Anda di halaman 1dari 4

ASPEK TRADISI LISAN PADA DIDONG

Disusun oleh :

Mutiara Maulina Anzalia


201121114

Mata Kuliah
Tari Tradisi Lisan

Dosen Pengampu
Humaira Anwar, MA

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA (ISBI) ACEH
PRODI SENI TEATER
TAHUN 2021
ASPEK TRADISI LISAN PADA DIDONG
Didong adalah bentuk kesenian tradisional Masyarakat Gayo di Aceh bagian tengah,
yaitu di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Kesenian ini sudah ada sejak zaman
Reje Linge XIII pada abad ke-16 M. Pertunjukan didong berbentuk pertandingan antara dua
kelompok (kelop) yang saling berkelakar sambil membuat sajak improvisasi yang disebut
syair. Kesenian ini memadukan unsur seni sastra, vokal, dan tari. Pemain menyanyikan syair
atau sajak dengan iringan musik khusus. Pertunjukan diperindah dengan tepukan serta
gerakan lengan, kepala, dan badan oleh para pengiring.
Istilah  didong berasal dari kata dendang yang berarti sama
dengan denang dan donang dalam bahasa Gayo, berarti menghibur diri sendiri dengan
menyanyi dengan diiringi musik sambil bekerja. Ada pula yang berpendapat bahwa
istilah didong berasal dari kata din dan dong; din berarti agama dan dong berarti dakwah.
Pada awalnya, didong memang merupakan media untuk menyebarkan agama Islam. Syair-
syairnya bukan hanya untuk dinikmati, tapi juga memuat nilai-nilai religius yang mengajak
para pendengarnya untuk meneladani kehidupan Nabi. Sebab itu, dulu didong selalu
dipentaskan pada hari-hari besar agama Islam.
Kelompok didong umumnya terdiri atas 30 sampai 35 orang, duduk berkeliling
selama pertunjukan. Empat atau enam di antara mereka dikenal sebagai ceh, penyanyi
didong. Sisanya adalah penunung atau penyur (pengiring).
Peran ceh dalam kesenian ini sangatlah menentukan. Seorang ceh harus dapat mengubah
lagu dan syair serta menyanyikan gubahannya, atau syairnya. Ia juga harus dapat mengubah
syair di tempat secara spontan, karena suatu pertunjukan didong sering berbentuk
pertandingan antara dua kelompok yang harus saling berbalas sindiran dan cemoohan. Tugas
ini terletak pada pundak sang ceh kul (ceh besar) atau ceh satu. Di samping itu, ada pula ceh
kedua dan ketiga. Masing-masing ditemani seorang ceh apit, pembantu atau teman.
Sementara itu, penunung atau pengiring duduk melingkar bersama para ceh. Mereka bertugas
mengiringi permainan dengan tepuk tangan (tepok) dan variasi gerak tubuh yang
serasi. Pengiring menggunakan bantal kecil (kampas) yang digunakan sebagai alas tepuk
tangan.
Tepok dengan media bantal tersebut berfungsi sebagai ritme bagi melodi dalam
kesenian ini. Di antara pengiring, ada satu atau dua orang yang berperan sebagai pemberi
arah, mengatur variasi gerak yang diperlukan bagi kekompakan anggota kelompok (kelop)
PERTUNJUKAN DAN PERTANDINGAN
Jika pada awalnya didong digunakan sebagai media dakwah dipertunjukkan pada
hari-hari besar agama Islam, kesenian ini kemudian menjadi bagian dari keramaian untuk
merayakan upacara-upacara adat, seperti perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen
raya, penyambutan tamu, dan sebagainya. Didong berkembang menjadi cara untuk
menghormati dan menghibur tamu.
Pertunjukan didong diadakan untuk hiburan umum dengan bantuan panitia. Panitia
mencari dana untuk membangun masjid atau sekolah, pertunjukannya akan diadakan
beberapa malam. Karcis dijual. Untuk menarik pembeli, acara menghadirkan kelompok-
kelompok didong terkenal.
Pagelaran didong diadakan di ruang luas, seperti di rumah panggung (umah
sara) ataupun di atas panggung di ruang terbuka. Pertandingan memakan waktu hampir
sepanjang malam dengan dua kelompok yang bertanding tampil bergantian. Tiap kelompok
diberi waktu 30 menit setiap pagelaran.
Kedua kelompok melakukan pagelaran bersama, sambil memberi kesempatan pada setiap ceh
kul untuk menggelar sajak permintaan maafnya atas sindiran atau cemoohan, yang tidak
dimaksudkan sebagai hinaan.
Pemenang ditetapkan oleh juri yang khusus ditunjuk untuk menghakimi pertandingan.
Juri juga bertugas sebagai pengatur jalannya pertandingan. Mereka terdiri atas tiga orang
yang dianggap ahli dalam kesenian didong serta dapat bersikap netral dan objektif.

PERKEMBANGAN DIDONG
Kesenian khas masyarakat Gayo ini melintasi batas tempatnya berasal. Pertunjukan
didong pernah diadakan di Banda Aceh, Medan, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.
Pada 1970, masyarakat Gayo Jakarta mengundang Kabinet Mude dan Winar Bujang, dua
kelompok yang paling dikenal di Gayo waktu itu, untuk menggelar pertunjukan di Jakarta.
Tampil bersama mereka artis Ecek Umang dan Abdullah Rauf (Aman Dahlan) dari Kabinet
Mude dan Bantacut dari Winar Bujang, juga Muhammad Basyir Lakkiki dari kelompok
Lakkiki.
Kehadiran artis didong di Jakarta ini selain menghibur orang Gayo di Ibu Kota, juga
berperan dalam mengenalkan bentuk kesenian tradisional dari Aceh ini kepada masyarakat
yang lebih luas. Selain itu, gema pertunjukan artis-artis terkenal ini pun bergaung di Gayo
sendiri, memberi kehormatan baru bagi didong yang hingga saat itu kurang dihargai.
Lima tahun kemudian, tahun 1975, masyarakat Gayo di Jakarta kembali
menyelenggarakan pertunjukan didong, tepatnya di Teater Taman Ismail Marzuki. Mereka
mendatangkan Ecek Bahim (Syeh Ibrahim) dan Banta dari Kabinet Baru, serta Daman dan
Dewantara. Ikut juga ceh Sahak dari Lakkiki, Ishak Ali dan Saleh dari Terunajaya. Sampai
saat ini, didong masih digemari. Masyarakat Gayo sangat menikmati saat berdidong.
Lestarinya kesenian ini tentu menjadi kabar yang sangat baik mengingat didong bukan
pertunjukan semata, tapi berperan juga dalam meneruskan dan mengangkat nilai-nilai
kehidupan masyarakat Gayo pada generasi penerus. Kesenian ini juga menjadi sarana
masyarakat Gayo untuk menyuarakan protes atau kritiknya terhadap permasalahan sosial.

Anda mungkin juga menyukai