Disusun oleh :
1. 211110011011037 – Heni Wardana
2. 211110011011044 – Melsa Karina
3. 211110011011045 - Jessica Valensya Angelicia Mandua
4. 211110011011058 – Geby Adila
5. 211110011011104 – Elma Listiana
Kelas : 01/ Pagi (Semester 2)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SAMARINDA
2022
1
ABSTRACT
Indonesia is a rich country of arts and cultures. Dayak culture is one example.
Dayak community has distinctive and unique of culture, from art, social system, to
belief system. Hudoq mask and dance are samples of the culture of East
Kalimantan Dayak community which are not decorative shapes and motifs only,
but also full of philosophical meaning and symbol of the community’s faith. The
results of this study are very important to record the progress of Dayak culture
from ancient to present time, as well as to preserve the high values of Dayak
community, as Indonesian people. This study can be used as materials in further
Indonesian culture studying and served as examples to the upcoming art design
world.
Keyword : art, East Kalimantan Timur Dayak, Hudoq mask
ABSTRAK
Indonesia adalah sebuah negeri dengan kekayaan seni dan budaya yang sangat
beragam, salah satunya seni budaya masyarakat Dayak, Kalimantan Timur.
Masyarakat Dayak memiliki seni dan budaya yang khas dan unik, dari seni, sistem
kemasyarakatan hingga sistem kepercayaan. Tarian dan topeng Hudoq adalah
salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Dayak Kalimantan Timur yang bukan
hanya sekadar hiasan bentuk dan motif saja, melainkan sarat dengan makna
filosofis dan perlambang dari keyakinan masyarakatnya. Hasil dari penelitian ini
sangat penting guna merekam perkembangan budaya masyarakat Dayak dari
zaman dahulu hingga sekarang, sekaligus dapat mempertahankan nilai-nilai luhur
masyarakat Dayak, sebagai masyarakat Indonesia seutuhnya. Kajian ini dapat
dijadikan bahan dalam mempelajari seni budaya Indonesia selanjutnya dan
dijadikan contoh dalam mendesain di dunia seni yang akan datang.
Kata kunci : seni, Kalimantan Timur Dayak, Topeng Hudoq
2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kabupaten Kutai Kartanegara Kecamatan Tenggarong sebagai daerah
toritorial Kalimantan Timur ini memeliki potensi kebudayaan yang sangat
beragam sesuai dengan etnografinya yang terdiri dari 3 suku besar, yaitu Suku
Dayak, Banjar dan suku Kutai. Suku Kutai mendiami wilayah perkotaan yang
hidup Bersama para pendatang dari Jawa, Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatra, dan
lain – lain. Suku Banjar yang mendiami wilayah laut dan pesisir serta Suku Dayak
yang mendiami wilayah pedalaman.
Salah satu sub suku Dayak yang tinggal di pedalaman kecamatan
Tenggarong adalah Suku Dayak Bahau yang mendiami kampung Loakulu.
Kehidupan masyarakat Suku Dayak Bahau berjalan dalam ritmenya sendiri dan
relative masih tidak terlalu tersentuh kehidupan dunia modern, masyarakat masih
mempergunakan perkakas kerja buatan sendiri seperti anjat (keranjang gendong
dari rotan). Berburu mengumpulkan hasil hutan, pertanian dengan sisstem
berpindah dan penggunaan ramuan berbahan alami adalah bagian dari kehidupan
yang terus berlangsung.
Masyarakat Suku Dayak Bahau memiliki keragaman budaya dan kesenian
yang dilatar belakangi oleh agama sengaji( agama kepercayaan Kaharingan).
Kehidupan yang berdasrkan pada tradisi masih yerus berlangsung , lengkap
dengan upacara adat dan tari – tarian dalam beberapa acara seperti menanam padi
(Manugal).
Salah satu tari yang hingga saat ini yang masih hidup dan berkembang di
masyarakat Suku Dayak Bahau adalah Tari Hudoq Manugal. Tari yang dalam
dialek masyarakat Suku Dayak Bahau disebut Hudoq Manugal ini ditampilkan
pada masa selesai menanam padi di lading. Upacara ini dilaksanakan sebagai
ungkapan rasa syukur, sebagai pengharapan dan perlindungan agar padi yang
sudah ditanam tidak diganggu oleh hama perusak tanaman padi dan agar hasilnya
melimpah ruah dan membawa kesejahteraan pada masyarakat.
Tari Hudoq diwariskan secara turun temurun sehingga masih masih
3
Filosofi hidup ini adalah sebuah hal yang mendasar, dan merasuk di semua sendi
kehidupan, seperti kesenian, perilaku, hubungan antarmanusia, ekonomi, dan hal
lainnya. Masyarakat Dayak Kalimantan Timur merupakan perwakilan masyarakat
Indonesia yang memiliki suatu sistem dan nilai-nilai luhur yang patut dikenal dan
dipertahankan, karena merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Salah satu
bentuk kebudayaan masyarakat Dayak Kalimantan Timur adalah tarian Hudoq
dan topeng Hudoq, yang mencerminkan kehidupan bermasyarakat dengan konsep
dualisme dan konsep tripartit-nya. Oleh karena itu, pembahasan kajian ini adalah
untuk mengupas makna yang terdapat dalam tarian Hudoq dan Topeng Hudoq.
Rumusan Masalah
Tarian dan topeng Hudoq adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat suku
Dayak yang kurang dipublikasikan dan dianalisis. Salah satu penyebabnya adalah
terpusatnya segala sesuatu di pulau Jawa, sehingga kurangnya perhatian di luar
pulau Jawa, seperti Kalimantan. Tarian dan topeng Hudoq ini perlu lebih didalami
karena dapat menguak filosofi hidup masayarakat Dayak yang sudah lama ada di
Indonesia, dan generasi mendatang dapat mengenal tradisi dan filosofi hidup
tradisional asli Indonesia melalui kesenian ini.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah, melalui kajian tarian Hudoq dan topeng Hudoq,
untuk merekam perkembangan budaya masyarakat Dayak dari zaman dulu hingga
sekarang, sekaligus mempertahankan nilai-nilai luhur masyarakat Dayak sebagai
masyarakat Indonesia seutuhnya. Kajian ini dapat dijadikan bahan dalam
mempelajari seni budaya Indonesia selanjutnya dan dijadikan contoh mendesain
didalam dunia seni yang akan datang.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah dengan melakukan studi terhadap
tarian Hudoq, dan mempelajari bentuk dan lukisan topeng Hudoq Kalimanatan
5
Timur, untuk mengetahui pentingnya tari dan topeng Hudoq sebagai bagian dari
seni dan budaya masyarakat Dayak, serta mengetahui sejauh mana pengaruh
konsep dualisme dan tripartit pada topeng Hudoq tersebut terhadap kehidupan di
dalam masyarakat Dayak Kalimantan Timur.
6
PEMBAHASAN
Tari Hudoq merupakan tarian yang berasal dari suku sub-etnis Dayak
provinsi Kalimantan Timur yang mencerminkan kehidupan masyarakat setempat
dengan konsep tripartrit dan dualismenya. Secara etimologi, kata “Hudoq”
memiliki makna “menjelma“. Maka dari itu para penari akan mengenakan topeng
burung yang melambangkan seolah-olah sedang menjelma menjadi burung. Tari
hudoq dimaksudkan untuk meminta doa, agar tanaman yang ditanam masyarakat
suku dayak dapat terhindar dari serangan hama sekaligus hasil panennya bisa
melimpah. Orang suku dayak percaya, setiap gerakan tari hudoq memiliki
kekuatan magis yang bisa mempengaruhi kesuburan tanah dan produksi tanaman
mereka.
Sedangkan menurut masyarakat setempat (orang Busang, Bahau, Modang,
Penihing dan Ao’heng), kata “hudoq” mengacu pada 13 hama yang sering
merusak tanamanan sawah dan ladang seperti gagak, tikus, belalang dan lain
sebagainya.
Konon suku Dayak percaya bahwa saat musim tanam tiba, roh para
leluhunya (Jeliwan Tok Hudoq) akan turun berada di sekeliling mereka untuk
mengawasi dan membimbing anak cucunya. Adapun gerakannya dipercaya turun
langsung dari kayangan di alam nirwana.
Namun karena wujud mereka yang menyeramkan maka diperintahkan
untuk mengenakan kostum samaran menjadi setengah burung. Dari kisah itulah
nama Hudoq sudah sangat melekat di suku Dayak Modang dan Bahau yang mana
tarian ini sangat erat hubungannya dengan upacara adat setempat.
Tari Hudoq adalah sebuah tarian topeng, yang dimiliki oleh Suku Dayak
Bahau, yang diadakan pada waktu pesta menabur (tanam padi). Beberapa penari
menggambarkan roh-roh dan nenek moyang, yang pada musim menabur
membawa jiwa padi, agar padi menjadi baik kuat tangkainya dan penuh butirnya
sehingga menghasilkan padi yang melimpah. Hudoq adalah sebuah nama yang
7
diberikan kepada salah seorang penguasa yaitu Taman Oi, kepada pembantunya
yang khusus mengurus kegiatan-kegiatan adat bagi manusia di bumi yang disebut
Hudoq.
Didalam pelaksanaan upacara adat sesudah menugal atau menanam padi
yang menggunakan topeng hudoq merupakan suatu tari penjelmaan berupa jenis
hewan dan ada pula yang berbentuk manusia. Masyarakat Dayak Bahau percaya
bahwa lewat gerak- gerak yang ditarikan oleh penari hudoq akan mempengaruhi
alam dan menimbulkan suatu kesuburan bagi masyarakat yang mengadakan
upacara adat tersebut. Adat yang dilaksanakan tersebut disebut “Pesta Hudoq”
atau adat “Laliiq Ugal” (Usman Achmad BA, dkk. 1995: 20).
Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam pesta Hudoq ada delapan jenis hudoq
dan kedelapan jenis atau macam tersebut memiliki tugas masing-masing seperti:
1. Hudoq Uling berbentuk atau menyerupai muka manusia dengan bibir
tebal dan miring keatas serta seakan-akan sedang berbicara dan bermata
juling. Tugasnya sebagai pengacara, kepala atau tetua rombongan yang
mengatur kegiatan para Hudoq selama dalam perjalanan turun ke bumi.
2. Hudoq Urug Tingang adalah hudoq menyerupai burung enggang
dengan bentuk hidung yang panjang. Hudoq Urug Tingang
merupakan penjelmaan roh halus yang bersifat perkasa dan bijaksana, yang
tugasnya sebagai pembantu dan pengawal Hudoq Uling.
3. Hudoq Urung Bavui menyerupai mulut dan muka babi yang merupakan
penjelmaan roh halus berbentuk hewan perusak tanaman. Tugasnya
juga sebagai pengawal.
4. Hudoq Urung Hooq Waang dilukiskan berbentuk hidung anjing dan
ditambah dengan ukiran magaaq atau naga dengan tugas sebagai ajudan
ketua hudoq (Hudoq Uling).
5. Hudoq Urung Magaaq adalah hudoq yang digambarkan dengan bentuk
kepala naga dengan banyak ukir-ukiran sehingga terlihat sangat bagus
tetapi mengerikan. Hudoq ini merupakan Raja dari sekian hudoq yang
turun ke bumi yang tergabung di dalam rombongan hudoq lainnya.
6. Hudoq Urung Inang Berang menggambarkan roman muka roh halus
8
Saat ini kesenian tari dayak tersebut sudah dipentaskan dalam beberapa
acara besar. Termasuk perhelatan pembukaan Asian Games 2018 beberapa waktu
lalu.
Makna dan Fungsi
Tari Hudoq memiliki makna atau simbol sebagian tarian upacara adat
untuk memohon pada Tuhan supaya hasil panen menjadi lebih berlimpah dan
bulirnya menjadi berlipat-lipat sehingga bisa membawa kemakmuran bagi warga
suku Dayak. Secara umum terdapat tiga jenis tari pada sebuah pertunjukan, yaitu :
1. Tari Hudoq berfungsi sebagai tari upacara untuk menghadirkan
kekuatan serta pengaruh alam yang merupakan tradisi sebagai sarana
komunikasi kepada roh–roh gaib. Fungsi tari Hudoq sangat berkaitan
dengan komunikasi yang berhubungan dengan alam gaib yaitu untuk
memanggil roh-roh baik dan mengusir roh-roh jahat lewat penari
Hudoq yang menggunakan topeng – topeng yang menggambarkan
ekspresi tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakat
Dayak. Tokoh topeng Tong Gaep berperan sebagai pemimpin dan
penghubung pihak Hudoq dengan manusia yang diwakilkan oleh kepala
adat dan kepercayaan Dayak Ga’ay pada musim panen. Pertunjukan tari
Hudoq pada upacara panen padi penikmatnya adalah para penguasa
dunia atas (Sang Pencipta dan roh-roh ghaib) serta dunia bawah (warga
dasar sungai).
2. Sebagai sarana pengungkap rasa syukur.
Tari Hudoq erat kaitannya dengan upacara panen. Rasa syukur atas
perlindungan pada tanaman saat mulai menanam hingga menuai hasil
panen yang melimpah tahun ini serta dijauhkan dari segala macam
hama perusak tanaman. Rasa syukur itu diwujudkan dengan
mengadakan pesta yang diadakan selama beberapa hari dengan
mengundang tetangga dan warga kampung lain untuk bersama sama
menikmati berkah hasil panen tahun ini. Selain itu rasa syukur juga
berkaitan dengan kebersihan kampung dan kedamaian seluruh warga.
10
pisang.
Kudung, orang tua serta masyarakat di kampung tersebut. Beberapa ritual adat
yang dilakukan antara lain membersihkan benda – benda pusaka yang terdapat di
rumah adat, memberi persembahan kepada pusaka dengan darah ayam atau babi
jantan dan membuat sesaji yang akan dihanyutkan di sungai dan juga
menghadirkan tari Hudoq. Kegiatan membersihkan benda – benda pusaka ini
hanya boleh dilakukan oleh orang tua atau sesepuh adat yang sebelumnya telah
mendapat kepercayaan. Dilanjutkan dengan member persembahan kepada alat
pusaka dengan darah ayam atau babi jantan, upacara ini dilakukan dari subuh
hingga malam hari dan orang yang melaksanakannya tidak boleh makan atau
minum ketika melaksanakan kewajibannya tersebut. Jika ritual ini tidak
dilaksanakan dengan baik dan benar maka akan ada sangsi yang harus ditanggung
(wawancara dengan H. Jiang Dom, 21-8-2014).
Bagian – bagian terkecil ritual perlu mendapatkan perhatian peneliti,
tingkah laku ritual yang bersifat khusus seperti sesaji ataupun mantra, karena
bagian dari ritual tersebut menyimpan suatu makna (Turner dalam Endraswara,
2003:172). Sesaji diberi sebagai bentuk komunikasi dan wujud permohonan
kepada roh leluhur. Merupakan hal yang wajar dan menjadi kewajiban bagi
mereka melaksanakannya agar permohonan tersebut dapat dikabulkan. Sesaji
yang di buat selanjutnya dihanyutkan ke sungai, adapun sesaji tersebut terdiri
dari : patung laki – laki dan perempuan, ayam dan satu pucuk padi. Makna dari
sesajen yaitu satu pucuk padi adalah perlambangan kehidupan manusia yang dapat
bertahan hidup dari padi, padi memberikan banyak manfaat dan keuntungan bagi
kehidupan manusia. Beras dari padi berfungsi sebagai penolak bala dari pengaruh
– pengaruh jahat, dengan kata lain beras sebagai sarana keselamatan bagi
masyarakat pendudukung upacara tersebut. Patung laki – laki dan perempuan
adalah perlambangan dari manusia yang mengharapkan perlindungan dan bantuan
dari sang Pencipta dan juga roh leluhur. Manusia yang berpasangan ini begitu
lemah dan tidak mampu melampaui kuasa sang Pencipta. Satu ekor ayam
dikorbankan sebagai bagian penghormatan (persembahan) kepada roh agar mau
membantu hidup manusia. Ayam merupakan perantara keinginan manusia dalam
hal ini masyarakat Dayak Ga’ay mengharapkan bantuan sang Pencipta dan roh
14
leluhur pada usaha ladang dan keselamatan warga kampung (wawancara dengan
Bapak Lucas Tengah, 21-8-2014). Pada saat manusia menghidangkan sesaji,
menurut Robertson Smith (Koentjaraningrat, 1990:68) memiliki fungsi sebagai
aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas dengan para dewa. Dewa dianggap
sebagai komunitas istimewa. Hal ini ditegaskan oleh Preusz bahwa pusat dari
religi dan kepercayaan adalah ritus atau upacara. Menurutnya, upacara religi akan
bersifat kosong, tak bermakna, apabila tingkah laku manusia di dalamnya di
dasarkan pada akal rasional dan logika, tetapi secara naluri manusia memiliki
emosi mistikal yang mendorongnya untuk berbakti kepada kekuatan tertinggi
yang menurutnya tampat konkret di sekitarnya, dalam keteraturan dari alam, serta
proses pergantian musim, dan kedahsyatan alam dalam hubungannya dengan
hidup dan maut (Endraswara, 2003:166). Perayaan ini dilaksanakan selama dua
minggu, sebelum acara puncak dimeriahkan dengan berbagai lomba. Perlombaan
ini diikuti oleh seluruh masyarakat sekitar. Acara yang paling ditunggu adalah
memasak lemang. Lemang meupakan ketan yang dicampurkan dengan santan
kelapa dimasukkan ke dalam bambu dan dimasak dengan cara di bakar di bara
api. Kegiatan ini dilaksanakan sebelum puncak acara dengan tujuan untuk
mengikat solidaritas masyarakat yang mempersiapkan keperluan membuat lemang
ini bersama – sama. Makanan khas Dayak Ga’ay ini menjadi bekal dan oleh –
oleh yang dibawa pengunjung yang datang pada perayaan ini. Makna ketan yang
dimasak dalam bambu itu menggambarkan bahwa bambu sebagai dunia yang
bersih, hal ini karena para roh yang datang dalam keadaan bersih. Acara
selanjutnya ditampilkan atraksi panjat piruai, yaitu pengambilan madu di pohon
yang tinggi dengan cara berjalan diseutas rotan dari satu pohon ke pohon lainnya
untuk mencapai sarang lebah. Atraksi yang dilakukan pemuda dayak Ga’ay ini
juga selalu ditampilkan disetiap perayaan Bekudung Betiung. Pada saat upacara
Bekudung Betiung berlangsung semua pelaku adat harus menggunakan pakaian
tradisional lengkap dengan perhiasan, topi, dan mandau.
15
Gambar 1
Tari Hudoq ini memiliki gerkan unik yang lebih didominasi oleh gerakan
kaki dan tangan. Sedangkan badan para penari akan tetap tegak sambil berputar
pelan disetiap langkah yang dilakukan.
Secara lebih detail, gerakannya seperti berikut :
1. Gerakan kaki
Untuk gerakan kaki cukup simpel, penari akan menekuk lututnya
secara perlahan, kemudian melakukan gerakan meompat setinggi 30
cm, kemudian kaki menghentak lagi ke bawah sehingga menghasilkan
suara. Ketika mengambil langkah kedepan, kaki akan terangkat
menyilang sehingga badan penari akan mengayun ke kiri dan ke
kanan.
2. Gerakan kepala
Untuk gerakan kepala cukup dilakukan secara teratur yaitu seperti
mengangguk-angguk. Namun apabila pebari menggunkan topeng yang
mulutnya bisa terbuka dan menutup biasanya akan menambah suara
saat pementasaan.
3. Gerakan tangan
Tangan para penari biasanya akan melakukan tepukan ke paha
16
Gambar 2
Gambar 3 Gambar 4
Dalam acara upacara ritual tari Hudoq biasanya akan di iringi oleh alat
musik berupa :
1. Gong
2. Tabung
Jadi alat musik tersebut seperti gendang kecil yang bisa digenggam dan
dilapisi kulit pada salah satu sisinya yang diikat dengan rotan secara kuat. Mereka
akan menyuarakan iringan lagu tradisional khas Dayak dengan menggunakan alat
musik tersebut secara perlahan.
Gambar 5
Topeng dalam berbagai corak dan karakter yang menggambarkan kehadiran
tokoh dewa yang berasal dari sungai, gunung, maupun hutan belantara yang
berpengaruh dalam berbagai aspek kepercayaan tradisi mereka.
Gambar 6
Sementara seluruh badan para penari Hudoq akan ditutupi oleh kostum yang
terbuat dari kulit pohon dan dihiasi oleh rumbai daun pisang, tapi ada pula yang
menggunakan daun kelapa.
19
Gambar 7
Busana tersebut lengkap dengan topi berbulu, tongkat kayu yang dipegang
penari di tangan kanan serta biasanya bentuk topeng masing-masing penari itu
berbeda.
Gambar 8
Indonesia dianugerahi oleh keanekaragaman etnis dan suku yang tersebar dari
Sabang hingga Merauke. Meski sudah tergerus modernisasi, sebagian besar suku
di nusantara masih memegang teguh adat istiadat serta kebudayaannya. Salah
satunya adalah suku dayak di pulau Kalimantan. Suku dayak terkenal akan
keunikan tradisinya. Umumnya, baik kesenian ataupun budayanya tidak bisa
dilepaskan dari harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam, roh leluhur,
dan sebagainya. Contohnya seperti upacara adat hudoq, tari dayak yang
merupakan bentuk ucapan syukur atas melimpahnya hasil panen.
Kalimantan Timur yang mempunyai luas 211.440 Km, yang terdiri dari
berbagai suku bangsa seperti suku Kutai, suku Banjar, suku Bugis, suku Jawa,
suku Madura, suku Dayak dan lain-lainnya, menyebabkan keanekaragaman
budaya Benoa Etam pada umumnya dan daerah Sendawar pada khususnya.
Sendawar merupakan salah satu ibu kota daerah tingkat dua yang ada di
Benoa Etam yaitu ibu kota daerah kabupaten Kutai barat. Pembagian suku bangsa
21
yang berdiam di daerah kabupaten Kutai barat dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu (1) suku Halok yang terdiri atas suku Kutai, suku Banjar, suku Bugis, suku
Jawa, Madura dan suku lainnya yang jumlahnya tidak seberapa banyak , (2) Suku
Dayak yang terdiri atas beberapa sub suku seperti suku Dayak Tunjung, Dayak
Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Benoaq, Dayak Punan, dan sebagainya. Pada
umumnya suku bangsa Dayak yang ada di Kalimantan Timur tinggal di daerah
pedalaman dan sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Di daerah Kabupaten Kutai
Barat misalnya, suku bangsa Dayak ini tinggal di daerah pedalaman, sperti
Sekolaq Joleq, Eheng, Engkuni, Benung, Mencimai, Damai, Bigung, Melapeh,
Tering, Besiq, Data Bilang, dan sebagainya. Mereka ini kebanyakan bertempat
tinggal di desa-desa di pinggir sungai dekat dengan hutan. Mata pencarian
pokoknya adalah berladang, baik menetap maupun berpindah, mengambil hasil
hutan seperti rotan, getah damar, jelutung dan karet, serta menganyam rotan dan
kulit kayu, daun pandan, atau membuat kerajinan tenun dari serat, manik-manik,
dan sebagainya.
Dalam paper ini akan dibahas tentang tari hudoq sebagai salah satu
kesenian tradisional yang dimiliki suku Dayak Bahau di desa Tering Baru
Kecamatan Long Iram Kabupaten Daerah Tingkat II Kutai Barat dan bagaimana
konstruksi identitas ke- Dayakannya. Suku Dayak Bahau sebagaimana suku
Dayak lainnya terdiri dari beberapa anak suku (sub suku) dengan bahasa tersendiri
seperti: Bahau, Modang, Penihing, Bukat dan lain-lain, dengan bahasa Busang
sebagai bahasa persatuannya. Untuk kegiatan upacara adat yang erat hubungannya
dengan unsur kepercayaan yang bersifat sakral sangat ditunjang oleh
kelengkapan-kelengkapan adat seperti pembuatan patung baik yang berbentuk
manusia ataupun bentuk hewan (naga, anjing, dan lain-lain) juga bentuk topeng
seperti Topeng Hudoq, tariannya dikenal dengan Tari Hudoq.
Sebagaimana Dayak lainnya, Dayak Bahau memiliki kepercayaan yang
secara turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi, hingga sekarang masih
terlihat dan dilaksanakan oleh mereka. Walaupun mereka sudah menganut agama
seperti Agama Kristen Protestan dan Katolik, kepercayaan lama yang mengakui
adanya Sang Pencipta atau yang Maha Kuasa dengan sebutan lain tetap
22
praktisnya.
Adapun bagian-bagian kostum dan property yang digunakan dalam tari
hudoq menurut Hasan Basri dkk ( 2000: 24) adalah:
1. Tepuloq (digunakan dikepala sebelum menggunakan topeng,
2. Hudoq Kayo (topeng),
3. Tutur (kostum pembungkus tubuh, terbuat dari daun atau tali rapia),
4. Mandau (perlengkapan dipinggang),
5. Tagin (diikat di pinggang sebelum mandau), dan
6. Tenayung (diletakan didada bagian depan dan bagian belakang).
Pesta budaya (Tari Hudoq) yang diadakan setiap tahun jelas bukan semata-
mata seremonial, tetapi mengandung arti yang dalam tentang hakekat manusia di
dunia sebagai ciptaan yang patut bersyukur kepada Tuhan. Budaya ini merupakan
ungkapan rasa syukur yang lebih bersifat eskatologis akan masa yang akan datang
(Nico Andasputra dalam Juweng, 1993: 99).
Dilihat dari siklus kehidupan masyarakat Dayak pada umumnya yang
berpusat pada perladangan, yang merupakan produk budaya pertanian masyarakat
di pedalaman, seperti yang dijelaskan oleh Andasputra (1993), pesta budaya
menabur benih yang juga disebut pesta Hudoq pun sangat penting bagi identitas
budaya Dayak (Dayak Bahau).
Selain berhubungan dengan siklus kehidupan seperti halnya pesta budaya
Dayak umumnya, pesta Hudoq juga berhubungan dengan pengalaman
supranatural para warga masyarakat yang bersangkutan, yang menghasilkan
dimensi magis-religius pada setiap pesta. Di samping dimensi magis-religius juga
mengandung dimensi sosial , ini terlihat
dari perujudan teguhnya ikatan komunitas pada masyarakat tersebut. Pesta Hudoq
menuntut keterlibatan nyata setiap warga komunitas dan warga sangat yakin
bahwa pesta hudoq yang diselenggarakannya sesuai dengan tuntutan adat yang
akan mendatangkan kemakmuran bagi seluruh warga. Keterlibatan itu bermacam-
macam tingkatannya, mulai dari sekedar sebagai pekerja, penari topeng, penabuh
musik sampai pada keterlibatan yang bersifat sakral seperti yang diperankan oleh
seorang tetua adat atau dukun. Dimensi sosial ini nampak juga dalam sifat massal
25
dan demokratisnya penyelenggaraan pesta. Hal ini sesuai dengan pesta rakyat
yang diselenggarakan Suku Dayak umumnya, serta dimensi sosial ini
mencerminkan identitas budaya dari suku bangsa yang bersangkutan (Paulus
Florus dalam Juweng dan Krenak, 1993: 94).
Honigmann (dalam Koentyaraningrat, 1979: 200-201) menyatakan bahwa
kebudayaan sebagai totalitas dari idea, sosial, dan material. Sehingga seluruh
kegiatan manusia dapat disebutkan sebagai kebudayaan. Sedangkan
Koentyaraningrat (dalam Usman Pelly dan Asih Menanti, 1994:24) menjelaskan
bahwa ada 7 unsur kebudayaan yang bersifat universal. Dari ketujuh unsur
kebudayaan tersebut salah satunya adalah Kesenian. Artinya kesenian merupakan
kebudayaan karena kesenian adalah hasil dari cipta, karya dan karsa manusia.
Tari Hudoq merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia sebagai salah
satu bagian kesenian tradisional juga merupakan kebudayaan yang dimiliki oleh
Dayak Bahau. Seperti yang telah dijelaskan terdahulu bahwa tari hudoq memiliki
dua makna bagi masyarakat pendukungnya yaitu dilihat dari segi adat dan upacara
yang berkaitan dengan unsur kepercayaan, dan dilihat dari segi seni tradisional
yang di dalamnya terdapat unsur tari dan musik tradisional.
Makna pertama mencerminkan bahwa Dayak Bahau sejak dahulu sudah
percaya dengan kekuatan-kekuatan supranatural, yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan manusia. Sehingga setiap kali akan melakukan sesuatu
aktivitas seperti berladang senantiasa masyarakat melakukan upacara ritual baik
yang bertujuan untuk memohon keselamatan, kemakmuran dan juga sebagai rasa
syukur atas berkah yang dilimpahkan oleh sang Pencipta. Hal ini sesuai dengan
pandangan Parson tentang kebudayaan yang menyatakan bahwa kebudayaan
sebagai suatu sistem menyeluruh yang terdiri atas pemberian arti terhadap laku
ujaran dan laku ritual. Unsur terkecil dari sitem ini disebut sistem budaya,
sehingga kebudayaan dapat juga disebut dengan suatu sistem simbol (dalam
Bachtiar,1982).
Sedangkan makna kedua tidak bisa terlepas dari makna pertama yaitu
untuk kegiatan upacara adat yang berkaitan dengan kepercayaan yang bersifat
sakral sangat ditunjang oleh kelengkapan-kelengkapan adat seperti pembuatan
26
patung baik berbentuk manusia, hewan dan juga bentuk topeng serta kata-kata dan
gerak fisik. Artinya masyarakat Dayak Bahau untuk memuja kekuatan-kekuatan
yang diyakini ada, memakai simbo-simbol, seperti patung, topeng dengan motif
ukiran khas yang dimiliki Suku Dayak Bahau. Cassirer (1975) menjelaskan bahwa
manusia sebagai animal symbolicum yang pada dasarnya memiliki system
reseptor tertentu sesuai dengan struktur anatomisnya. Di samping itu, juga
memiliki sistem efektor sebagai tempat dikeluarkannya berbagai reaksi terhadap
rangsangan yang berasal dari luar. Kedua sistem ini mewujudkan jalinan
fungsional, dan di antara sistem reseptor dan sistem efektor pada manusia terdapat
sistem simbolik. Inilah yang menyebabkan kehidupan manusia berbeda dengan
kehidupan binatang. Manusia hidup dalam matra kenyataan baru, tidak saja dalam
kenyataan fisik, tetapi juga dalam universum simbolik. Mitos, Bahasa, relegi, ilmu
pengetahuan dan seni merupakan bagian dari universum tersebut.
Tari Hudoq sebagai kesenian tradisional yang memiliki dua makna bagi
masyarakat Dayak Bahau yang telah dijelaskan terdahulu sangat mempengaruhi
terbentuknya identitas budaya. Seperti apa yang dikatakan oleh seorang tokoh
masyarakat dan intelektual Dayak Bahau bahwa sistem perladangan berpindah
merupakan produk budaya pertanian masyarakat Dayak di pedalaman, maka
makna tari hudoq dalam upacara Laliq Ugal sangat penting bagi identitas budaya
Dayak Bahau. Artinya tari hudoq adalah salah satu identitas Dayak Bahau, selain
identitas umum yang mengkategorikan suatu etnis seperti asal usul, bahasa
daerah, adat istiadat, hubungan geneologis (Barth, 1988).
Di samping itu konstruksi identitas Dayak Bahau juga tidak terlepas dari
pengakuan atau konstruk masyarakat umum yang ada di Samarinda. Dari hasil
wawancara mereka mengakui bahwa tari Hudoq merupakan seni tradisional yang
dimiliki oleh Suku Dayak Bahau yang masih dipertahankan keberadaannya oleh
masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu tari Hudoq ikut andil dalam proses
pembentukan identitas Dayak (Bahau).
Dari hasil wawancara dengan beberapa sumber tentang tanggapannya
terhadap tari hudoq cukup bervariasi. Nanang (bukan nama asli) salah seorang
seniman asal Jawa menjelaskan bahwa tari hudoq sangat unik dan khas dan
27
memiliki nilai seni cukup tinggi sehingga perlu dilestarikan dan dikembangkan,
disamping karena semakin langkanya penari maupun pembuat topengnya. Di desa
Tering Baru penarinya orang tua-tua dan anak-anak mudanya jarang mau menari,
begitu pula seniman topengnya hanya ada satu
orang yang sudah tua. Melihat kenyataan tersebut, tari hudoq cukup mendapat
perhatian dari para seniman dengan berbagai latar belakang etnis (Jawa, Banjar,
Kutai dan lain-lainnya) yang ada di Samarinda. Hal ini terlihat dengan sering
dipentaskannya tari hudoq dalam setiap kesempatan, maksudnya adalah untuk
dikenal dan dilestarikan
Lebih jauh dijelaskan bahwa tari hudoq mengandung tiga unsur seni yaitu
seni tari, seni musik, dan seni rupa yang membuat para seniman tari berupaya
untuk dapat meningkatkan kreativitas penyajian, agar tari hudoq dapat diterima
dan dilestarikan oleh generasi muda guna mempererat rasa persaudaraan dan
persatuan. Karena dengan mengenal, mempelajari dan mengakui kebudayaan
orang lain akan terjadi kerukunan antar etnis.
Sedangkan masyarakat umum menyambut baik dengan dihadirkannya tari
hudoq pada tiap kesempatan. Menurut Udin (bukan nama asli) asal Sulawesi, ia
merasa sangat senang bisa menonton tari hudoq yang merupakan tari tradisional
suku Dayak, tidak hanya mendengar cerita-cerita saja. Tari hudoq tersebut perlu
dilestarikan sebagai warisan budaya yang khas yang dimiliki suku Dayak (Bahau).
Sementara Winaya (bukan nama asli) asal Bali menjelaskan kehadiran tari hudoq
yang begitu unik, membuat masyarakat ingin mengetahui bentuk penyajian tari
hudoq. Memang diakuinya bahwa apa yang ditampilkan dalam tari hudoq tersebut
sebatas tarian saja, sederhana.. Berbeda dengan tari hudoq pada upacara Laliq
Ugal yang begitu sakral, mengandung unsur magis yang berhubungan dengan
kepercayaan dan adat masyarakat, tujuannya untuk mencari hubungan antara
manusia, dewa-dewa dan mahluk halus yang mendiami alam gaib. Oleh karena itu
pelaksanaan upacara Laliq Ugal, tari hudoq selalu menjadi bagian yang tidak
dapat dipisahkan. Lebih jauh dijelaskan bahwa topeng-topeng yang dipakai
dalam tari hudoq menggambarkan para pemahat dan pengukirnya memiliki
tangan-tangan terampil, bakat-bakat dan kemampuan yang tinggi. Sehingga tidak
28
setiap orang dayak (Bahau) bisa membuat topeng dengan segala motif ukirannya.
Sejalan dengan Winaya, Rudi asal Jawa menambahkan tari hudoq sebagai simbol
kehidupan bermasyarakat dengan mencermati fungsi masing-masing topeng
hudoq tersebut.
Dari tanggapan-tanggapan tersebut tentang tari hudoq mencerminkan
adanya pengakuan terhadap tari hudoq sebagai kesenian tradisional yang unik dan
khas yang hanya dimiliki Suku Dayak (Bahau). Meskipun bentuk penyajian, isi
dan fungsi tari hudoq mengalami pergeseran, tetapi tari tersebut tetap
diinterpretasikan kembali sebagai elemen penting dari identitas Dayak (Bahau).
29
PENUTUP
Kesimpulan
Saran
Daftar Pustaka
Achmad, Usman. Dkk. (1995) Seni Pahat Patung dan Topeng Hudoq. Samarinda:
Depdikbud Kantor Wilayah Propensi Kalimantan Timur, Bagian Proyek
Pembinaan Permusiuman, Kalimantan Timur
Bachtiar, Harsja W. (1973) “The Religion of Java: A Commentary Review” dalam
Majalah Ilmu-Ilmu Satra, 5, Jakarta: hal 85-118
Barth, Fredrik (1969) Ethnic Group and Boundaries. Boston: Little, Brown and
Company
Basri, Hasan. Dkk. (2000) Deskripsi Tari Hudoq. Samarinda: Kantor Wilayah
Depdiknas Kalimantan Timur
Cassirer, E. (1975) An Essay on Man. New Haven and London: Yale University
Press
Cerita Rakyat Nusantar, (19 Oktober 2010). Cerita Rakyat Sumber Inspirasi
berbagai Tari Topeng Nusantara. Dimabil dari
http://ceritarakyatnusantara .com/id/news/101-Cerita-Rakyat-Sumber-
Inspirasi-Berbagai-Tari-Topeng-Nusantara
Djuweng, Stepanus dan Wolas Krenek (1993) Manusia Dayak: Orang Kecil Yang
Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institute of Dayakologi
Research And Development
Pelly, Usman dan Asih Menanti (1994) Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta:
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
https://123dok.com/article/bentuk-penyajian-tari-hudoq-hasil-
pembahasan.zw5o950z