NIM: 15/383844/SA/17951
Setelah Ruth Benedict muncul pula seorang antropolog wanita yaitu M.E. Opler
yang mengembangkan konsep lain mengenai etos kebudayaan yang masih berdasar
pada buku Ruth Benedict. Opler juga mengusulkan konsep baru untuk memperbaiki
konsep Pattern Ruth Benedict. Muncul juga seorang ahli antropologi wanita Margaret
Lantis, yang mengembangkan metode analisis etos kebudayaan menggunakan metode
folklore dan karya seni. Selain itu juga ada E.A Hoebel mengembangkan metode etos
kebudayaan.
Bahasan selanjutnya yaitu bab Empat mengenai kebudayaan folk, komuniti kecil,
jaringan kerabat dan jaringan sosial. Kebudayaan folk menurut Redfield dianggap berada
dalam masyarakat petani pedesaan pada umumnya (yaitu peasant society), tetapi juga
penduduk kota yang bersifat rakyat umum, yaitu penduduk yang tidak termasuk dalam
“golongan elit”, atau yang berkedudukan tinggi (Koentjaraningrat, 2015:137). Namun
Redfield masih mencoba melakukan penelitian pada penduduk berkebudayaan Maya
untuk mencapai pengertian folk secara lebih jelas. Redfield kemudian merumuskan
konsep folk dalam empat tipe komuniti, yaitu kota (city), kota kecil (town), desa petani
(peasant village) dan desa terisolasi (tribal village).
Bagi Redfield, kebudayaan folk dapat diteliti dengan baik dalam suatu masyarakat
komuniti kecil (little community). Banyak contoh penelitian komuniti kecil yang dituliskan
dalam buku ini. Yang kemudian oleh Redfield penelitian-penelitian tersebut ditinjau lebih
dalam lagi sehingga di ambil kesimpulan mengenai empat sifat yang menjadi latar
belakang dari komuniti kecil yaitu: Pertama distinctiveness, yakni mempunyai identitas
khas; Kedua, smallness, yakni terdiri dari jumlah penduduk yang terbatas sehingga masih
saling kenal; Ketiga yaitu homogeneity, yakni bersifat seragam dengan diferensiasi
terbatas; dan yang terakhir adalah all-providing self-sufficiency, yakni kebutuhan hidup
penduduknya sangat terbatas sehingga bisa dipenuhi sendiri tanpa tergantung dari pasar
luar. Dari keempat sifat diatas, Redfield membuat perbedaan antara dua tipe komuniti
kecil yaitu komuniti terisolasi dan komuniti kecil.
Konsep analisis jaringan sosial dalal ilmu antropologi dikembangkan oleh J.A.
Barnes dimana peneliti hendaknya mendeskripsikan hubungan-hubungan interaksi antar
individu. Pendekatan demikian sangat cocok untuk menganalisa masalah lapisan sosial,
terutama lapisan sosial yang tidak tradisional, tidak resmi dan tidak ketat. Selain untuk
mengkaji system kekerabatan, metode analisis jaringan juga diterapkan dalam penelitian
antropologi dan sosiologi terhadap satuan-satuan sosial di kota-kota dan politik di dalam
desa. Barnes kembali mencetuskan konsepsinya ia memperbaikinya dengan suatu
bagan yang diambilnya dari graph teory, dalam ilmu pasti. Ia juga memperbaiki definisinya
mengenai total social network dengan rumus baru. Selain itu juga mengajukan konsep
partial social network, atau jaringan sosial terbatas. Upaya untuk menerapkan metode
analisis jaringan sosial pada semua interaksi sosial dimulai oleh A.W. Wolfe. Ia
mengusulkan sejumlah istilah yaitu unlimited social network dan limited social network.
Masalah batas jaringan atau set jaringan dikembangkan oleh para ahli antropologi
dan sosiologi, mereka menerima bahwa jaringan dan set sosial itu bisa mempunyai bats,
tetapi bisa juga tidak. Hal yang memberi batas tersebut ada tiga yaitu: adat isti-adat atau
hukum, waktu, dan tempat. Dalam penutup bab keempat ini, Koentjaraningrat memberi
suatu uraian mengenai konsep-konsep folk, komuniti, komuniti kecil, komuniti pertanian,
jaringan sosial dalam rangka konsep masyarakat pada umumnya.
Perjalanan panjang antropologi menjadi sebuah ilmu bisa dikatakan berhasil. Ahli-
ahli antropologi telah berjuang keras secara kreatif dengan memikirkan hal-hal baru
kemudian meneliti dan mendapatkan sebuah gagasan kemudian memaparkan dan
menyampaikan gagasannya demi untuk mengembangkan ilmu ini. Dengan adanya
gagasan-gagasan itu maka pembahasan masalah-masalah yang ada semakin
berkembang. Gagasan para ahli yang ternyata tidak cukup hanya dari satu sudut pandang
ilmu antropologi. Tetapi juga dari sudut pandang studi ilmu lain. Sehingga membuat ilmu
antropologi memiliki banyak cabang ataupun spesialisasi. Peran ilmu antropologi yang
bukan hanya sebagai ilmu tetapi juga ilmu terapan yang mampu membantu mengatasi
masalah-masalah. Khususnya masalah masyarakat.
Referensi dari buku sejarah Teori antropologi ini begitu banyak. Terhitung untuk
menuliskan bibiliografinya saja menghabiskan 32 halaman. Bisa dibayangkan berapa
ratus buku yang telah ia baca. Bahkan seumur hidup saya selama ini dalam membaca
buku mugkin belum mencapai angka-angka seperti Koentjaraningrat. Koentjaraningrat
juga menyampaikan analisisnya yang tajam mengenai berbagai referensi tersebut dalam
buku ini. Selain itu, buku ini juga disertai index yang tentunya akan lebih membantu
pembaca. Seperti halnya buku sejarag antropologi jilid satu yang di lengkapi dengan
sketsa wajah para ahli antropologi, di jilid Dua ini juga sama. Sehingga saya tidak hanya
mengenal nama mereka tetapi juga mengenal wajah mereka tanpa perlu searching di
internet.
Sistematikan penulisan pada buku ini lebih baik dibandingkan dengan yag jilid
satu. Namun untuk bahasa pada jilid satu lebih kompleks. Dan mungkin akan lebih
menarik lagi, jika diberikan tambahan contoh penelitian etnografi yang lebih mutaakhir.
Yang kira-kira lebih mendekati penulisan buku ini yaitu tahun 1990.
Terimakasih prof Koen dengan adanya buku ini, membuat wawasan saya sebagai
mahasiswa antropologi bertambah, ilmu pengetahuan yang anda miliki yang
tersampaikan dalam buku ini sangat membantu saya. Semoga ilmu pengetahuan yang
anda sumbangkan melalui buku-buku karya anda bisa selalu bermanfaat hingga akhir
zaman.
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat.
1990. Sejarah Teori Antropologi. Jilid I. Jakarta: UI Press.
2015. Sejarah Teori Antropologi. Jilid II. Jakarta: UI Press.