Anda di halaman 1dari 3

KUDA LUMPING / JATHILAN

Kuda Lumping atau yang lebih dikenal oleh masyarakat Magelang sebagai
Jathilan sampai saat ini masih terus bertahan ditengah serangan arus modernisasi.
Asal usul kata Jathilan di kabupaten Magelang berasal dari akar kata “jan” yang
berarti amat dan “thil-thilan” yang berarti banyak gerak, kemudian dihubungkan
dengan gerakan yang amat banyak seperti larinya kuda. Jathilan disebut juga
dengan Kuda Kepang karena perlengkapan yang dipakai adalah kuda-kudaan yang
dibuat dari bambu kemudian dianyam atau dikepang lalu dibentuk menyerupai
kuda.

Menurut sejarah, Kuda lumping sudah ada sejak zaman primitif dan
digunakan sebagai sarana upacara ritual yang sifatnya magis. Salah satu wilayah
yang masih mempertahankan kesenian ini adalah kecamatan Windusari kabupaten
Magelang. Windusari merupakan sebuah wilayah di kabupaten Magelang.
Kecamatan Windusari berada di lereng gunung Sumbing dengan ketinggian 600-
650 Dpl dan berbatasan langsung dengan kabupaten Temanggung.

Kesenian Kuda Lumping atau Jathilan sangat sering digelar didaerah ini
apalagi pada acara keagamaan dan perayaan-perayaan desa seperti Merti Dusun
yang berlangsung pada Senin, 8 Juli 2019 lalu. Biasanya kuda lumping diadakan
juga ketika ada hajatan salah satu warga desa dan juga acara ulang tahun kesenian.
Kecamatan Windusari Magelang memiliki lebih dari 1 kelompok kuda lumping.
Salah satu kelompok kuda lumping dari kecamatan ini pernah berprestasi untuk
tampil di Bali dalam rangka Pesta Kesenian Bali ke-34.

Kesenian Kuda Lumping menggambarkan peperangan dengan menaiki


kuda dan bersenjata pedang. Selain ada yang menaiki kuda ada pula penari yang
tidak berkuda tetapi memakai topeng yaitu sebagai gendruwo. Pada kesenian
Kuda Lumping biasanya ada penari yang sampai mengalami kesurupan. Penari
yang mengalami kesurupan tersebut bisa makan barang-barang dari kaca.
Kesenian kuda lumping ini juga memiliki keterkaitan yang erat dengan kisah
Prabu Klana Sewandana. Dalam legenda tersebut diceritakan Prabu Klana
Sewandana ditinggal pergi oleh sang istri. Dalam usaha pencariannya sang Prabu
harus bertarung melawan Buto atau raksasa. Sang Prabu menang dalam
pertarungan itu dan akhirnya dia dapat bertemu lagi dengan sang istri. Kisah ini
lah yang diangkat kembali oleh masyarakat kecamatan windusari melalui media
kesenian yaitu Kuda Lumping.
Saat pementasan Kesenian Kuda Lumping terdiri dari 40 orang pemain.
Pemain-pemain ini meliputi penari dan penabuh gamelan. Sedangkan untuk lama
pementasannya berdurasi antara 1 hingga 3 jam.

Anda mungkin juga menyukai