Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nikendha Femilia Ayu A

NIM : P1337420221033
Tingkat : 2A

 TUGAS ANTROPOLOGI (Membuat summary/rangkuman dari Teori Antropologi II)


Pada awalnya, Koentjaraningrat membahas tentang telaah komparatif (comparative stu dies)
terhadap berbagai masyarakat dengan aneka budayanya. pendekatan tersebut: (1) bertujuan
untuk mencapai pengertian me ngenai tingkah laku manusia pada umumnya, (2) dan bahwa
sebenarnya pendekatan ini bisa lebih dipertajam dengan menelaah secara mendalam fungsi
sosial dari aspek-aspek kebudayaan maupun pranata yang akan diperbandingkan. Bila anjuran
pada butir (2) dilakukan, maka kekuatiran akan upaya pereduksian konteks bisa dikikis.

Studi komparatif bertujuan untuk menyusun sejarah kebudayaan manusia secara inferensial.
Kedua, untuk menggambarkan proses perubahan kebudayaan. Ketiga, untuk mendapatkan
taksonomi kebu dayaan dan keempat, untuk menguji korelasi antar unsur, antara pranata dan
antargejala budaya (dalam rangka menyusun generalisasi).
Dalam uraian tentang studi komparatif ini dicantumkan pula ulasan mengenai HRAF (Human
Relations Area Files) yang dikembangkan pertama kali di Universitas Yale, Amerika Serikat.
Tokoh penting penyusun HRAF ini adalah George Peter Murdock. Dalam HRAF tersusun
secara sistematis dan terklasifikasi ratusan kebudayaan dari aneka warna masyarakat di dunia.
Ringkasnya, HRAF ini amat berguna dalam melaksanakan studi komparatif antar berbagai
kebudayaan di dunia ini, bahkan antar aspek-aspeknya.

Berbagai kritik yang dilontarkan oleh Koentjaraningrat berkenaan dengan cross cul tural
method ini antara lain sebagai berikut. Seorang antropolog F. Galion, mempertanya kan:
apakah adanya korelasi yang tinggi antara dua pranata (misalnya: pranata kekerabatan) dari
dua suku bangsa (dan budaya) itu merupakan hubungan causal atau justru karena proses difusi
(persebaran kebudayaan)? Kritik ini terkenal dengan sebutan Galton's problem. Berdasarkan
kritik F. Galton, menurut Koentjaraningrat, ada berbagai perbaikan dimunculkan dalam rangka
cross cultural method ini, antara lain: metode run test for diffusion (mem perhatikan satuan
yang diperbandingkan, apakah mengelompok pada daerah tertentu), lalu sifting test yakni
mengeluarkan satuan banding yang letaknya amat berdekatan.

Bagian lain dari buku ini menguraikan cabang penting dalam disiplin antropologi, yakni
mengenai konsepsi-konsepsi antropologi psikologi. Subdisiplin yang satu ini menurut ka
jiannya dibagi menjadi empat hal. Pertama, menelusuri ethos (watak khas) suatu masyarakat
dengan kebudayaan tertentu. Kedua, meneliti keuniversalan dari konsep-konsep psikologi
Barat (misalnya, konsep oedipus complex) pada berbagai masyarakat dan kebudayaan lainnya.
Ketiga, bertujuan mendeskripsikan kepribadian umum berbagai suku bangsa. Sedangkan yang
keempat, antropologi psikologi juga menetapkan kajiannya pada masalah-masalah hubungan
antara individu dengan masyarakatnya.
.
Sedangkan kajian antropologi ekonomi yang bertipe formalis seringkali berlandaskan pada
pendekatan fungsional-struktural. Aliran ini menganggap bahwa konsep, teori maupun
pendekatan ilmu ekonomi (Barat) dapat diterapkan pada masyarakat sederhana maupun di
pedesaan. Tokoh dari aliran formalis antara lain Raymond Firth dalam karyanya Malay
Fishermen: Their Peasant Economy (1946). Firth, seperti dituliskan oleh Koentjaraningrat,
sangat berhasil menerapkan konsep-konsep ilmu ekonomi terhadap masalah-masalah
penggunaan tanah, pengumpulan dan pemanfaatan modal, tenaga kerja, produksi dan distribusi
hasil. Ahli lainnya yang juga dapat digolongkan kedalam aliran formalis adalah L. Pospisil"
dengan kajiannya tentang sistem ekonomi pada masyarakat Kapanku di Irian. Cabang lain yang
penting dalam antropologi adalah: political anthropology (antropologi politik), Cabang ini
mulai berkembang lima puluh tahun yang lalu dengan ditandai oleh terbitnya buku African
Political Systems tulisan M. Fortes dan E.E. Evans Pritchard. Buku penting ini diberi kata
pengantar oleh Radcliffe Brown. Dan pada bagian kata pengantar inilah terpapar dengan cukup
jelas bentang umum kajian antropologi politik.

Adapun topik-topik kajian dari antropologi politik adalah organisasi kenegaraan, organisasi
perang, organisasi kepemimpinan, pemerintahan dan kekuasaan (power). Sebenarnya ada sub
tertentu yang juga dikategorikan sebagai bagian dari antropologi politik, yakni hukum adat.
Tetapi pada perkembangan berikutnya sub ini malah dikaji oleh cabang ilmu hukum atau

Koentjaraningrat telah memilah empat alasan yang mendasari pentingnya antropologi


pendidikan. Pertama, pendekatan antropologi dianggap berguna untuk menyusuri berbagai data
mengenai masalah sosial-budaya yang melatar belakangi pendidikan sekolah masa seka rang.
Kedua, pendekatan antropologi akan dapat menambah pengertian tentang masalah transmisi
kebudayaan pada umumnya. Ketiga, pendekatan antropologi juga dapat menambah
pemahaman kita mengenai cara-cara mendidik murid-murid dengan latar-belakang budaya
yang berbeda-beda. Dan yang keempat, metode cross cultural yang dimiliki antropologi dapat

Ada beberapa catatan yang barangkali dapat lebih memberikan nuansa dalam menelaah sejarah
teori antropologi dalam buku Koentjaraningrat ini. Catatan akan dibagi dua, yang pertama,
uraian akan lebih bertitik-berat pada cakupan kajian antropologi yang sering ditulis, Sedangkan
pada catatan kedua, uraian akan lebih mengacu pada berbagai uraian dalam buku tersebut.

 Jawablah pertanyaan berikut ini:


a) Apa yang dimaksud dengan studi komparatif dalam sejarah teori antropologi?
Penelitian komparatif secara umum dapat dimengerti sebagai penelitian yang membandingkan,
dalam konteks ilmu antropologi, antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.

Koentjaraningrat kemudian melanjutkan pembahasannya mengenai penelitian komparatif


dengan membaginya ke dalam empat bagian menurut tujuannya. Keempat bagian tersebut
sama seperti yang dikatakan Sarana, yaitu sejarah kebudayaan inferensial, proses-proses
perubahan kebudayaan, taxonomi kebudayaan, dan untuk menguji korelasi dan memantapkan
generalisasi. Koentjaraningrat tidak membahas bagian penelitian komparatif untuk menyusun
sejarah kebudayaan secara inferensial karena sudah dibahas secara mendalam di buku jilid I.
Pada intinya, penelitian komparatif ini digunakan untuk mencari proses evolusi kebudayaan
atau mengenai sejarah difusi unsur-unsur kebudayaan.

Menurut Koentjaraningrat, penelitian komparatif juga digunakan untuk mencari proses-proses


yang terjadi di dalam kebudayaan. Penelitian tersebut dapat dilakukan dalam dua metode, yaitu
komparatif diakronik dan komparatif sinkronik. Komparatif diakronik adalah penelitian
lapangan yang membandingkan suatu kebudayaan dalam satu komuniti tapi berbeda waktu,
sedangkan komparatif sinkronik adalah membandingkan dua atau lebih komuniti dengan latar
belakang etnik yang sama dalam satu rentang waktu yang relatif sama (1990;2010: 4).
Koentjaraningrat kemudian menjelaskan bahwa dalam penelitian komparatif, para antropolog
menemukan bahwa proses suatu kebudayaan ternyata umumnya tidak terjadi secara diferensial
atau berbeda-beda setiap bagiannya (1990;2010:9). Contoh-contoh penelitan komparatif yang
disebutkan oleh Koentjaraningrat adalah penelitian yang dilakukan oleh R. Redfield, M. Mead,
E. M. Bruner, Koentjaraningrat sendiri, dan A. L. Kroeber.
Koentjaraningrat kemudian menerangkan mengenai penelitan komparatif dalam usaha
mengklasifikasikan (taxonomi) kebudayaan. Koentjaraningrat berpendapat bahwa upaya
taxonomi kebudayaan memiliki arti penting dalam ilmu antropologi. Selain itu
Koentjaraningrat juga menyampaikan gagasan G. P. Murdock yang berhasil
mengklasifikasikan 250 kebudayaan ke dalam enam tipe berdasarkan pola istilah kekerabatan
yang mengacu ke saudara sepupu, yaitu Hawaii, Eskimo, Iroquois, Sudan, Omaha, dan Crow.
Koenjaraningrat juga menjelaskan klasfikasi kelompok kekerabatan unilial menurut M. Fried.
(1990;2010:10—15)

Pada pembahasan mengenai penelitan komparatif dengan tujuan menguji korelasi-korelasi


antara berbagai unsur kebudayaan yang digunakan untuk memantapkan generalisasi mengenai
korelasi tersebut, Koentjaraningrat mengawalinya dengan menerangkan bahwa sudah
dilakukan oleh para antropolog awal, seperti E. B. Tylor (1990;2010: 16). Hal yang penting
untuk dicatat adalah saat Koentjaraningrat menjelaskan sistem kartu, yaitu suatu sistem “di
mana menurut suatu sistem sistematik tertentu termuat data yang diambil dari beratsu-ratus
buku dan karangan etnografi mengenai sebanyak mungkin suku-bangsa di dunia”
(1990;2010:16). Setelah itu Koentjaraningrat menjelaskan penelitan cross-cultural, yang
berarti suatu penelitian yang memerlukan “suatu sampel besar yang terdiri dari beratus-ratus
kebudayaan, sedang teknik penelitiannya adalah menguji korelas-korelasi yang ada secara
statistik” (1990;2010:18).

Koentjaraningrat lalu menjelaskan penelitian komparatif yang dilakukan oleh G. Murdock.


Menurut Koentjaraningrat, Murdock melaukan penelitian komparatif untuk mengetahui
seberapa jauh terdapat korelasi antara sejumlah variabel unsur kebudayaan dengan sistem
kekerabatan. Penelitan komparatifnya berlanjut dan dikembangkan sehingga Murdock
dianggap sangat berjasa dalam perkembangan ilmu antropologi dalam bidang penelitan
komparatif cross-cultural. Setelah itu Koentjaraningrat menjelaskan kecaman-kecaman
terhadap penelitian cross-cultural. Contoh kecaman yang paling penting adalah kecaman yang
dilancarkan oleh F. Galton dan I. Schapera. Kecaman Galton adalah mengenai masalah teknis
dalam menyusun sampel (1990;2010: 32), sedangkan kecaman Schapera berisi kelemahan
dalam memilih satuan-satuan banding, yang berasal dari kecerobohan dalam penyusunan
sampel (1990;2010: 34).

b) Sebutkan jenis-jenis antropologi dan jelaskan secara singkat?


1. Antropologi Fisik

Menurut Haviland, antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organisme biologis.


Antropologi fisik membahas manusia berdasarkan evolusinya serta menyelidiki manusia dari
variasi biologis dalam berbagai jenis (spesies). Analisis antropologi fisik diperoleh dari fosil-
fosil dan pengamatan pada primata-primata yang pernah hidup. Para ahli antropologi fisik
berusaha mencari tahu nenek moyang manusia untuk mengetahui kapan, bagaimana, dan
mengapa manusia menjadi mahluk seperti sekarang ini.
2. Antropologi Budaya

Burke menjelaskan bahwa antropologi budaya berfokus pada kebudayaan manusia atau cara
hidup manusia dalam masyarakat. Antropologi budaya merupakan studi mengenai praktek-
praktek sosial, bentuk ekspresif dan penggunaan bahasa.
3. Antropologi Psikologi

Antropologi psikologi merupakan bidang yang mengkaji tentang hubungan antara individu
dengan nilai kebiasaan sosial dari sistem budaya yang ada. Ruang lingkup antropologi
psikologi sangat luas dan menggunakan berbagai pendekatan untuk masalah yang muncul
dalam interaksi antara nilai, pemikiran dan kebiasaan sosial. Fokus kajian antropologi
psikologi adalah kedekatan individu dalam masyarakat yang dihubungkan dengan psikologi.
4. Antropologi Spesialisasi

c) Uraikan sejarah antropologi secara singkat?


Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)

Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar abad ke-15-16,
bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika,
Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-
hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah
petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal
perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing
tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku
tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal
dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa. Bahan etnografi itu menarik
perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa
Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi
sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan
etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an)


Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangankarangan
berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan
berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap
bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap
Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya Pada fase ini, Antopologi bertujuan
akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk
memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti
Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut,
muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakanpemberontakan,
cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam
menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku
asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan
etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya,
untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)


Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa
asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa
banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di
dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial,
dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme
bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari
bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih
memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-
tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi
ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah
pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.

Anda mungkin juga menyukai