DI INDRAMAYU
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Antropologi Visual
Oleh:
HELDA DEVRIYANTI
17/422403/PSA/08350
PEMERINTAH PERUSAHAAN
PESTISIDA
PETANI
Kedua belah pihak ini, perusahaan maupun pemerintah terus menekan petani, baik dari
perusahaan maupun pemerintah tidak memberikan solusi masalah yang dihadapi petani.
Padahal pemerintah sendiripun gajinya di dapatkan dari uang rakyat, dan disini petani
termasuk ke dalam golongan rakyat biasa. Namun pemerintah malah menyulitkan petani
sebagai rakyat biasa dalam proses produksi pertanian. Tak pernah ada solusi yang bisa
diberikan pemerintah kepada para petani untuk mengurangi ongkos produksi. Namun
pihak perusahaan sebagai pemilik modal mengkapitalisasi pasar, dan pemerintah sendiri
hasil produksi petani dijual ke pihak perusahaan, sehingga hasil pertanian dari petani
mengalami perpindahan tangan kepada pihak ke-3. Kemudian hasil pertanian yang dijual
pemerintah pihak ke-3 dibeli lagi oleh pihak pertama yaitu petani untuk dikonsumsi
keluarga. Tetapi harga yang ditawarkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang
dihargai pemerintah untuk membeli hasil produksi dari petani langsung.
Peran etnografer visual dalam pengambilan angle keluhan petani sebagai data
etnografi visual ini berujung pada ‘objektivikasi’, dimana penelitian sering jatuh pada
tentang (on) masyarakat, dan bukan bersama (with) masyarakat. Tak terlihat di dalam film
para etnografer ikut bersama rakyat dalam pemuliaan petani. Antropolog di film ini hanya
bertugas merekam bagaimana proses petani Indramayu yang tadinya ketergantungan
dengan pestisida dari kaum borjuis (perusahaan yang menjual obat-obat pertanian) menuju
petani yang mandiri dalam memproduksi yang mereka katakana sebagai hasil pertanian
‘organik’.
Maksud petani dalam menghasilkan pertanian’organik’ adalah para petani ingin
kembali menikmati “kemerdekaan seperti jaman bengen”. Jaman bengen menurut petani
merupakan masa pada jaman nenek moyang mereka hidup bercocok tanam dengan cara
yang jauh lebih sederhana daripada masa kini, tetapi yang memiliki kemandirian dan
kemerdekaan mengambil keputusan (Winarto, 2011: 14). Ditambah lagi munculnya era
Revolusi Hijau selama empat dekade terakhir dan masih dirasakan sampe sekarang bahwa
petani masih tergantung pada perusahaan dalam hal produksi,baik itu benih, pestisida, alat-
alat produksi dan lain-lain.
E. KESIMPULAN
Disini saya dapat menarik beberapa poin kesimpulan, bahwa:
1. Judul Film
Dengan kemonotonan yang direkam dalam filem ini, tidak berakhir secara
klimaks antara narasi dan judul film. Yang ditampilkan hanya proses bagaimana petani
bekerja secara mandiri, memproduksi bibit dan obat pestisida sendiri. Tidak berakhir pada
cara petani keluar dari ketergantungan pada pihak perusahaan akan barang-barang
produksi.
Ditambah lagi judul film dengan menggunakan bahasa daerah yang menurut si
pembuat filem dapat meningkatkan ke-‘seksi’-an dari film ini, namun kenyataanya tidak
Tak ada kejelasan yang sangat mendalam antara judul film dengan menggunakana bahasa
daerah terhadap kemandirian petani menggunakan pengetahuan lokal.
2. Durasi Film
Durasi panjang dari film ini ebenarnya dapat diperpendek. Secara universal, hal
yang ditampilkan difilm ini sangat monoton, kurang fokus dan agak bertele-tele. Seperti
contoh penampilan wayang sebagai intermezzo. Penambahan durasi pada narasi wayang
menambah kompleksitas dari film itu sendiri. Tak ada hubungannya antara wayang dengan
judul film.Secara retorik, semua hal yang ditampilkan dalam film ini bermasalah karena
ketidak kontrasan dari inti cerita dengan judul film.
Pada dasarnya untuk menjadi petani mandiri, mealui proses yang sangat panjang.
Melakukan kegiatan Bisa Dewek ini petani harus memiliki relasi kekuasaan yang
mengakibatkan ia harus melawan negara. Petani tidak bisa mendistribusikan hasil produksi
dari bibit dan pestisida organik (yang diracik oleh petani sendiri) keluar daerah mereka.
Jika hal ini terjadi, mereka akan dihukum penjara.
Padahal dengan kegiatan Bisa Dewek petani dapat menekan biaya produksi dan
menabung sedikit uang untuk memenuhi biaya kebutuhan hidupnya nanti. Sungguh sangat
memprihatinkan hidup petani, bahkan dari segala arahpun mereka selalu ditindas,
seharusnya petani ini diayomi karena dari mereka kita bisa terus makan makanan pokok
kita setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA
Winarto, Yunita T. (2011). Bisa Dewek: Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di
Indramayu. Gramata Publishing: Depok