Anda di halaman 1dari 14

REVIEW BUKU

SEJARAH TEORI ANTROPOLOGI


JILID II
Karya Koentjaraningrat

NAMA: HALIMATUS SA’DIYAH

NIM: 15/383844/SA/17951

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI BUDAYA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
Pada kesempatan sebelumnya, saya mereview buku berjudul sejarah teori
antropologi jilid I karya Koentjaraningrat. Dan pada kesempatan kali ini saya akan
mereview buku sejarah teori antropologi jilid II yang juga ditulis oleh Koentjaraningrat.
Buku jilid kedua ini berisi Enam bab.

Koentjaraningrat dalam bab pertama buku ini menjelaskan mengenai antropologi


dan penelitian komparatif. Dalam penelitian komparatif ini terjadi pertentangan dan juga
dorongan dalam penelitian ini. Sejaka awal terjadinya, ilmu antropologi ini didasarkan atas
penelitian komparatif (Koentjaraningrat, 2015). Karena untuk mencapai tujuan seperti apa
itu ilmu antropologi maka penelitian komparatif sangatlah penting untuk mencapai
genralisasi-generalisasi tingkah laku manusia. Kemudian Koentjaraningrat menjelaskan
berbagai contoh penelitian komparatif yang pernah dilakukan oleh para ahli antropologi.
Terdapat empat jenis penelitian komparatif dalam ilmu antropologi.

Yang pertama, penelitian komparatif yang bertujuan menyusun sejarah


kebudayaan manusia secara inferensial. Namun Koentjaraningrat tidak terlalu banyak
menjelaskan mengenai penelitian ini. Karena pada bab 3, 6 dan 7 jilid Satu buku sejarah
teori antropologi telah dijelaskan mengenai contoh-contoh dari penelitian ini.

Yang kedua yaitu penelitian komparatif mengenai proses-proses perubahan


kebudayaan dalam masyarakat yang sering digunakan ahli antropolog sebagai metode
penelitian lapangan. Metode ini bisa dilakukan dengan metode yang bersifat diakronik
maupun yang bersifat sinkronik. Perbedaan dari dua metode ini sebenarnya hanya
terletak pada pelaksanaan dari suatu penelitian itu. Disini juga diberi contoh penelitian
komparatif diakronik yang pernah dilakukan oleh tokoh-tokoh antropologi. Seperti R. Firth
dan R. Redfield. Contoh penelitian sinkronik pernah dilakukan oleh E.M. Brunner dan juga
penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis sendiri. Semua penelitian itu, tentunya
menjelaskan mengenai perubahan kebudayaan pada suatu wilayah tertentu. Menurut
koentjaraningrat, proses perubahan kebudayaan seringkali tidak terjadi serentak dalam
waktu yang sama pada semua bagian dari semua kebudayaan itu, tetapi terjadinya secera
diferensial atau berbeda-beda dalam setiap bagiannya (Koentjaraningrat, 2015:9). Selain
itu juga suatu penelitian mengenai proses perubahan kebudayaan manusia dengan
membandingkan dengan sekitar 20 peradaban besar dalam sejarah umat manusia.
Proses perkembanga kebudayaan itu menunjukan pola-pola perkembangan dan tidak
berjalan seragam.
Ketiga, yaitu taxonomi kebudayaan atau klasifikasi dari berbagai kebudayaan
yang ada di dunia. Disini diberikan contoh penelitian yang dilakukan oleh M. Fried
mengenai masyarakat beberapa suku bangsa yang memiliki sistem kekerabatan
berdasarkan unilinear maupun berdasarkan kekerabatan berupa klen.

Keempat, penelitian komparatif untuk menguji korelasi-korelasi antar unsur, antar


pranata dan antar gejala kebudayaan yang nantinya akan memantapkan genralisasi
tingkah laku manusia pada umumnya. Dalam penelitian jenis keempat ini juga telah
dilakukan oleh ahli-ahli antopologi seperti Tylor, Steinmetz, Njeboer dan juga G.P.
Murdock yang melakukan penelitian komparatif Cross-cultural di Amerika Serikat. Lebih
lanjutnya, Koentjaraningrat banyak membicarakan G.P. Murdock yang memang berjasa
dalam perkembangan ilmu antropologi khususunya dalam bidang penelitian komparatif
Cross-cultural. Ia mengembangkan sistem kartu etnografi yang kemudian melahirkan
Human Relations Area Files (HRAF). Murdock terus mengembangkan metode penelitian
tersebut dengan melakukan berbagai penelitian etnografi di berbagai wilayah. Sehingga
dengan adanya penelitian Murdock ini, banyak ahli-ahli lain terangsang untuk melakukan
penelitian komparatif Cross-cultural. Sehingga pada saat itu banyak sekali proyek
penelitian dalam bidang itu.

Metode Cross-cultural terus berkembang namun muncul kecaman terhadap


metode tersebut. sejak awal lahirnya metode tersebut ternyata sudah ada. Yaitu, kecaman
oleh F. Galton terhadap ceramah Tylor dalam pertemuan di Royal Anthropological
Institute, yang dikenal Galton’s Problem. Selain Galton, ada juga Schapera yang juga
mengecam metode tersebut. Sehingga ahli-ahli antropologi seperti Naroll dan Murdock
berusaha menghindari kecaman-kecaman tersebut.

Bab Dua dari buku ini menjelaskan konsepsi-konsepsi antropologi psikologi.


Antropologi Psikologi ini merupakan bagian atau cabang dari ilmu antropologi.
Koentjaraningrat memaparkan mula-mula perkembangan antropologi psikologi ini karena
yang pertama, penelitian mengenai etos kebudayaan. Yaitu dengan mengamati tingkah-
laku dan gaya hidup warga kebudayaan itu dan juga menganalisa sifat-sifat dari berbagai
unsur dalam kebudayaan tersebut (Koentjaraningrat, 2015:40). Sarjana antropologi yang
pertama kali mengembangkan metodologi menggunakan etos kebudayaan adalah Ruth
Benedict. Ia menguraikan konsepsinya dalam sebuah buku Patterns of Culture.
Menurutnya, etos kebudayaan memaksa peneliti untuk memperhatikan hubungan
fungsional antara unsur-unsur kebudayaan yang diteliti.

Setelah Ruth Benedict muncul pula seorang antropolog wanita yaitu M.E. Opler
yang mengembangkan konsep lain mengenai etos kebudayaan yang masih berdasar
pada buku Ruth Benedict. Opler juga mengusulkan konsep baru untuk memperbaiki
konsep Pattern Ruth Benedict. Muncul juga seorang ahli antropologi wanita Margaret
Lantis, yang mengembangkan metode analisis etos kebudayaan menggunakan metode
folklore dan karya seni. Selain itu juga ada E.A Hoebel mengembangkan metode etos
kebudayaan.

Pengujian terhadap beberapa konsep psikologi juga banyak dilakukan dan


Koentjaraningrat juga banyak menjelaskan dalam bab ini. Tokoh-tokoh antropologi
penting dalam hal ini yaitu seperti Malinowski dengan mengamati hubungan kekeluargaan
orang Trobriand, M. Mead meneliti batas pubertas orang Samoa. Pemikiran-pemikiran
Mead itu juga pada akhirnya banyak mendapat kecaman. namun, bagaimanapun Mead
selalu berusaha mempertahankannya secara gigih.

Dijelaskan pula mengenai generalisasi kepribadian umum masyarakat. R. Linton


dan Kardiner mencoba mengembangkan metode eksak atau dengan menganalisis tes-
tes proyektif. Ia melakukan penelitian mengenai kebudayaaan Tanala di Madagaskar.
Istilah menarik dari mereka mengenai penelitian ini adalah basic personality structure.
Menurut Linton bahwa kepribadian umum (basic personality structure) adalah sejumlah
ciri watak yang kadang seluruhnya dan ada kalanya hanya sebagian berada dalam jiwa
dari sebagian besar warga masyarakat. selain itu Linton juga penelitian mengenai adat-
istiadat pengasuhan anak-anak dalam suatu kebudayaan. Penelitian deskripsi
kepribadian umum masyarakat juga dipraktekkan antara lain oleh Margaret Mead, R.
Benedict, W. La Barre, R. Lowie, G. Gorer dan F.L.K

Pada bab Tiga, Koentjaraningrat menjelaskan mengenai konsep-konsep


mengenai perubahan kebudayaan. Sejak awal, antropologi sudah memperhatikan
masalah-masalah kebudayaan. Pada masa perang dunia ke II ini timbul perhatian baru
mengenai masalah kebudayaan bangsa Asia, Afrika dan Amerika. Perhatian terhadap
akulturasi terus bertambah, metode-metode dalam penelitian ini juga terus bertambah.
Seperti metode reported observation as intervals, metode komparatif sinkronik. Tokoh
yang tertarik dalam penelitian mengenai maslah akulturasi adalah Linton. Linton
menemukakan mengenai konsep bagian dari kebudayaan inti dan perwujudan lahirnya.
Ada pula yang meneliti mengenai masalah aulturasi di Mexico yaitu Elsi C. Parsons. Julian
S. teward juga mengemukakan suatu konsepsi mengenai beragam sosial budaya dalam
suatu proses akulturasi. ia juga mengembangkan pendekatan eko-budaya yang berarti
pengaruh timbal balik dari lingkungan alam yang telah diubah oleh kebudayaan manusia
terhadap kehidupan dan tingkah laku manusia di suatu lokasi tertentu di muka bumi
Muncul pula proses akulturasi diferensial dan konsep mengenai transformasi
kebudayaan, mengenai maslah teresebut, Redfield mengembangkan gagasan penting
yaitu “metode observasi berulang dengan interval waktu”. Kemudian studi mengenai
proses perubahan dalam covert culture juga pernah dilakukan oleh G. Foster. Pandangan
nya ternyata berbeda dengan Redfield yang memandang bahwa perubahan kebudayaan
terjadi paling tidak dua arah. Koentjaraningrat juga mengkritik pandangan Foster
mengenai proses akulturasi yang ternyata pandangan tersebut diperoleh dari meringkas
pandangan antropolog lain. Menurut Koentjaraningrat, apabila pandangan mengenai
proses akulturasi tersebut diterapkan di Indonesia, maka akan terlihat beberapa hal yang
tidak cocok. Hal inilah yang kemudian dibahas antropologi psikologi. Misalnya oleh G.
Spindler yang meneliti kepribadian individu kolot maupun progresif masyarakat Indian
Menomini melalui metode proyektif.

Karena akulturasi tidak selalu disebabkan pengaruh asing, tetapi karena


pembaruan atau inovasi. Ada hal yang menarik perhatian para ahli antropologi yaitu factor
yang menjadi pendorong bagi individu dalam masyarakat untuk memulai suatu upaya
yang nantinya akan berujung menjadi penemuan baru. Dalam hal ini, Koentjaraningrat
setuju dengan pandangan Barnet bahwa pencipta unsur kebudayaan baru biasnya malah
masyarakat yang tidak terpandang. Namun hal itu tidak cukup apabila mereka juga tidak
bisa menyesuaikan diri dalam lingkungan.

Ketika akulturasi berlangsung di masyarakat, tentu ada pula di kalangan


masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan diri dan sekaligus tidak suka pembaruan.
Mereka inilah termasuk orang-orang kolot. Jika mereka kuat, maka mereka akan
menyusun kekuaan untuk menentang pembaharuan tersebut, namun jika mereka tidak
cukup kuat mereka akan mencari kepuasan batin sendiri dengan mengenang masa lalu.
Wujud gerakan batin tersebut disebut pula sebagai ratu adil yang juga telah banyak diteliti
oleh kalangan ahli antropologi. Gerakan-gerakan ini diistilahkan dengan cults, Messianic
movements atau nativistic movements.
Dalam antropologi muncul pula pemikiran neo-evolusionis. dalam antropologi
muncul pula pemikiran neo-evolusionis. Kerangka pemikirannya berbeda dengan evolusi
lama yang cenderung unilineal, yakni menganggap ada satu proses evolusiyang harus
dilalui semua bangsa di dunia secara mutlak. Kerangka neo-evolusionisme terdiri dari
empat macam, yaitu 1) Kerangka Gordon Childe mengenai peristiwa perubahan besar
dalam sejarah kebudayaan manusia pada umumnya bersifat universal (universal
evolution), 2) Kerangka Leslie White tentang tahap-tahap kemajuan manusia dalam
teknologi untuk menguasai sumber-sumber energi yang semakin kompleks, sehingga
proses yang digambarkan ini juga disebut universal evolution, 3) Metodologi J. Steward
untuk menganalisa proses evolusi kebudayaan berdasarkan konsepsi bahwa ada unsur-
unsur kebudayaan yang berevolusi seragam dan ada pula yang tidak seragam
dikarenakan lingkungan ekologinya (multilinealevolution), dan 4) Konsep R. Naroll dan
R.L. Carneiro mengenai perbedaan sifat dan laju evolusi dari unsur-unsur kebudayaan
yang mengakibatkan proses perubahan (differential evolution).

Bahasan selanjutnya yaitu bab Empat mengenai kebudayaan folk, komuniti kecil,
jaringan kerabat dan jaringan sosial. Kebudayaan folk menurut Redfield dianggap berada
dalam masyarakat petani pedesaan pada umumnya (yaitu peasant society), tetapi juga
penduduk kota yang bersifat rakyat umum, yaitu penduduk yang tidak termasuk dalam
“golongan elit”, atau yang berkedudukan tinggi (Koentjaraningrat, 2015:137). Namun
Redfield masih mencoba melakukan penelitian pada penduduk berkebudayaan Maya
untuk mencapai pengertian folk secara lebih jelas. Redfield kemudian merumuskan
konsep folk dalam empat tipe komuniti, yaitu kota (city), kota kecil (town), desa petani
(peasant village) dan desa terisolasi (tribal village).

Bagi Redfield, kebudayaan folk dapat diteliti dengan baik dalam suatu masyarakat
komuniti kecil (little community). Banyak contoh penelitian komuniti kecil yang dituliskan
dalam buku ini. Yang kemudian oleh Redfield penelitian-penelitian tersebut ditinjau lebih
dalam lagi sehingga di ambil kesimpulan mengenai empat sifat yang menjadi latar
belakang dari komuniti kecil yaitu: Pertama distinctiveness, yakni mempunyai identitas
khas; Kedua, smallness, yakni terdiri dari jumlah penduduk yang terbatas sehingga masih
saling kenal; Ketiga yaitu homogeneity, yakni bersifat seragam dengan diferensiasi
terbatas; dan yang terakhir adalah all-providing self-sufficiency, yakni kebutuhan hidup
penduduknya sangat terbatas sehingga bisa dipenuhi sendiri tanpa tergantung dari pasar
luar. Dari keempat sifat diatas, Redfield membuat perbedaan antara dua tipe komuniti
kecil yaitu komuniti terisolasi dan komuniti kecil.

Koentjaraningrat menjelaskan bahwa semua karangan etnografi yang dihasilkan


para ahli antropologi membahas menenai kekerabatan. Sehingga bisa dikatakan bahwa
itu merupakan pekerjaan rutin antropolog dilapangan. Sistem kekerabatan dan istilah
kekerabatan telah diuraikan oleh L.H. Morgan. Metode atau teknik wawancara untuk
mengumpulkan istilah kekerabatan disebut genealogical method yang dikembangkan
oleh W.H.R. Rivers. Metode genealogi dapat digunakan untuk mengembangkan
hubungan yang lancer antara peneliti dan informan dalam waktu yang singkat. Kemudian
metode itu juga dapat digunakan untuk menanyakan mengenai hubungan hak dan
kewajiban yang tidak diatur adat-istiadat. Selain itu, metode itu juga dapat digunakan
untuk menanyakan konsepsi-konsepsi yang abstrakmdengan cara mengacu ke
hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa konkret yang dialami individu-individu yang
namanya muncul dalam silsilah. Metode geneologi merupakan suatu teknik wawancara
kualitatif, intensif, mendalam, dan tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa
(Koentjaraningrat, 2015: 145). Menarik untuk diketahui bahwa, Levis staruss menganggap
bahwa kebudayaan tidak terus-menerus sama bagi setiap individu.

Konsep analisis jaringan sosial dalal ilmu antropologi dikembangkan oleh J.A.
Barnes dimana peneliti hendaknya mendeskripsikan hubungan-hubungan interaksi antar
individu. Pendekatan demikian sangat cocok untuk menganalisa masalah lapisan sosial,
terutama lapisan sosial yang tidak tradisional, tidak resmi dan tidak ketat. Selain untuk
mengkaji system kekerabatan, metode analisis jaringan juga diterapkan dalam penelitian
antropologi dan sosiologi terhadap satuan-satuan sosial di kota-kota dan politik di dalam
desa. Barnes kembali mencetuskan konsepsinya ia memperbaikinya dengan suatu
bagan yang diambilnya dari graph teory, dalam ilmu pasti. Ia juga memperbaiki definisinya
mengenai total social network dengan rumus baru. Selain itu juga mengajukan konsep
partial social network, atau jaringan sosial terbatas. Upaya untuk menerapkan metode
analisis jaringan sosial pada semua interaksi sosial dimulai oleh A.W. Wolfe. Ia
mengusulkan sejumlah istilah yaitu unlimited social network dan limited social network.

Masalah batas jaringan atau set jaringan dikembangkan oleh para ahli antropologi
dan sosiologi, mereka menerima bahwa jaringan dan set sosial itu bisa mempunyai bats,
tetapi bisa juga tidak. Hal yang memberi batas tersebut ada tiga yaitu: adat isti-adat atau
hukum, waktu, dan tempat. Dalam penutup bab keempat ini, Koentjaraningrat memberi
suatu uraian mengenai konsep-konsep folk, komuniti, komuniti kecil, komuniti pertanian,
jaringan sosial dalam rangka konsep masyarakat pada umumnya.

Penjelasan Koentjaraningrat pada bab Lima ini adalah tentang cabang-cabang


spesialisasi dalam antropologi yang juga dengan merujuk pada buku sejarah teori
antropologi jilid I. Ilmu antropologi lahir dari himpunan beberapa bidang ilmu pengetahuan,
maka sejak awal pertumbuhannya telah ada spesialisasi-spesialisasi yang dapat disebut
“ilmu-ilmu bagian”, yakni antropologi fisik (ragawi) dan antropologi budaya. Dari kedua
ilmu bagian tersebut masih mempunyai cabang lagi. Dalam buku ini, Koentjaraningrat
memberikan sebuah bagan ilmu-ilmu bagian dari antropologi. Pada 1930-an sebenarnya
banyak bermunculan spesialisasi baru secara pesat. Kemudian para ahli antropologi
mulai mempelajari banyak aspek lain dari kehidupan sosial-budaya serta tingkah laku
manusia. Semua cabang spesialisasi baru terdiri dari kajian-kajian yang berdasarkan
pada pendekatan-pendekatan sinkronik maupun diakronik. Dari du pendekatan itu
melahirkan Sepuluh spesialisasi dalam antropologi yaitu antropologi ekonomi, antropologi
kependudukan, antropologi politik, antropologi hukum, antropologi linguistic, antropologi
kognitif, antropologi perkotaan, antropologi kesehatan, antropologi ekologi, antropologi
pendidikan. Konsep-konsep dari semua spesialisasi tersebut telah diuraikan dalam buku
Handbook of Social and Cultural Anthropology, yang diredaksi oleh J.J. Honigmann. Pada
buku ini, Koentjaraningrat hanya menguraikan tiga cabang spesialisasi. yaitu antropologi
ekonomi, antropologi politik, dan antropologi pendidikan. Sedangkan spesialisasi yang
lain akan dibahas kawan-kawannya dalam buku Seri Teori-Teori Antropologi Sosiologi.

Antropologi ekonomi berkembang pesat sesudah tahun 1920. di antaranya


membahas sistem mata pencaharian hidup dalam masyarakat, meski pada pertengahan
abad XIX telah muncul konsepsi tentang evolusi sistem mata pencaharian hidup. Tokoh
antropologi ekonomi yang termasyhur yakni R. Firth. Menurut nya, manusia yang miskin
tidak dapat kita abaikan, karena manusia nonindustri itulah yang menyediakan bahan
mentah bagi ekonimi masyarakat industri. Kemudian juga berpendapat bahwa asas
mentalitas manusia pada hakikatnya sama dimana-mana. Sedangkan ekonomi itu sendiri
menurut Firth adalah “… seluruh perilaku manusia dalam organisasi dan pranata yang
mengatur penggunaan sumber-sumber terbatas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dalam suatu masyarakat tertentu” (Firth dalam Koentjaraningrat, 2015)

Dalam perkembangannya, muncul antropologi ekonomi substantivis. Tokoh dari


antropologi ekonomi substantivis ini adalah H.J. Boeke dan juga K. Polanyi. dan
antropologi ekonomi formalis tokohnya yaitu R. Firth. Lapangan kajian antropologi
ekonomi mencakup masalah susunan sosial ekonomi, proses ekonomi, organisasi sosio
ekonomi, serta perubahan dan perkembangan ekonomi. Dalam ekonomi pembangunan,
antropologi dapat memainkan peranan sangat penting karena ia merupakan antropologi
terapan.

Koentjaraningrat menegaskan bahwa cabang spesialisasi ilmu antropologi politik


ini baru berkembang dengan pesat pada tahun 1940. Karena usianya yang masih muda,
maka ruang lingkupnyapun masih belum begitu mantap. Yang mejadi bagian dari topik
antropologi politik ini meliputi masalah-masalah hukum adat, organisasi kenegaraan,
organisasi perang, organisasi kepemimpinan, pemerintahan, dan kekuasaan
(Koentjaraningrat, 2015). Kemudian dalam buku ini Koentjaraningrat menjelaskan satu
per satu dari topic-topik tersebut secara lebih luas.

Antropologi pendidikan merupakan cabang spesialisasi yang termuda, yakni


sekitar 1960-an. Antropologi pendidikan dapat diacu kembali kepada karangan atau kajian
mengenai enkulturasi, sosialisasi dan transmisi kebudayaan, yang antara lain tulisan-
tulisan “sambil lalu” dari M. Mead (1930, 1940), B. Malinowski (1936), R. Firth (1936), M.J.
Herskovits (1938), M. Fortes (1938), R. Redfield (1943), R. Benedict (1943), dan C.
Kluckhon (1947). Antropologi pendidikan dapat diacu kembali ke karangan dan kajian
mengenai masalah enkulturasi, sosialisasi, dan transmisi kebudayaan yang berlangsung
dengan cara ‘sambil lalu’. Penelitian mengenai antropologi pendidikan dimungkinkan
karena, pendekatan antropologi menggunakan teknik wawancara mendalam sehingga
dapat memperoleh banyak data mengenai berbagai masalah sosial dalam pendidikan;
pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai masalah transmisi
kebudayaan; pendekatan antropologi dapat menambah pengertian mengenai cara
mendidik dengan latar kebudayaan berbeda-beda; dan metode cross-cultural dianggap
dapat membantu ilmu pendidikan komparatif.

Pada bab terakhir yang dibahas Koentjaraningrat adalah mengenai antropologi


terapan dan antropologi pembangunan. Sejak pertengahan abad 19 antropologi sudah
memiliki aspek terapan. Kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap sederhana (primitif),
diterapkan untuk memperbaiki masalah-masalah mereka. Misalnya, di Indonesia
dilaksanakan politik etis oleh Belanda untuk meningkatkan kesejahteraan, kesehatan dan
pendidikan rakyat, sehingga ilmu antropologi Indonesia yang saat itu disebut ethnology
atau volkenkunde (ilmu bangsa-bangsa) memegang peranan penting dan bersifat
terapan, yakni sebagai ilmu yang mempelajari cara berpikir bangsa Indonesia. Sifat
terapannya ialah bahwa pengertian itu diperlukan oleh pemerintah Belanda untuk
memperbaiki taraf ekonomi rakyat, serta untuk memudahkan mereka menjalankan
pemerintahan di negara jajahan tanpa perlu menggunakan paksaan dan kekerasan terlalu
banyak. Pada abad 19 tidak ada perbedaan antara antropologi Indonesia sebagai ilmu
terapan dan ilmu akademik. Karena ilmu tersebut digunakan untuk mendidik para pegawai
Belanda di negara jajahan mereka yaitu Indonesia. Di negara-negara jajahan lain juga
perkembangannya tidak jauh beda (kecuali mungkin jajahan Portugal).

Antropologi pembangunan mulai berkembang baik ketika negara jajahan


memperoleh kemerdekaan. Upaya menghapus kemiskinan adalah dengan melakukan
pembangunan ekonomi. Namun pada nyatanya, pembangunan ekonomi pada negara-
negara baru yang semuanya miskin tersebut tidak lepas dari bantuan negara-negara yang
telah maju dan kaya.

Masalah ekonomi pembangunan yaitu, 1) masalah dualisme ekonomi; 2) masalah


perdagangan internasional; 3) masalah strategi pembangunan ekonomi; 4) masalah
manusia dan sikap mental manusia yang harus membangun ekonominya; 5) konsepsi
marxisme dalam pembangunan nasional (Koentjaraningrat, 2015:245). Antropologi dapat
andil dalam mengkaji masalah-masalah ekonomi pembangunan, kecuali mungkin
masalah perdagangan internasional. Koentjaraningrat juga memaparkan mengenai
masalah-masalah untuk dikaji antropologi pembangunan. Pertama masalah teori dan
metodologi pembangunan, kedua masalah kebijaksanaan pembangunan, ketiga masalah
sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun dan akibat sosial-politiknya. Yang dalam
ketiga masalah tersebut, Koentjaraningrat masih memberikan penjelasan pemaparan
masalah pada masalah yang telah saya sebutkan. Koentjaraningrat juga menjelaskan
keadaan antropologi Indonesia setelah perang dunia II. Yaitu dengan memaparkan
berbagai penelitian mengenai keadaan Indonesia yang dilakukan oleh berbagai ahli
antropologi khususunya ahli-ahli antropologi yang juga merupakan akademisi dari
universitas-universitas di dunia barat.

Koentjaraningrat menyatakan bahwa apabila kita memperhatikan peranan


antropologi dalam pembangunan, terutama dalam penelitian masalah-masalah
pembangunan, maka menurut nalar tidak ada perbedaan antara antropologi dan
antropologi pembangunan, atau antara antropologi dan antropologi terapan, karena
semua haasil penelitian antropologi umum maupun bidang-bidang antropologi
spesialisasi dapat digunakan untuk menambah data dan pengertian yang perlu demi
menyempurnakan pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan orang lain.
Sehingga dapat dipahami, tidak ada artinya kita membeda-bedakan dari tiap cabang ilmu
antara antropologi umum, terapan, dan pembangunan. Suatu hal yang dapat dibedakan
adalah mungkin mengenai topik penelitian, bukan ilmunya (Koentjaraningrat, 2015: 287).
Kesimpulan dan Ulasan

Perjalanan panjang antropologi menjadi sebuah ilmu bisa dikatakan berhasil. Ahli-
ahli antropologi telah berjuang keras secara kreatif dengan memikirkan hal-hal baru
kemudian meneliti dan mendapatkan sebuah gagasan kemudian memaparkan dan
menyampaikan gagasannya demi untuk mengembangkan ilmu ini. Dengan adanya
gagasan-gagasan itu maka pembahasan masalah-masalah yang ada semakin
berkembang. Gagasan para ahli yang ternyata tidak cukup hanya dari satu sudut pandang
ilmu antropologi. Tetapi juga dari sudut pandang studi ilmu lain. Sehingga membuat ilmu
antropologi memiliki banyak cabang ataupun spesialisasi. Peran ilmu antropologi yang
bukan hanya sebagai ilmu tetapi juga ilmu terapan yang mampu membantu mengatasi
masalah-masalah. Khususnya masalah masyarakat.

Koentjaraningrat dalam menuliskan mengenai sejarah panjang antropologi bisa


dikatakan berhasil. Buku ini memang sangat menarik untuk di baca dan menjadi buku
yang harus di baca bagi para calon antropolog. Karena isi dalam buku ini sangat
membantu pemikiran calon antropolog, dalam hal ini adalah mahasiswa antropologi.
Dengan membaca buku ini, saya menjadi memiliki lebih banyak gambaran mengenai
penelitian-penelitian etnografi. Sehingga saya tergoda, dimasa depan saya ingin
melakukan berbagai penelitian etnografi yang menarik. Itu semua karena dalam buku ini,
Koentjaraningrat memberi begitu banyak contoh penelitian etnografi bahkan pada setiap
sub bahasan selalu ada contoh penelitian etnografi yang pernah dilakukan oleh ahli
antropologi terdahulu. Selain itu, Koentjaraningrat juga sekaligus memperkenalkan ahli-
ahli antropologi yang sangat berjasa dalam perkembangan ilmu antropologi.

Referensi dari buku sejarah Teori antropologi ini begitu banyak. Terhitung untuk
menuliskan bibiliografinya saja menghabiskan 32 halaman. Bisa dibayangkan berapa
ratus buku yang telah ia baca. Bahkan seumur hidup saya selama ini dalam membaca
buku mugkin belum mencapai angka-angka seperti Koentjaraningrat. Koentjaraningrat
juga menyampaikan analisisnya yang tajam mengenai berbagai referensi tersebut dalam
buku ini. Selain itu, buku ini juga disertai index yang tentunya akan lebih membantu
pembaca. Seperti halnya buku sejarag antropologi jilid satu yang di lengkapi dengan
sketsa wajah para ahli antropologi, di jilid Dua ini juga sama. Sehingga saya tidak hanya
mengenal nama mereka tetapi juga mengenal wajah mereka tanpa perlu searching di
internet.
Sistematikan penulisan pada buku ini lebih baik dibandingkan dengan yag jilid
satu. Namun untuk bahasa pada jilid satu lebih kompleks. Dan mungkin akan lebih
menarik lagi, jika diberikan tambahan contoh penelitian etnografi yang lebih mutaakhir.
Yang kira-kira lebih mendekati penulisan buku ini yaitu tahun 1990.

Terimakasih prof Koen dengan adanya buku ini, membuat wawasan saya sebagai
mahasiswa antropologi bertambah, ilmu pengetahuan yang anda miliki yang
tersampaikan dalam buku ini sangat membantu saya. Semoga ilmu pengetahuan yang
anda sumbangkan melalui buku-buku karya anda bisa selalu bermanfaat hingga akhir
zaman.
Daftar Pustaka

Koentjaraningrat.
1990. Sejarah Teori Antropologi. Jilid I. Jakarta: UI Press.
2015. Sejarah Teori Antropologi. Jilid II. Jakarta: UI Press.

Anda mungkin juga menyukai