Anda di halaman 1dari 28

1

A. Judul: Tata Ruang Rumah Kenthol di Bagelen Purworejo


Jawa Tengah

B. Latar Belakang

Bangunan Jawa merupakan suatu objek yang menarik


untuk diteliti karena di dalamnya terdapat berbagai makna
yang tersimpan. Banyak model dan tipe dari bangunan jawa.
Mulai dari fungsi dan bentuk dari bangunan jawa. Lokasi
bangunan pun tekadang memberikan makna yang berbeda
pada bangunan. Di Indonesia sendiri, keadaan bangunan jawa
cukup memprihatinkan. Banyak bangunan yang telah di
bongkar dan dijual perbagian. Walaupun begitu, masih ada
beberapa bangunan jawa yang masih mempertahankan
keasliannya. Bangunan tersebut ada di daerah Bagelen
Purworejo. Rumah itu dulunya dihuni oleh seorang yang
disebut sebagai Kenthol. Pada tatanan masyarakat Bagelen
zaman dulu, Kenthol merupakan sebutan bagi para jagoan –
jagoan setempat.1 Walaupun banyak orang yang beranggapan
seperti itu, sebenarnya data mengenai Kenthol masih sangat
minim. Masih belum banyak penelitian yang meneliti secara
mendalam mengenai siapa Kenthol sebenarnya dan mengapa
disebut seperti itu.

Menurut banyak cerita yang ada, Bagelen merupakan


salah satu daerah yang ikut serta berperan dalam terbentuknya
1
Laksono, P.M., 1985, Tradisi dalam Struktur Masyakarat Jawa:

Kerajaan danPedesaan, Gajah Mada Press, Yogyakarta


2

Mataram Islam. Banyak literatur yang mengatakan bahwa para


Kenthol Bagelen menjadi salah satu pasukan andalan dari
pendiri Mataram Islam. Oleh karenanya, pada masa itu daerah
Bagelen memiliki daerah pardikan paling banyak daripada
daerah kekuasan Mataram Islam lainnya2 Sekarang ini, Bagelen
menjadi bagian dari Jawa Tengah tetapi pada awalnya Bagelen
merupakan daerah dari Mataram Islam. Itulah cerita singkat
mengenai tanah Bagelen yang akan dibahas dalam penelitian
ini.

Fokus utama pada penelitian adalah hubungan antara


masyarakat Bagelen dengan bangunan tradisional Jawa yaitu
rumah Kenthol Bagelen. Rumah ini menarik diteliti karena
rumah ini merupakan rumah Jawa tradisional dan masih asli
dengan atap joglo tetapi memiliki tata keruangan yang berbeda
dari rumah Jawa sewajarnya. Perbedaan yang paling menonjol
pada bangunan Jawa ini adalah tidak adanya senthong tengah.
Padalah senthong tengah pada rumah Jawa adalah suatu hal
yang penting pada masanya. Senthong tengah dianggap sebagai
kamar bagi Dewi Sri (Dewi Kesuburan dan Padi) dan
penghuninya pun menganggap sakral daerah tersebut.
Perbedaan lain yang ada adalah pembagian tata keruangan
tentang kamar yang berbeda dari kebanyakan bangunan Jawa
biasanya. Perbedaan tata ruangnya dapat dilihat dari peletakan
senthong – senthong yang tidak wajar untuk rumah tradisional
Jawa. Sehingga perlu dikaji ulang mengenai penggambaran

2
Penadi, Radix,1988, Bagelen dan Mataram Kuno. Lembaga Studi

Dan Pengembangan Sosial Budaya, Purworejo


3

representasi hubungan masyarakat terhadap tata ruang


bangunan jawa ini.

Beberapa hal diatas merupakan alasan bagi peneliti


untuk membahas rumah Kenthol Bagelen. Pencarian data
mengenai kehidupan masyarakat dan sejarah Bagelen
merupakan langkah awal dalam memulai penelitian ini.
Penelitian kali ini akan lebih terfokus pada hubungan
masyarakat Bagelen terhadap tata ruang dari rumah
tradisional Jawa di Bagelen. Penelitian ini diharapkan menjadi
suatu batu loncatan untuk lebih memahami mengenai seluk
beluk bangunan Jawa terkhusus bangunan tradisional Jawa
pada daerah Bagelen.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan fokus penelitian yang telah ditetapkan, maka


masalah penelitan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Mengapa area senthong tengah di rumah tradisional Bagelen


ditiadakan?

2. Persepsi apakah yang dipegang masyarakat Bagelen dalam


memandang tata ruang rumah tradisional di Bagelen?

3. Bagaimanakah konsep ruang yang dianut pada rumah


tradisional Jawa di Bagelen?
4

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara spesifik adalah untuk


mengetahui pengaruh masyarakat terhadap tata ruang rumah
tradisional Jawa di Bagelen, berdasarkan pola keruangan
tradisional yang berubah serta hubungan masyarakat Bagelen
dengan rumah tinggalnya.

E. Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat penelitian yang akan di dapat antara lain:

1. Bergunan bagi pengembangan dan sebagai tambahan


data acuan dalam perancangan bangunan Jawa.

2. Menjadi tahu mengenai hubungan yang terjadi antara


masyarakat dan tata ruang yang ada pada rumah
tradisional Jawa di Bagelen.

3. Menjadi tahu mengenai tata keruangan yang ada pada


rumah Kenthol Bagelen.

F. Tinjauan Pustaka

Banyak peneliti yang s1udah meneliti tentang bangunan Jawa


karena keunikan dan filosofi dalam bangunan Jawa sangat
menarik untuk dipecahkan. Menurut penelitian Slamet
Subiyantoro, Tri Prasetyo Utomo dan Djono dalam jurnal

1
5

penelitiannya yang berjudul Nilai Kearifan Lokal Rumah


Tradisional Jawa (Humaniora, 3 Oktober 2012), menyimpulkan
bahwa:

Jawa memiliki Nilai – nilai syarat dengan nilai etika dan estetika.
Salah satu bentuk nilai tersebut adalah Joglo yang memiliki
pengetahuan lokal budaya jawa. Struktur bangunan rumah
tradisional jawa mencerminkan komposisi ruang bangunan khas
seperti: pendhapa, pringgitan, dalem, dapur atau gadri gandhok.
Hubungan antara struktur ini sangat dipengaruhi oleh mitologi
proses manifestasi dan kosmologi Jawa. Ini berarti bahwa rumah
Jawa tradisional tidak hanya sebuah tempat untuk berlindung,
tetapi juga dipahami sebagai manifestasi dari cita – cita dan
pandangan hidup atau fungsi simbolis.3

Jurnal penelitian berjudul Konsep Ruang Tradisional Jawa


dalam Konteks Budaya (Dimensi, 2 Desember 2006) yang diteliti
oleh J. Lukito Kartono. Menyimpulkan bahwa,

Rumah tinggal orang Jawa selalu memperhatikan keselarasan


dengan kosmosnya dalam pengertian selalu memperhatikan dan
menghormati potensi – potensi tapak yang ada disekitarnya.
Konsep ruang tidak seperti yang dimiliki oleh konsep ruang barat
tetapi lebih berwatak tempat (place) yang sangat dipengaruhi oleh
dimensi waktu dan ritual. Rumah Jawa juga memiliki pusat dan
daerah yang ditata secara oposisi binary. Ruang yang terjadi
memiliki hirarki ruang yang ditata secara unik dengan
menggunakan aspek pencahayaan.4

4
Kartono, J.L., 2006, Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam

Konteks Budaya, Dimensi Interior, Vol 3, No. 2, pp 124 –

136
6

Selain mengenai bangunan Jawa, penelitian ini juga


mengambil data mengenai sejarah Bagelen. Berikut ini merupakan
simpulan dari jurnal penelitian yang berjudul Bagelen Pasca
Perang Jawa (1830 – 1950): Dinamika Sosial Politik di Bekas
Wilayah “Negaragung” Kasultanan Mataram Islam yang disusun
oleh Himayatul Ittihadiyah, mengatakan bahwa:

Bagelen bekas wilayah “Negaragung” ini telah mengalami


beberapa kali pergantian sistem administrasi dan dua kali
pergantian kebijakan ekonomi. Pertama, (1830-1870), periode ini
disebut periode sistem tanam paksa (culturestelsel). Setelah
ditandatanganinya kontrak politik 27 September 1830, sebagai
akibat dari kekalahan Perang Jawa, terjadilah apa yang disebut
sebagai “peralihan nagari”, terlepasnya daerah - daerah pesisir
dari kekuasaan Mataram, termasuk di dalamnya “mancanegara”.
Bagelen yang semula merupakan lumbung padi bagi Kesultanan
Mataram baik Surakarta maupun Yogyakarta kemudian
dianeksasi oleh pemerintah kolonial. Secara administratif pada
periode ini terjadi peralihan dari daerah “mancanegara”, menjadi
daerah karesidenan di bawah kekuasaan pemerintah Kolonial
Hindia Belanda yang berpusat di Batavia. Dalam periode ini
terjadi perubahan pembagian wilayah di seluruh karesidenan dan
penambahan pejabat baru untuk membimbing dan mengawasi
cara kerja penduduk pribumi dalam pelaksanaan tanam paksa.
Hal ini terjadi antara lain karena pertambahan penduduk yang
cepat. Karena penduduk merupakan sumber daya yang potensial
maka dapat dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tanam
paksa. Kedua, (1870-1950), pada periode ini masyarakat Bagelen
kembali memasuki babak terbaru, yakni periode sistem ekonomi
liberal, pada periode ini mereka harus menghadapi pola-pola
liberal dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari cara
memperoleh mata pencaharian, menghadapi industrialisasi dari
para pemilik modal baik swasta maupun pemerintah. Pada
periode ini pula secara administratif Bagelen harus bergabung ke
dalam Karesidenan Kedu (1 Agustus 1901).5

5
7

Dari beberapa jurnal yang disajikan diatas, dapat diketahui


bahwa penelitian Tata Ruang dan Makna Rumah Kenthol Bagelen
di Purworejo masih original dan belum pernah diteliti oleh peneliti
lain. Pada penelitian – penelitian yang telah ada, kebanyakan
membahas bangunan joglo secara umum sedangkan bangunan
Jawa di Bagelen memiliki bentuk tata ruang yang berbeda. Dalam
berbagai jurnal yang membahas mengenai Bagelen pun ,bahasan
mengenai Kenthol juga masih sedikit.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa data mengenai


bangunan Jawa dan Kenthol bagelen masih sangat terbatas.

G. Kerangka Teori

1. Daerah Bagelen

Penelitian mengenai tata ruang rumah Kenthol di


Bagelen ini diperlukan penelusuran data yang didapat dari
berbagai pustaka. Secara umum, penelitian ini akan
meneliti mengenai penataan ruang dalam rumah dan
pemaknaan dari ruangan – ruangan yang ada pada
bangunan tempat tinggal para Kenthol ini. Sebelum
melangkah lebih jauh lagi, berikut ini akan disampaikan
data mengenai daerah Bagelen.

Daerah Bagelen merupakan Kecamatan yang berada


di Kabupaten Purworejo. Tepatnya ada di provinsi Jawa
Tengah. Sebelum menjadi sebuah Kecamatan, Bagelen
pernah menjadi sebuah karisidenan. Menurut P.M Laksono
(1985;63) mengatakan bahwa lokasi Bagelen berada pada
109 derajat 21’ – 110 derajat 11’ bujur timur dan 7 derajat –
8

7 derajat 57’ lintang selatan. Luas wilayah seluruh


karisidenan Bagelen kira kira mencapai 3831 km persegi.6
Sedangkan Radix Penadi dalam salah satu penelitiannya
mengatakan bahwa,“Bagelen memiliki nilai dan karismatik
sebagai sebuah wilayah. Wilayah yang luas -terdapat 20
kecamatan jika dibandingkan dengan kondisi administratif
saat ini- dan terletak di Jawa Tengah bagian selatan
(tepatnya di Yogyakarta) itu memiliki peranan yang sangat
penting dalam sejarah tanah air. Operasi militer, perlawanan
terhadap Kompeni, pembangunan candi (Prambanan dan
Borobudur) merupakan beberapa bukti pentingnya wilayah
tersebut.7

Pada akhirnya, Bagelen sebagai sebuah kawasan yang


solid akhirnya terpecah seiring dengan ditandatanganinya
Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755) yang didesain oleh
Kompeni Belanda untuk memecah Mataram menjadi dua
kerajaan; Kasunanan Surakarta (Solo) dengan Sunan Paku
Buwono III sebagai raja pertamanya, dan Kasultanan
Yogyakarta dengan Sultan Hamengku Buwono I sebagai
rajanya.

6
Laksono, P.M., 1985, Tradisi dalam Struktur Masyakarat Jawa:

Kerajaan danPedesaan, Gajah Mada Press, Yogyakarta

7
Penadi, Radix,1988, Bagelen dan Mataram Kuno. Lembaga Studi

Dan Pengembangan Sosial Budaya, Purworejo


9

Sebagian masuk Solo, dan sisanya masuk Yogyakarta.


Secara peradaban, Bagelen sudah terbelah. Abad XIX (1825-
1830), Bagelen ikut dalam Perang Jawa. Tiga ribu prajurit
Bagelen di bawah kendali Pangeran Ontowiryo menyokong
perjuangan Pangeran Diponegoro yang terpusat di Tegalrejo,
Magelang. Saking kuatnya perlawanan Bagelen, Kompeni
Belanda sampai harus menggunakan taktik Benteng Stelsel,
dengan mambangun 25 buah benteng di kawasan Bagelen.

Usaha Belanda untuk semakin memperlemah Bagelen


dilanjutkan di tahun 1901. Tanggal 1 Agustus, Bagelen
dihapus secara karesidenan dan dilebur ke dalam
Karesidenan Kedu.Selanjutnya Bagelen hanya dijadikan
sebagai sebuah kecamatan saja. Kemudian Belanda juga
membangun jalur transportasi Purworejo-Magelang untuk
memudahkan pengawasan. Belanda juga menempatkan
batalion militer reguler dengan dibantu serdadu negro.”

Melalui data literature yang telah ditemukan oleh


peneliti ini, menggambarkan bahwa daerah Bagelen dulunya
adalah suatu daerah yang dianggap penting oleh Kerajaan
Mataram dan Belanda.Bagelen juga turut berpartisipasi
dalam perang Jawa (1825 – 1830) dengan memberikan
prajurit – prajuritnya untuk turut serta bertempur. Menurut
Radix Penadi (1988) di Bagelen terdapat tokoh – tokoh yang
dianggap penting dan mendapat julukan sebagai Kenthol
Bagelen.8 Rumah para Kenthol ini lah yang nantinya akan

8
Penadi, Radix,1988, Bagelen dan Mataram Kuno. Lembaga Studi

Dan Pengembangan Sosial Budaya, Purworejo


10

diteliti oleh peneliti. Hal yang menjadikan rumah mereka


menarik adalah bentuk luar rumah yang terlihat seperti
bangunan rumah Jawa biasanya tetapi pada bagian dalam
memiliki penataan ruang yang berbeda dari kebanyakan
bangunan Jawa (Joglo)

2. Pengertian Desain Interior

Pengertian desain interior dikemukakan oleh D.K. Ching


(2002:46) sebagai berikut:

Interior design is the planning, layout and design of the


interior space withinbuildings. These physical settings
satisfy our basic need for shelter and protection,they
set the stage for and influence the shape of our
activities, they nurture our aspirations and express the
ideas which accompany our action, they affect
our outlook, mood and personality.The purpose of
interior design , therefore, is the functional
improvement, aesthetic enrichment, and psychological
enhancement of interior space.9

Definisi di atas menjelaskan bahwa desain interior


adalah sebuah perencanaan tataletak dan perancangan
ruang dalam di dalam bangunan. Keadaan fisiknya
memenuhikebutuhan dasar kita akan naungan dan
perlindungan, mempengaruhi bentuk aktivitas

9
Ching. D.K., 2012, Ilustrasi Desain Interior, Gramedia, Jakarta
11

danmemenuhi aspirasi kita dan mengekspresikan gagasan


yang menyertai tindakan kita,disamping itu sebuah desain
interior juga mempengaruhi pandangan, suasana hati
dankepribadian kita.Dari definisi di atas didapat pengertian
bahwa desain interior adalah suatu prosespembentukan
ruang dalam, dengan cara memanipulasi volume ruang serta
pengolahanpermukaaan ruang. Selain hal tersebut, D.K
Ching juga mengungkapkan ada 7 prinsip dasar desain
interior yaitu:10
1. Kesatuan
2. Keseimbangan
3. Point of interest
4. Ritme
5. Detail
6. Skala
7. Proporsi dan warna

Dengan memakai prinsip – prinsip yang ada pada


pembelajaran desain interior, peniliti akan melakukan
pengamatan mengenai tata keruangan yang ada pada rumah
Kenthol di Bagelen. Pengamatan mengenai tata keruangan
ini nantinya diharapkan dapat memberikan penjelasan
makna ruang yang ada di rumah Kenthol Bagelen ini.

3. Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa

10
Ching. D.K., 2012, Ilustrasi Desain Interior, Gramedia, Jakarta
12

Bangunan tradisional Jawa merupakan hasil budaya


masyarakat Indonesia terkhusus di daerah Jawa. Dalam
buku Pola Strukturan dan Teknik Bangunan di Indonesia
karya Heinz Frick(1997) menjelaskan bahwa bangunan Jawa
terdiri dari beberapa bagian – bagian. Bagian tersebut akan
dijelaskan sebagai berikut:

a) Pendopo

Berfungsi sebagai tempat berkumpul orang banyak


dan menerima tamu. Ruang ini bersidat terbuka.
Suasana yang tercermin adalah akrab, cocok dengan
fungsinya sebagai bagian penerimaan. Letak ruang ini
dekat dengan regol, maka dapat dilihat dari luar. Hal
ini dimanfaatkan oleh pemiliknya sehingga pendopo
cenderung dibuat berkesan megah dan berwibawa.

b) Dalem Agung

Merupakan pusat susunan ruang – ruang lain. Fungsi


utamanya sebagai ruang keluarga yang bersifat
pribadi susasana di dalamnya tenang dan berwibawa.
Hal ini didukung oleh penataan vastu purusha
mandala suci, suatu persegi empat yang dibagi
Sembilan persegi kecil. Dalem terdiri atas tiga persegi
tenganh. Pintu dan jendelanya dipasang simetris.
Keadaannya yang agak tertutup memberi kesan
tenang, aman tenteran dan sejuk. Tiga persegi yang
13

paling belakang membentuk senthong dan tiga persegi


muka membentuk pringgitan.

c) Senthong

Merupakan tiga buah kamar yang berjajar. Pada


senthong kiwo dan senthong tengen terdapat pintu
berdaun dua. Kondisi udaranya cukup segar karena
lubang penghawaan cukup. Ruang ini digunakan
sebagai tempat tidur tuan rumah dan untuk
menyimpan harta benda. Senthong tengah merupakan
tempat untuk pemujaan dewi Sri. Kondisi ruangan ini
gelap tanpa cahaya dari luar sehingga udaranya
lembab.

d) Pringgitan

Bentuknya seperti serambi yang terdiri atas tiga


persegi menghadap pendhopo. Ruang ini berfungsi
terutama sebagai tempat memainkan wayang.
Suasana yang tercipta adalah agak remang – remang
dan mengandung mistik.

Pringgitan memiliki makna konseptual yaitu


tempat untuk memperlihatkan diri sebagai simbolisasi
dari pemilik rumah bahwa dirinya hanya merupakan
bayang-bayang atau wayang dari Dewi Sri (dewi padi)
yang merupakan sumber segala kehidupan,
kesuburan, dan kebahagiaan (Hidayatun, 1999:39) 11.
11
Hidayatun, M. I. (1999 ). "PENDOPO DALAM ERA MODERNISASI" Bentuk,
14

Menurut Rahmanu Widayat (2004: 5), pringgitan


adalah ruang antara pendhapa dan dalem sebagai
tempat untuk pertunjukan wayang (ringgit), yaitu
pertunjukan yang berhubungan dengan upacara
ruwatan untuk anak sukerta (anak yang menjadi
mangsa Bathara Kala, dewa raksasa yang maha
hebat).12

e) Tratag

Merupakan gang diantara pendhopo dan pringgitan.

f) Gandok

Gandok adalah rumah – rumah di samping dalem


agung. Gandok kiwo (wetan omah) untuk tidur kaum
laki – laki dan gandok tengen (kulon omah) untuk
kaum perempuan. Biasanya terdapat halaman pribadi
antara dalem agung dan gandok. Suasana yang terjadi
adalah tidak formal dan santai.

g) Gadri

Gadri adalah ruang makan terletak dibelakang


sentong dalem agung. Untuk menuju gadri bisa lewat

Fungsi dan Makna Pendopo pada Arsitektur Tradisional Jawa dalam

Perubahan Kebudayaan. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 27 No.1

12
15

pintu sentong kiwo atau sentong tengen, bisa juga


lewat halaman – halaman diantara dalem agung dan
gandok. Gadri bersifat semi terbuka dan bentuknya
seperti emper. Suasananya santai dan akrab,
perasaan nyaman karena dindingnya terbuka dan
hembusan angin bisa dirasakan.

h) Pawon

Sebagai tempat pelayanan terletak paling belakang.


Pawon biasa digunakan untuk tempat memasak.13

Tabel 1.1: Layout Rumah Tradisional Jawa Bangsawan

13
Frick, Heinz.1997, Pola structural dan teknik bangunan di

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.


16

Tabel 1.2: Layout rumah tradisional Jawa rakyat biasa

Bentukan dari komplek rumah tinggal ini tidak berlaku


secara general melainkan berdasarkan kedudukan pemilik
rumah dalam struktur sosial dan kekayaannya. Kompleks
perumahan dianjurkan untuk disesuaikan, menjadi lebih
besar atau lebih kecil. Bentuk yang terkecil merupakan
reduksi atas rumah induk dalem agung.

Dalam penerapanya, pengukuran tersebut


menggunakan pola antropomorf (berbentuk mirip seperti
wujud manusia). Hubungan antara rumah – rumah dalam
suatu komplek perumahan dapat diidentifikasi menurut
pola antropomorf secara tidak langsung antara bagian
anggota tubuh manusia dan secara langsung hanya di
dalam bagian anggota tubuh manusia. Menurut Heinz Frick
(1989), rumah – rumah kemudian juga tergantung pada
tahapan penyucian tertentu dari luar kedalam menurut
kesempatan masuk dan kesempatan untuk
17

menggunakannya.Tahapan peyucian dapat terlihat juga


dalam perwujudan ruang atau bagian rumah masih –
masing, seperti misalnya dalam pendhopo, yang bersifat
terbuka dan peringgitan yang menghadap pendhopo, sampai
dengan senthong tengah yang kondisinya gelap tanpa
cahaya dari luar sebagai tempat suci untuk meditasi dan
pemujaan. Demikian juga ketinggian masing – masing ruang
berbeda menurut penggunaannya serta mengakibatkan
suasana yang tenteram dan sejuk.14

4. Nilai – Nilai Arsitektural Rumah Jawa

Menurut Dr. Ir. Arya Ronald dalam buku Pengembangan


Arsitektur Rumah Jawa, dalam rumah jawa terdapat dua
hal prinsip yang menyatu dalam satu kesatuan, yaitu fungsi
dan estetika.15 Berikut ini akan diuraikan mengenai prinsip
– prinsip yang telah disebutkan:

a) Fungsi

Dalam hal ini fungsi yang dimaksud adalah


fungsi rumah sebagai tempat untuk berkegiatan.
Masyarakat Jawa mengenal beberapa kegiatan
yang rutin dilakukan di rumah:
14
Frick, Heinz.1997, Pola structural dan teknik bangunan di

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

15
Ronald, Dr. Ir. Arya, 2012, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa,

Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta


18

i. Yang berkaitan dengan peran atau harga diri atau


kedudukan di kalangan masyarakat (jabatan).

ii. Berkaitan dengan kegiatan berusaha atau bekerja


untuk memperoleh penghasilan (pekerjaan).

iii. Berkaitan dengan kegiatan mengisi waktu luang


(kegunaan)

iv. Berkaitan dengan kegiatan menyediakan


kebutuhan makan dan minum serta obat – obatan
(pekerjaan).

b) Estetika

Estetika atau keindahan adalah suatu ungkapan rasa


yang dicurahkan dalam bentuk suatu karya. yang
bertujuan menciptakan kebahagiaan pada diri sendiri
dan bagi orang lain bilamana mungkin. Arya Ronald
(2012), manusia jawa dengan kepekaan perasaannya
yang sangat dekat dengan kekuatan – kekuatan
kosmologi, berusaha menangkap rangsangan dari
lingkungan alam sekitar, mengolah dengan rasa dan
pengalamannya, mengungkapkannya melalui
kemampuan ciptanya dan mencurahkannya dalam
bentuk karya. Dalam karya seni bangunan,
masyarakat Jawa mengolahnya dengan penjabaran
pesan – pesan kehidupan, dalam bentuk perwujudan
simbolik atau perlambang.
19

5. Kebutuhan Manusia Akan Papan

Menurut Arya Ronald (2012), kebutuhan manusia Jawa


akan papan atau rumah tinggal adalah:

i. Rumah hendaknya terbatas, terukur dan nyata

ii. Rumah hendaknya membentuk suasana tertentu

iii. Rumah hendaknya dapat menampung kegiatan


manusia Jawa yang sangat menghargai perubahan

iv. Rumah hendaknya menjadi status kemantapan


rumah tangga

v. Rumah hendaknya memungkinkan menampung


tipe keluarga majemuk

vi. Rumah hendaknya dibuat sedemikian rupa


kuatnya, sehingga memberikan jaminan
keselamatan untuk jangka waktu lama

vii.Rumah hendaknya awet, sehingga dapat bertahan


untuk jangka waktu yang lama.16

6. Rumah Adat Jawa

16
Ronald, Dr. Ir. Arya, 2012, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa,

Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta


20

Menurut Ir. Jonas Silas dalam rangkuman


ceramahnya (Sumber: Harian “Merdeka”, Jakarta, Rabu, 3
Agustus 1983 halaman VII) di Proyek Javanologi BP3K
Departemen P dan K Yogya, tanggal 22 Juli 1983, dengan
tema “Arsitektur Jawa atau Rumah Jawa” mengatakan
bahwa:

“Arsitektur Jawa lebih mementingkan segi non


fisik.Jadi menentukan hari yang tepat, arah yang
tidak salah serta dihadiri oleh kerabat dan tetangga
merupakan persyaratan yang penting dan sangat
diindahkan oleh semua pihak. Sedang penyelesaian
pengukuran bangunan (yang diambil dari trandisionil
nyari, pecak, kilan dsb.). Sudah ada ketentuan yang
baku, tertulis maupun tidak. Karena itu bentuk
bangunan tradisionil tidak akan berbeda kontras
antara yang satu dengan yang lainnya, dalam kurun
waktu relatif panjang. Aspek arsitektur lainnya yang
berbeda dengan bangunan tradisionil adalah
sifat yang rampung dari bangunan. Sejak dulu
arsitektur tradisional di banyak wilayah di Indonesia
merupakan perkembangan yang konsisten dan logis.
Bentuk bangunan tradisional yang paling rumit selalu
saja dengan dikembalikan dalam bentuk aslinya.
Sebagaimana contoh bila kita perhatikan semua
rumah tradisiona Bali, maka segera dapat kita ketahui
bahwa rumah tersebut merupakan realisasi dari
proses pertumbuhan dari keadaaan bio-sosio-ekonomi
keluarga yang bersangkutan. Pada rumah Jawa
prosesnya tidak setegas seperti pada rumah Bali.
Akan tetapi untuk melihat proses pertumbuhan
bangunan tradisional Jawa, lebih menarik bila
memperhatikan perkembangan bentuk bangunannya.”
21

Sedangkan menurut R. Ismunandar K. (2007; 104 -


152) ada beberapa macam bentuk bangunan Jawa yang
dianggap sebagai penanda status dari pemilik rumahnya.
Bentuk bangunan itu secara garis besar adalah:

a) Rumah bentuk joglo

Rumah ini hanya dimiliki oleh orang –orang mampu


karena dibutuhkan bahan yang lebih untuk
membangunnya. Biasanya berbentuk bujur sangkar.
Susunan ruangan biasanya dibagi jadi tiga bagian
yaitu pendapa, pringgitan, dalem dan di dalam
ruangan tersebut ada 3 buah sentong (sentong tengah,
sentong kiwo, dan sentong tengen)

b) Rumah bentuk limasan

Rumah limas punya denah persegi panjang dan dua


buah atap (kejen atau cocor) dan atap lain yang
disebut brunjung. Kenjen atau cocor dapat berubah,
maka rumah limasan mengalami penambahan sisi
sisinya yang disebut atap ember.Jika iteliti perbedaan
dengan rumah joglo. Perbedaan yang ada pada atap
brunjung dan konstruksi bagian tengah. Atap
brunjung rumah limasan lebih panjang tapi lebih
rendah disbanding joglo.

c) Rumah bentuk kampong

Pada umumnya punya denah persegi


panjang.Pada atapnya memakai atap tutup keong.
22

Sebenarnya sama dengan limasan tetapi memiliki


nama lain karena perbedaan pandangan.

d) Rumah bentuk tajug

Bangunan ini biasanya dipergunakan untuk


bangunan ibadah.17

7. Tinjauan Tentang Desain Interior

a) Ruang
Definisi ruang dijelaskan oleh Ching (1996;10)15,
ruang adalah bahan terpenting di mata seorang
perancang dan unsur utama dalam desain interior.
Melalui volume ruang, kita tidak hanya bergerak. Kita
melihat bentuk – bentuk, mendengar berbagai suara,
merasakan hembusan angin dan hangatnya sinar
matahari, mencium bunga – bunga yang nekar. Ruang
mewarisi karakteristik estetis dan sensual unsur –
unsur tersebut untuk bidangnya masing – masing.
Ruang adalah substansi materi, seperti batu dan
kayu. Walaupun demikian, ruang pada umumnya
tidak berbentuk dan terdispresi. Ruang universil tidak
mempunyai definisi. Pada saat suatu unsur diletakan
pada suatu bidang, barulah hubungan visualnya

17
Ismunandar, R., 2007, Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa,

Effhar Offset, Semarang


23

terbentuk. Ketika unsur – unsur lain mulai diletakan


pada bidang tersebut, terjadilah hubungan majemuk
antara ruang dan unsur –unsur tersebut maupun
anara unsur yang satu dengan unsur lainnya. Ruang
oleh karenanya terbentuk dari adanya hubungan –
hubungan tersebut dan kita merasakannya.18

H. Metode Penelitian

1. Metode

Untuk menemukan maksud dari tata ruang dan


pemaknaan ruang terhadap penghuni rumah Kenthol
Bagelen ,sesuai dengan unsur pokok dan berdasarkan
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang telah
ada, maka penelitian ini memakai metode kualitatif.

Metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian


yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci,
teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan,
analisis data bersifat induktif dan hasl penelitian kualitatif
lebih menekankan pada makna.

Pada kasus mengenai tata ruang rumah Kenthol


Bagelen ini diperlukan pengamatan yang mendalam
terhadap fenomena yang terjadi. Fenomena yang ada adalah
perubahan tata keruangan dan pemaknaan ruang terhadap

18
Ching. D.K., 2012, Ilustrasi Desain Interior, Gramedia, Jakarta
24

penghuni. Objek yang akan diteliti adalah objek yang


alamiah. Dengan memakai metode kualitatif ini, diharapkan
peneliti dapat menemukan pola dari tata ruang rumah
Kenthol Bagelen dan memahami pemaknaan ruang secara
lebih mendalam, lebih lengkap dan bermakna sehingga
tujuan penelitian dapat tercapai.

2. Tempat Penelitian

Penelitian terhadap bangunan Jawa ini akan


dilakukan pada rumah tinggal pribadi dari keturunan
langsung Kenthol Bagelen. Lokasi penelitian berada di
daerah Bagelen Purworejo.

3. Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi instrument


penelitian yang utama adala peneliti sendiri. Namun tidak
menutup kemungkinan terjadi pengembangan instrument
penelitian secara sederhana yang diharapkan dapat
menjaring data lebih luas serta mempertajam hasil
observasi.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan pada


penelitian ini memakai teknik pengumpulan data secara
triangulasi / gabungan. Pada pada teknik tersebut,
dilakukan beberapa penggabungan dari teknik penelitian
25

yang ada. Teknik penelitian yang digabungkan adalah


Observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik observasi
yang akan dilakukan oleh peneliti adalah observasi secara
terus terang yaitu sejak dari awal peneliti memberitahukan
maksud penelitian terhadap pemilik rumah sehingga
penghuni rumah tahu maksud dari penelitian yang
dilakukan dan diharapkan didapatkan data yang mendalam.
Sedangkan untuk wawancara, peneliti memakai wawancara
semi terstruktur. Memakai cara ini, sebab peneliti ingin
lebih menemukan permasalahan secara lebih terbuka, di
mana pihal yang diajak wawancara dimintai tentang info
dan pendapat mengenai bangunan Jawa. Selain kedua hal
tadi, peneliti juga memakai dokumen – dokumen pendukung
untuk memperkaya pengentahuan mengenai permasalahan
yang ada. Hasil dari teknik pengumpulan data tersebut
nantinya akan disatukan agar mendapatkan suatu data
yang lebih mendalam dari sebuah penelitian dan dapat
dilaporkan secara natural tanpa manipulasi.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan pada


penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti
konsep dari Miles dan Hubberman.

Miles dan Hubberman (1984) mengatakan bahwa


aktivitas dalam analisis data kualitatif berlangsung secara
terus menerus pata setiap tahapan penelitian sehingga
sampapi tuntas dan data sampai jenuh. Aktivitas dalam
26

analisis data yaitu data reduction, data display, dan


conclusion drawing/verivication.19

DAFTAR PUSTAKA

Ching. D.K., 2012, Ilustrasi Desain Interior, Gramedia, Jakarta

Frick, Heinz.1997, Pola structural dan teknik bangunan di

Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Hidayatun, M. I. (1999 ). "PENDOPO DALAM ERA MODERNISASI"


Bentuk, Fungsi dan Makna Pendopo pada Arsitektur
Tradisional Jawa dalam Perubahan Kebudayaan. Dimensi
Teknik Arsitektur Vol. 27 No.1
Ismunandar, R., 2007, Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa,

Effhar Offset, Semarang

Kartono, J.L., 2006, Konsep Ruang Tradisional Jawa dalam

Konteks Budaya, Dimensi Interior, Vol 3, No. 2, pp 124 –

19
Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data

Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru.

Jakarta: UIP.
27

136

Laksono, P.M., 1985, Tradisi dalam Struktur Masyakarat Jawa:

Kerajaan danPedesaan, Gajah Mada Press, Yogyakarta

Miles, B. Mathew dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data

Kualitatif Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru.

Jakarta: UIP.

Penadi, Radix,1988, Bagelen dan Mataram Kuno. Lembaga Studi

Dan Pengembangan Sosial Budaya, Purworejo

Priyotomo, J., 1984, Ideas and forms of Javanese Architecture,

Gajah Mada University Press, Yogyakarta

Ronald, Dr. Ir. Arya, 2012, Pengembangan Arsitektur Rumah Jawa,

Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta

Santosa, R.B., 2000, Omah: Membaca Makna Rumah Jawa,

Yayayan Bendang Budaya, Yogyakarta

Sugiyono, Prof. Dr., 2014, Memahami Penelitian Kualitatif, CV.

Alfabeta,Bandung

Utomo, T.P. dan Djono, 2012, Nilai Kearifan Lokal Rumah

Tradisional Jawa.

Humaniora, Vol 24, No. 3, pp 269 – 278.


28

Anda mungkin juga menyukai