Anda di halaman 1dari 8

BISA DEWEK: KISAH PERJUANGAN PETANI PEMULIA TANANAMAN

DI INDRAMAYU

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Ujian Akhir Semester (UAS)
Mata Kuliah Antropologi Visual

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Pm. Laksono, M.A

Oleh:
HELDA DEVRIYANTI
17/422403/PSA/08350

JURUSAN PASCA SARJANA ANTROPOLOGI


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2018
A. PENDAHULUAN
Sebuah penyajian filem karya Yunita T. Winarto tentang bagaimana petani dapat
mengatasi masalah produksi beras, khususnya pada kelompok petani di Kabupaten
Indramayu. Para petani ini tergabung dalam IPPHTI (Ikatan Petani Pengendalian Hama
Terpadu Indonesia). Menurut Yunita sendiri, ‘keresahan’ yang dirasakan petani bisa
disajikan ke dalam media audio visual untuk dapat ‘didengar’ oleh masyarakat lain (di luar
kelompok tani yang merasakan keresahan itu).
Bagi si penyunting, sebagai kajian antropologi, fenomena ini sangat penting untuk
didokumentasikan mengingat bahwa pengetahuan pemuliaan tanaman (plant breeding)
dikuasi oleh kalangan ilmuwan (breeder) dengan kualifikasi akademik tertentu dan bukan
pengetahuan yang bersifat umum. Perbandingan pengetahuan antar dua kalangan, yang
mana kalangan ilmuwan yang melakukan pemuliaan tanaman didasarkan pada prinsip-
prinsip rekayasa genetika yang tidak kasat mata, sedangkan untuk kalangan petani sendiri
pengetahuannya berdasarkan pada apa yang mereka amati melalui panca inderanya. Hal ini
sama apa yang dikatakan Morphy and Banks (1999) bahwa fokus perhatian dari
antropologi visual menyangkut penggunaan materi visual dalam penelitian antropologi dan
visual antropologi merupakan studi mengenai sistem visual dan budaya yang terlihat serta
memproduksi dan menggunakan hasil dari visual antropologi.
Maksud yang ingin disampaikan dari filem ini adalah mengantarkan kepada sang
penonton bahwa petani bisa mandiri dalam memuliakan tanaman. Pengetahuan yang
dimiliki kelompok petani ini sendiripun sebenarnya telah melakukan proses interpretasi
dan internalisasi pengetahuan ilmiah (scientific knowledge).
Salah satu dasar metode yang digunakan dalam filem ini adalah etnografi visual.
Dimana dari awal cerita menampilkan petani melakukan tawar menawar dalam pembelian
pupuk dan pestisida ke toko. Hal ini dikarenakan para petani wajib menggunakan pestisida
yang dianjurkan pemerintah tetapi harganya sangat tinggi dan jika dibandingkan nanti hasil
produksi dengan biaya yang dikeluarkan petani untuk menanam, jauhnya sangat signifikan.
Dan jikadihitung hitung, pekerjaan petani ini hanya dihargai Rp. 250, dan ini tertuang di
dalam filem Bisa Dewek.
B. PERAN ILMU ANTROPOLOGI VISUAL DALAM FILM ETNOGRAFI
Secara umum, ada duafokus dari ilmu antropologi visual. Di satu sisi ia konsen
pada penggunaan bahan-bahan visual dalam penelitian antropologi. Disisi lain, ia dipahami
sebagai kajian terhadap sistem-sistem visual dan budaya visible. Namun pada praktiknya,
sejauh ini apa yang disebut sebagai antropologi visual itu terbatas dan lebih banyak pada
yang pertama, yaitu sebagai suatu bentuk representasi seorang (atau lebih) antropolog
terhadap suatu komunitas dengan menggunakan perangkat (teknologi) visual, terutama foto
dan film, untuk kepentingan eksplorasi (exploration) maupun sebagai perekaman data
(recording data). Sementara yang kedua, bagaimana antropologi visual menjadi suatu studi
terhadap dunia dan sistem visual suatu komunitas, masih banyak terabaikan.
Dapat kita ambil contoh dalam film Bisa Dewek pada scene seorang petani yang
sedang membeli beberapa obat tanaman di toko penjual pestisida dan pupuk. Dari ekspresi
yang sayalihat pada Bapak yang melakukan tawar menawar di toko itu, wajahnyasangat
sedih dan ia meminta untuk di kurangi harga total belanjanya dengan alasan ‘membeli es’.
Sebenarnya kata ‘untuk membeli es’ bukan lah dalam artian sebenarnya. Antara kata
membeli es dan keinginanan Bapak untuk dikurangi harga pestisida itu ada harapan agar si
penjual mau mengurangi harga belanjaannya. Ditambah lagi si Bapak menggunakan rawut
wajah yang sedih. Namun pengurangan harga yang diberikan si penjual sangat sedikit.
Disinilah terjadi adanya konflik antara kebutuhan petani untuk bahan produksi dan hasil
pendapatan biaya produksi.
Pada scene yang sama, disana si kameraman mengarahkan kameranya ke dinding
toko, ada poster yang menyatakan ‘berhadiah kaos setiap pembelian 1 botol ukuran
500ml’, dan si bapak protes dengan hadiah itu. Namun saya sendiri beranggapan bahwa
apakah ‘kaos’ itu fungsinya untuk memberdayakan petani atau dengan memakai kaos itu
petani diberdayakan?. Jawaban inipun jika disimpulkan pada komentar si Bapak pembeli
bahwa ia tak butuh kaos, ia hanya menginginkan biaya obat-obatan pestisida itu dapat
diturunkan. Setelah membeli beberapa obat-obat pertanian, bapak ini mendorong sepeda
ontelnya yang sudah butut dan akan mengendarainya dibawah terik matahari yang sangat
panas. Dapat disini saya gambarkan bahwa ketepurukan petani menghadapi kesulitan
ekonomi karena ketidak seimbangan antara pendapatan dan biaya produksi.
C. HUBUNGAN ANTARA PETANI DAN ETNOGRAFER VISUAL
Dalam proses perekaman data film etnografi Bisa Dewek ini, si penyunting
(antropolog) mengatakan ia menggunakan metode audio visual. Alasannya adalah yang
pertama, adanyakebutuhan dari kelompok petani pemulia tanaman di Indramayu untuk
mendokumentasikan dan memublikasikan kegiatan pemuliaan secara luas. Kebutuhan
untuk mempublikasikan kegiatan ini muncul karena adanya tuntutan untuk mendapatkan
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak terhadap kegiatan pengembangan pengetahuan
pertanian oleh petani IPPHTI disebut sebagai ‘Sains Petani’ termasuk didalamnya adalah
kegiatan pemuliaan tanaman padi dan sayuran. Dari pengalaman petani, kegatan
pengemban Sains Petani kurang mendapatkan pengakuan dan dukungan dari berbagai
pihak termasuk pemerintah daerah Kabupaten Indramayu. Kegiatan pelatihan pemuliaan
tanaman yang difasilitasi oleh sebuah LSM dalam bentuk Sekolah Lapang bahkan pernah
dianggap sebagai kegiatan illegal dan pernah diancam akan ditutup oleh Dinas Pertanian
setempat.
Jika dilihat dari ringkasan yang diceritakan oleh penyunting di atas, saya dapat
menggambarkan bagaimana posisi petani yang ditekan oleh 2 belah pihak yaitu antara
pemerintah dan pemilik modal (perusahaan yang menjual produk pestisida dan sejenisnya),
seperti gambar berikut:

Gambar 1. Letak Posisi Petani Dalam Realita

PEMERINTAH PERUSAHAAN
PESTISIDA

PETANI

Kedua belah pihak ini, perusahaan maupun pemerintah terus menekan petani, baik dari
perusahaan maupun pemerintah tidak memberikan solusi masalah yang dihadapi petani.
Padahal pemerintah sendiripun gajinya di dapatkan dari uang rakyat, dan disini petani
termasuk ke dalam golongan rakyat biasa. Namun pemerintah malah menyulitkan petani
sebagai rakyat biasa dalam proses produksi pertanian. Tak pernah ada solusi yang bisa
diberikan pemerintah kepada para petani untuk mengurangi ongkos produksi. Namun
pihak perusahaan sebagai pemilik modal mengkapitalisasi pasar, dan pemerintah sendiri
hasil produksi petani dijual ke pihak perusahaan, sehingga hasil pertanian dari petani
mengalami perpindahan tangan kepada pihak ke-3. Kemudian hasil pertanian yang dijual
pemerintah pihak ke-3 dibeli lagi oleh pihak pertama yaitu petani untuk dikonsumsi
keluarga. Tetapi harga yang ditawarkan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang
dihargai pemerintah untuk membeli hasil produksi dari petani langsung.
Peran etnografer visual dalam pengambilan angle keluhan petani sebagai data
etnografi visual ini berujung pada ‘objektivikasi’, dimana penelitian sering jatuh pada
tentang (on) masyarakat, dan bukan bersama (with) masyarakat. Tak terlihat di dalam film
para etnografer ikut bersama rakyat dalam pemuliaan petani. Antropolog di film ini hanya
bertugas merekam bagaimana proses petani Indramayu yang tadinya ketergantungan
dengan pestisida dari kaum borjuis (perusahaan yang menjual obat-obat pertanian) menuju
petani yang mandiri dalam memproduksi yang mereka katakana sebagai hasil pertanian
‘organik’.
Maksud petani dalam menghasilkan pertanian’organik’ adalah para petani ingin
kembali menikmati “kemerdekaan seperti jaman bengen”. Jaman bengen menurut petani
merupakan masa pada jaman nenek moyang mereka hidup bercocok tanam dengan cara
yang jauh lebih sederhana daripada masa kini, tetapi yang memiliki kemandirian dan
kemerdekaan mengambil keputusan (Winarto, 2011: 14). Ditambah lagi munculnya era
Revolusi Hijau selama empat dekade terakhir dan masih dirasakan sampe sekarang bahwa
petani masih tergantung pada perusahaan dalam hal produksi,baik itu benih, pestisida, alat-
alat produksi dan lain-lain.

D. JURAGAN, HARAPAN DAN PUNCTUM


Sepanjang film dari awal hingga akhirnya selalu menampilkan pemandangan
sawah dan suasana sosial petani yang sangat monoton dan membosankan. Untuk meng-
hindari kebosanan tersebut, kamera pun diarahkan kepada acara dangdut (punctum) yang
diselenggarakan di desa itu. Hal ini jika dikaitkan konsep dualitas yang dikemukakan oleh
Barthes (Fauzanafi, 2012:30). Untuk menghindari kejenuhan yang ditampilkan dalam film
tersebut yang hanya mengambil gambar sawah (stadium).
Sehingga durasi kecil yang kemudian ditampilkan keluar dari objek film (out of
the box) yaitu ketika Pak Darmin naik ke panggung dan si biduan memanggilnya dengan
sebutan ‘Bos Organik’, setelah disebut bos organik oleh sang biduan, pak Darmin
mengeluarkan sejumlah uang (sawer) dari saku bajunya. Jika diperhatikan tindakan nyawer
yang dilakukan Pak Darmin (Bos Organik) adalah sebuah pesan visual, bahwa yang ingin
ditampilkan adalah petani memiliki harapan untuk sukses dan dapat keuntungan besar dari
hasil produksi, keluar dari kemiskinan, dapat memiliki kekuasaan dan harta berlebih jika
menjadi petani organik atau petani yang tidak ketergantungan dengan mahalnya harga
bibit, pestisida, dan alat-alat produksi yang dibeli di toko atau perusahaan (petani mandiri).
Cerita out of the box ini bahkan menampilkan kesumringahan senyum Bos
Organik bahwa ia sukses dengan pengetahuan dan ia ‘lampiaskan’ dengan kemandirian
dalam memproduksi bibit, pestisida sendiri dan alat produksi sendiri.

E. KESIMPULAN
Disini saya dapat menarik beberapa poin kesimpulan, bahwa:

1. Judul Film
Dengan kemonotonan yang direkam dalam filem ini, tidak berakhir secara
klimaks antara narasi dan judul film. Yang ditampilkan hanya proses bagaimana petani
bekerja secara mandiri, memproduksi bibit dan obat pestisida sendiri. Tidak berakhir pada
cara petani keluar dari ketergantungan pada pihak perusahaan akan barang-barang
produksi.
Ditambah lagi judul film dengan menggunakan bahasa daerah yang menurut si
pembuat filem dapat meningkatkan ke-‘seksi’-an dari film ini, namun kenyataanya tidak
Tak ada kejelasan yang sangat mendalam antara judul film dengan menggunakana bahasa
daerah terhadap kemandirian petani menggunakan pengetahuan lokal.
2. Durasi Film
Durasi panjang dari film ini ebenarnya dapat diperpendek. Secara universal, hal
yang ditampilkan difilm ini sangat monoton, kurang fokus dan agak bertele-tele. Seperti
contoh penampilan wayang sebagai intermezzo. Penambahan durasi pada narasi wayang
menambah kompleksitas dari film itu sendiri. Tak ada hubungannya antara wayang dengan
judul film.Secara retorik, semua hal yang ditampilkan dalam film ini bermasalah karena
ketidak kontrasan dari inti cerita dengan judul film.

3. Ost (Original Soundtrack)


Pada akhir film, menyisipkan sedikit lagu dengan menggunakan bahasa daerah
sunda. Disana si penyanyi menyairkan kata wengi peting yang berarti saat petang atau
malam. Hal ini mengindikasikan bahwa sang pembuat film kehilangan kapasitasnya untuk
mengontraskan antara shooting yang dilakukan pada siang hari namun ost nya menyairkan
kegiatan petani di malam hari.

Pada dasarnya untuk menjadi petani mandiri, mealui proses yang sangat panjang.
Melakukan kegiatan Bisa Dewek ini petani harus memiliki relasi kekuasaan yang
mengakibatkan ia harus melawan negara. Petani tidak bisa mendistribusikan hasil produksi
dari bibit dan pestisida organik (yang diracik oleh petani sendiri) keluar daerah mereka.
Jika hal ini terjadi, mereka akan dihukum penjara.
Padahal dengan kegiatan Bisa Dewek petani dapat menekan biaya produksi dan
menabung sedikit uang untuk memenuhi biaya kebutuhan hidupnya nanti. Sungguh sangat
memprihatinkan hidup petani, bahkan dari segala arahpun mereka selalu ditindas,
seharusnya petani ini diayomi karena dari mereka kita bisa terus makan makanan pokok
kita setiap hari.
DAFTAR PUSTAKA

Banks, Marcus, and Howard Morphy. (1999). Introduction: Rethinking Visual


Anthropology”. Yale University Press: USA.

Fauzanafi, Zamzam. (2012). Melampaui Penglihatan. Rumah Sinema: Yogyakarta

Winarto, Yunita T. (2011). Bisa Dewek: Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di
Indramayu. Gramata Publishing: Depok

Anda mungkin juga menyukai