Anda di halaman 1dari 13

IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Sejarah Teori Antropologi Jilid II

Penulis : Prof. Dr. Koentjaraningrat

Tahun Terbit : 2015

Penerbit : Penerbit Universitas Indonesia

ISBN : 979-456-038-3

I. Antropologi dan Penelitian Komparatif

Pada bab I buku ini, Koentjaraningrat menuliskan tentang antropologi dan


penelitian komparatif. Peneliitian komparatif adalah penelitian yang dilakukan
untuk membandingkan antara beberapa objek penelitian dengan subjek yang
berbeda atau waktu yang berbeda yang bertujuan untuk menemukan hubungan
sebab-akibatnya. Dalam ilmu antropologi, penelitian komparatif dibbagi menjadi
empat jenis yakni (1) penelitian komparatif dengan tujuan menyusun sejarah
kebudayaan manusia secara inferensial. Pada penelitian jenis yang pertama ini
yaitu mengenai sejarah kebudayaan inferensial yang berisi mengenai evolusi
kebudayaan manusia, sejarah difusi unsur-unsur kebudayaan di berbagai daerah
di dunia. (2) penelitian komparatif untuk menggambarkan suatu proses
perubahan kebudayaan. Pada penelitian jenis kedua ini proses-proses
perubahan kebudayaan seringkali dijadikan suatu metode penelitian lapangan
yang bersifat diakronik maupun sinkronik. Metode komparatif diakronik
digunakan apabila seseorang peneliti mengumpulkan data etnografi dalam suatu
komuniti pada suatu saat tertentu, dan diulang kembali beberapa tahun
kemudian pada komuniti yang sama. Metode komparatif sinkronik dilakukan
apabila seorang peneliti mengumpulkan data etnografi dalam dua komuniti
dengan latar-belakang kebudayaan etnik yang sama, tetapi komuniti yang satu
keadaanya relatif terisolasi dan tertutup, sedangkan komuniti satunya dalam
keadaan lebih terbuka. (3) penelitian komparatif untuk taxonomi kebudayaan,
yaitu pengklasifikasian suatu hal berdasarkan hal tertentu, banyak ahli
antropologi menganggap bahwa upaya taxonomi kebudayaan sama pentingnya

1
dengan semua upaya ilmiah lain dalam antropologi. (4) penelitian komparatif
untuk menguji korelasi antarunsur, antarpranata, dan antargejala kebudayaan,
guna membuat generalisasi mengenai tingkah-laku manusia pada umumnya.
Penelitin komparatif ini juga bertujuan untuk memantapkan generalisasi
mengenai kaitan antara unsur-unsur. Hal ini sesuai dengan yang dilakukan para
ahli antropologi seperti E.B. Tylor yaitu konsepsinya mengenai proses evolusi
dari tingkat matriarchate ke tingkat masyarakat patriachate,antara lain dengan
menghitung jumlah korelasi yang ada antara adat-istiadat couvade dengan awal
dari proses evolusi tersebut dalam 300 masyarakat yang tersebar luas di muka
bumi. Selain itu penelitian jenis ini juga dilakukan di Amerika Serikat oleh tiga
orang ahli antropologi yaitu L.T Hobhouse, G.C. Wheeler, dam M. Ginsberg pada
tahun 1930, penelitian ini diberi nama Penelitian Komparatif Cross-Cultural yaitu
meneliti sekitar 600 masyarakat yang tersebar luas di dunia, dengan jalan
mengkorelasikan mata pencaharian dengan organisasi sosial, yang secara
khusus diperinci ke dalam pranata-pranata, kekerabatan, pemerintahan, hukum
dan keadilan, hak milik, pelapisan sosial, kanibalisme, adat membunuh anak
yang dianggap tidak berguna, dan adat membunuh manusia sebagai korban.
H.E. Driver menyatakan penelitian Cross-Cultural dibagi menjadi empat yaitu (1)
penelitian dengan sampel yang terdiri dari kebudayaan-kebudayaan yang
terletak dalam satu atau beberapa daerah kebudayaan, (2) penelitian dengan
sampel yang terdiri dari kebudayaan-kebudyaan yang terletak secara acak di
dunia, (3) penelitian dengan sampel yang terdiri dari kebudayaan-kebudayaan
yang tersebar acak dalam satu benua, dan (4) penelitian dengan sampel yang
terdiri dari kebudayaan-kebudayaan yang dipilih dari semua daerah bebudayaan
di seluruh dunia. Dengan sarana-sarana komunikasi antara para ahli antropologi
di seluruh dunia yang kini makin berkembang, dan adanya kemudahan-
kemudahan yang dimungkinkan oleh kemajuan teknologi komputer masa kini,
maka penelitian seperti itu bukanlah suatu hal yang mustahil.

II. Konsepsi-konsepsi Antropologi Psikologi

Pada bab kedua dalam buku ini, Koentjaraningrat menjelaskan beberapa hal
mengenai konsepsi-konsepsi antropologi psikologi. Antropologi psikologi
merupakan bagian dari ilmu antropologi yang terutama berkembang di Amerika
dan hingga saat ini antropologi psikologi sudah menjadi subilmu tersendiri. Ilmu
antropologi psikologi awalnya berkembang karena (1) ada ahli-ahli antropologi

2
yang dalam usaha memandang suatu kebudayaan sebagai seuatu kesatuan
yang holistik, memfokuskan pada watak khas atau ethos, yang dipancarkan oleh
kebudayaan yang sedang diteliti, (2) karena ada yang berhasrat meneliti sampai
di mana konsep-konsep atau teori teori psikologi yang dikembangkan
berdasarkan data dari kebudayaan-kebudayaan Eropa Barat dan Amerika
metropolitan, bersifat universal dan dapat diterapkan pada individu-individu yang
hidup dalam kebudayaan dan masyarakat di luar lingkungan itu, (3) dan juga
karena ada yang berkeinginan mendeskripsi kepribadian umum penduduk dari
suatu kebudayaan tertentu dengan cara yang lebih ilmiah dan lebih teliti.
Masalah yang mendorong perkembangan antropologi psikologi yaitu masalah
hubungan antara individu dengan masyarakat, masalah pengaruh proses belajar
pada kebudayaan manusia, serta masalah pergeseran orientasi nilai budaya.

Dari hal diatas kemudian dilakukan penelitian mengenai etos kebudayaan atau
watak khas yang dipancarkan suatu kebudayaan atau komuniti. Seorang ahli
antropologi atau peneliti lain dapat mendeskripsikan etos dari suatu kebudayaan,
terutama dengan mengamati tingkah-laku dan gaya hidup warga kebudayaan itu,
tetapi juga dengan menganalisa sifat-sifat dari berbagai unsur dalam
kebudayaan tersebut, baik dari unsur fisiknya, seperti wujud dan gaya senii rupa,
warna-warna yang secara mencolok disukai sebagian warga dan sebagainya,
maupun unsur-unsur kebudayaan yang bersifat rohaniah, kesusasteraan, dan
sebagainya. Menurut Koentjaraningrat para ahli antropologi terlalu banyak
menaruh perhatian kepada dinamika dari unsur-unsur kebudayaan di muka bumi,
tetapi kurang memperhatikan integrasi dari unsur-unsur tersebut dalam
hubungan fungsionalnya dengan unsur-unsur lain dalam kebudayaan induknya.

Pengujian terhadap beberapa konsep psikologi juga dilakukan, beberapa sarjana


antropologi yang selama penelitian di lapangan menemukan bahwa beberapa
pola tingkah-laku manusia dalam masyarakat dan kebudayaan non Ero-Amerika
yang mereka observasi bertentangan dengan apa yang diajarkan ilmu psikologi,
dengan kata lain tidak semua konsep dan teori psikologi dapat diterapkan secara
universal.

Masalah deskripsi kepribadian umum warga masyarakat muncul karena dalam


deskripsi-deskripsi etografi abad ke-19 tulisan para musafir dan pelaut, para
pendeta penyebar agama Nasrani, atau para pegaai pemerintah-pemerintah
jajahan beragai negara Eropa, seringkali ada suatu bagian yang memberi

3
keterangan mengenai watak dari warga masyarakat dan kebudayaan yang
dideskripsi. Dalam menganalisa kepribadian umum digunakan metode eksak
yaitu menganalisis watak individu dengan menggunakan teknik tes-tes proyektif,
yang dipinjam oleh antropologi dari psikologi, khususnya ilmu psiko-analisis.

Analisis data pengalaman individu juga dibutuhkan dengan maksud sebagai


bahan keterangan mengenai apa yang dialami individu-individu tertentusebagai
warga dari suatu masyarakat yang sedang menjadi objek penelitian. Dalam
antropologi penggunaan data pengalaman individu sebagai suatu metode untuk
mencapai pengertian tentang suatu masyarakat dan kebudayaannya, melalui
pandangan mata individu-individu yang merupakan warga dalam masyarakat
yang bersangkutan mula-mula terdorong oleh karena adanya karangan-karangan
mengenai riwayat hidup tokoh-tokoh Indian dari zaman akhir perang Indian
dalam paruh kedua abad ke-19.

Penelitian mengenai sikap manusia terhadap kematian juga dilakukan oleh


beberapa ahli antropologi,masalah itu sebenarnya sejak lama merupakan
perhatian ilmu psikologi dan ilmu pasikiatri, karena banyak gangguan kesehatan
jiwa berasal dari rasa takut kepada kematian, yang tidak disadari lagi oleh
manusia, dan telah masuk dan terdesak ke dalam daerah subdasarnya yaitu jiwa
dan pikiran, ketegnagan psikologi dan stress yang dapat diakibatkannya dapat
menimbulkan gangguan jiwa. Sejak lama beberapa ahli antropologi telah
melakukanpenelitian komparatif mengenai sikap manusia terhadap maut dalam
berbagai kebudayaan yang berbeda-beda. Penelitian seperti itu seringkali
berkaitan erat dengan upaya pengumpulan data mengenai adat-istiadat dan
upacara kematian. Contoh penulisan hasil penelitian semacam itu yaitu tulisan E.
Bendann dalam buku Death Customs (1930).

Menurut Malinowski, penerapan learning theori atau teori belajar dalam suatu
penelitian sangat penting karena meyangkut asas-asas proses belajar makhluk
manusia secara universal, kebudayaan yang menjadi pokok utama dari
antropologi, diperoleh manusia dengan proses belajar sejak saat lahir. Oleh
karena itu dengan memahami asas-asas dari cara belajar manusia, peneliti dapat
memperoleh kunci untuk memahami asas-asas dari kebudayaan. Menurut teori
belajar, tiap makhluk hidup dalam suatu lingkungan, lingkungan itu adalah situasi
pangkal dari segala tingkah-lakunya. Situasi-situasi pangkal ini disebut stimulus

4
(S), dan berada di luar diri makhluk ini, situasi lingkungan mendorong batin untuk
berbuat drive (D), kemudian mengakibatkan adanya reaksi atau response (R).

Penelitian orientasi nilai budaya juga dilakukan karena sistem nilai budaya
berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam
hidupnya. Suatu sistem nilai budaya merupakan sistem tata tindakan yang lebih
tinggi daripada sistem-sistem tata tindakan yang lain, seperti sistem norma,
hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan-santun dan
sebagainya. Sejak kecil seorang individu telah diresapi dengan nilai-nilai budaya
masyarakatnya, sehingga konsep-konsep itu telah berakar di dalam
mentalitasnya dan kemudian sukar diganti dengan yang lain dalam waktu yang
singkat. Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck terdapat lima orientasi nilai budaya
yaitu (1) soal human nature atau makna hidup manusia, (2) soal alam dan
sekitarnya, (3) soal time atau presepsi manusia mengenai waktu, (4) soal activity
atau makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, (5) soal
relational atau hubungan manusia dengan sesama manusia.

III. Konsep-konsepsi Mengenai Perubahan Kebudayan

Pada bab ke-tiga dalam buku ini, Koentjaraningrat menjelaskan tentang


perubahan kebudayaan, akulturasi, dan inovasi. Sejak lahirnya, ilmu antropologi
telah memperhatikan masalah perubahan kebudayaan. Pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20, mulai ada perhatian terhadap unsur-unsur kebudayaan
yang dapat ditemukan tersebar luas di berbagai daerah di muka bumi, sehingga
menghasilkan munculnya teori tentang difusi unsur-unsur kebudayaan. Teori-
teori itu menggambarkanadanya gerak-gerak migrasi dari bangsa-bangsa yang
membawa unsur-unsur tadi untuk mempengaruhi, kebudayaan-kebudayaan asli
bangsa-bangsa yang mereka jumpai di daerah-daerah yang mereka lalui ketika
bermigrasi, sehingga menyebabkan adanya perubahan-perubahan dalam
kebudayaan-kebudayaan tersebut. Dalam karangan mengenai topik akulturasi
terdapat lima masalah yang menjadi perhatian antropologi yaitu (1) masalah
metode untuk mengobservasi, menggambarkan, dan menguraikan proses
akulturasi dalam suatu masyarakat, (2) masalah jalannya proses akulturasi, (3)
masalah psikologi dalam suatu proses akulturasi, (4) masalah timbulnya inovasi,
dan (5) masalah usaha untuk menolak proses akulturasi. Metode untuk
mengamati, melukiskan, dan menganalisis suatu proses akulturasi dapat

5
dilakukan dengan metode reported observation at intervals, dapat juga dilakukan
dengan metode komparatif sinkronik.

R. Linton ahli antropologi yang tertarik pada masalah akulturasi menemukan


konsep perbedaan antara bagian inti dari suatu kebudayaan (covert culture), dan
bagaian perwujudan lahirnya (overt culture), bagian intinya yaitu (1) sistem nilai-
nilai budaya, (2) keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, (3) beberapa
adat sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga
masyarakat, (4) beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam
masyarakat, kemudian bagian lahirnya yaitu kebudayaan fisik, ilmu pengetahuan,
tata cara, gaya hidup, dan reaksi yang berguna dan memberi kenyamanan. G.M
Foster juga meringkas pola proses akulturasi yang biasanya terjadi bila suatu
kebudayaan terkena pengaruh kebudayaan asing.

Perbedaan proses akulturasi dalam suatu kebudayaan (yaitu kebudayaan


diferensial) juga dapat disebabkan karena perbedaan kepribadian individu-
individu yang menjadi warga masyarakat yang tengah mengalami proses
akulturasi. Dalam setiap masyarakat pasti terdapat individu dengan watak kolot,
tetapi ada juga yang berwatak progresif. Ahli antropologi psikologi G. Spindler
dan istrinya L. Spindler telah melakukan penelitian masalah kepribadian individu
kolot maupun progresif dalam masyarakat suku-bangsa Indian Menomini yang
menghasilkan kesimpulan bahwa setiap golongan dengan sub-kebudayaanya
masing-masing mengalami suatu pengaruh kebudayaan asing sebagai proses-
proses yang saling berbeda yaitu proses diferensial.

Suatu perubahan kebudayaan tidak selalu terjadi karena adanya pengaruh


langsung dari unsur-unsur kebudayaan asing, tetapi karena di dalam kerangka
kebudayaan itu sendiri terjadi pembaruan yang biasanya mengalami
penggunaan sumber-sumber alam, energi dan modal. Pengaturan baru tenaga
kerja, dan penggunaan teknologi baru, yang semuanya akan menyebabkan
adanya sistem produksi dan dihasilkan produk yang baru, hal tersebut disebut
inovasi. H.G. Barnett mengajukan pendapat bahwa para individu yang “tidak
terpandang dalam masyarakatnya, atau yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya” itulah yang sering bermotivasi untuk mengadakan
pembaruan dalam kebudayaan, dan menjadi pendorong terjadinya suatu
penemuan baru dan kemudian suatu inovasi. Menurut Koentjaraningrat untuk
mendorong kreativitas diperlukan tumbuhnya kesadaran para individu akan

6
adanya kekurangan dalam kebudayaan mereka, mutu dari keahlian para individu
bersangkutan, adanya sistem perangsang dalam masyarakat yang mendorong
mutu, adanya krisis dalam masyarakat.

Dalam proses akulturasi terkadang terdapat penolakan atau penghindaran


akulturasi, dalam suatu masyarakat yang sedang terkena proses akulturasi,
transisi kebudayaan, terkadang ada konflik dan kekacauan sosial yang
mengakibatkan banyak individu atau golongan sosial yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan keadaan krisis seperti itu, mereka adalah orang-orang
yang tidak tahan hidup dalam suasana tegang terus menerus, namun juga tidak
suka kepada pembaruan, mereka dapat disebut orang-orang kolot.

Kerangka-kerangka Neo-Evolusionos yaitu kerangka baru mengenai proses


perkembangan kebudayan yang bersifat evolusi yang melalui tingkat-tingkat
seragam dan harus dilalui semua bangsa di dunia secara mutlak. Berikut
kerangka neo-evolusionis yaitu (1) kerangka Gordon Childe mengenai peristiwa
perubahan besar dalam sejarah kebudayaan manusia yang pada umumya
bersifat universal sehingga sering disebut universal evolution, (2) kerangka
Leslie White tentang tahap-tahap kemajuan manusia dalam teknologi untuk
menguasai sumber-sumber energi yang makin lama makin kompleks sehingga
proses yang digambarkan oleh tahap-tahap ini juga disebut universal evolution,
(3) metodologi J. Steward untuk menganalisis proses evolusi kebudayaan
berdasarkan konsepsi tergantung dari lingkungan ekologi tertentu, ada unsur-
unsur dalam kebudayaan yang berevolusi seragam, ada juga yang tidak
sehingga disebut multilineal evolution, (4) konsep R. Naroll dan R.L. Carneiro
mengenai perbedaan sifat dan laju evolusi dari unsur-unsur bagian dalam suatu
kebudayaan, yang mengakibatkan suatu proses perubahan yang disebut
differential evolution.

IV. Kebudayaan Folk, Komuniti Kecil, Jaringan Kerabat, dan


Jaringan Sosial

Penelitian terhadap suatu komuniti sebagai suatu satuan sosial holistik telah
lama dilakukan para ahli antropologi dengan metodologi mencatat data hingga
detail, yang dilakukan dalam waktu sekitar satu tahun seperti yang dilakukan
Malinowski di Kepulauan Tobriand menyebabkan berkembangnya konsep
mengenai keudayaan yang disebut folk yaitu kebudayaan rakyat umum yang

7
berbeda dengan kebudayaan primitif. Kebudayaan folk oleh Redfield dianggap
berada dalam masyarakat petani pedesaan pada umumnya (peasant society),
tetapi juga ada pada penduduk kota yang bersifat rakyat umum, yaitu penduduk
yang tidak termasuk “golongan elite. Kemudian Redfield juga menyimpulkan
terdapat empat tipe komuniti yaitu, kota, kota kecil, desa petani, dan desa
terisolasi. Redfield beranggapan bahwa kebudayaan folk dapat diteliti dengan
sebaik-baiknya dalam suatu bentuk masyarakat yang disebunya “komuniti kecil”.
Sebagian besar dari penelitian komuniti dilaksanakan di dalam masyarakat
pedesaan karena suatu desa berukuran kecil, dan mempunyai batas-batas yang
tegas, sehingga mudah dijadikan satuan untuk dipelajari dan dianalisis. Komuniti
kecil memiliki empat sifat yang menjadi latar belakangnya yaitu (1) mempunyai
identitas yang khas, (2) terdiri dari jumlah penduduk yang terbatas sehingga
saling mengenal sebagai individu berkepribadian, (3) bersifat seragam dengan
diferensial terbatas, dan (4) kebutuhn hidup penduduk sangat terbatas sehingga
dapat dipenuhi sendiri tanpa tergantung dari pasaran luar. Jaringan kekerabatan
menjadi perhatian para ahli antropologi, teori-teori dan konsepsi tentang keluarga
dan sistem kekerabatan sudah ada sejak awal lahirnya ilmu antropologi.
Perhatian yang besar terhadap sistem kekerabatan ini mungkin disebabkan
suku-suku diluar Eropa-Amerika seperti Indian menjadi pokok pengumpulan
bahan etnografi karena sistem kekerabatanya sangat berbeda dengan orang
Eropa-Amerika.

Terdapat pula konsep susunan sosial yang bersifat longgar seperti yang terdapat
pada penelitian terhadap masyarakat bangsa Thai yang bersifat loose structure.
Kesadaran akan adanya sifat longgar dalam berbagai masyarakat di dunia
mengakibatkan adanya penelitian-penelitian dalam antropologi yang disebut
analisis jaringan sosial. Metode analisis jaringan sosial banyak digunakan para
ahli antropologi, selain dalam rangka kajian sistem kekerabatan, metode analisis
jaringan juga diterapkan dalam penelitian antropologi dan sosiologi terhadap
satuan-satuan sosial di kota-kota atau untuk menganalisis proses-proses politik
di daerah-daerah pedesaan maupun perkotaan. Dalam metodologi analisis
jaringan sosial terdapat istilah istilah baku seperti “unlimited social network” atau
keseluruhan jaringan sosial yang mungkin menjadi saluran dari segala kegiatan
sosial seorang individu atau “alpha” dalam hidupnya. Sedangkan “Limited social
network” atau partial social network adalah suatu bidang tertentu dalam jaringan
sosial total seorang individu, kemudian ada “role-system set” atau set peranan

8
sosial, ada juga “personal set” atau set pribadi dan masih ada lainya. Dalam
konsepsi analisis sosial, jaringan dan set sosial itu bisa mempunyai batas, tetapi
bisa juga tidak, dan ada tiga hal yang memberi batas tersebut yakni (1) adat-
istiadat atau hukum, (2) waktu, (3) tempat. Pada akhir bab ke-empat ini
Koentjaraningrat mengakhiri dengan suatu uraian mengenai konsep-konsep folk,
komuniti, komuniti kecil, komuniti pertanian, dan jaringan sosial dalam rangka
konsep masyarakat umumnya. Koentjaraningrat mencantumkan “matrix
masyarakat” untuk membandingkan enam satuan sosial yaitu kerumunan,
golongan sosial, kategori sosial, jaringan sosial, kelompok, himpunan, dan
komuniti. Pada matrix masyarakat tampak kedudukan golongan sosial antara
keenam satuan sosial tadi ditambah dengan jaringan sosial. Contoh dari
golongan sosial adalah lapisan sosial, kelas sosial, kasta, dan suku bangsa dan
ditambah dengan semua penduduk yang menganut kebudayaan folk sebagai
suatu golongan sosial juga.

V. Cabang-cabang Spesialisasi dalam Antropologi

Pada bab ke-lima ini Koentjaraningrat menjelaskan tentang cabang-cabang


spesialisasi dalam antropologi. Ilmu antropologi lahir sekitar pertengahan abad
ke-19, ketika ahli-ahli dari beberapa bidang ilmu pengetahuan seperti anatomi,
arkeologi, sejarah kebudayaan, folklor, ilmu hukum, ilmu bahasa, dan geografi
yang tertarik akan himpunan bahan etnografi mengenai kebudayaan-kebudayaan
suku-suku bangsa di luar Eropa dan penduduk pribumi Benua Amerika dan
Australia. Berdasarkan bahan etnografi tersebut mereka mengembangkan teori-
teori mengenai evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia dan dengan
terbitnya buku buku yang memuat teori-teori itu, serta dibukanya jurusan di
beberapa universitas utama di dunia yang mengajarkan teori-teori tersebut, maka
lahirlah ilmu antropologi. Lahir dari beberapa ahli cabang ilmiah, menyebabkan
adanya spesialisasi yaitu antropologi fisik dan antropologi budaya, antropologi
budaya terdiri dari ilmu arkeologi prehistori dan ilmu etnologi. Tidak lama
kemudian muncul ilmu etnolinguistik dari para ahli bahasa komparatif yang
membandingkan kesusasteraan antar bahasa. Kemudian lahir ilmu antropologi
psikologi karena adanya penelitian yang menggunakan konsep psikologi untuk
meneliti tingkah laku manusia. Pada etnologi, terdapat sepuluh spesialisasi ilmu
antropologi yaitu antropologi ekonomi, kependudukan, politik, hukum, linguistik,
kognitif, perkotaan, kesehatan, ekologi, dan pendidikan. Dalam bab ke-lima ini

9
yang dibahas detail oleh Koentjaraningrat hanya tiga spesialisasi yaitu pertama,
antropologi ekonomi, cabang spesialisasi antropologi baru berkembang dengan
pesat sesudah tahun 1920. Etnografi kebudayaan suku-suku bangsa selalu
memuat tentang mata pencaharian hidup dari berburu dan meramu, berternak,
hingga kemudian bercocok tanam. Antropologi ekonomi ada dua macam yaitu
substantivis dan formalis. Kemudian antropologi politik baru mulai berkembang
pesat setelah tahun 1940. Topik-topik yang termasuk antropologi politik yaitu
masalah-masalah hukum adat, organisasi kenegaraan, organisasi perang,
organisasi kepemimpinan, pemerintahan, dan kekuasaan. Kemudian dijelaskan
juga evolusi terjadinya organisasi kenegaraan, organisasi perang, dampak
dampak akibat dari perang. Selanjutnya antropologi pendidikan adalah cabang
spesialisasi yang termuda dalam ilmu antropologi. Ilmu antropologi pendidikan
diperlukan untuk meneliti masalah-masalah pendidikan sekolah yang kini
semakin banyak. Antropologi pendidikan dapat diacu kembali ke karangan-
karangan dan kajian-kajian mengenai masalah akulturasi, sosialisasi, dan
transmisi kebudayaan.

VI. Antropologi Terapan dan Antropologi Pembangunan

Pada bab ke-enam atau bab terakhir buku ini, Koentjaraningrat menerangkan
tentang antropologi terapan dan antropologi pembangunan. Sudah sejak awal
lahirnya ilmu antropologi pada pertengahan abad ke-19, ilmu antropologi sudah
mempunyai aspek terapan, pengertian tentang kehidupan masyarakat suku-
suku bangsa yang di anggap sederhana atau primitif, diterapkan dalam upaya
memperbaiki nasib mereka, walaupun demikian, di Amerika Serikat nasib suku-
suku bangsa Indian penduduk asli pribumi Amerika mulai punah karena terdesak
oleh kaum pendatang dari Eropa. Para negara-negara Eropa khususnya Belanda
dan Inggris mengalami perubahan sikap yang semula bersifat mengeksploitasi
tenaga penduduk serta kekayaan alam di wilayah-wilayah jajahan mereka,
berubah menjadi keinginan untuk memajukan serta memperbaiki kesejahteraan
penduduk-penduduk negara jajahanya tersebut. Para pegawai pemerintah
jajahan di Indonesia mempelajari secara mendalam masyarakat dan kebudayaan
penduduk daerah di mana mereka ditempatkan, dan melakukan penelitian yang
khusus mengenai suatu topik tertentu untuk mereka jadikan bahan bagi
penulisan disertasi mereka pada waktu mereka cuti ke Negeri Belanda. Dengan
demikian, disertasi-disertasi dalam salah satu bidang ilmu indologie, hasil karya

10
pegawai pemerintah jajahan di Indonesia itu tergolong disertasi dalam bidang
ilmu bangsa-bangsa yang khas, yang biasanya mengambil topik yang erat
berkaitan dengan masalah-masalah ekonomi atau sosial budaya yang mereka
hadapi dalam pekerjaan mereka, oleh karena itulah ilmu itu memiliki sifat
terapan.

Antropologi pembangunan, sesudah Perang Dunia II, yaitu antara tahun 1950
sampai 1960, sebagian besar negara jajahan memperoleh kemerdekaan.
Negara-negara baru yang umumnya miskin itu semua ingin maju, dan kemajuan
itu umumnya mengkonsepsikan sebagai kemajuan ekonomi, yang berarti keluar
dari kemiskinan. Upaya untuk mencapainya adalah dengan melakukan
pembangunan ekonomi. Dalam kenyataan, pembangunan ekonomi di negara-
negara baru yang semua miskin itu diupayakan dengan bantuan negara-negara
yang telah maju dan kaya.

Kemudian dijelaskan pula beberapa masalah teori dan metodologi


pembangunan sebagai berikut yaitu (1) masalah dualisme ekonomi, atau
kesenjangan antara ekonomi pedesaan dan ekonomi industri di negara yang
sedang membangun, (2) masalah kesenjangan kemajuan sosial-budaya antara
berbagai golongan sosial dan bagian bagian tertentu dalam negara-negara yang
membangun, (3) masalah merangsang orientasi nilai budaya dan jiwa wiraswasta
yang mendorong kemakmuran, (4) masalah peranan agama dalam
pembangunan.

Kemudian dijelaskan juga masalah kebijakan pembangunan yaitu (1) aspek


manusia dalam model-model perencanaan pembangunan, (2) masalah arah
pembangunan yang berbeda daripada arah pembangunan yang menuju ke
masyarakat serupa masyarakat Eropa Barat atau Amerika, (3) kajian antropologi
mengenai pembangunan ekonomi marxisme, (4) aspek manusia dari
pembangunan padat karya, atau pembangunan padat modal.

Dan ada juga masalah sektor-sektor serta unsur-unsur yang dibangun, dan
akubat sosial-politiknya (1) masyarakat desa, (2) penduduk migrasi, urbanisasi,
transmigrasi, KB, (3) lingkungan (4) kepemimpinan dan pembangunan (5)
perubahan sosial-budaya akibat pembangunan, (6) pendidikan sebagai masalah
khusus dalam pembangunan, (7) aspek manusia dalam reorganisasi administrasi
dan pemerintahan, (8) masyarakat majemuk dan integrasi nasional.

11
Antropologi terapan di Indonesia sebelum perang dunia II pada zaman
penjajahan bersifat terapan yang dipelajari oleh para ahli indologie dan para
perwira Belanda di Universiteit te Leiden, pengetahuan yang mereka perlukan
dalam pekerjaan mereka sebagai pegawai pemerintah kolonial, sebagai guru,
sebagai penyiar agama Nasrani, atau sebagai perwira di Hindia Belanda,
kemudian setelah perang dunia II Indologie tidak lagi mengalami masa jaya
seperti dalam zaman penjajahan

Apabila kita perhatikan bahwa peranan antropologi dalam pembangunan


terutama beradadalam penelitian masalah-masalah pembangunan maka
menurut nalar tidak ada perbedaan antara antropologi dan antropologi
pembangunan, atau antara antropologi dan antropologi terapan, karena semua
hasil penelitian antropologi umum maupun bidang-bidang antropologi spesialisasi
dapat digunakan untuk menambah data dan pengertian yang perlu untuk
penyempurnaan pembangunan yang direncanakan dan dilaksanakan orang lain.
Penelitian dengan pembangunan juga ada kaitannya sesuai dalam bagan di
buku, yaitu urutannya penelitian masalah-masalah pembangunan oleh Ilmu-ilmu
teknologi, alam, dan sosial di universitas dan lembaga penelitian negeri/swasta
kemudian disampaikan perencanaan pembangunan di BAPPENAS/BAPPEDA
REPELITA, kemudian dilakukan pembahasan Repelita di DPR/DPRD oleh kaum
politik dan kekuatan politik, kemudian baru disampaikan kepada pelaksana
pembangunan di departemen pemerintah, setelah itu dilakukan penelitian
kembali oleh ilmu teknologi, ilmu alam, dan ilmu sosial mengenai kelayakan
proyek pembangunan, akibat positifnya, dan akibat negatifnya.

Komentar Kritis

12
Kelebihan buku : Bahasa yang digunakan sangat mudah dipahami jika
dibandingkan buku yang jilid ke-1, isi buku menarik, mudah dipahami, saya
tertarik dengan matrix masyarakat yang dibuat oleh Koentjaraningrat yang
membandingkan atau mengelompokan enam satuan sosial, melalui matriks
masyarakat tersebut berguna untuk mencari unsur-unsur pengikat satuan sosial,
dan juga dapat menentukan masyarakat golongan folk dengan mudah. Harga
buku cukup terjangkau dengan isi yang bermanfaat seperti ini.

Kekurangan buku : dalam buku ini terdapat banyak kalimat yang tidak efektif
bertele-tele diulang-ulang, meskipun sudah mudah dipahami, mungkin akan lebih
baik jika menggunakan kalimat efektif agar buku tidak terlalu tebal, atau tidak
memakan banyak kertas dalam pencetakkannya.

13

Anda mungkin juga menyukai