. Upacara
ngidepkeun dilangsungkan pada waktu pasca panen, hal tersebut dilakukan sebagai
ungkapan rasa syukur pada Sang Hyang Dewi Sri (Dewi Padi). Kesenian angklung badud
digunakan dalam prosesi membawa padi dari huma menuju leuit, dan prosesi memasukan
padi ke leuit. Prosesi pengarakan padi menuju leuit tersebut yang dinamakan helaran. Jadi
dapat disimpulkan bahwa pewujudan rasa syukur atas hasil panen yang kemudian di
wujudkan dalam tindakan helarantersebut adalah sebuah perayaan. Helaranadalah wujud
tindakan dalam peristiwa perayaan pasca panen.Heralan adalah ritual perayaan pasca
panen.
Selain itu peristiwa ritual ngidepkeun tersebut juga dapat dipandang sebagai sebuah
cara untuk menyatukan kembali rasa kebersamaan, kerukunan, dan gotong royong. Proses-
proses persiapan upacara ritual ngidepkeun sampai pasca selesainya ritual, memberi ruang
bagi masyarakat untuk bertemu dan bekerja sama kembali diluar pekerjaan harian yang
cenderung monoton. Ritual ngidepkeun dapat dipandang sebagai bentuk integrasi sosial
masyarakatnya.
Pada tahun 1960, terjadi perubahan pola tanam dari pertanian huma ke pertanain
sawah. Kepala B3K Pertanian Kecamatan Cijulang menyatakan bahwa, perubahan pola
tanam tersebut disebabkan karena memang program dari pemerintah untuk memenuhi
kebutuhan pangan daerah.43 Pola tanam padi di huma yang hanya bisa dipanen satu tahun
sekali, dipandang oleh pemerintahan masa itu tidak bisa untuk memenuhi kebutuhan

43
Asep Zery Kusmaya, 2014, 74.
18

pangan daerah. Kebijakan politik pemerintah tersebut bersifat dilematis, antara pemenuhan
kebutuhan pangan pemerintah dan hilangnya kekayaan budaya pasca panen. Sejak saat
itulah upacara ngidepkeun perlahan-lahan punah, dan tidak ditemukan lagi hari ini.
Ketercerabutan masyarakat dari budaya pertanian huma, jelas berdampak pada helaran.
Hari ini helaran tidak digunakan lagi dalam dalam ritual upacara ngidepkeun, tetapi lebih
digunakan dalam peristiwa hajatan atau perayaan hari-hari besar. Hal itu menandakan
bahwa helaran dan kesenian angklung itu sendiri tercerabut dari masyarakat kolektif, artinya
pelestarian kesenian budaya helaran dan kesenian angklung badud diserahkan pada
beberapa orang saja, yaitu pewaris kesenian tersebut.

3. Helaran Sebagai Medium Kebahagiaan Kelas Bawah


Akibat dari ketercerabutan masyarakat dari budaya pertanian huma ke pertanian
sawah, hari ini helaran tidak digunakan sebagai medium dalam ritual pasca panen, akan
tetapi hari ini helaran hadir dari panggung ke panggung sebagai medium dalam perayaan,
misalnya hajatan, gusaran, hajat laut atau perayaan hari besar lain diluar dunia ritus padi.
Setiap orang dapat menyelenggarakan helaran mulai dari orang kelas bawah sampai para
pejabat untuk kepentingan yang lebih individualistik, dengan catatan mampu membayar
group kesenian angklung badud. Helaran sudah tidak lagi eksklusif hanya digunakan untuk
sebuah ritual pasca panen, tetapi lebih bebas digunakan untuk kepentingan yang berbeda-
beda. Oleh karena itu orang-orang kelas bawah dapat menjadi orang kaya sesaatkarena
helaran biasanya hanya mampu diselenggarakan oleh masyarakat kolektif atau para
pembesar saja.
Setiap hajatan, entah sunatan, pernikahan, gusaran atau yang lainnya yang
diselenggarakan sebuah keluarga merupakan sebuah wujud syukur atas harapan yang
sudah dicapai, artinya harapan dari sunatan anaknya atau pernikahan anaknya sudah
dilaksanakan dengan selamat. Hajatan juga merupakan sebuah doa bagi anak-anak
sebagai objek dari perayaan tersebut mendapatkan keselamatan, kemulyaan atau nilai-nilai
harapan positif lainnya. Selain itu sering kita melihat dengan jelas dalam sebuah perayaan
hajatan sebuah tulisan “mohon doa restu”. Jika ditafsirkan bahwa ternyata subjek yang
punya hajatpun mentransmisi nilai tersebut agar di”amini” oleh para tamu undangan.
Jadi hajatan juga merupakan sebuah ritual perayaan yang dilakukan subjek hajatan
(yang punya hajat), untuk objek hajatan (anak-anaknya), yang di”amini” oleh para sanak
saudara dan tamu undangan, sebagai wujud rasa syukur sekaligus doa untuk keselamatan
objek hajatan tersebut. Hajatan disini juga dapat disamakan dengan peristiwa seperti hajat
laut di pantai Cijulang, hari-hari besar yang diperingati masyarakat kecamatan Cijulang,
yang kesemuanya merupakan sebuah ritual perayaan sebagai ungkapan kesyukuran dan
doa untuk keselamatan kolektif.
19

Ritual ngidepkeun, peristiwa hajatan, atau perayaan hari-hari besar lainnya di Cijulang
adalah sama-sama sebuah ritual perayaan. Hal tersebut dapat dilihat dari motif dasar
perayaan-perayaan tersebut, yaitu motif wujud syukur dan doa, Hal tersebut juga
disampaikan oleh Kang Didin, yang menyatakan bahwa:
“sekarang itu kesenian angklung badud lebih digunakan pada hajatan, hari-hari besar,
bahkan biasanya ada yang minta diruwat, biar anak-anaknya atau lingkungannya
kararuat. Ruwatan itu sebuah doa agar kuat, selamat dan mencapai kamulyani”44

Sebagai peristiwa ritual, helaran menghadirkan dunia ambang bagi para pesertanya.
Victor Turner mengungkapkan ada tiga tahapan ritual yaitu (1) pemisahan (separation), (2)
ambang (liminal), dan (3) penyatuan kembali (reincorporation).45 Tahapan pemisahan
dimulai sejak peristiwa extraordinary life teralami, misalnya untuk subjek yang punya hajat
tahap pemisahan terjadi pada saat tenda dipasang, disana subjek hajatan seperti seorang
“raja” yang dilayani oleh tetangganya. Pada saat inilah orang kelas bawah dapat merasakan
kebahagiaan atau sebuah cerita indah yang diabadikan dalam ingatan sepanjang hidupnya.
Karena dalam tahap ambang ini dapat terjadi peristiwa orang kecil lebih tinggi
kedudukannya dari pada kepala desa atau bupati sekalipun, karena dialah subjek utama
dalam sebuah acara hajatan tersebut.
Selain itu untuk para tamu dan sanak saurdara dari subjek hajatan mengalami tahap
pemisahan sejak hadir dirumah yang punya hajat, mereka tidak mengalami kehidupan
normal akan tetapi kehidupan yang tidak normal extraordinary. Jadi tahap pemisahan
teralami jika sejak seseorang menghadiri suatu peristiwa ritual.
Tahap dunia ambang (liminal) teralami selama proses ritual. Orang yang mengikuti
helaran (arak-arakan) sampai menyaksikan mamarung (atraksi helaran), akan mengalami
refleksi tertentu dari apa yang dialaminya. Mengapa demikian, karena dalam tahap ambang
tersebut terdapat pemutar balikan simbol, misal orang berjalan-jalan sendiri atau
berkelompok keliling kampung mungkin akan dianggap orang gila atau orang aneh bahkan
akan dicurigai jika dilakukan dalam kehidupan normal. Akan tetapi jika dilakukan pada saat
ritual perayaan arak-arakan tidak dianggap peristiwa yang aneh, disinilah pemutar balikan
simbol berlaku. Tahap ambang ini merupakan puncak kebahagiaan bagi orang kelas bawah,
karena dalam tahap inilah seorang subjek dan objek hajatan tidak harus berkeja apapun,
bak seorang raja yang tugasnya hanya diam menyambut tamu, dan semua pekerjaan
dilayani oleh seluruh sanak saudara dan tetangga.
Pada tahap ambang mengapa individu dapat melakukan refleksi? Brian Sutton-Smith
berpendapat bahwa “anti struktur mencerminkan potensi sistem tandingan yang terpendam,
yang kebaruannya akan muncul saat keadaan sistem normatif memintanya”. Artinya

44
Asep Zery Kusmaya, 2014, 88-90.
45
Lono Simatupang, 2013, 110.
20

kehadiran dunia ambang memberikan sebuah kebaruan pemahaman sesaat dari


ketidaknormalan, yang memungkinkan individu membandingkan atau merefleksikan dengan
tatanan sosial yang normal (daily life) agar supaya tercipta refleksi baru atas tatanan sosial
normal. Pada tahap penyatuan kembali teralami pasca proses ritual. Pada tahap ini individu
akan menjadi individu baru dengan refleksi baru terhadap tatanan sosial yang ada. Tahap
penyatuan kembali inilah subjek perayaan kehidupan normalnya kembali.

4. Helaran Sebagai Cara Pengabadian Nilai


Telah diketahui bahwa syarat sebuah tontonan harus bersifat disengaja untuk
ditampilkan atau ditontonkan, lalu bersifat extraordinary artinya bukan sebuah kegiatan yang
bersifat sehari-hari (daily life), yang terakhir adalah bertemunya penyaji (penampil) dan
penonton.46
Helaran merupakan sebuah peristiwa yang disengaja, artinya bukan sebuah peristiwa
yang tiba-tiba tanpa perencanaan. Pemain angklung, pengantin sunat, jalur arak-arakan,
make up, kostum dan properti lain harus terlebih dahulu dipersiapkan terlebih dahulu
sebelum melakukan arak-arakan. Selain itu helaran bukan merupakan peristiwa sehari-hari,
karena helaran tidak dilakukan setiap hari sebagai rutinitas. Selain itu harus sifat perayaan
dari helaran membutuhkan pra-syarat, seperti moment, persiapan, peserta helaran dan
sebagainya. Dalam helaran juga terdapat penampil dan penonton, walau batasnya tidak
selalu jelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa helaran merupakan sebuah tontonan atau
pergelaran.
Sebagai sebuah pergelaran tentu helaran mempunyai makna atau gagasan yang ingin
dikomunikasikan. Gagasan dalam sebuah pergelaran tidak secara langsung dapat
ditangkap, artinya tersirat dalam ekspresi-ekspresi dari pada peserta helaran. Ekspresi
tersebut menghasilkan suatu daya atau efek sehingga peserta helaran dapat memaknai
atau merefleksikannya. Ekspresi tersebut merupakan sebuah teknik pesona untuk
menyampaikan gagasan tertentu dari helaran.
Gagasan yang termuat dalam sebuah helaran dapat dilihat dari citra kostum binatang
dan citra kakek dan nenek, yang merupakan penggambaran dari kehidupan dunia pertanian.
Citra binatang adalah hama yang harus diusir, hal tersebut berarti bahwa semua keburukan
harus diusir, atau dihilangkan dari diri manusia.
Proses pengarakan keliling kampung seorang pengantin sunat juga mempunyai
makna wujud syukur dan doa dari seluruh penduduk kampung kepada objek helaran. Disini
peristiwa helran juga ingin membagikan kebahagiaan,saling mendoakan, silih asah, silih

46
Lono Simatupang, 2013, 64-65.
21

asih dan silih asuh. Jika melihat uraian diatas peristiwa helaran merupakan sebuah peristiwa
pengabadian nilai-nilai lokal masyarakat Dusun Margajaya.

5. Keramaian Helaran (Kekacauan sebagai anti kekacauan)


Helaran selalu menghadirkan keramaian. Sifat keramaian dalam helaran cenderung
kacau balau. Format pertunjukan dalam peristiwa helaran yang organik menjadi ciri dari
kekacaubalauan helaran. Tidak ada frame yang jelas dalam ruang pertunjukan helaran.
Tidak terdapat batas yang jelas antara posisi penampil dan penonton helaran, jika harus
dibatas mungkin hanyalah kulit penonton atau penampil.
Jika dilihat dari sudut pandang estetika, peristiwa keramaian helaran mengekspresikan
nilai kekacauan (chaos). Nilai chaostic tersebut memancing ketertarikan dengan
menghadirkan keterkejutan pada penonton/spektator atau subjek estetis. Selain itu dalam
posisi chaostichelaran subjek estetis/penonton lebih bebas untuk menubuhkan dirinya larut
dalam keramaian. Sehingga pesan-pesan dari gagasan helaran dapat lebih mudah diterima,
karena dalam posisi chaostic spektator berada pada dunia ambang.
Chaostic sebagai tahap dunia ambang menjadi medium bagi individu untuk
merefleksikan nilai-nilai yang dibawa oleh helaran seperti yang telah disebutkan diatas. Jadi
keramaian helaran merupakan sebuah kekacauan yang dibuat untuk menaklukan
kekacauan nilai individu. Keramaian helaran sebagai sebuah tontonan juga menjadi sebuah
penawar atas kegiatan keseharian yang cenderung monoton dan membosankan bagi
peserta helaran. Keramaian helaran merupakan chaos sekaligus anti chaos.

6. Kesimpulan
Setelah diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi perayaan pada koteks
helaran dalam kesenian angklung badud masih tetap hidup, dengan beberapa perubahan
pada konteks tertentu. Pada awalnya kesenian angklung badud yang berfungsi dalam
perayaan masyarakat padi, hari ini berubah menjadi perayaan yang lebih bersifat individual,
atau untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan masyarakat kolektif. Selain itu
keramaian helaran juga berfungsi sebagai ritual dan tontonan sekaligus, sebagai salah satu
cara menghindarkan chaos dimasyarakat dengan chaos keramaian helaran.
Helaran dalam masyarakat juga diposisikan untuk memberikan kebahagiaan kecil bagi
masyarakat kelas bawah dengan medium dunia liminal pada proses ritual helaran. Dengan
konsep keramaian helaran juga dapat mengintegrasi masyarakat sebagai medium
silaturahim sehingga konflik masyarakat dapat diredam, serta membangun kekompakan
dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya helaran juga dapat menjadi salah satu medium
untuk mengabadikan nilai identitas masyarakat Dusun Margajaya, sehingga kearifan lokal
22

dan nilai-nilai luhur dapat tetap tertubuhkan dalam diri individu setiap orang. Dari uraian
tersebut kita dapat melihat bahwa posisi helaran dalam masyarakat menjadi penting, demi
terjaganya keharmonisan kehidupan dalam masyarakat.
23

Daftar Pustaka

Budi, Dinda Satya Upaja, 2001, “Angklung Baduy dalam Upacara Ritual Ngaseuk”, Tesis,
Yogyakarta:Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah
Pascasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Hadi , Y. Sumandiyo, 2006, Seni dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Pustaka.

Kubarsah .R, Ubun, 1994, Waditra; Mengenal Alat-Alat Kesenian Daerah Jawa Barat, Bandung: CV
Sampurna.

Kusmaya, Asep Zery, 2014, “Perkembangan dan Sistem Pewarisan Kesenian Angklung Badud di
Cijulang-Pangandaran”, Skripsi, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Seni Musik, Fakultas Bahasa
dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Masunah, Juju, 2003, Angklung di Jawa Barat, Bandung: PAST UPI.

Poerwadarminta, W. J. S., 1939, Baoesastra Djawa, Groningen, Batavia: B. Wolters uitgevers


Maatschappij N.V.

Schafer, R. Murray, 1977, The Tuning of the World, New York: Alfred A. Knopf.

Schechner, Richard, 2015, Performance Studies: An Introduction, New York: Routledge.

Simatupang, Lono, 2013,Pergelaran; Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya Yogyakarta: Jalasutra.

Small, Cristhoper, 1998, Musicking; the Meanings of Performing and Listening, Middletown,
Connecticiut: Wesleyan University Press.

Sumardjo, Jakob, 2000, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB.

, 2011, Sunda; Pola Rasionalitas Budaya, Bandung: Kelir.

Anda mungkin juga menyukai