A. Pengantar
Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Eropa pada awalnya masih terkungkung dengan
pandangan yang dituangkan dalam kitab-kitab suci agama mereka beranggapan bahwa gejala-
gejala yang mencuat dari alam dan yang mengemuka dari masyarakat dan kebudayaan tidak akan
dapat dipelajari secara rasional. Keyakinan seperti ini telah berlangsung lama dalam masyarakat
Eropa sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya ilmu pengetahuan yang bersumber dari
akal dan pikiran yang menjadi faktor utama yang membedakan manusia dengan makhluk hidup
lainnya. Untuk melihat gejala-gejala yang muncul dari alam, masyarakat dan kebudayaan
manusia, masyarakat Eropa mengembalikan sepenuhnya pada kitab-kitab agama mereka, yaitu
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.[1]
Namun demikian, perlahan-lahan model pandangan seperti ini mulai hilang seiring makin
berkembangnya ilmu pengetahuan dan dimungkinkannya penggunaan akal yang dimiliki
manusia untuk melihat segala fenomena yang ada dan terjadi dalam masyarakat. Model
pandangan yang mengemuka untuk mengganti pandangan ‘tradisional’ sebelum dalam kajian
budaya (antropologi) paling awal adalah teori evolusi kebudayaan dan teori difusi kebudayaan.
Kedua teori ini muncul dengan mengusung karakteristiknya sendiri-sendiri dan masing-masing
mengklaim sebagai paradigma yang seharusnya dipakai untuk melakukan kajian terhadap
manusia dan perjalanan perkembangannya.
Pada abad ke sembilan belas, dalam masyarakat Eropa mengemuka sebuah paradigma (cara
pandang) yang memandang bahwa gejala-gejala yang timbul dari alam, masyarakat dan
kebudayaan yang ada dalam komunitas manusia dapat dilihat dan dipikirkan secara rasional.
Cara pandang yang secara tidak langsung mengkritik perilaku masyarakat Eropa Barat yang
mengembalikan segala sesuatunya ke kitab suci ini kemudian dikenal dengan teori evolusi
kebudayaan. Paradigma ini dipahami sebagai pandangan yang menyatakan bahwa ada kepastian
dalam tata tertib perkembangan yang melintasi sejarah kebudayaan dengan kecepatan yang pelan
tetapi pasti.[2] Selanjutnya, dimulailah pergumulan dogma-dogma agama yang telah sekian lama
mengakar di tengah-tengah masyarakat dengan cara pandang baru yang sepenuhnya berbeda dan
asing bagi masyarakat Eropa Barat saat itu.
Paradigma evolusi kebudayaan yang ingin mengganti model dogmatis agama yang telah
mendarahdaging di Eropa Barat dalam memandang kebudayaan manusia ini dikemukakan
pertama kali oleh Edward Burnett Tylor (1832-1917), seorang ahli antropologi yang berasal dari
Inggris. Persinggungan Tylor dengan hal-hal yang berkaitan dengan kebudayaan dimulai ketika
ia menempuh pendidikan kesusastraan dan peradaban Yunani dan Romawi klasik. Ketertarikan
seputar kebudayaan ini membuatnya sangat menyukai ilmu arkeologi yang memang mengambil
objek kajian terhadap benda-benda peninggalan masa lampau. Ketertarikan ini terus tumbuh
subur seiring didapatnya kesempatan untuk melakukan suatu perjalanan menyusuri Afrika dan
Asia hingga membuatnya tertarik untuk membaca naskah-naskah etnografi yang mengisahkan
tentang masyarakat yang ada di kedua benua tersebut. Setelah mendapat pengakuan sebagai
seorang pakar arkeologi, Tylor diajak serta mengikuti ekspedisi Inggris untuk mengungkap
benda-benda arkeologis peninggalan beragam suku yang ada di Meksiko.[3]
Kepiawaian Tylor dalam kajian kebudayaan membuatnya diangkat sebagai guru besar di
Harvard University. Menurut Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang
di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.[4] Ada
banyak tulisan yang berhasil ia sumbangkan bagi kajian kebudayaan, utamanya untuk semakin
menguatkan dan menyebarkan pandangannya mengenai teori evolusi kebudayaan. Salah satu
bukunya berjudul Researches into the Early History of Mankind, semakin menguatkan
keteguhannya mengenai teori evolusi kebudayaan yang memang telah sekian lama ia
perjuangkan. Dalam buku yang ditulis pada tahun 1871 ini, Tylor mengungkapkan tujuan
sesungguhnya dari kajian kebudayaan yang dilakukan oleh seorang ahli antropologi.
Menurutnya, kajian antropologi adalah untuk mempelajari aneka ragam kebudayaan sebanyak-
banyaknya, kemudian dicarikan unsur-unsur persamaannya, selanjutnya dilakukan proses
klasifikasi.[5] Dengan cara dan tahapan seperti ini, menurut Tylor, maka akan tampak kemudian
adanya evolusi kebudayaan manusia yang terdiri dari beragam tingkatan perkembangan yang
masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Apa yang dipaparkan oleh Tylor dalam buku di atas, sepertinya diimplementasikannnya dalam
bukunya yang lain berjudul Primitive Culture: Researches into the Development og Mythology,
Phylosophy, Religion, Language Art and Custom. Dalam buku yang ditulis tahun 1874 ini, Tylor
memaparkan bahwa kebudayaan manusia dalam sejarah evolusinya berjalan melalui tiga tahap
perkembangan yang masing-masing tahapan dibedakan berdasarkan unsur ekonomi dan
teknologi yang mereka gunakan. Ketiga tahapan perkembangan kebudayaan manusia tersebut
adalah savagery, barbarian dan civilization.[6]
Pada tahap pertama (savagery), manusia hanya bertahan hidup dengan cara berburu dan meramu
dengan menggunakan peralatan yang mereka ciptakan dari benda-benda yang ada di sekitar
mereka, seperti kayu, tulang dan batu. Berkembang kemudian menuju tahap kedua (barbarian)
yang ditandai dengan mulainya manusia mengenal cocok tanam. Karena mulai memahami cara
menanam, maka mereka berpikir untuk menjaga agar tanaman tersebut dapat dipelihara dan
dimanfaatkan hasil sehingga mereka mulai hidup menetap di sekitar tanaman tersebut. Tahapan
kedua ini juga ditandai dengan perkembangan peralatan mereka dari yang sebelumnya hanya
terbuat dari kayu, batu dan tulang menjadi terbuat dari logam. Berkembang kemudian menjadi
tahap ketiga (civilization) atau peradaban yang ditandai dengan pengenalan manusia dengan
tulisan, kehidupan perkotaan dan kemampuan mereka membangun bangunan-bangunan besar
yang sebelumnya belum pernah ada. Untuk dapat mencapai semua itu, tentunya manusia
memerlukan ilmu pengetahuan dan peralatan-peralatan yang canggih serta yang tidak boleh
terlupakan adalah memiliki kompleksitas sistem organisasi sosial.
Setelah cukup lama berinteraksi dengan paparan evolusi kebudayaan Tylor, maka dunia kajian
kebudayaan kemudian berjumpa dengan paradigma yang sama tetapi dikemukakan oleh orang
yang berbeda. Paparan-paparan teori evolusi kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan oleh
Tylor sebelumnya kemudian dilanjutkan oleh Lewis Henry Morgan, seorang antropolog
Amerika. Pada awalnya Morgan dikenal sebagai seorang ahli hukum, akan tetapi karena cukup
lama berinteraksi dan tinggal dengan suku-suku Indian Iroquois di New York, ia kemudian
banyak mengenal kebudayaan suku asli benua Amerika ini. Hasil kajian etnografinya mengenai
suku Indian tempat ia lama tinggal kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul League of
the Ho-de-no-Sau-nie or Iroquois. Dalam buku ini, Morgan memaparkan susunan
kemasyarakatan dan kekerabatan yang ada dalam masyarakat suku Indian ini yang dilakukan
berdasarkan pada gejala kesejajaran yang seringkali ada dalam sistem istilah kekerabatan dan
sistem kekerabatan .[7]
Sebagai seorang yang melakukan kajian kebudayaan sekaligus juga hidup dalam era
perkembangan pesat teori evolusi kebudayaan, Morgan mengambil peranannya dalam
sustainibitas pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Tylor. Bahkan, lebih dari itu ia juga
sangat dikenal sebagai orang mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh Tylor sebelumnya
seiring dengan banyaknya kajiannya terhadap kebudayaan Indian. Sebagai aplikasi dari
dukungan dan upaya pengembangannya terhadap teori evolusi kebudayaan, Morgan kemudian
menghasilkan sebuah buku berjudul Ancient Society yang menggambarkan proses evolusi
masyarakat dan kebudayaan manusia.[8]
Menurut Morgan, sebagaimana yang dikemukakannya dalam buku yang ditulis tahun 1877
tersebut di atas, semua bangsa di dunia telah atau sedang menyelesaikan proses evolusinya yang
melalui delapan tingkatan, yaitu:
1. Era liar tua atau zaman paling awal sampai manusia menemukan api,
2. Era liar madya atau sejak menemukan api sampai manusia menemukan senjata,
3. Era liar muda atau sejak menemukan senjata sampai pandai membuat tembikar dan
masih berprofesi sebagai pemburu,
4. Era barbar tua atau zaman sampai manusia mulai beternak dan bercocok tanam,
5. Era barbar madya atau zaman sampai manusia pandai membuat peralatan dari logam,
era barbar muda atau zaman sampai manusia mengenal tulisan, era peradaban purba,
dan era masa kini.[9]
Seiring dengan perjalanan waktu, persinggungan teori evolusi dengan beragam realitas dalam
perkembangannya terus mendapatkan tanggapan dari beragam pihak. Setidaknya tanggapan-
tanggapan yang mengemuka terhadap pandangan-pandangan kebudayaan teori evolusi dapat
dibedakan menjadi dua macam. Pandangan pertama menganggap bahwa pandangan-pandangan
yang diajukan teori evolusi melalui dua tokoh utamanya, Tylor dan Morgan, memiliki beragam
kelemahan yang harus diperbaiki. Pandangan ini tidak menolak sepenuhnya apa yang
dikemukakan dua tokoh utama generasi awal teori evolusi tersebut, tetapi tetap menerima
beberapa bagian yang mereka anggap dapat diterima dan mengganti beberapa hal yang mereka
anggap keliru serta menggantinya dengan model lain. Sedangkan kelompok kedua adalah
menolak sepenuhnya segala pandangan yang diajukan oleh teori evolusi dalam melihat
kebudayaan manusia. Kelompok kedua ini di kemudian hari dikenal dengan ‘difusi kebudayaan’
sebagai jawaban atas beragam ketidaksetujuan mereka terhadap pandangan-pandangan
kebudayaan evolusi.
Teori pertama disebut demikian karena paparan teori yang dikemukakan White tersebut
mencakup seluruh budaya yang ada di dunia dan tidak diperuntukkan untuk budaya tertentu saja.
[10] Untuk menjawab beragam keritikannya terhadap paparan-paparan evolusi kebudayaan yang
diajukan oleh Tylor dan Morgan sebelumnya, White mengemukakan teori evolusinya sendiri
berdasarkan sebuah kriteria yang sama sekali baru dan belum pernah dikemukakan oleh dua
pendahulunya tersebut. Kriteria ini baginya merupakan satu hal yang memungkinkan sebuah
teori evolusi menjadi bersifat objektif dan tidak seperti model yang dikemukakan oleh Tylor dan
Morgan yang menurutnya sangat subjektif. Kriteria yang diajukan oleh White tersebut adalah
berupa energi, karena menurutnya pada dasarnya setiap kebudayaan adalah sistem yang
melakukan transformasi energi.[11] Dengan menggunakan energi sebagai standar atau tolok ukur
dalam melakukan kajian terhadap fase perkembangan suatu kebudayaan manusia, dimana hal ini
tidak ada dalam teori Morgan, maka akan dapat diukur sampai sejauh mana tingkat evolusi yang
ada dalam sebuah masyarakat dapat ditentukan secara kuantitatif.
Lebih lanjut, untuk lebih mensistematiskan model evolusi kebudayaannya yang baru ini, White
mengemukakan sebuah rumusan yang dapat memudahkan dalam melakukan kajian. White
menyebutnya sebagai sebuah ‘hukum’ evolusi kebudayaan, yaitu C = E x T. Penjelasannya
adalah C merupakan kebudayaan (culture), E adalah energi (energy) sedangkan T adalah
teknologi (technology). Sebuah kebudayaan yang ada dalam sebuah komunitas masyarakat
manusia adalah dampak atau hasil hasil dari pemakaian atau penggunaan energi dan teknologi
yang mereka gunakan dalam kehidupan mereka pada fase-fase perkembangannya. Dengan
rumusan yang disebutnya sebagai ‘hukum’ evolusi kebudayaan ini, White sampai pada sebuah
kesimpulan bahwa terjadinya sebuah evolusi kebudayaan dalam sebuah komunitas merupakan
hasil dari mengemukanya perubahan dalam sistem yang melakukan transformasi energi dengan
bantuan teknologi yang ada saat itu.[12] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam teori
mengenai evolusi kebudayaan ini terdapat beberapa konsep baru yang diketengahkan White,
yaitu thermodinamika (sistem yang melakukan transformasi energi), energi dan transformasi.
Teori kedua diartikan Steward sebagai suatu metodologi yang digunakan untuk mengkaji
perbedaan dan kesamaan suatu budaya dengan cara memperbandingkan antara tuntunan-
tuntunan perkembangan kebudayaan yang sejalan yang biasanya terdapat di tempat-tempat yang
terpisah.[13] Seperti White yang menganggap bahwa pandangan-pandangan yang dikemukakan
oleh dua pendahulunya mengenai kebudayaan yang memiliki kelemahan pada ketiadaan standar
dalam menentukan setiap fase perkembangan kebudayaan manusia, Steward pun melakukan hal
yang sama. Meskipun demikian, titik fokus kritikan Steward terhadap model teori evolusi
terdahulu bukan pada standar yang digunakan, tetapi pada data yang digunakan oleh Tylor dan
Morgan sehingga keduanya sampai pada kesimpulan yang memunculkan pandangan-
pandangannya mengenai evolusi kebudayaan yang telah sekian lama bercokol dalam khazanah
ilmu antropologi.
Setelah melalui kajian yang memakan waktu cukup lama, Steward sampai pada suatu
kesimpulan bahwa data yang digunakan oleh kedua tokoh yang merupakan generasi awal teori
evolusi tersebut tidak berasal dari hasil penelitian lapangan yang dilakukan secara benar. Untuk
membuktikan fokus kritikannya ini, Steward melakukan suatu penelitian terhadap salah satu
suku Indian yang mendiami suatu kawasan di Amerika Serikat. Dari penelitiannya ini, Steward
mendapatkan sebuah kesimpulan yang berbeda dari paparan dua pendahulunya tersebut sekaligus
juga semakin menguatkan kritikannya sebagaimana di atas, dimana ternyata suku Indian tersebut
tidak lagi mengalami evolusi sebagaimana yang diungkapkan oleh Morgan di atas.[14]
Terdapat satu faktor, menurut Steward berdasarkan penelitian kebudayaannya, yang membuat
suatu suku Indian tidak lagi mengalami evolusi dan dapat pula terjadi pada suku-suku lainnya.
Dari kajian yang dilakukannya, Steward menyimpulkan bahwa tidak lagi berjalannya
perkembangan kebudayaan dalam sebuah komunitas, dalam konteks penelitiannya adalah suku
Indian, disebabkan karena suku tersebut telah mengalami penyesuaian atau beradaptasi dengan
lingkungan tempat mereka tinggal dan menetap dalam keseharian mereka. Berdasarkan
kesimpulan ini, maka Steward mengajukan sebuah teori baru dalam khazanah kajian budaya,
khususnya dalam rangkaian teori evolusi budaya, yaitu teori evolusi multilinier.
Menurut teori multilinier, terjadinya evolusi kebudayaan berhubungan erat dengan kondisi
lingkungan, dimana setiap kebudayaan memiliki culture core, berupa teknologi dan organisasi
kerja.[15] Dengan demikian, terjadinya evolusi dalam sebuah kebudayaan ditentukan oleh
adanya interaksi yang terjalin antara kebudayaan tersebut dengan lingkungan yang ada di
dalamnya. Seperti halnya teori yang dikemukakan oleh White di atas, teori multilinier juga
memunculkan konsep-konsep baru yang belum pernah ada sebelumnya, yaitu lingkungan,
culture core, adaptasi dan organisasi kerja.
Tokoh lainnya yang tidak kalah juga perlu mendapat perhatian dalam perbincangan mengenai
teori evolusi, khususnya setelah dua tokoh utama pada generasi awal, adalah V. Gordon Childe
yang merupakan arkeologis Inggris. Berbeda dengan White dan Steward yang begitu kokoh
dengan pendirian evolusi mereka, para pengamat menilai Childe seringkali goyah dengan
pendirian evolusinya. Untuk memaparkan pandangannya mengenai evolusi budaya, Childe
menggunakan rekaman arkeologis untuk menunjukkan bahwa apa yang dikemukakan dalam
teori evolusi menunjukkan kenyataan yang sebenarnya dalam komunitas manusia.[16] Dari
benda-benda yang dihasilkan dari penggalian arkeologis yang dilakukannya selama beberapa
waktu menunjukkan sesuatu yang semakin menguatkan pandangan evolusi, bahwa kemajuan
teknis yang dramatis dalam sejarah manusia berupa budidaya tumbuh-tumbuhan dan hewan,
irigasi, penemuan logam dan lain sebagainya terbukti telah membawa perubahan revolusioner
dalam keseluruhan jalinan kehidupan kultural yang dilakoni oleh manusia.
Benda-benda arkeologis yang ditemukan Childe makin menguatkan teori evolusi bahwa
keseluruhan pola perubahan yang terjadi dalam setiap fase perkembangan kebudayaan manusia
menunjukkan perubahan yang bersifat evolutif dan progresif.[17] Hal ini ditunjukkan dengan
adanya perubahan atau perkembangan dari satu fase ke fase selanjutnya, seperti dari pemburu-
peramu yang berpindah-pindah (nomadik) yang berada pada masa Paleolitik menjadi seorang
manusia yang bercocok tanam (holtikulturalis) yang tidak lagi nomadik atau sudah menetap di
satu tempat sebagai komunitas kempal dalam masa Neolitik.
Dari paparan di atas dapat dikatakan bahwa pada akhir abad ke sembilan belas masehi, para ahli
antropologi yang berkecimpung dalam kajian kebudayaan manusia telah memakai kata
kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan
bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta
kebudayaan.[18]
Teori difusi kebudayaan dimaknai sebagai persebaran kebudayaan yang disebabkan adanya
migrasi manusia.[19] Perpindahan dari satu tempat ke tempat lain, akan menularkan budaya
tertentu. Hal ini akan semakian tampak dan jelas kalau perpindahan manusia itu secara kelompok
dan atau besar-besaran, di kemudian hari akan menimbulkan difusi budaya yang luar biasa.
Setiap ada persebaran kebudayaan, di situlah terjadi penggabungan dua kebudayaan atau lebih.
Akibat pengaruh kemajuan teknologi-komunikasi, juga akan mempengaruhi terjadinya difusi
budaya. Keadaan ini memungkinkan kebudayaan semakin kompleks dan bersifat multikultural.
Dengan adanya penelitian difusi, maka akan terungkap segala bentuk kontak dan persebaran
budaya sampai ke wilayah yang kecil-kecil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi
pengkajian difusi terhadap kebudayaan manusia bukan pada aspek historis budaya tersebut,
melainkan pada letak geografi budaya dalam kewilayahan dunia.
Seperti telah disebutkan pada paparan mengenai lanjutan teori evolusi sepeninggal Tylor dan
Morgan bahwa teori evolusi mendapat dua jenis kritikan yang salah satunya menentang keras
pandangan teori tersebut. Ide awal adanya teori difusi kebudayaan ini dilontarkan pertama kali
oleh G. Elliot Smith (1871-1937) dan WJ. Perry (1887-1949), dua orang ahli antropologi asal
Inggris. Setelah membaca dan mempelajari banyak catatan sejarah serta benda-benda arkeologis
mengenai kebudayaan-kebudayaan besar yang pernah ada di muka bumi, kedua tokoh ini sampai
pada suatu tekad untuk mengajukan sebuah teori yang mereka namakan Heliolithic Theory.[20]
Menurut keduanya, berdasarkan teori yang mereka ajukan ini, peradaban-peradaban besar yang
pernah ada di masa lampau merupakan hasil persebaran yang berasal dari Mesir. Hal ini karena
berdasarkan kajian keduanya, pernah terjadi suatu peristiwa difusi yang sangat besar di masa
lampau yang berpusat di Mesir. Persebaran dari titik utama di Mesir ini kemudian bergerak ke
arah timur yang meliputi daerah-daerah terjauh seperti India, Indonesia dan Polinesia hingga
mencapai Amerika. Orang-orang Mesir yang disebut dengan ‘putra-putra dewa matahari’ ini
melakukan perpindahan dengan cara menyebar ke berbagai tempat tersebut dalam usaha mereka
untuk mencari logam mulia dan batu mulia seperti emas, perak dan permata.[21]
Sebagai pendekatan yang datang setelah teori evolusi dikemukakan oleh para penganjurnya, pada
awalnya teori difusi tidak dipertentangkan dengan teori yang munculnya sebelumnya tersebut.
Hal ini karena tokoh-tokoh teori evolusi, Tylor dan Morgan, pada dasarnya tidak menafikan
adanya kenyataan bahwa kebudayaan manusia tersebut dapat menyebar dan dapat menyebabkan
beragam perubahan akibat penyebaran tersebut.[22] Akan tetapi, keberadaan teori difusi
kebudayaan sebagai penentangan terhadap teori evolusi yang muncul sebelumnya baru
mengemuka dan mencuat ke permukaan setelah kedatangan Franz Boas bersama para muridnya.
Setelah masuknya tokoh antropolog asal Amerika ini barulah terjadi perselisihan dan
mencuatnya beragam kritikan yang dialamatkan oleh para pengusung teori difusi terhadap teori
evolusi.
Franz Boas pada dasarnya adalah seorang ahli geografi yang hidup antara tahun 1858-1942 dan
berasal dari Jerman. Tokoh yang dianggap pendekar ilmu antropologi Amerika ini banyak
melakukan ekspedisi ke wilayah-wilayah pedalaman Amerika dan mengumpulkan bahan-bahan
etnografi yang digunakannya untuk menyusun beragam karangannya mengenai kebudayaan.
Untuk menguatkan pandangan-pandangannya mengenai kebudayaan, Boas menyatakan bahwa
penelitian difusi kebudayaan harus diarahkan hanya pada daerah-daerah tertentu saja dan apa
yang mengemuka dalam komunitas kebudayaan tertentu tersebut harus diperhatikan secara
seksama dan seteliti mungkin.[23] Model Boas ini kemudian dikenal dengan nama
‘partikularisme historis’ dimana di dalamnya telah melahirkan konsep-konsep baru mengenai
kajian kebudayaan, seperti kulturkreis atau daerah atau lingkungan dan kulturschichten atau
lapisan kebudayaan.[24] Dalam kajian kebudayaan ala difusi Boas ini, unsur-unsur persamaan
yang dimiliki oleh sebuah kebudayaan sangat diperhatikan secara cermat untuk kemudian
dimasukkan ke dalam sebuah kategori yang disebutkan dengan dua istilah yang dikemukakan di
atas. Dengan cara seperti ini maka akan diketahui unsur-unsur kebudayaan yang ada dalam
beragam kebudayaan dunia.
Para penerus gagasan difusi kebudayaan yang dikemukakan oleh Boas kemudian dilanjutkan
oleh para muridnya yang banyak berada di Amerika. Salah satu muridnya yang terkenal dan
terus menyebarkan gagasan Boas adalah Clark Wissler (1870-1947) yang berpendidikan formal
sebagai seorang ahli psikologi dan bekerja di Museum of Natural History. Sepeninggal Boas,
Wissler mengajukan suatu konsep baru sebagai lanjutan atau pengembangan dari pemikiran
gurunya mengenai difusi kebudayaan. Konsep tersebut adalah culture area yang merupakan
pembagian dari kebudayaan-kebudayaan Indian di Amerika ke dalam daerah-daerah yang
merupakan kesatuan mengenai corak kebudayaan-kebudayaan di dalamnya.[25] Hal ini
dilakukannya karena Wissler ingin mengklasifikasikan beragam peninggalan budaya dari aneka
ragam suku yang ada di pedalaman Amerika hasil dari perjalanan antropologis yang
dilakukannya. Dengan menerapkan konsepnya yang baru tersebut, maka beragam peninggalan
antropologis dari suku-suku Indian tersebut dapat dikelompokkan dalam tempat-tempatnya yang
sesuai. Dari implementasi konsep ini terhadap beragam peninggalan budaya tersebut, Wissler
berhasil menggolongkan puluhan kebudayaan yang berbeda-beda ke dalam satu golongan
berdasarkan pada persamaan sejumlah ciri yang sangat mencolok dalam kebudayaan-kebudayaan
tersebut.
Penerus selenjutnya dari gagasan difusi kebudayaan Boas adalah AL Kroeber (1876-1960) yang
merupakan doktor hasil bimbingan tokoh penentang utama teori evolusi ini. Seperti halnya Boas,
Kroeber juga sangat mementingkan penelitian lapangan secara komprehensif yang berlangsung
dalam kurun waktu yang lama. Apa yang ia dapatkan selama dalam bimbingan Boas, Kroeber
menerapkannya pula kepada para muridnya dengan mewajibkan mereka untuk melakukan
penelitian lapangan paling tidak selama setahun. Dalam melakukan penelitiannya, para muridnya
diharuskan mengetahui dan memahami apa yang ada dalam masyarakat tempat mereka
melakukan penelitian, seperti mampu menggunakan bahasa yang masyarakat tersebut gunakan
dan mengumpulkan beragam bahan yang berhubungan dengan masyarakat tersebut.
Setelah dilakukan paparan mengenai kedua paradigma yang muncul dalam kajian kebudayaan
sebagaimana di atas, maka didapatkan beberapa hal penting yang berkaitan dengan kedua
pandangan tersebut. Bagaimana pun juga, sebagai paradigma berbeda dengan yang ada
sebelumnya, teori evolusi telah membuka jalan bagi mengemukanya upaya manusia untuk
melihat kebudayaan manusia dari sisinya yang lain secara rasional. Inilah kelebihan awal yang
dimiliki oleh teori evolusi, karena sebagaimana diketahui bahwa pandangan masyarakat Barat
mengenai kebudayaan manusia selalu terkungkung oleh ajaran-ajaran kitab suci yang tidak
memberi ruang bagi penelaahan menggunakan sarana yang dimiliki oleh manusia. Untuk itulah
teori evolusi datang dengan menghadirkan cara pandang kebudayaan yang berbeda dengan
model yang selama ini menye;limuti pandangan masyarakat Eropa dan dapat dilakukan oleh
siapa pun juga tidak seperti model kitab suci yang menjadi hak monopoli para pendeta saja.
Kelebihan lain yang dimiliki oleh teori evolusi adalah pandangan revolusionernya mengenai
adanya tahapan-tahapan perkembangan yang dilalui oleh setiap komunitas manusia. Pandangan
ini merupakan hal yang baru, ketika itu, dalam kajian kebudayaan yang sekian lama terkungkung
oleg dogma agama yang mengikat cara pandang masyarakat. Kelebihan lainnya yang ada dalam
teori ini adalah dipakainya untuk pertama kalinya hasil penelitian lapangan yang berasal dari
berbagai tempat sebagai acuan untuk mengungkapkan adanya fase perkembangan kebudayaan
manusia, sebagaiamana yang dikemukakan oleh Tylor dan Morgan. Kelebihan lainnya adalah
digunakannya standar atau tolok ukur untuk melihat adanya perbedaan dalam setiap fase
perkembangan kebudayaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh White dengan standar
energinya dan Steward dengan adaptasi lingkungannya.
Sebagaimana yang juga ada dalam teori evolusi yang menjadi paradigma pendahulu, teori difudi
kebudayaan juga memiliki kelebihan yang patut menjadi catatan dalam kajian antropologi. Teori
difusi memiliki kelebihan karena merupakan pandangan awal yang menyatakan bahwa
kebudayaan yang ada merupakan sebaran dari kebudayaan lainnya. Di samping itu, dari sini
terdapat cara pandang baru yang meletakkan dinamika dan perkembangan kebudayaan tidak
hanya dalam bentang waktu saja, tetapi juga dalam bentang ruang, sebagaimana yang
diperlihatkan oleh Perry dan Smith dalam pemikirannnya. Kelebihan lainnya adalah para
pengusung teori ini telah menggunakan analisis komparatif yang berlandaskan pada standar
kualitas dan kuantitas dalam menentukan wilayah persebaran kebudayaan sebagaimana yang
yang mereka yakini. Kelebihan lainnya adalah para penyokong teori ini sangat memperhatikan
setiap detail catatan mengenai kebudayaan sehingga mereka mendapatkan beragam hubungan
atau keterkaitan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Dan kelebihan yang
terpenting dari teori ini adalah penekanan mereka pada penelitian lapangan untuk mendapatkan
data yang lebih dan akurat, sebagaimana yang diperlihatkan oleh Boas yang kemudian diikuti
oleh para murid yang menjadi pengikutnya selanjutnya.
Meskipun demikian, seperti halnya juga yang ada dalam teori evolusi, teori difusi tidak lepas
pula dari beragam kelemahan atau kekurangan. Secara umum, teori difusi kebudayaan memiliki
kelemahan dari sisi data karena tidak memilki dukungan data yang cukup dan akurat dan
pengumpulan data tidak dilakukan melalui prosedur dan metode penelitian yang jelas.[29] Hal
ini misalnya tampak pada kesimpulan teori ini yang mengatakan bahwa peradaban-peradaban
kuno di bumi sebenarnya berasal dari orang-orang Mesir. Hal ini memperlihatkan pandangan
para pengusungnya yang sangat Mesir-Sentris hanya karena kekaguman mereka dan
keterpesonaan mereka dengan kebudayaan negeri Fir’aun ini setelah lama melakukan penelitian
di tempat ini.[30]
Kelemahan lain yang ada dalam teori ini adalah terletak pada metode yang mereka gunakan
dalam melakukan penelitian yang tidak memperbandingkan kebudayaan-kebudayaan yang saling
berdekatan. Dalam penelitiannya, para pengusung teori ini hanya melakukannya berdasarkan
pada ketersediaan data yang ada saja karena pada kenyataannya untuk sampai pada sebuah
kesimpulan sebagaimana di atas mereka tidak pernah melakukan penelitian lapangan yang
menjadi tuntutan untuk mengemukakan sebuah pernyataan yang berujung pada pembentukan
teori.[31]
Kelemahan lainnya yang terdapat dalam teori ini adalah karena keterikatan mereka dengan
catatan sejarah sebagai bagian dari model teori yang mereka gunakan. Akibatnya, tidak semua
sejarah yang berkaitan dengan suku-suku tertentu dapat diungkapkan karena beragam sebab yang
diantaranya karena belum adanya peneliti yang melakukan kajian terhadap suku tersebut. Hal ini
sebagaimana yang dikritik oleh Malinowski dan Brown yang melakukan penelitian sejarah
terhadap suku yang masih sederhana di kalangan orang Andaman. Tetapi karena keterbatasan
data yang menerangkan mengenai keberadaan mereka, maka penelitian dengan menggunakan
teori difusi sebagaimana yang dikemukakan oleh Boas dan kawan-kawannya sulit untuk
dilakukan.
F. Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu kajian kebudayaan yang mewujud
dalam teori evolusi merupakan respon terhadap pandangan masyarakat Eropa yang lama
terkungkung oleh ajaran dogmatis gereja. Teori evolusi memandang bahwa kebudayaan manusia
senantiasa mengalami perkembangan dengan masing-masing melalui fase-fase perkembangan.
Metode yang digunakan dalam teori ini adalah dengan cara melakukan klasifikasi tingkatan
kebudayaan berdasarkan pada tolok ukur tertentu. Selanjutnya, dapat pula disimpulkan bahwa
teori difusi datang sebagai kritikan terhadap pandangan-pandangan yang diajukan oleh teori
evolusi mengenai kebudayaan manusia. Menurut teori difusi, kebudayaan manusia merupakan
sebaran dari kebudayaan inti karena alasan yang ada dalam masyarakat saat itu. Metode yang
mereka gunakan adalah dengan cara memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam
kebudayaan tersebut berdasarkan catatan-catatan dan hasil penelitian yang mereka lakukan. Dari
metode yang kedua teori tersebut gunakan, kemudian memunculkan teori yang kemudian
menghasilkan pandangan-pandangan yang menjadi ciri khas paradigma tersebut dibandingkan
dengan yang lain.
Masing-masing teori yang diajukan sebagaimana di atas memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan utama evolusi budaya adalah sebagai pendobrak tradisi yang ada dalam masyarakat
Eropa dalam memandang kebudayaan dengan menggunakan akal berdasarkan hasil kajian dan
penelitian yang mereka lakukan. Sedangkan kelemahannya adalah banyak menggunakan data
yang bukan dari hasil penelitian lapangan yang sesungguhnya. Sedangkan kelebihan utama difusi
adalah penggunaan data lapangan yang lebih baik dibandingkan dengan teori evolusi sedangkan
kelemahannya adalah terlalu mengandalkan catatan sejarah padahal tidak setiap suku yang akan
diteliti memiliki catatan sejarah yang lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2008. Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya.
Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta. 10 Vovember 2008. Tidak Diterbitkan.
Kaplan, David. dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
www.wikipediabahasaindonesia.com/kebudayaan
[1] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya, Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, 10 November 2008, tidak diterbitkan, hlm.8.
[3] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007),
hlm. 46.
[6] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya,…hlm.
8.
[10] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 63.
[11] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya, …
hlm. 9. Dan juga dalam: David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, … hlm. 62.
[12] Ibid,-
[13] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, … hlm. 63.
[14] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya, …
hlm. 10.
[15] Ibid,-
[16] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, … hlm. 59.
[17] Ibid,-
[22] Ibid,-
[26] David Kaplan dan Robert A. Manners, Teori Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
hlm. 56.
[27] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya, …
hlm. 9.
[28] Ibid,-
[29] Ibid,-
[31] Heddy Shri Ahimsa-Putra, Paradigma dan Revolusi Ilmu Dalam Antropologi Budaya, …
hlm. 12.
Perkembangan antropologi dan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, sebagian tergantung pada
data yang diperoleh dari dan mengenai informan atau responden, dan sebagian lainnya dari
metode ilmiah dan imajinasi ilmiah yang telah dikembangkannya. Data yang diperoleh
digunakan untuk pengembangan teori-teori dan pendekatan-pendekatan serta metodologi; dan
juga untuk dapat digunakan untuk kepentingan-kepentingan praktis bagi kebijaksanaan untuk
merubah cara-cara hidup tertentu dari para informan atau responden agar sesuai dengan dan
mendukung program-program pembangunan yang telah digariskan oleh pemerintah atau untuk
kepentingan praktis lainnya yang dikelola oleh badan-badan atau yayasan-yayasan swasta
domestik maupun luar negeri.
Sosiologi berasal dari bahasa yunani yaitu kata socius dan logos, di mana socius memiliki arti
kawan / teman dan logos berarti kata atau berbicara. Menurut Bapak Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses
sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial.
Menurut ahli sosiologi lain yakni Emile Durkheim, sosiologi adalah suatu ilmu yang
mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir,
berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk
mengendalikan individu.
Objek dari sosiologi adalah masyarakat dalam berhubungan dan juga proses yang dihasilkan dari
hubungan tersebut. Tujuan dari ilmu sosiologi adalah untuk meningkatkan kemampuan
seseorang untuk menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Pokok
bahasan dari ilmu sosiologi adalah seperti kenyataan atau fakta sosial, tindakan sosial, khayalan
sosiologis serta pengungkapan realitas sosial.
Antropologi berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia" atau
"orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk
biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti
manusia pada tiap waktu dan tiap dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara
tradisional memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan
pada perbandingan/ perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak
diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali
dilakukan pada pemusatan penelitan pada pendudukyang merupakan masyarakat tunggal.
Sosiologi dan antropologi adalah objek ilmu manusia. Antropologi mempelajari budaya pada
suatu kelompok masyarakat tertentu; ciri fisiknya, adat istiadat dan kebudayaannya sedangkan
sosiologi lebih menitik beratkan pada manusia dan hubungan sosialnya. Antropologi lebih
cenderung ideografik, srtinya cenderung deskriptif, grounded, induktif. Teori dalam antropologi
lebih cenderung tebatas pada satu komunitas. Fokus studi antropologi lebih banyak pada nilai-
nilai dan perilaku khas sebuah komunitas.
Oleh karenanya, banyak yang mengkritik antropologi bukan kategori sains. Para founding father
ilmu sosial semisal Comte, Durkheim, terobsesi agar ilmu sosial bisa diakui sebagai sains.
Karenanya mereka menyusun semacam "general principles" di mana pada dasarnya ada teori
universal tentang gejala sosial sebagaimana ada teori unversal tentang alam. Muncullah istilah
sosiologi untuk menunjukkan bahwa ilmu sosial adalah sebagai sebuah sains.
http://ensikopedi.blogspot.com/2013/02/hubungan-antropologi-dengan-ilmu-lain.html
27/06/13
Andiz
0
ubungan Antropologi Dengan Ilmu Lain
Antropologi dengan ilmu-ilmu bagiannya mempunyai hubungan yang sangat banyak dengan
ilmu-ilmu sosial yang lain. Hubungan ini pada umumnya bersifat timbal-balik. Antropologi
memerlukan bantuan ilmu-ilmu itu, dan sebaliknya ilmu-ilmu social yang lain juga memerlukan
antropologi dalam memecahkan masalah yang dikajinya.
Selain dengan ilmu social antropologi juga berhubungan dengan ilmu-ilmu lain. Mengingat
kajian dari ilmu antropologi bukan hanya antropologi sosial tetapi juga antropologi fisik dan
antropologi budaya.
27/06/13
Andiz
0
dan yang paling mendasar... secara epistimologis antropologi tidak tumbuh dan berkembang dari
induk ilmu filsafat, namun pada perkembangan terakhir bertemu dengan kajian mengenai filsafat
manusia, untuk menemukan pemahaman mengenai manusia. sementara sosiologi lahir dari
renungan belakang meja para pemikir positivistik yang berusaha menemukan aspek universal
dari fenomena sosial budaya, dengan asumsi masyarakat dapat disamakan dengan organisme
sebagaimana paradigma biologi, dan dapat diperhitungkan secara matematis. demikian
antropologi bukanlah ilmu sosial walaupun pada awal abad 19 pengaruh-pengaruh paradigma
ilmu alam masih banyak mempengaruhi pemikiran para antropolog(penganut teori evolusi dan
fungsionalisme) pada waktu itu. dan antropologi -budaya- lebih sesuai dikategorikan ilmu
humaniora (berkembang dari etnologi yang mengkaji teks dan catatan-catatan mengenai suku
bangsa, yang kemudian disusun ulang secara sistematis dengan menggunakan metode etnografi).
karena beranjak dari tujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai manusia, maka sedapat
mungkin dapat diperoleh -native's point of view/pndangan pelaku budaya -sistem ide,
pemaknaan) bukan dari dugaan pikiran seorang antropolog. antropolog hanyalah bertugas untuk
menterjemahkan/menafsirkan/intepretasi hal tersebut supaya dapat sedikit lebih mudah dipahami
oleh semua orang. berbagai ilmu baik eksak, non eksak, digunakan sbagai pendukung untuk
memperoleh pemahaman mengenai manusia, seperti psikologi dan psikologi sosial, untuk
membantu menjelaskan dan memahami masalah kepribadian, biologi dan kedokteran untuk
memahami manusia secara fisikal, geografi/lingkungan untuk membantu memahami manusia
dalam konteks keruangannya/ bentang lahan/aksesibilitas/mobilitas dan lain sebagainya.