Anda di halaman 1dari 5

MASA BERBURU DAN MERAMU

NAMA KELOMPOK

1. ARIF NUR HDIAYAT


2. ISTO SUSANTO
3. M. BALIA AGUS WIJAYA

KELAS X TKR 1

SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK)


KH GHALIB PRINGSEWU
TAHUN 2017
MASA BERBURU DAN MERAMU

Pembabagan zaman tentang manusia purba dilakukan guna mempermudah kita


mempelajarainya. Konsep periodisasi dalam sejarah diperlukan agar peristiwa tersebut dapat kita
pelajari secara urut dan tidak melompat-lompat (diakronis). Periodisasi digunakan utnuk
memudahkan pemahaman suatu cerita sejarah agar terjadi keksinambungan. Periodisasi dalam
penulisan sejarah akan mempermudah kita untuk mengetahui ciri khas atau karakteristik
kehidupan manusia pada masing-masing periode, sehingga kehidupan manusia menjadi lebih
mudah untuk dipahami.

Terdapat berbagai macam jenis pembagian zaman manusia purba diantara pembagian
berdasarkan geologis, arkeologis dan corak kehidupan. Pembagian perkembangan manusia purba
secara geologis (berasal dari kata geo=bumi, dan logos=ilmu) yakni pembagian berdasarkan
terbentuknya bumi dari awal sampai saat ini melalui lapisan-lapisan bumi. Periode parsejarah
lainnya berdasarkan arkeologi yakni didasarkan pada alat-alat yang dipergunakan manusia mulai
dari tingkat yang paling sederhana hingga tingkat paling maju.

Pembagian zaman berdasarkan arkeologis dapat dibagi menjadi dua zaman yakni zaman batu dan
zaman logam atau dikenal sebagai zaman perundagian. Zaman batu sendiri terbagi menjadi 4
zaman yakni Paleolitikum, Mesolitikum, Neolitikum dan Megalitikum. Pembeda dari berbagai
zaman tersebut adalah alat batu yang ditinggalkan. Sedangkan pembagian zaman yang lain
adalah berdasarkan corak kehidupan manusia purba saat itu dari yang paling sederhana yakni
berburu dan meramu, masa bercocok tanam, dan masa perundagian. Pada bab ini yang akan
dibahas adalah masa berburu dan meramu.
Pada masa awal kehidupan manusia purba hidup secara sederhana yakni dengan cara
memanfaatkan segala sesuatu yang ada pada alam. Kehidupan manusia purba hanya sekedar
berburu dan mengumpulkan makanan atau istilahnya food gathering. Manusia purba hidup
dengan cara berpindah-pindah (nomaden). Setelah makanan di suatu tempat telah habis, manusia
purba akan berpindah ke tempat lain yang masih terdapat makanan. Begitu seterusnya sehingga
kehidupan mereka berpindah-pindah dan sangat tergantung dari alam. Perpindahan manusia
purba ini dipengaruhi dua hal yakni sumber makanan dan musim.

Manusia purba pada masa ini hidup dan tinggal di sekitar sungai yang terdapat banyak makanan
dikarenakan daerahnya subur. Sisa-sisa peninggalan yang membuktikan bahwa manusia purba
tinggal di tepi sungai atau danau dan di goa-goa adalah dengan ditemukannya Kyokkenmodinger
dan Abris sous roche. Kyokkenmodinger berasal dari bahasa Denmark (kyokken= daput,
modding=sampah) berarti sampah dapur, yakni tumpukan dari kulit kerang yang membatu.
Kyokkenmodinger banyak ditemukan di sepanjang pantai Sumatera Timur.

Sedangkan abris sous roche adalah gua karang tempat manusia tinggal. Gua-gua tersebut
sebenarnya berbentuk ceruk-ceruk di dalam batu karang yang cukup untuk memberi
perlindungan terhadap panas dan hujan. Penelitian tentang abris sous rouche dilakukan oleh Dr.
P.V Stein Callencels di Gua Lawa dekat Sampung-Ponorogo, Jawa Timur. Di gua tersebut
ditemukan banyak peninggalan pra sejarah, khususnya alat-alat dari tulang (bone culture).
Pada masa ini sudah terdapat pembagian kerja antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki
pergi untuk berburu dan perempuan melakukan pekerjaan yang lebih ringan. Manusia purba
masa ini juga sudah mengenal api. Api didapatkan dengan cara membenturkan dua buah batu
hingga memunculkan percikan api. Alat-alat yang digunakan dalam memenuhi kebutuhan masih
sederhana berupa batu atau alat-alat yang terbuat dari tulang binatang. Cara membuatnya juga
sangat sederhana dan belum diasah. Hasil peninggalan dari masa berburu dan mengumpulkan
makanan, antara lain:

Kapak Genggam/ Kapak Perimbas

Kapak genggam merupakan kapak yang terbuat dari batu yang belum diasah sama sekali cara
penggunanannya dengan cara digenggam. Kapak ini digunakan untuk menggemburkan tanah
atau mencari umbi-umbian. Kapak genggam termasuk ke dalam kebudayaan Pacitan dengan
manusia pendukungnya yakni Pithecanthropus Erectus yang fosilnya ditemukan Eugene Dubois
di Ngawi selain itu juga terdapat manusia purba lain yakni Meganthropus Paeojavanicus yang
ditemukan di Sangiran, Sragen. Dari penemuan beberapa manusia purba yang ada menunjukan
lembah sungai Bengawan Solo merupakan tanah yang subur dan cocok sebagai tempat tingga.
Kapak genggam banyak ditemukan di Pacitan (Jawa Timur), Sukabumi dan Ciamis (Jawa Barat),
Parigi dan Gombong (Jawa Tengah), Bengkulu, Lahat (Sumatera Selatan), Flores dan Timor.

Kapak Penetak

Kapak Penetak dibuat dari fosil kayu. Kapak penetak memiliki bentuk dengan kapak genggam
akan tetapi ukurannya lebih besar. Kapak penetak berfungsi untuk membelah kayu, bambu atau
disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Kapak jenis ini hampir ditemukan diseluruh wilayah
Indonesia.

Alat Serpih

Alat serpih atau flakes merupakan batu pecahan sisa pembuatan kapak genggam yang dibentuk
menjadi tajam. Alat serpih digunakan untuk menguliti binatang buruan, mengiris daging dan
memotong umbi-umbian. Kegunaan alat serpih seperti fungsi pisau pada masa sekarang ini.
Tempat ditemukannya alat serpih antara lain, di Punung (Pacitan Jawa Timur), Sangiran,
Ngandong (lembah sungai Bengawan Solo), Lahat, Cabbenge dan Mengerunda (Flores NTT).

Alat-alat dari Tulang

Bone culture atau alat-alat dari tulang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Ngandong.
Manusia pendukung kebudayaan Ngandong adalah Homo Soloensis dan Homo Wajakkensis.
Kebudayaan Ngandong sendiri ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1941. Alat-alat
dari tulang digunakan untuk penusuk hewan buruan, penggali umbi dan penombak ikan. Alat-
alat dari tulang banyak ditemukan di Gunung Kendeng, Bojonegoro.

Anda mungkin juga menyukai