Anda di halaman 1dari 5

CERPEN: MEMORI AKTIVIS KAMPUS

#AKU INGIN JADI MAHASISWA LAGI

Mengenyam pendidikan di bangku kuliah hampir hanya sebatas mimpi


baginya, bagaimana tidak, dengan keadaan ekonomi yang sangat pas-
pasan hampir menjadi barang mustahil. Bahkan ia hampir putus asa,
tidak jarang ia mengadu pada nalurinya, memberontak, mengeluh,
mengadu tapi semua tidak memberikannya jalan keluar seperti yang ia
harapkan.

Sampai datang suatu ketika, ketika tangan tuhan ikut intervensi dalam
masalahnya, memberikan kesempatan baginya untuk meneruskan
mimpinya. Memang benar, tidak ada yang tidak mungkin jika tuhan
berkehendak. Sampai kemudian, tepat di hari sabtu 10 Oktober 2015 ia
resmi melepas sandangan mahasiswa serta atribut kebanggannya
tersebut.

Di hari bahagia itu, Masih terngiang di telinganya ucapan Ketua


Sidang saat yudisium, beberapa minggu lalu, usai ia melaksanakan ujian
Sarjana Lengkap: “ Dengan ini Anda berhak menyandang gelar Sarjana
pendidikan”. Tepuk riuh kemudian menggema di aula yudisium ketika
itu.

Sebentuk keharuan dan kebanggaan mendadak menggelepar, namun


bersamaan itu ada kesedihan menohok di hatinya. Ia sedih karena
kegiatannya sebagai aktivis kampus mesti ditinggalkan. Sebuah ironi
yang menyesakkan.

Meski ini berlangsung secara alamiah, sebagaimana target akhir yang


ada di benak setiap mahasiswa di kampus, tak urung membuat batinnya
tak rela. Sepak terjang legendaris yang telah dilakukannya di kampus
selama ia menyandang atribut sebagai tokoh mahasiswa itu, tak hanya
menjadi wujud eksistensinya tetapi juga adalah catatan emas dan
referensi yang selalu dikenang kapan saja.

Rholin menghirup dalam-dalam rokok kreteknya.

Besok, ia akan mengikuti wisuda sarjana. Suatu prosesi megah yang


menandai pelepasannya dan segeap alumni sekolah tinggi ini.

Ia tiba-tiba merasa gundah. Perjalanan hidup kemahasiswaannya selama


lebih kurang 6 tahun itu terasa sangat singkat. Sangat singkat. Ia masih
ingat betul, ketika bersama kawan-kawanya mengadakan demonstrasi ke
kantor DPRD, bahkan ia pernah terlibat disalah satu aksi yang mencoba
melengserkan pimpinan tertinggi di tempat ia kuliah tersebut,
memprotes kebijakan sepihak yang merugikan mahasiswa atau diskusi
hangat di kampus tentang Postmodernisme, Situasi Politik Indonesia,
Kondisi Lembaga Mahasiswa sampai kecantikan mahasiswi idaman
yang memikat hati para aktivis, di tengah malam dan disertai kopi panas
mengepul-ngepul, atau juga liku-liku perjuangannya sebagai wartawan
kampus memburu sumber berita bahkan sempat mendapat lemparan
sandal dari sang calon responden yang bersangkutan

Rholin tersenyum sendiri mengenangnya.

Lantas ada juga cerita tentang Yanti.

Perempuan bermata kejora yang memporak-porandakan hatinya. Kisah


itu dijalin begitu mesra sejak mereka berdua saling kenal pada acara
latihan Jurnalistik Mahasiswa 4 tahun yang lalu. Yanti memang sangat
mempesona. Parasnya yang putih bersinar membuatnya terpukau
sekaligus terpuruk dalam lautan asmara.

Ia tak kuasa membendung betot magis Yanti yang ketika itu menjadi
salah seorang peserta kegiatan tersebut.

“ Kamu siap menjadi kekasih seorang aktivis?” tanyanya pada Yanti,


suatu sore di Pantai Labuhan, saat hubungan mereka sudah “ jadi”. Yanti
tak segera menjawab, ditatapnya debur ombak yang menghempas di
bibir pantai.

“ Saya akan siap menaggung segala resiko Bang Rholin. Syaratnya


Cuma satu: Jangan pernah mengabaikan saya. Itu saja, “ sahut Yanti
akhirnya sembari merebahkan kepalanya di bahu Rholin. Wangi rambut
gadis cantik itu menyeruak ke indera penciuman Rholin dan
menggetarkan segenap pori-pori tubuhnya. Seketika langit seperti
dihiasai warna-warni pelangi.

Kalau kemudian Yanti memutuskan hubungan secara sepihak, sebabnya


segera dapat ditebak. Ia mengabaikannya!. Bagaimana tidak? Ia lebih
memilih menghadiri diskusi mengenai Dinamika Partai Politik Indonesia
di kampus ketimbang menghadiri acara Ulang Tahun Yanti. Dan tidak
hanya itu, banyak event-event penting yang sangat didambakan Yanti
bisa dilakukan bersama Rholin terpaksa harus batal.

“ Saya selalu menetapkan skala prioritas saya, Yanti. Tolong kamu


pahami itu. Dan ingat kamu sudah siap menerima resiko itu bukan?”
ujarnya memberikan penjelasan.

Tapi Yanti tak mendengar. Esoknya ia menerima pesan singkat dari


Yanti. Isinya: “Kita putus. Silahkan kamu bercinta dengan cara kamu
sendiri. Tidak dengan saya. Selamat Tinggal!”.

Berikutnya, Perempuan-perempuan setelah Yanti, seperti Santi, Heny,


Tina dan Ayu, juga melakukan tindakan serupa.

Tampaknya mereka tidak terlalu siap menghadapi resiko pacar seorang


aktivis kampus lebih-lebih jika diabaikan. Dan berdasarkan alasan itu
Rholin ahkirnya memutuskan “ memilih untuk tidak memilih,” sampai
sekarang.

Rholin terkekeh sendiri. Seekor jangkrik mengerik di sudut pematang .


Ia menyalakan rokok kedua. Bulan di atas sana sudah menampakkan
bentuknya secara keseluruhan. Bulat bundar dengan sepotong awan tipis
mengait pinggirnya.

“ Lin, togamu mau disetrika nggak?” terdengar ibunya bertanya dari


pintu rumah yang terletak tidak jauh dari tempatnya berpijak. Ia
menoleh.

“ Nggak. Nggak perlu, biar begitu saja!” sahut Rholin setengah hati.
Ibunya tak bertanya lagi setelah itu.

Kembali Rholin menekuni rokoknya.

Lalu kenangan kembali berlari di benaknya.

Waktu itu, ia dengan mata menyala-nyala, menghadap ke KAPRODI


mempertanyakan dan memprotes sejumlah Dosen yang tidak pernah
berikan kuliah.

“Itu tak adil, pak. Mereka telah dibayar untuk menunaikan


kewajibannya. Kok mereka seenak perut tidak hadir tanpa
pemberitahuan sebelumnya?. Inikan merugikan mahasiswa, Pak?” kata
Rholin mewakili rekan-rekannya yang segera disambut tepuk riuh.

Seketika ia menikmati kejadian itu, perasaannya melambung .


Ia seperti jadi pahlawan. Sekurang-kurangnya di mata kawan-kawan.

Kembali Rholin mengisap rokoknya dalam-dalam. Kali ini lebih


Khidmat dan bergetar hingga ke tulang sum-sum. Besok, saat wisuda,
sebuah etape telah diakhiri untuk kemudian melanjutkan ke etape
berikutnya.

Saya akan ke mana, saya tidak tahu, batin Rholin. Jejak-jejak sepak
terjang semasa menjadi aktivis mahasiswa tinggal kenangan manis
belaka. Rholin mengigit bibir. Mendadak ia kepingin bermimpi menjadi
mahasiswa lagi . Dan ternyata ia membuktikannya dengan sukses.
Esok harinya, Ayah dan Ibu Rholin yang telah berpakain rapi yakni jas
hitam dan kebaya ungu berdiri melongo ke depan pintu kamar Rholin
yang terkunci rapat. Pada pintu yang terbuat dari tripleks itu tertempel
tulisan di atas secarik kertas lusuh. Isinya: Buat Ayah dan Bundaku
tersayang. Maafkan ananda tak bisa ikut wisuda sekarang. Karena
ananda ingin tidur dan bermimpi jadi mahasiswa lagi.

Anda mungkin juga menyukai