Anda di halaman 1dari 4

Nama : Natasya Amelia

NIM : 1705512
Kelas : 6C
MAKNA DAN SIMBOL UPACARA RITUAL MEMINTA HUJAN DI
PURWAKARTA
(Di Lestarikan dalam Seni Domyak)

Tradisi ritual merupakan media-media interaksi sosial, dengan pesan-pesan yang


dikonstruksi menggunakan simbol-simbol iconic (tindakan, kata-kata atau benda) yang
banyak memiliki signifikansi atau makna sosiokultural yang kompleks, yang diturunkan oleh
adanya proses sosial yang terus menerus dalam perputaran komunikasi. Dengan kata lain
tradisi ritual memiliki makna sosiokultural yang secara simbolik ditransmisikan melalui
kegiatan ritual (Munn dalam Syafi’i: 1995).
Segala tindakan, kata-kata, dan benda-benda dalam tradisi ritual adalah mengandung
makna simbolik. Tradisi ritual diikat oleh sistem simbolik. Simbol adalah segala sesuatu yang
menandai atau mewakili sesuatu yang lain, atau sesuatu yang telah diberi arti atau makna
tertentu. Simbol menampilkan makna melalui konvensi (Spradley dan McCurdy dalam
Syafi’i:1995).
Tradisi ritual merupakan operasionalisasi sistem simbolik. Didalamnya mencakup
sistem agama, keyakinan, atau kepercayaan suatu masyarakat. Tradisi ritual memiliki fungsi
sebagai media interaksi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa suatu kegiatan atau tradisi
keagamaan atau kepercayaan, disadari atau tidak, akan terjadi hubungan, relasi atau ikatan
antar pelaku ritual tersebut. Oleh karena itu, secara kultural dan sosial kegiatan tradisi ritual
tetap lestari dalam kehidupan masyarakat. Salah satunya di Kabupaten Purwakarta.
Ada banyak tradisi yang ada di Pasir Angin Kaler, kampung tertua di Kabupaten
Purwakarta. Salah satunya adalah ritual meminta hujan. Meski ritual meminta hujan tak lagi
dilakukan warga di Kampung Pasir Angin Kaler, Desa Pasir Angin, Kecamatan Darangdan,
ritual ini tak pernah benar-benar hilang. Warga melestarikannya dalam bentuk kesenian, yang
kemudian dikenal dengan sebutan seni domyak. Seni domyak diadaptasi dari kegiatan warga
membunyikan berbagai alat musik saat berjalan menuju mata air di Gunung Rahayu untuk
menjalankan ritual meminta hujan. Alat musik yang dibunyikan antara lain, dogdog, bedug,
kecrek dan angklung buncis. Ini pula yang kemudian membuat kegiatan membunyikan
berbagai alat musik ini kerap juga disebut sebagai seni buncis. Dogdog merupakan alat musik
tabuh yang terbuat dari batang kayu dan ditutup dengan kulit kambing yang telah
dikeringkan, kemudian diikat menggunakan tali bambu dan dipaseuk/baji untuk
mengencangkan kulit tersebut. Dogdog memiliki makna sebagai media rasa syukur, penolak
bala, ungkapan persembahan, dan kegembiraan. Bedug merupakan alat musik tabuh yang
memiliki makna sebagai alat komunikasi tradisional. Kecrek adalah alat musik yang
digunakan sebagai aba-aba iringan. Sedangkan angklung buncis memiliki makna sebagai
keharmonisan, filosofinya kehidupan masyarakat sunda diibaratkan seperti sebuah angklung,
bentuknya yang seperti tabung mempersonifikasikan manusia, yakni menggambarkan bahwa
manusia harus hidup bersosialisasi.
Kesenian Domyak lahir pada tahun 1920 di Desa Pasir Angin Kecamatan Darangdan
Kabupaten Purwakarta. Kesenian ini awal mulanya berfungsi sebagai upacara ritual untuk
meminta hujan karena pada saat itu di Desa Pasir Angin mengalami kemarau Panjang yaitu
selama 9 bulan yang menyebabkan sawah serta ladang masyarakat menjadi kering. Domyak,
adalah akronim atau kirata basa, artinya ari dur ari rampayak. Dur adalah bunyi bedug dari
salah satu waditra musik pengiring kesenian ini. Rampayak artinya menari. Jadi, ketika ada
suara dur dari bedug itu (pemain) langsung menari.
Inti ritual ini adalah ngibakan ucing (memandikan kucing) yang terlebih dahulu
dimulai dengan arak-arakan keliling kampung. Kucing dimasukkan ke dalam kurungan yang
disebut dongdang ucing dan tandu oleh dua orang. Selanjutnya, arak-arakan diiringi dengan
tetabuhan seperti angklung, dogdog, bedug, kendang, kecrek, dan sebagainya. Mereka
kemudian menuju ke suatu mata air dan melaksanakan ritual ngibakan ucing tadi. Ritual
dimulai dengan mupuhun, yang dipimpin oleh seorang peminpin upacara yang disebut
Pangasuh (pengasuh). Mupuhun adalah semacam uluk salam, atau dalam peribahasa Sunda
dikatakan sebagai mipit kudu amit, ngala kudu menta (meminta izin terlebih dahulu), yang
bermakna bahwa jika sesuatu yang akan dilakukan itu haruslah diawali dengan meminta izin
dan memohon berkah keselamatan dari Yang Maha Kuasa. Setelah mupuhun dilaksanakan,
pangasuh menyuruh seseorang untuk melantunkan kidung beberapa bait, dan setelah selesai
kidung, maka kucing yang ada di dalam sebuah kurungan itu diguyur air, inilah yang disebut
dengan ngibakan ucing (memandikan kucing). Ngibakan ucing mempunyai makna, bahwa
kucing tidak pernah mandi dan hal ini adalah sebuah pepatah, bahwa manusialah yang
sebaiknya mandi, membersihkan diri. Itulah inti dari seni domyak. Setelah itu, acara
dilanjutkan dengan menyajikan sebuah tarian pencak silat yang disebut dengan wawayangan
dan bermacam-macam atraksi seperti bebelokan.
Seni Domyak merupakan kesenian tradisional yang perkembangannya bersifat turun
temurun. Perintis seni Domyak diawali oleh Uyut Anen, kemudian diturunkan kepada Ama
atau mama Nuria, selanjutnya diturunkan kembali kepada Abah Jumanta,.saat ini , generasi
yang melanjutkan kesenian tradisional tersebut adalah Mang Didi, pura ma Ijah. Sedangkan
ma Ijah adalah puteri dari aki Mirta, dan aki Mirta puteranya uyut Anen. Dengan demikian,
mang Didi adalah cucu buyut dari uyut Anen. Abah Jumanta adalah pewaris generasi
keempat yang mempertahankan eksistensi para seniman tradisi dalam mengalami perubahan
dan perkembangan kearah modernisasi di segala bidang kehidupan, khususnya seni Domyak
ini. seniman Domyak yang masih hidup adalah diantaranya Abah Tahrudin, Abah Husein,
Ujang Itim, Odi, Kena, Tata dan Abah Ueu-ueu. Akan tetapi seni Domyak ini sudah lama
tidak berkembang, bahkan hampir punah.
keberadaan Domyak mulai tersisih dilihat dari sulitnya mencari lahan garapan sampai
tidak adanya infrastruktur baik alat-alat musik maupun tempat berlatih. Kesulitan ini
ditambah dengan stigma negatif masyarakat, terutama kalangan masyarakat dengan latar
belakang agamis yang kental. Pada akhirnya terdapat larangan kepada anak-anak oleh orang
tua mereka untuk menonton atau menjadi bagian dari kesenian ini. Dampak dari larangan
tersebut kesenian ini sempat vakum selama sepuluh tahun.
Pada tahun 2010 seni pertunjukan domyak kembali hadir di tengah masyarakat berkat
program revitalisasi seni domyak. Dengan demikian, seni pertunjukan domyak kembali
mengembangkan diri disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan mencoba menangkal
stigma negatif masyarakat. Tentu saja, peralihan ini menjadikan domyak hanya sebatas seni
hiburan yang sifatnya profan, adapun ritual seperti dahulu itupun hanya sekadarnya saja. Dari
hasil revitalisasi inilah seni pertunjukan domyak bisa kembali diwariskan kepada masyarakat
khususnya kaum muda.
Adapun nilai yang bisa diambil dalam kesenian ini adalah pertama, nilai religius
merupakan sikap dan tindakan yang menunjukan patuh terhadap agama yang dianutnya, rasa
toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lainnya, kerukunan hidup, jujur, cinta damai, dan
bersahabat. Dalam pertunjukan kesenian ini sikap percaya kepada Tuhan dilihat dari proses
mupuhun atau meminta izin sebelum memulai acara. Hal ini dilakukan agar diberkahinya
segala kegiatan yang akan dilakukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, nilai gotong royong
pada kesenian ini dapat dilihat saat proses pertunjukan, semua pemain saling mengisi
kegiatan sesuai dengan porsinya dengan baik agar pertunjukan sukses. Adapun kerjasama
antar pemain terlihat dari saat latihan mereka berlatih bersama, saling membantu dan saling
membenahi untuk sebuah penampilan yang maksimal. Sikap peduli sosial dilihat dari
kerjasama antar masyarakat seni dan masyarakat pada umumnya dalam persiapan kesenian
Domyak tersebut. Ketiga, nilai cinta tanah air merupakan sikap dan tindakan yang merupakan
rasa kecintaannya terhadap Negara dan Tanah Air Indonesian, semangat Kebangsaan,
menghargai prestasi dan cinta damai. Sikap semangat kebangsaan pada Kesenian Domyak
terlihat dari sikap para pemain yang tetap menjaga warisan budaya Indonesia dengan cara
berkesenian. Sikap semangat kebangsaan dapat dilihat dari aktifitas Kesenian Buncis yang
rutin, melakukan pertunjukan pada saat hati-hari besar dan memberikan pengetahuan kepada
masyarakat khusunya kaum muda dalam kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

Anda mungkin juga menyukai