Anda di halaman 1dari 34

Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan

Heddy Shri Ahimsa-Putra


Universitas Gadjah Mada

Catatan Redaksi
Pendekatan etnosains dan etnometodologi masih tetap merupakan masalah yang
diperdebatkan di antara para ilmuwan sosial, khususnya para antropolog dan para sosiolog.
Hal ini terlihat dari terus munculnya tulisan mengenai kedua pendekatan ini, dari mereka
yang menganutnya maupun mereka yang mengecamnya. Bagi kita di Indonesia agak sukar
untuk mengikuti perkembangan perdebatan ini, karena lamanya terbitan baru dapat
diperoleh di Indonesia. Ditambah lagi harga buku bukan kepalang. Salah satu publikasi
yang lebih baru dari yang dipelajari penulis karangan ini adalah antologi yang disunting
oleh Ronald W. Casson Language, Culture and Cognition: Anthropological Perspectives
(New York: MacMillan Publishing Co. 1981) yang kebanyakan memuat tulisan dari tahun
1975—1979. Penyunting buku mengatakan bahwa ia merasa perlu membuat antologi ini
karena antologi dari Tyler (1969) dan Spradley (1972) sudah agak usang. Yang menarik
adalah bahwa istilah etnosains hampir tidak digunakan dan istilah yang lebih lazim dipakai
adalah cognitive anthropology, suatu istilah yang sudah dipakai oleh Tyler pada
antologinya tahun 1969. Demikian pula dengan perkembangan pemikiran mengenai
etnometodologi. Seperti halnya dengan antropologi kognitif, pendekatan etnometodologi
(yang oleh Aaron Cicourel dinamakan sosiologi kognitif dalam bukunya yang berjudul
Cognitive Sociology: Language and Meaning in Social Interaction (Penguin Books, 19...)
dimaksudkan oleh penganutnya sebagai tantangan terhadap pendekatan-pendekatan ...etis
dari antropologi dan sosiologi yang dianggapnya ―established‖ atau ―mainstream‖. Bagi
penganut yang moderat, pendekatan mereka dianggap sebagai suatu alternatif dan bagi
yang fanatik, pendekatan mereka dianggap benar, sedangkan semua yang sebelumnya
dianggap salah. Pandangan bertentangan yang begitu tajam dengan sendirinya menimbul-
kan perdebatan yang sering hangat, walaupun ada juga ilmuwan sosial yang sama sekali
tidak menghiraukan perdebatan tersebut dan bertindak seakan-akan tidak ada sama sekali.
Rupanya ke..aan yang terakhir ini terdapat pada para ilmuwan sosial di Indonesia. Dengan
karangan mengenai etnosains dan etnometodologi yang dimuat dalam nomor ini, Redaksi
berharap bahwa para ilmuwan sosial tergugah untuk menanggapinya atau menulis
mengenai pemikiran teoretis dan metodologis yang lain.

Abstract
On this article the author discusses two perspectives that have developed since the 1960‘s:
ethnoscience in anthropology and ethnomethodology in sociology. The first part of the paper faces
the origins, principles and concepts of these new schools of thought in the social sciences. In the
second part the author attempts to compare them in terms of their similarities ant differences. He
also discusses some of the criticism that has been launched at ethnoscience. And the last and final
part the author presents his own ideas about the relevance of these two perspectives in the analysis
of Indonesian society.

1
Dua aliran yang relatif baru telah muncul dalam ilmu sosial, yakni etnosains
(ethnoscience) dan etnometodologi (ethnomethodology). Etnosains, yang sering juga
disebut Etnografi Baru (The New Ethnography) muncul dalam antropologi, sedang
etnometodologi menampakkan dirinya dalam sosiologi. Sepintas lalu kita dapat
menangkap persamaan di antara keduanya, yaitu prefix ethno, yang bisa diartikan sebagai
folk. Maksudnya adalah bahwa dalam pendekatan ini si peneliti mencoba memandang
gejala sosial tidak dari sudut dirinya sebagai peneliti, melainkan dari kacamata orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Peneliti juga tidak bermaksud menilai apakah pandangan
mereka salah atau benar, baik atau buruk, tetapi mencoba memahami dan menjelaskan
pandangan-pendangan mereka. Dalam antropologi langkah semacam ini bukan merupakan
suatu hal yang baru, juga tidak dalam sosiologi, yang sudah sejak lama mengenal metode
verstehen. Jadi apabila ditinjau dari perpektifnya, kedua aliran ini bukanlah aliran yang
sama sekali baru. Kendati demikian, kedatangan etnosains dalam antropologi dan
etnometodologi dalam sosiologi tetap merupakan angin baru yang segar.
Di samping persamaan, kita juga melihat perbedaan dalam kata sains dan
metodologi. Kata sains membawa pikiran kita pada sesuatu yang sudah jadi, tinggal pakai
saja, sesuatu yang (seolah-olah) pasif, sedang kata metodologi membawa asosiasi kita pada
metode atau cara-cara, jadi lebih berkonotasi aktif. Perbedaan aktif dan pasif tidaklah
berarti bahwa yang pasih kurang begitu bernilai dibanding yang aktif, sebab di sini
persoalannya bukan baik dan kurang baik, melainkan lebih erat kaitannya denan masalah
yang ingin dipecahkan oleh masing-masing aliran.
Mengetahui persamaan dan perbedaan seperti ini belum cukup bagi kita. Masih
banyak hal-hal yang perlu diungkapkan dari masing-masing pendekatan tersebut. Dalam
tulisan ini saya akan mencoba membandingkan keduanya, dengan maksud agar kita dapat
lebih memahami dan bila mungkin menerapkan serta mengembangkannya di Indonesia.
Suatu cabang ilmu pada dasarnya membedakan dirinya dari cabang ilmu yang lain
dalam asumsi-asumsi dasarnya mengenai objek yang diteliti, masalah-masalah yang ingin
dipecahkan, konsep-konsep, metode-metode serta teori yang dihasilkannya (Cuff and
Payne, 1980:3). Perbandingan dua aliran seperti etnosains dan etnometodologi, yang ideal,
tentunya mencakup kelima hal tersebut, namun mengingat ruang yang tidak
memungkinkan saya hanya akan membicarakan beberapa pokok masalah saja. Pertama,
saya akan mencoba menelusuri akar-akar pemikiran dari masing-masing aliran dan
beberapa sebab yang mendorong timbulnya pemikiran tersebut. Dalam hal ini tercakup
antara lain asumsi dasar kedua pendekatan serta cabang-cabang ilmu mana yang
mempengaruhinya. Uraian kedua merupakan isi dari tulisan ini, yakni perbandingan
metode atau cara analisis etnosains dan etnometodologi. Untuk memudahkan penjelasan
tentang masalah yang ingin dipecahkan oleh masing-masing aliran, saya akan memulainya
dengan mengajukan data setengah fiktif. Kemudian saya paparkan beberapa kesamaan

2
serta perbedaan di antara keduanya. Beberapa kritik yang dilontarkan terhadap Etnosains
juga akan saya singgung sedikit di sini. Bagian terakhir berisi ringkasan serta pandangan
saya mengenai hubungan yang ada antara pendekatan-pendekatan ini dengan kegiatan
pembangunan, yang sekarang juga sedang ramainya dilaksanakan di Indonesia.

ETNOSAINS
Dalam antropologi, aliran etnosains dapat dikatakan sebagai pendekatan yang
menggunakan metode baru, walaupun dasar dari pendekatan ini tidaklah baru. Kita dapat
meruntutnya kembali pada Malinowski, yang pada tahun 1920-an telah mencanangkan
bahwa tujuan seorang penulis etnografi (baca: ahli antropologi) adalah ―to grasp the
native‘s pont of view, his relation to life to realize his vision of his world‖ (Malinowski,
1961:25). Sejauh mana pernyataan Malinowski ini diikuti oleh ahli-ahli antropologi
lainnya, dapat kita lihat dari beberapa masalah yang kemudian muncul ketika mereka
membandingkan berbagai masalah kebudayaan suku-sukubangsa di dunia guna
mendapatkan prinsip-prinsip kebudayaan yang universal sifatnya. Usaha perbandingan ini
dipelopori oleh G.P. Murdock, yang telah menyusun suatu sistem data dari ratusan
kebudayaan untuk memudahkan usaha tersebut, yang sekarang dikenal dengan nama
Human Relation Area Files (HRAF). Beberapa hal yang pada mulanya tidak disadari
sebagai masalah oleh ahli-ahli antropologi, kemudian muncul ke permukaan dan menjadi
penghambat studi perbandingan tersebut.
Menurut Goodenough (1964:7—9) ada tiga masalah pokok di situ. Pertama
mengenai ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan
ahli antropologi sendiri. Misalnya saja, ahli antropologi A, karena begitu tertarik pada
sistem kekerabatan maka dalam etnografinya hal-hal yang bersangkutan dengan sistem
kekerabatan maka dalam etnografinya hal-hal yang bersangkutan dengan sistem
kekerabatan itulah yang diuraikan dengan sangat mendalam, sedang masalah-masalah yang
berkaitan dengan agama, ekologi, dan teknologi tidak begitu diperhatikan. Di pihak lain,
ahli antropologi B yang sangat berminat pada soal mata pencaharian, atau sistem ekonomi
dan politik, mengupas masalah ini dengan sangat luas tapi mengabaikan soal-soal sistem
kekerabatan dan kesenian. Akibatnya terjadi kepincangan data dalam etnografi mereka,
dan ini kemudian akan menyulitkan usaha-usaha untuk menemukan prinsip-prinsip
kebudayaan lewat studi perbandingan. Kedua, masalah sifat data itu sendiri, artinya
seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat dibandingkan, atau seberapa jauh data
tersebut bisa dikatakan melukiskan gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda,
mengingat para ahli antropologi sendiri menggunakan metode yang berbeda-beda dalam
mendapatkan data tersebut, di samping tujuan mereka yang berlainan pula. Masalah ketiga
menyangkut soal klasifikasi. Agar data dapat dibandingkan biasanya diadakan

3
pengklasifikasian terlebih dulu, dan di sini diperlukan kriteria lagi yang rupanya antara ahli
antropologi sendiri juga terdapat perbedaan. Sebagai contoh bisa kita ambil misalnya
penggolongan suatu sukubangsa dalam kelompok dengan sistem patrilineal, double
descent, atau matrilineal. Pada saat menentukan apakah suatu sukubangsa mempunyai
sistem patrilineal atau bukan seorang ahli antropologi seringkali tidak menyebutkan
kriteria apa yang dipakainya. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi apa yang dikatakan
oleh seorang ahli sebagai patrilineal, menurut kriteria yang lain bisa menjadi double
descent, atau sebaliknya. Dua ahli antropologi yang memiliki konsep-konsep yang sama
dapat berlainan dalam menggunakan konsep tersebut untuk masyarakat yang mereka teliti.
Jadi, pada dasarnya masalah-masalah dalam studi perbandingan di atas melihat dua hal
pokok seperti yang ditunjukkan dengan tepat oleh Tyler, ―... comparision between system
can only be useful if the facts compared are truly comparable, and we cannot know what
facts are comparable until the facts themselves are adequately described.‖ (Tyler, 1969:15).
Beberapa masalah di atas menimbulkan kesadaran di kalangan ahli antropologi akan
kelemahan cara pelukisan kebudayaan yang selama ini ditempuh, dan ini mendorong
mereka untuk mencari model-model yang lebih tepat. Salah satu model yang kemudian
dipakai adalah model dari linguistik (Goodenough, 1964a, 1964b), yakni dari fonologi.
Dalam cabang ilmu ini dikenal dua cara penulisan bunyi bahasa, yaitu secara fonemik dan
fonetik. Fonemik menggunakan cara penulisan bunyi bahasa menurut cara yang digunakan
oleh si pemakai bahasa sedang fonetik adalah sebaliknya, yakni memakai simbol-simbol
bunyi bahasa yang ada pada si peneliti (ahli bahasa) atau alphabet fonetia. Pada cara yang
kedua ini setiap bunyi bahasa yang membedakan arti akan ditulis dengan simbol yang
berada. Sebagai contoh akta teras, yang berarti serambi rumah dan teras yang berarti inti
dalam pejabat teras. Teras yang pertama akan ditulis [teras] dan yang kedua ditulis [tǝras].
Dalam hal ini si peneliti menuliskan dua kata dengan simbol yang dipakai secara universal
(dalam arti dipakai oleh para ahli bahasa di dunia), namun bertitik tolak dari perbedaan arti
yang diberikan oleh si pemakai bahasa, atau lebih tepat perbedaan bunyi yang ada pada
pemakai bahasa tersebut.* situasi yang dihadapi oleh seorang ahli bahasa di sini mirip
dengan situasi yang dialami oleh seorang ahli antropologi sewaktu melakukan penelitian.
Ahli antropologi harus melukiskan kebudayaan masyarakat yang didatanginya, di mana di
satu pihak dia perlu memakai cara-cara yang bersifat universal (dipakai dalam dunia
antropologi), di lain pihak pelukisan tersebut perlu mengikuti pandangan atau makna yang
diberikan oleh si pendukung kebudayaan (Goodenough, 1964a:36–37, 1964b:9–10).
Dengan demikian, model dari ilmu bahasa tadi dapat dipakai oleh para ahli antropologi.
Cara pelukisan seperti itu dalam antropologi kemudian dikenal sebagai pelukisan etik dan

*
Saya ucapkan terima kasih kepada Drs. Dendi dari Pusat Penelitian Bahasa yang telah memberikan
penjelasan tentang fonemik dan fonetik dengan contoh tersebut.

4
emik (diambil dari fonetik dan fonemik). Melalui model pelukisan seperti ini diharapkan
hasilnya nanti akan dapat dipakai dengan tepat untuk studi perbandingan.
Mengingat penggunaan model tersebut menuntut peneliti berangkat dari ―dalam‖—
yaitu dari sudut pandang orang orang yang diteliti—timbul kemudian kesadaran baru di
antara para ahli antropologi bahwa konsep kebudayaan yang mereka pakai selama ini tidak
mengandung isi pengertian yang sama. Hal ini tampak jelas dalam etnografi mereka.
Sebagian ahli antropologi mendefinisikan kebudayaan sebagai pola tingkah-laku manusia
dalam masyarakat tertentu; sebagian lagi menafsirkan kebudayaan sebagai keseluruhan
tindakan manusia, pikirannya, serta hasilnya; ahli antropologi yang lain beranggapan
bahwa para ahli antropologi tidak sepenuhnya mengikuti apa yang telah dilontarkan oleh
Malinowski jauh-jauh sebelumnya.
Penggunaan model linguistik guna menggambarkan suatu kebudayaan mempunyai
implikasi bahwa definisi kebudayaan yang dipakai adalah kebudayaan sebagai suatu sistem
pengetahuan atau sistem ide, karena dalam definisi inilah ―makna‖ yang diberikan oleh
pendukung kebudayaan turut diperhitungkan serta menduduki posisi yang penting. Dengan
demikian, kebudayaan suatu masyarakat sebenarnya terdiri dari:
―whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its
members, and do so in any role that they accept for any one of themselves. Culture, being
what people have to learn as distinct from their biological heritage must consist of the end
product of learning: knowledge...― (Goodenough, 1964a:36).
Oleh karena itu,
―culture is not a material phenomenon; it does not consist of things, people, behavior or
emotions. It is rather the organisation of these things. It is the forms of things that people
have in mind, their models for perceiving, relating and otherwise interpreting them as such.
The things that people say and do, their social arrangement and events are products or by
products of their culture as they apply it to the task of perceiving and dealing with their
circumstances...‖ (Goodenough, 1964a:36).

Ada beberapa akibat yang timbul dengan dipakainya definisi kebudayaan ini, baik
pada metode penelitiannya ataupun pada masalah dalam antropologi sendiri. Sehubungan
dengan metode, berarti ahli antropologi harus menguasai bahasa setempat, bahasa
masyarakat yang ditelitinya. Di sini terselip suatu asumsi bahwa jalan yang paling mudah
untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu masyarakat, yang isinya antara lain
klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan sebagainya, adalah melalui
bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam
lingkungan mereka. Pemberian nama memang merupakan proses penting dalam kehidupan
manusia, sebab melalui proses ini manusia lantas dapat ―menciptakan‖ keteraturan dalam
persepsinya atas lingkungan. Perbedaan-perbedaan persepsi yang ada pada tiap benda bisa

5
diabaikan selama perbedaan tersebut tidak penting. Oleh karena itu, nama juga merupakan
indeks dari klasifikasi; dari apa yang dianggap penting (significant) dalam lingkungan
manusia (Tyler, 1969:6). Dari nama-nama ini kita dapat mengetahui patokan apa yang
dipakai oleh suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat
mengetahui ―pandangan hidup‖ pendukung kebudayaan tersebut. Di samping itu melalui
bahasa inilah berbagai pengetahuan, baik yang tersembunyi (tacit) maupun yang tidak
(explicit) terungkap pada si peneliti.
Dampak metodologis yang kedua, yakni dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan
peneliti sebaiknya menggunakan konsep-konsep yang dimiliki oleh warga masyarakat yang
diteliti. Di sini pendapat Malinowski kembali relevan. Kata Malinowski,
―... we cannot expect to obtain a definite, precise and abstract statement from a philosopher,
belonging to the community itself. The native takes his fundamental assumptions for granted
and if he reasons or inquiries into matters or belief, it would be only as regards details and
concrete applications. Any attempts on the part of the Ethnographer to induce his informant
to formulate such a general statement would have to be in the form of leading questions of
the worst type, because in these leading questions he would have to introduce words and
concepts essentially foreign to the native. Once the informant grasped their meaning, his
outlook would be warped by our own ideas having been poured into it. Thus the
ethnographer must draw the generalization for himself must formulate the abstract statement
without the direct help of a native informant.‖ (Malinowski, 1961:396).

Ini berarti si peneliti harus mempelajari bahasa masyarakat yang akan ditelitinya
dengan baik dan kemudian mencoba merumuskan berbagai pertanyaan sesuai dengan
karangka berpikir mereka. Konsep-konsep seperti patrilineal, matrilineal, double descent,
asymmetrical connumbium yang ada dalam antropologi untuk sementara harus disimpan
dulu.
Berkenaan dengan implikasi-implikasi terhadap masalah-masalah antropologi, kita
dapat menggolongkannya dalam tiga kelompok. Semuanya bertitik-tolak dari definisi
kebudayaan tersebut di atas, namun masing-masing memberi tekanan pada aspek yang
berbeda. Masalah pertama dipelajari oleh mereka yang berpendapat bahwa kebudayaan
merupakan ―form of things that people have in mind‖, yang dalam hal ini ditafsirkan
sebagai model-model untuk mengklasifikasikan lingkungan atau situasi sosial yang
dihadapi. Pengkajian mereka di sini bertujuan untuk mengetahui gejala-gejala materi mana
yang dianggap penting oleh warga masyarakat dan bagaimana mereka mengorganisir
berbagai gejala tersebut dalam sistem pengetahuan mereka. Bilamana ini dapat diketahui
maka akan terungkap pula berbagai prinsip yang mereka pakai guna memahami
lingkungan yang dihadapi, yang menjadi landasan bagi tingkah-laku mereka (Tyler,
1969:3). Tiap masyarakat pada dasarnya membuat klasifikasi yang berbeda-beda terhadap
lingkungan yang sama. Dengan pengetahuan mengenai pengkategorisasian berbagai

6
macam gejala ini akan dapat diketahui juga ―peta kognitif‖ mengenai ―jagad‖ dari suatu
masyarakat tertentu (Frake, 1962:75). Pendeknya, si ahli antropologi di sini berusaha untuk
menyingkapkan suatu struktur yang dipakai untuk mengklasisfikasikan berbagai gejala
atau lingkungan. Dalam bidang ini para ahli antropologi juga berbeda-beda minatnya. Ada
yang meneliti soal pengklasifikasian makanan, klasifikasi warna, kategorisasi penyakti,
kategorisasi tumbuh-tumbuhan, kategorisasi kayu-kayu, dan sebagainya. Selain itu, di
antara mereka ada juga yang mempunyai tujuan lebih jauh lagi, yaitu ingin mendapatkan
prinsip-prinsip klasifikasi yang universal sifatnya. Dengan metode yang ketat dalam
penelitian maupun analisis serta dapat diulang atau diadakan perbandingan atas hasil
analisis yang dicapai, sehingga hipotesis-hipotesis yang dilontarkan dapat diuji dengan
tepat keuniversalannya.
Kelompok kedua adalah mereka yang menagrahkan perhatiannya pada bidang rules
atau aturan-aturan. Mereka berpijak pada definisi kebudayaan yang pertama, yaitu
kebudayaan sebagai hal-hal yang harus diketahui seseorang agar dapat mewujudkan
tingkah-laku (bertindak) menurut cara yang dapat diterima oleh warga masyarakat di
tempat di berada. Persoalan kategorisasi masih tetap ada di sini, akan tetapi perhatian lebih
banyak ditujukan pada kategorisasi-kategorisasi sosial, artinya kategorisasi-kategorisasi
yang dipakai dalam interaksi sosial. Oleh karena sejak dulu antrpologi telah banyak
berkecimpung dalam soal-soal kekerabatan, maka dalam hal inipun yang diperhatikan pada
umumnya adalah klasifikasi kerabat. Meskipun begitu kategorisasi kerabat saja tidak akan
banyak menolong seseorang untuk bisa bertindak secara tepat. Di situ masih terdapat
konteks-konteks tertentu yang erat kaitannya dengan hak dan kewajiban seseorang
terhadap yang lain, yang terlibat dalam interaksi. Karena itu, si peneliti juga
memperhatikan berbagai kategorisasi konteks sosial, hak-hak dan kewajiban, serta
bermacam-macam kategorisasi sosial seperti apa yang dialkukan oleh Goodenough dalam
penelitiannya di kalang orang Truk (Goodenough, 1969b). Tujuan ashli antropologi di sini
tidak hanya mencari prinsip klasifikasi yang ada dalam masyarakat, tetapi juga klasifikasi-
klasifikasi yang erat kaitannya dengan atau yang digunakan dalam interaksi sosial, sebab
masalah yang dikaji adalah bagaimana orang-orang dari suatu kebudayaan tertentu
mengharapkan mereka bertindak jika mereka merupakan warga masyarakat tersebut
(Tyler, 1969:5). Sebagai contoh misalnya klasifikasi orang kedua dalam bahasa Jawa:
kowe, sampeyan, panjenengan. Di sini, ahli antropologi yang menemukan gejala seperti ini
kemudian akan berusaha mengetahui dalam konteks yang mana saja klasifikasi-klasifikasi
tersebut dipakai terhadap siapa orang harus menggunakannya, bagaimana hubungan si
pembicara dengan orang yang diajak bicara dan sebagainya.
Kelompok ketiga adalah ahli-ahli antropologi yang juga menggunakan definisi
kebudayaan yang kedua, yaitu kebudayaan merupakan alat atau sarana yang dipakai untuk
―perceiving‖ dan ―dealing with circumstances‖, yang berarti alat untuk menafsirkan

7
berbagai macam gejala yang ditemui. Dalam hal ini para ahli antropologi tersebut
beranggapan bahwa tindakan manusia mempunyai berbagai macam makna bagi pelakunya
serta bagi orang lain. Untuk menjelaskan tingkah-laku manusia, makna tersebut harus
diungkapkan. Tanpa memperhitungkan makna ini maka penjelasan si peneliti tidak akan
lengkap dan tidak mencerminkan hakikat manusia yang sebenarnya (Spradley, 1979:13).
Penekanan si peneliti kemudian adalah pada makna-makna yang hidup dalam suatu
masyarakat atau subkultur tertentu, dan dari makna-makna inilah diusahakan untuk
diungkapkan tema-tema budaya (cultural themes) yang ada di dalamnya (Spradley,
1979:185). Sebenarnya, dua kelompok yang lain juga dapat dikategorikan sebagai
kelompok yang mempelajari tentang makna, akan tetapi di situ tidak dikatakan secara
eksplisit apa yang dimaksud dengan makna tersebut, sedang pada kelompok yang ketiga ini
dipakai landasan teori tentang makna guna mendapatkan tema-tema budaya yang ada. Jadi
tujuan terakhir peneliti adalah tema-tema budaya tersebut. Di sini, perhatiannya masih
tetap pada sistem klasifikasi yang dimiliki oleh warga masyarakat yang diteliti, namun
usahanya tidak hanya berhenti sampai di situ. Kategorisasi-kategorisasi yang ada, seperti
halnya pada kelompok lainnya, hanyalah merupakan batu loncatan saja. Salah seorang ahli
antropologi yang meneliti masalah tema budaya ini adalah Spradley. Dalam metode
penelitiannya, dia menggunakan metode-metode yang biasa ditempuh dalam pendekatan
etnosains, sedang teori makna yang dianutnya adalah ―relational theory of meaning‖, di
mana makna suatu simbol tidak lain adalah hubungannya dengan simbol-simbol lainnya.
Berdasarkan atas penelitian yang telah dilakukan mengenai makna ini, ternyata ada
beberapa hubungan semantis (maknawi) yang universal sifatnya. Teori inilah yang
kemudian dapat dipakai dalam penelitian tersebut. Berbeda dengan dua kelompok
sebelumnya, yang mencari prinsip-prinsip universal kebudayaan lewat studi perbandingan,
kelompok terakhir ini mencarinya melalui pemahaman secara mendalam atas sesuatu hal,
sebab ―in anthropology, as in all social sciences, the concern with the particular is
incidental to an understanding of the general‖ (Spradley, 1979:206).
Tiga macam arah penelitian inilah yang sekarang dikenal sebagai wujud dari aliran
etnosains. Mengenai istilah etnosains, para ahli antropologi sendiri belum mempunyai
kesamaan pendapat. Ada yang menyebutnya sebagai ―The New Ethnography‖, ―Cognitive
Anthropology‖, ―Ethnographic Semantics‖, dan ―Descriptive Semantics‖. Berbagai macam
istilah ini timbul karena masing-masing ahli memberikan penekanan yang berbeda
terhadap apa yang dianggap penting di situ. Apabila kita perhatikan metodenya, memang
tampak adanya keseragaman, sehingga beberapa ahli antropologi menganggap Etnosains
sebagai metode, seperti kata Werner,
―... the new methods which focus on the discovery and description of folk systems, have come to be
known as ethnoscience. Ethnoscience analysis has thus concentrate on system of classification within
such cultural and linguistic domains such as colors, plants and medicines ... ― (Perchonock dan
Werner, 1969:229).

8
―Ethnoscience is concerned solely with classification principles as they are expressed by native
speakers of the languages, not as they are determined through anthropological observation.
Ethnoscientists are interested in the speaker‘s knowledge of the various domains within his culture,
not in his actual behavior in these domains...‖ (Perchonock dan Werner, 1969:229).
―Ethnoscience at present is largely a method. It is applicable by any anthropologist who finds it to his
advantage to discover the meanings of native terms...‖ (Werner dan Fenton, 1970:537).

Kata Ethnoscience sendiri sebenaranya berasal dari kata Yunani, ethnos yaitu bangsa,
dan kata Latin scientia, pengetahuan (Werner dan Fenton, 1970:537). Maksudnya adalah
pengetahuan yang ada atau dimiliki suatu bangsa atau lebih tepat suatu sukubangsa tertentu
atau subkultur tertentu. Ini sesuai dengan tujuan antropologi sendiri, yakni mendapatkan
pengetahuan yang dimiliki oleh suatu sukubangsa tertentu. Jadi sebenarnya lebih tepat
dikatakan bahwa ethnoscience adalah ―system of knowledge and cognition typical of given
culture‖ (Sturtevant, 1964:99—100), bukannya metode penelitian. Penekanannya di sini
adalah pada ssitem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu
masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain. Mengingat
pengetahuan ini sangat luas lingkupnya, bisa menyangkut berbagai macam hal, maka
dalam penelitiannya seorang ahli antropologi biasanya tidak akan menggali semua isi
pengetahuan yang ada, melainkan hanya pengetahuan tentang hal-hal tertentu saja dalam
kehidupan atau dunia mereka, yang dia minati.
Istilah lain yaitu ―The New Ethnography‖, yang menurut Brukman adalah:
―an attempt to discover and utillize procedures which are both internally consistent and
publicly attainable, and which produce valid and replicable statements held demonstrably to
be true about the world by native speakers of some language L‖ (Brukman, 1964:57)

Penekanan Brukman di sini adalah pada prosedur-prosedur yang memberikan pernyataan-


pernyataan yang replicable dan valid, jadi prosedur pelukisan suatu kebudayaan yang
dapat ditiru serta sahih. Ini berbeda tentunya dengan cara-cara pelukisan sebelumnya yang
dengan sendirinya dianggap kurang ―replicable‖, sehingga hasilnya tidak dapat
dibandingkan. Seberapa jauh cara pelukisan yang baru ini berlainan dengan cara-cara yang
lama dapat kita saksikan dari hasil penelitian yang telah mereka lakukan, yang kemudian
mereka gambarkan dalam bentuk skema-skema, tabel-tabel (yang berbeda dengan tabel
biasa), taksonomi dan sebagainya serta cara analisis mereka.
Para ahli juga sering menyebut Etnosains sebagai ―Cognitive Anthropology‖. Di sini
mereka ingin menekankan bahwa data yang mereka sodorkan adalah data kognitif (mental
codes). Sejauh mana data tersebut mencerminkan betul-betul apa yang ada dalam kepala
orang-orang yang diteliti tidak akan saya bicarakan di sini.

9
Istilah ―‖Descriptive Semantics‖ (Goodenough, 1964b:12) atau ―Ethnography
Semantics‖ (Spradley, 1979:7) dipakai oleh mereka yang beranggapan bahwa apa yang
mereka deskripsikan dalam etnografi mereka merupakan makna-makna yang hidup dalam
masyarakat yang diteliti, atau atas dasar makna yang diberikan oleh orang-orang yang
diteliti. Walaupun ahli-ahli antropologi menggunakan istilah yang bermacam-macam
namun dalam hal metode penelitian mereka menerapkan prosedur-prosedur yang pada
garis besarnya sama, jika toh berbeda maka perbedaan tersebut tidak begitu besar dan
merupakan penyesuaian terhadap situasi yang ada di lapangan.

ETNOMETODOLOGI
Dasar dari pendekatan ini dimulai dari filsafat fenomenologi dengan tokoh Husserl.
Husserl berusaha mengembangkan suatu fenomenologi transendental, yang berbeda
dengan fenomenologi eksistensial. Walaupun keduanya berlainan pendapat dalam
mengartikan beberapa konsep, seperti konsep pengalaman, peristiwa yang dialami, dan
sebagainya, akan tetapi kedua-duanya sama-sama memusatkan perhatian pada soal
kesadaran (consciousness) (Phillipson, 1972:120–121). Jika Goodenough menyatakan
bahwa phenomenal order tidak lain adalah peristiwa-peristiwa atau pola-pola tingkah-laku
yang diamati (1964b:11), maka bagi ahli filsafat fenomenologi phenomenon ini berarti
―which is given or indubitable in the perception or consciousness of the conscious
individuals‖. Jadi usaha fenomenologi ini merupakan upaya untuk menggambarkan
kesadaran manusia serta bagaimana kesadaran tersebut terbentuk atau muncul. Dalam hal
ini tidak dipersoalkan apakah kesadaran ini benar atau salah. Pandangan inilah yang
kemudian menjadi salah satu landasan etnometodologi (Leiter, 1980:39).
Bagi Husserl, kesadaran tadi selalu merupakan kesadaran akan sesuatu hal, oleh
karena itu kesadaran ini mempunyai dua aspek yang saling melengkapi, yaitu proses
kesadaran (process of being conscious = cogito) dan objek dari kesadaran itu sendiri
(cogitatum). Implikasi dari pandangan ini adalah bahwa kesadaran tersebut sangat erat
kaitannya dengan maksud (intention) orangnya. Dengan hadirnya maksud dalam kesadaran
maka kesadaran selalu memberikan makna terhadap objek yang dihadapi. Lebih lanjut,
Husserl menambahkan bahwa kesadaran yang mengandung maksud tersebut selalu
diarahkan pada bidang kehidupan (life world), dan bidang ini tidak lain merupakan dunia
antarsubjek (intersubjektive), artinya manusia yang berada dalam dunia tersebut saling
berhubungan, sehingga kesadaran yang terbentuk di antara mereka memiliki sifat sosial.
Pengalaman pribadi dalam ‗dunia‘ itu beserta pengalaman orang-orang lain merupakan
pengalaman bersama (Phillipson, 1972:123–126). Proses kebersamaan ini dapat terjadi
oleh karena dalam memandang suatu gejala entah itu benda atau peristiwa manusia selalu
berasumsi bahwa gejala-gejala tersebut dialami atau bisa dialami oleh yang lain

10
sebagaimana dia mengalaminya. Manusia selalu mengira bahwa objek-objek atau
peristiwa-peristiwa tersebut bagi orang lain adalah sama halnya gejala-gejala tersebut bagi
dia. Dengan kata lain dia beranggapan bahwa makna yang diberikannya terhadap gejala itu
sama dengan makna yang diberikan oleh orang lain. Inilah yang dimaksud dengan
intersubjektivitas dunia kehidupan (Phillipsin, 1972:125).
Lebih lanjut, dikatakan bahwa maksud tadi selain terdapat dalam kesadaran, juga
diarahkan pada tindakan. Dalam interaksi sosial, manusia menanggapi tindakan orang lain
tidak tas dasar tindakan itu sendiri melainkan berdasarkan maksud dari tindakan tersebut
(Silverman, 1972:166). Karena itu, bagi seorang peneliti interaksi sosial yang dilihatnya
tidak begitu penting lagi, yang lebih penting adalah makna yang diberikan oelh orang-
orang yang terlibat dalam interaksi tersebut, bagaimana makna tersebut muncul, dimiliki
bersama serta dipertahankan untuk selama jangka waktu tertentu, dan bagaimana
kenyataan sehari-hari yang selalu berbeda dipandang sebagai hal-hal yang ‗wajar‘, yang
biasa, dan nyata bagi mereka yang menghadapinya (Dreitzel, 1970:xi).
Perhatian peneliti terhadap makna suatu situasi sosial bagi pelaku-pelakunya
mempunyai implikasi lebih jauh, yaitu pada metode yang dipakai dalam penelitian. Metode
yang tepat, kata Husserl, ―folows the nature of things to be investigated and not our
prejudices and preconceptions‖ (Phillipson, 1972:121–122). Hakikat makna yang ada
dalam pengalaman dan tindakan manusia menyebabkan pendekatan seperti yang dilakukan
pada ilmu alam dalam ilmu sosial tidak lagi mengena, karena masalahnya bagi si pelaku di
dalamnya akan menghasilkan penjelasan yang pincang. Namun, sebelum sampai pada
tingkat itu sendiri, menurut Husserl kita perlu mengetahui terlebih dulu cara-cara yang
digunakan oleh orang-orang yang kita teliti untuk memberikan arti, cap (label) yang
kemudianmenciptakan suatu kenyataanyang tidak mereka sangsikan lagi kebenarannya.
Sumbangan pemikiran Husserl lainnya, yang kemudian menjadi dasar
Etnometodologi, adalah konsepnya tentang natural attitude. Konsep inilah yang
menghubungkan filsafat fenomenologi dengan sosiologi. Lewat konsep ini Husserl ingin
mengetengahkan bahwa Ego yang berada dalam situasi tertentu biasanya menggunakan
penalaran yang sifatnya praktis, seperti dalam kehidupan sehari-hari. Ego tersebut tidak
mempertanyakan lagi secara mendetail apa yang ada di sekitarnya. Dia menganggap apa
yang dihadapinya tidak berbeda dengan hal yang sama yang telah ditemuinya kemarin atau
dulu (Phillipson, 1972:172). Natural attitude ini disebut juga commonsense reality. Oleh
Husserl, natural attitude ini dibedakan dengan theoretical attitude dan mythical religious
attitude. Dengan pembedaan ini Husserl meletakkan salah satu ide pokok yang kemudian
dikembangkan oleh Schutz dan Garfinkel dalam etnometodologinya, di mana mereka
mengaitkan attitude tersebut dengan bisa-tidaknya terjadii proses interaksi sosial (Leiter,
1980:42–44).

11
Tokoh lain yang buah pikirannya juga menjadi sumber bagi aliran Etnometodologi
adalah Alfred Schutz, salah seorang murid Husserl. Dia inilah yang boleh dikatakan
merupakan mata rantai penghubung antara filsafat fenomenologi dan sosiologi. Pemikiran-
pemikiran Husserl yang lebih banyak berbagi filsafat dikupas lebih lanjut dan ia terapkan
dalam ilmu sosial (Leiter, 1980:50). Konsep intersubjektivitas dikembangkan lebihjauh,
dan menurut dia bentuk dasar intersubjektivitas tersebut tidak lain adalah adanya timbal-
balik perspektif (reciprocity of perspective), di mana tercakup di dalamnya dua macam
idealisasi (idealization) (Phillipson, 1972:125–126). Pertama yaitu interchangeability of
view points, artinya seorang Ego berpandangan bahwa Ego dan orang lain akan
mendapatkan pengalaman yang sama atas dunia bersama (common world) apabila mereka
saling bertukar posisi, Ego berada pada posisi dia dan dia berada pada posisi Ego. Ego
berasumsi bahwa cara-cara memahami, mengalami (experiencing) dunia atau situasi yang
dihadapi akan sama dalam pergantian posisi semacam itu. Idealisasi kedua yakni
congruence of system of relevances. Bagi Schutz, maslaah yang penting dalam hal ini ialah
bagaimana si pelaku mendefinisikan situasi yang dihadapi. Situasi di sini maksudnya
adalah ―a particular physical and sociocultural environment in which the actor has a
physical, social and moral position as determined in part by his biography‖ (Heeren,
1970:47–48). Schutz menambahkan bahwa unsur-unsur mana yang relevan dalam suatu
situasi bagi si pelaku ditentukan oleh biografi (sejarah hidup) si pelaku serta pilihannya
atas berbagai kepentingan yang menyangkut dirinya. Jadi relevansi di sini tidak lain adalah
relevansi dengan masalah yang melibat di pelaku, dan kepentingan-kepentingannya
(Heeren, 1970:47–48). Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa yang dimaksud oleh
Schutz sebagai congruence of system of relevance adalah keadaan di mana seorang Ego
dan Alter yang terlibat dalam suatu interaksi berasumsi bahwa perbedaan-perbedaan yang
ada dalam sistem relevansi masing-masing pihak dapat diabaikan demi tujuan yang ingin
dicapai bersama (Phillipson, 1972:126). Melalui timbal-balik perspektif inilah proses
interaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari dapat berjalan lancar, sebab masing-masing
pihak yang terlibat tidak menyangsikan lagi bahwa hal-hal yang akan dihadapinya tidak
akan berlainan dengan apa yang telah pernah dialaminya.
Konsepsi Schutz bahwa interaksi sosial merupakan proses interpretasi yang terus-
menerus ini kemudian membangkitkan permasalahan dalam etnometodologi tentang
bagaimana interpretive procedures digunakan untuk memahami dan membangun interaksi
sosial (Leiter, 1980:57). Oleh Cicourel ide Schuhtz ini dipakai sebagai tempat berpijak
dalam menguraikan konsep interpretive procedures, yakni interchangability of
standpoints, et cetera principle dan descriptive vocabularies sebagai indexical expressions
dan sebagainya (Leiter, 1980:53–54). Dalam proses interaksi sosial, kata Schutz
selanjutnya, di mana si pelaku harus mendefinisikan situasi yang dihadapi, masing-masing
pihak juga melakukan typification. Dalam kegiatan ini pelaku mengabaikan hal-hal yang

12
unik pada suatu obyek dan menempatkan obyek tersebut dalam kelas yang sama dengan
obyek-obyek lain yang memiliki ciri-ciri atau unsur-unsur atau kualitas yang sama.
Mengingat suatu tipe tertentu ditentukan dalam hubungannya dengan tujuan yang dihadapi
maka kepentingan yang langsung inilah yang menentukan unsur-unsur mana yang menjadi
kriteria penentu suatu tipe (Hearen, 1970:51). Konsep typification ini dalam Etnosains
lebih dikenal dengan istilah pengkategorisasian atau pengklasifikasian. Walaupun ada
kesamaan, namun rupanya konsep kategorisasi dan klasifikasi dalam Etnosains tidak ada
hubungannya sama sekali atau bukan merupakan pengaruh dari Schutz.
Ide-ide yang saya sebutkan di atas kemudian mempengaruhi seorang ahli sosiologi,
Harold Garfinkel, pelopor pendekatan Etnometodologi. Ide-ide tersebut pada galibnya
menyangkut masalah bagaimana-bisa-terjadinya suatu proses interaksi sosial. Masalah ini
merupakan pokok masalah dalam Etnometodologi, yang dalam perkembangan lebih lanjut
menjadi berbagai macam masalah lagi yang cukup rumit. Sejarah etnometodologi dimulai
ketika Garfinkel mengerjakan analisis pada rekaman mengenai pertimbangan-
pertimbangan yang dilakukan oleh para juri pengadilan di Chicago. Pada waktu itu dia
harus memperhatikan apa yang akan dikatakan oleh juri-juri tersebut setelah dia tahu apa
yang mereka percakapkan. Masalah yang kemudian menarik perhatiannya adalah ―what
makes them jurors?‖ (Garfinkel, 1974:l5). Dia kemudian tiba pada persoalan ―‘jurors‘ uses
some kind of knowledge of the way in which the organized affairs of the society operated-
knowledge that they drew on easily that they required each other‖. Kata Garfinkel
selanjutnya ―at the time they required it (knowledge) of each other, they did not seem to
require this knowledge of each other in the manner of check out‖ (Garfinkel, 1974:15–16).
Metodologi para juri yang semacam inilah yang menjadi perhatian Garfinkel. Tentu saja
pengertian metodologi di sini sangat berbeda dengan arti yang biasa diberikan oleh ahli-
ahli sosiologi pada konsep tersebut.
Istilah etnometodologi diperoleh Garfinkel menggunakan data cross-cultural area
dari Universitas Yale. Di situ dia temukan berbagai istilah yang dipakai dalam antropologi,
seperti etnobotani, etnofisiologi, etnofisik dan sebagainya. Karena dia memperhatikan soal
metodologi yang dipakai oleh para juri, istilah etnometodologi kemudian digunakan untuk
memberi nama pada masalah tersebut. Prefix etno bagi Garfinkel berarti ―the availability to
a member of commonsense knowledge of his society as commonsense knowledge of the
‗whatever‘‖ (Garfinkel, 1974:16). Dengan kata lain, etnometodologi adalah ―‗members‘
methods of making sense of their social world‖ (Wallace, 1980:263). Jadi pendekatan
Garfinkel selalu mempersoalkan hal-hal yang biasanya tidak dianggap sebagai persoalan
oleh orang-orang dalam kehidupan sehari-hari mereka, atau hal-hal yang dianggap ―sudah
sebagaimana adanya,‖ yang membuat mereka dapat memahami ‗dunia‘ mereka.
Garfinkel sendiri dalam mendefinisikan istilah Etnometodologi tidak hanya
memberikan satu batasan, dan masing-masing batasan juga berbeda. Mengingat isi uraian

13
Garfinkel yang sulit dipahami maka saya mencoba memahami pikiran Garfinkel lewat
penulis-penulis lainnya. Definisi-definisi yang diajukan oleh Garfinkel antara lain adalah:
―Ethnomethodology studies analyse everyday activities as ‗members‘ methods for making
sense those same activities visibly-rational-and reportable-for all-practical-purpose, i.e.
accountable as organizations of commonplace everyday activities...‖
―Their study is directed to the tasks of learning how members actual, ordinary activities
consists of methods to make practical actions, practical circumstances, commonsense
knowledge of social structures, and practical sociological reasoning analysable; and of
discovering the formal properties of commonplace, practical commonsense actions, ‗from
within‘ actual settings, as ongoing accomplishment of that setting...‖ (Garfinkel, 1967:vii–
viii).
―The term Ethnomethodology‖ menunjuk pada ―the investigation of the rational properties of
indexical expressions and other practical actions as contingent, accomplishments of the
organized artful practices of everyday life‖ (Garfinkel, 1967:11).

Dalam definisi pertama, Garfinkel bertitik-tolak dari pandangan bahwa kegiatan-kegiatan


interaksi sehari-hari mempunyai sifat sistematis dan terorganisir bagi orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Proses ―memberikan keteraturan‖ (imposing order) terhadap aktivitas
interaksi itu, yang tampak pada waktu orang menerangkan atau menjelaskan interaksi
tersebut, dikatakan sebagai aspek reflektivitas dari proses interaksi itu sendiri. Ini sekaligus
memperlihatkan pada kita bahwa proses ―memberikan keteraturan‖ tersebut dapat
dipelajari. Mengingat proses ini merupakan bagian dari proses interaksi itu sendiri, maka
cara mempelajarinya yang paling tepat adalah melalui partisipasi (Filmer, 1972:208).
Definisi kedua menekankan pada perbedaan antara ekspresi yang sifatnya objektif
dan indeksikal, dan ini bagi Garfinkel sangat penting. Ekspresi indeksikal maksudnya
adalah penggambaran objek-objek menurut kekhususan dan keunikannya; jadi berada
dalam kerangka suatu konteks tertentu, sedang ekspresi objektif menggambarkan general
properties dari objek tersebut; menggambarkan objek menurut ciri yang menyebabkan
objek tersebut menjadi sesuatu yang khas dan berbeda dengan objek-objek yang lain; jadi,
penggambaran yang dapat lepas dari konteks yang khusus (Filmer, 1972:208). Menurut
istilah fenomenologi ekspresi objektif melukiskan esensi dari objek itu sendiri.
Lebih jauh lagi, Garfinkel mengemukakan bahwa aktivitas memberikan keteraturan
pada situasi yang dihadapi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang awam saja, melainkan
juga oleh para ahli sosiologi sendiri (Lieter, 1980:92–93). Oleh karena itu, aktivitas ilmiah
yang dilakukan oleh ahli-ahli sosiologi sebenarnya tidak berbeda dengan aktivitas dalam
kehidupan sehari-hari di mana dalam interaksi antarmereka digunakan ―metode‖ seperti
yang ada pada orang-orang awam. Ini ditunjukkan oleh Garfinkel lewat pandangannya
bahwa sikap yang ―teoretis‖, yang selalu menanyakan maksud atau arti konsep-konsep atau

14
pernyataan-pernyataan tertentu, tidak bisa menjadi landasan terjadinya proses interaksi.
Sebagai contoh kalau kita ditanya: ―Apa kabar?‖, kita biasanya akan menjawab, ―Baik‖
atau ―Yaah ... kurang begitu baik.‖ Di sini, si penanya berasumsi bahwa kita telah mengerti
maksud pertanyaannya, dan kita juga menjawab ―Baik‖ dengan anggapan bahwa si
penanya telah paham maksud dari jawaban tersebut. andaikan sehabis ditanya kita malah
balik bertanya: ―Apa maksudmu dengan kabar? Kabar siapa? Kabar kesehatan saya?
Pelajaran-pelajaran saya? Kabar isteri saya? Atau yang mana?, mungkin penanya akan
bereaksi macam-macam, entah marah, tertawa, atau menganggap kita gila. Hal-hal seperti
inilah yang juga menjadi bahan kajian etnometodologi. Kegiatan sehari-hari yang
tampaknya tidak menjadi persoalan oleh etnometodologi dipermasalahkan kembali.
Tujuan etnometodologi adalah mencari dasar-dasar yang mendukung terwujudnya
interaksi sosial, atau dengan kata lain etnometodologi berusaha mendapatkan basic rule-
nya, yaitu ―resouorces we employ in our mutual construction and negotiation of our
everyday practical activities‖ (Phillipson, 1972:148). Basic rule ini berbeda dengan surface
rule, yang dalam ilmu sosial dikenal dengan istilah nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan
dan sebagainya. Disebut basic rule oleh karena dalam pandangan etnometodologi rule
inilah yang menjadi dasar interaksi antarmanusia, tidak memandang di mana manusia itu
berada atau apa suku bangsanya. Perbedaan antara basic rule dengan surface rule dapat
disamakan dengan perbedaan antara bentuk dan isi (Phillipson, 1972:149), tetapi seberapa
jauh perbedaan itu tepat atau tidak, tidak akan saya bahas di sini.
Seperti halnya dalam Etnosains, karena penelitian Etnometodologi tertama ditujukan
pada proses interaksi sosial serta bagaimana pelaku-pelakuk yang terlibat di dalamnya bisa
berinteraksi dan memahami proses itu sendiri, maka Etnometodologi juga memperhatikan
bahasa atau percakapan yang ada di antara para pelaku. Anggapan para ahli di sini adalah
bahwa bahasa merupakan alat untuk membangun kenyataan sosial dan sarana untuk
mengkomunikasikan kenyataan-kenyataan sosial serta makna-makna yang dimiliki oleh
para pelaku yang terlibat dalam suatu interaksi (Phillipson, 1972:146–147). Bahasa yang
diperhatikan oleh para ahli ini adalah bahasa yang alami (natural) atau percakapan yang
alami, yang ada dalam seting tertentu. Percakapan tersebut kemudian dianalisis. Dari sini,
mereka berharap mampu mengungkapkan ―mutual processes of reality negotiating
construction and maintenance‖ (Phillipson, 1972:148). Berbeda dengan ahli etnosains yang
berusaha mengorek peta kognitif dari suatu masyarakat, yang terwujud dalam bahasa
mereka.

DATA DAN ANALISIS


Data yang saya ketengahkan di sini merupakan suatu rekonstruksi dari sepotong
kehidupan sehari-hari yang saya jumpai di bawah jembatan Gondolayu, Yogyakarta

15
sewaktu saya mengadakan penelitian di kalangan pengemudi becak. Di bawah jembatan
yang bagian bawahnya berbentuk melengkung ini tinggal beberapa keluarga yang oleh
orang-orang awam dikategorikan sebagai gelandangan, walaupun sebenarnya mereka juga
tidak menggelandang terus. Mereka mempunyai tempat tinggal yang berupa gubuk-gubuk
kecil terbuat dari potongan-potongan kayu, karton, atau gedek. Gubuk-gubuk ini memang
kelihatan compang-camping dan oleh petugas dari Dinas Kebersihan Kota dianggap
memberikan pandangan yang kurang sedap. Namun demikian, halaman sekitar gubuk-
gubuk tersebut kelihatan bersih dan rapi. Dalam gubuk-gubuk yang rata-rata berukuran dua
kali tiga meter ini orang tidak dapat berdiri tegak, karena tingginya hanya satu setengah
meter.
Di salah satu gubuk, tampak empat orang sedang duduk mengobrol. Tiga orang laki-
laki dengan seorang perempuan. Berikut ini percakapan di antara mereka, sejauh yang
berhasil saya tangkap dan ingat.
P : Eh, kamu udah jual ke juragannya atau belum?
T : Udah. Baru tadi pagi saya ke sana, makanya tadi pagi saya nggak jalan.
Saya pergi ke tempat A. Kebetulan juragan B sedang ada di sana juga. Dia
masih ngutang sama saya, terus tadi dibayarnya. Lumayan juga kalau dapat
sekaligus begitu. Bisa buat beli macam-macam.
P : Pak A tanya tentang saya nggak? ... dan gimana soal harga?
T : Ya, tapi saya bilang, kertasnya belum kering dan kartonnya belum cukup.
Minggu ini mungkin dia setor. Kalau soal harga masih tetap sama. Memang
orang-orang seperti kita ini yang repot. Juragan tinggal ongkang-ongkang
saja, terima sana, terima sini.

Suasana tenang lagi. Di dekat gubuk yang paling jauh, X tampak sedang membersihkan
barang-barang. Perintah X pada anaknya, yang membantunya kadang-kadang terdengar
oleh mereka.
P : ―Sudah selesai dia rupanya mengerjakan rongsokannya,‖ kata P ketika
melihat pak X turun ke sungai.
T : Dia lagi untung lho hari ini. Pas dia ke selatan dekat pabrik, kebetulan lagi
ada beling dan kaleng-kaleng bekas di sana. Pulang-pulang keranjangnya
sudah penuh, dan karena barang-barangnya masih baik dia tidak perlu lagi
mengerjakannya.
P : Nggak seperti kita ya? Habis gresek masih kerja lagi macam-macam.
Y : Yang digresek juga lain sih. Kalau plastik-plastik dan kertas itu tidak
dibersihkan dan diatur, kita kan yang repot. Mana ada bakul yang mau
terima barang kita. Juga kalau mau ditimbang begitu saja kan nggak bisa.

16
Tiba-tiba Z datang dari arah utara.
Z : Wah pak Mukh lagi untung hari ini. Dia klithi di sungai dapat emas sebesar
batang korek.
G : ―Kapan dia ke sungai, koq aku nggak lihat,‖ tanya si perempuan, yang
ternyata bernama Gendur.
Z : Tadi sekitar jam sepuluhan.
P : Apa dia nggak narik hari ini?
Z : Nggak, katanya dia lagi malas ketemu juragannya karena sudah dua minggu
ini dia ngeblong terus. Mungkin saja dia bisa setor hari ini dari hasilnya
menjual emas, dan bisa narik lagi.
K : Wah koq ya masih enakan saya ya. Gresek-gresek pasti dapat. Tiap hari
pasti ada uang. Walaupun sedikit pas ada. Tidak dikejar-kejar setoran lagi.
Z : Yaah orang itu kan untungnya sendiri-sendiri. Kamu saja masih terbilang
ngoyo cari duit, jalan kesana-kemari. Gresek-gresek, membersihkan barang
rongsokan, kardus, koran, plastik, menjemur ... mencuci ... milih-milih.
Masih enakan si Gendur. Cuma tinggal mlumah udah dapet duit. Enak lagi.
K : Mlumah gimana? ... enak gimana?
Z : Alaaah ... kamu pura-pura nggak tahu saja. Atau pengen dijelaskan?
G : ―Hush ... nggak usah rame. Pengen tidur sama saya atau gimana?‖ sahut
Gendur yang jadi bahan pembicaraan.
T : ―Kelihatannya Gendur siang ini lagi pengen main sama saya,‖ kata si T
sambil senyum-senyum dan segera masuk ke gubuk.
P : Sana Ndur, disusul ...
K : Alaaahh ... si T lagi tong-pes. Sama aku sajalah. Sedang penuh kantongku
sekarang. Rokokku Djarum lagi.
G : Gah ... Malas. Siang-siang koq main. Panas. Keringatan. Nggak enak. Tuh
... sama si Marni saja yang sudah siap,‖ kata Gendur sambil menunjuk
seberang sungai.
Mereka semua memandang ke seberang sungai. Di sana tampak si Marni yang sudah
berpakaian kebaya rapi dengan dandanan yang menyolok, keluar dari gubuknya.
K : Wah .. tumben banget si Marni siang-siang kaya begitu. Sedang perlu sekali
duit to? Atau mau pergi ke Kantor Polisi?
Z : Belum keluar to suaminya? Saya dengar sudah bebas.

17
Seperti telah saya uraikan sebelumnya, etnosains banyak memperhatikan
kategorisasi-kategorisasi yang dimiliki oleh suatu kebudayaan tertentu. Kategorisasi ini
tecermin dalam bahasa pendukung kebudayaan tersebut, oleh karena itu data bagi
Etnosains yang penting adalah linguistic utterances (Perchonock dan Werner, 1969:229).
Berdasarkan contoh di atas seorang peneliti dengan pendekatan etnosains akan
memperhatikan istilah-istilah yang dipakai oleh mereka yang ditelitinya, seperti barang
rongsokan, kertas, plastik, kayu, beling, juragan, klithi, dan sebagainya, yang bagi mereka
memiliki arti tertentu berbeda dengan arti menurut si peneliti.
Andaikan si peneliti adalah dari kelompok pertama dalam etnosains, maka
perhatiannya akan lebih tertuju pada istilah-istilah barang rongsokan, kertas, plastik, koran,
karton, dan sebagainya. Dia akan mencoba memperoleh keterangan yang lebih mendalam
mengenai kategori-kategori tersebut, tidak hanya tentang benda-benda saja, namun juga
lingkungan lainnya yang lebih luas, yang erat kaitannya dengan pekerjaan sebagian besar
penghuni rumah-rumah karton di bawah jembatan tersebut, yaitu gresek. Si peneliti akan
bertanya apa yang dimaksud dengan gresek, dan keterangan yang diperoleh mungkin
berupa jawaban ―Geresik itu cari barang rongsokan‖. Tentu saja, peneliti tidak puas dengan
jawaban ini, dan bertanya lagi ―Apakah kertas juga termasuk barang rongsokan?‖. Cara
bertanya semacam inilah yang menjadi ciri khas etnosains. Dengan pertanyaan semacam
ini akan didapatkan bermacam-macam kategori, dan akhirnya si peneliti dapat mengetahui
bahwa yang termasuk barang rongsokan misalnya adalah kaleng-kaleng bekas, sepatu
bekas, potongan-potongan besi, mesin-mesin rusak, sedang yang dimaksud dengan gresek
bukan hanya mencari barang rongsokan, melainkan benda-benda bekas yang sudah
dibuang di tempat sampah. Kategorisasi-kategorisasi yang diperoleh kemudian bisa
digambarkan dalam skema seperti berikut:
Barang (yang digresek)
Barang rongsokan Kertas Plastik Lain-lain
lembaran
Potongan

Seng/ lek

Kantong
lain-lain

Tegesan
Karton
Sepatu
Kaleng

Plastik
plastik

plastik

Kayu /
semen
Kertas

Kertas

Kertas

Beling
papan
koran
(dll.)
besi

Tali

Mengingat minat peneliti adalah soal kriteria yang digunakan oleh pendukung
kebudayaan dalam melakukan klasifikasi tertentu, maka dia akan berusaha mendapatkan
prinsip-prinsip yang dipakai oleh para penggresek dalam mengelompokkan barang-barang
yang mereka gresek. Untuk ini si peneliti harus mengorek lebih dalam lagi berbagai
klasifikasi atas barang-barang yang digresek tersebut, misalnya saja kategorisasi kertas,
kategorisasi plastik, serta kategorisasi barang rongsokan. Ini semua dapat diperoleh lewat
wawancara dengan penggresek-penggresek tersebut, di mana pertanyaan-pertanyaan yang

18
diajukan didasarkan atas data yang telah diperoleh melalui observasi partisipatoris atau
wawancara-wawancara sebelumnya dan disesuaikan dengan kerangka pemikiran orang-
orang yang diteliti.
Selain lewat wawancara, cara untuk mengetahui kriteria yang dipakai dalam
pengklasifikasian adalah dengan menggunakan kartu-kartu yang berisi kategori-kategori
yang ada. Si informan disuruh mengelompokkan sendiri kategori-kategori tersebut. Cara
seperti inilah yang dipakai oleh Perchonock dan Warner (1969), dan ini baru bisa
dilaksanakan bilamana si peneliti sudah mengetahui berbagai macam kategori yang ada
terlebih dahulu. Selain itu, si informan juga harus dapat membaca. Jika kita gunakan
contoh percakapan di atas dan kita sodorkan macam-macam kategori barang yang di
gresek, dan seorang informan kita suruh mengelompokkannya, maka mungkin sekali si
informan akan mengelompokkan puntung rokok dengan beling dan besi dalam satu
kategori, sedang kaleng, karton, kertas, serta plastik ditempatkan dalam kategori yang lain,
sebab si informan menggunakan kriteria yang berbeda, yaitu penghasilan yang diperoleh
dari penjualan barang-barang tersebut. Beling (gelas kaca), besi, serta puntung memberikan
penghasilan yang relatif lebih banyak daripada kertas, karton, plastik, dan kaleng.
Usaha untuk mengetahui patokan yang dipakai oleh si pendukung kebudayaan dalam
mengklasifikasikan lingkungan yang dihadapi seperti di atas dilakukan antara lain oleh
Perchonock dan Werner—yang ingin mendapatkan patokan klasifikasi orang Navaho pada
soal makanan (1969), oleh Conklin yang meneliti klasifikasi warna pada orang Hununoo
(1964), dan oleh Prake yang ingin mengetahui cara analisis penyakit pada orang Subanun
(1964b).
Jika kita beralih pada kelompok kedua, yang berusaha melukiskan aturan-aturan
yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu, kita lihat bahwa perhatian mereka juga
masih tetap pada kategori-kategori, namun kategori ini dari jenis yang berbeda. Perhatian
mereka di sini banyak ditujukan pada aturan-aturan hubungan sosial, sehingga kategori-
kategori yang dicari adalah kategori-kategori sosial, yaitu kategori orang-orang yang
terlibat dalam interaksi sosial, bagaimana orang mengklasifikasikan warga-warga lain
dalam masyarakat serta kategori-kategori sosial yang ada, karena itu saya mengambil
contoh dari apa yang dilakukan oleh Goodenough (1969b). Seperti kita ketahui,
Goodenough menekankan pentingnya pelukisan suatu kebudayaan denagn lebih akurat,
perlunya dengan tepat mendeskripsikan aturan-aturan yang menyangkut berbagai interaksi
sosial. Masalah ini telah membawanya ke usaha pengajian kembali konsep kedudukan dan
peranan dari Linton. Di sini, saya tidak akan menguraiakan isi pengajian tersebut. Yang
penting bagi kita adalah pandangannya tentang hubungan sosial. Hubungan sosial, bagi
Goodenough, tidak lain merupakan hubungan antara dua pihak yang dibatasi oleh
serangkaian hak-hak dan kewajiban yang terlibat di dalamnya. Rangkaian hak dan
kewajiban inilah yang menentukan kapan seseorang dapat dikatakan melanggar dan kapan

19
seseorang dikatakan menuruti aturan-aturan yang berlaku. Oleh karena itu, suatu deskripsi
tentang aturan-aturan yang berlaku dalam hubungan sosial tertentu tidak lain merupakan
suatu pelukisan mengenal hak dan kewajiban pihak yang terlibat dalam interaksi sosial,
satu terhadap yang lain. Goodenough kemudian mencoba menerapkan metode descriptive
semantics dan menggunakan Guttman scale untuk mengetahui distribusi hak dan
kewajiban dalam berbagai hubungan yang ada dalam masyarakat. Di sini, Goodenough
mengungkapkan kategori-katogori sosial yang ada serta kategori hak dan kewajibannya,
berdasarkan atas pengetahuan si informan. Salah satu tabel yang dibuat Goodenough
adalah seperti pada halaman .... . Tabel ini merupakan deskripsi data yang berhasil
dikumpulkannya dalam penelitiannya di kalangan orang Truk di Micronesia. Dari tebel ini
kita bisa melihat bagaimana distribusi hak dan kewajiban dua pihak yang berinteraksi
dalam hubungan-hubungan tertentu, terutama kekerabatan. Atas dasar tabel itu pual dia
kemudian dapat memahami berbagai macam sanksi yang dikenakan atas orang-orang yang
melanggar berbagai aturan dan kewajiban yang ada, dan dia juga dapat mengetahui
mengapa seseorang yang melanggar aturan tertentu dikenal sanksi tertentu pula.
Dalam penelitian tersebut Goodenough melakukan wawancara dengan satu informan.
Hal ini sengaja ditempuh agar datanya lebih konsisten sebab tidak setiap individu memilki
konsep yang sama mengenai aturan-aturan yang berlaku atau hak-hak dan kewajiban yang
harus diikuti. Untuk mengetahui sejauh mana data yang didapat melalui satu informan
sesuai dengan konsep informan lain tentang organisasi sosial yang ada, harus dilakukan
wawancara lagi tersendiri terhadap informan yang lain (Goodenough, 1969b).
Dari uraian Goodenough ini kita kemudian dapat mengetahui apa yang harus kita
lakukan atau bagaimana kita harus bertindak seandainya kita merupakan salah satu warga
masyarakat Truk, dan berada dalam posisi tertentu sewaktu beritegrasi dengan orang lain.
Etnografi seperti yang ditunjukkan oleh Goodenough inilah yang mampu menjawab
pertanyaan ―bagaimana saya harus bertindak sesuai dengan harapan para warga suatu
masyarakat tertentu?‖ Seperti terlihat dalam contoh di bawah yang merupakan skala status
jarak seksual pada masyarakat Truk.

Status Avoidance Duties


of slace
Ego in relation to Alter Sleep in Be seen in See Have Joke
type
the same company breasts intercourse sexually in
house exposed public
1 MAN WITH feefinej* F F F F F
2 MAN WITH FEMALE A A F F F
neji (except Da of Wi’s
mwaani)

20
3 MAN WITH Da of Wi’s A A D F F
mwaani
4 MAN WITH A A A F F
CONSANGUINEAL jinej
5 MAN WITH AFFINAL A A A D D
jinej
6 MAN WITH Wi A A A A D
7 Man WITH pwynywej A A A A A
(other than Wi)

Key : A = allowed; D = disapproved; F = forbidden; Da = daughter; Wi = Wife


* Istilah-istilah dalam bahasa Truk menunjuk kepada kategori-kategori kerabat.
(Sumber: Goodenough, 1969:322.)

Berkenaan dengan aliran ketiga dalam etnosains, metode yang digunakan dalam hal
ini tidak banyak berbeda dengan metode pada kelompok pertama, hanya perhatian mereka
ditujukan pada masalah yang lain. Di samping itu, jenis klasifikasi yang dicari juga jauh
lebih banyak. Klasifikasi ini tidak hanya yang menyangkut objek-objek atau benda saja,
namun juga kategorisasi mengenai cara-cara, tempat-tempat, kegiatan-kegiatan, pelaku-
pelaku, tujuan-tujuan, dan sebagainya. Jadi, seorang peneliti yang ingin mendapatkan tema
budaya yang ada di kalangan penggresek dari lembah kali Code akan bertanya tentang
kegiatan sehari-hari yang mereka kerjakan. Di sini, si informan mungkin akan memberi
keterangan: ―Yaaahh, macam-macam. Yang jelas saya mulai gresek mulai pagi hari sekitar
jam lima atau setengah lima, waktu orang mulai bersembahyang subuh. Saya pergi ke
tempat-tempat yang berbeda. Tergantung harinya. Kalau Senin saya berangkat ke daerah
utara. Saya biasa langsung menuju Sekip, Bulaksumur, Colombo. Jangan sampai kalah
cepat dengan tukang sampah yang biasa membersihkan sampah di sana, atau kalah cepat
dengan penggresek yang lain. Kesiangan sedikit saja sudah nggak dapat apa-apa biasanya.‖
Dari jawaban ini, si peneliti dapat mengetahui adanya kategorisasi wilayah atau tempat
gresek, yang ternyata kemudian berkaitan dengan jenis barang yang digresek, dengan
penggreseknya, dengan strategi gresek serta kategorisasi-kategorisasi yang lain lagi.
Berbagai kategorisasi ini dikumpulkan dan kemudian dianalisis. Analisis ini, yang lebih
dikenal dengan istilah analisis komponen (Spradley, 1979:174), bertujuan untuk
mendapatkan attribute atau unsur-unsur makna yang berhubungan dengan simbol-simbol
budaya. Di sini, seperti pada kelompok yang lain, si peneliti mencari dimensi-dimensi apa
yang membedakan satu kategori dari kategori lainnya, atau istilahnya dimension of
contrast. Dari hasil analisis atas berbagai kategorisasi yang ada, si peneliti berusaha untuk
sampai pada tema-tema budaya yang hidup di kalangan orang yang diteliti. Menurut
Spradley, tema budaya ini merupakan ―...cognitive principle, tacit or explicit, recurrent in a
number of domains and serving as a relationship among subsystems of cultural meaning,‖

21
dan sekaligus juga ―something that people believe, accept as true and valid; it is a common
assumption about the nature of their experience‖ (Spradley, 1979:186). Pandangan adanya
tema budaya dalam setiap kebudayaan ini bertolak dari asumsi bahwa kebudayaan
bukanlah ―bits and pieces of costum‖ yang tanpa hubungan sama sekali. ―Every culture
and every cultural scene is more than a jumble of parts. It consists of a system of meaning
that is integrated into some kind of larger pattern‖ (Spradley, 1979:186). Dalam kehidupan
sehari-hari tema-tema budaya ini terwujud dalam bentuk berbagai ungkapan, pedoman-
pedoman, peribahasa-peribahasa dan sebagainya dan tema ini akan muncul berulang kali
dalam kehidupan para pendukung kebudayaan tersebut.
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh guna mendapatkan tema-tema budaya ini
(lihat Spradley, 1979:194–199). Pertama, yaitu setelah berhasil memperoleh berbagai
macam kategorisasi tersebut peneliti membaca kembali data tersebut. Lewat cara ini si
peneliti kemudian akan dapat melihat beberapa kaitan antarberbagai macam kategorisasi
yang ada, dan dari sana dia kemudian akan dapat menemukan tema budaya tersebut. cara
yang kedua dapat dilaksanakan dengan memperhatikan dimensi-dimensi kontras tadi dan
melihat persamaan yang ada antarberbagai dimensi kontras yang berhasil diketahui.
Dimensi kontras ini pada dasarnya tidak berbeda dengan prinsip-prinsip atau kriteria
klasifikasi. Cara seperti ini telah dipakai oleh Spradley dalam penelitiannya mengenai
―tramps‖ di Amerika. Dari analisisnya mengenai dimensi kontras yang ada dalam berbagai
kategorisasi pada sistem pengetahuan tramps tersebut, Spradley menemukan dimensi
kontras yang muncul berulang kali di situ, yakni mobilitas. Berbagai macam kategorisasi
dibuat atas dasar kriteria mobilitas tersebut. mengingat mobilitas merupakan hal yang
penting, yaitu merupakan suatu tema budaya di kalangan tramps tersebut, Spradley
kemudian menyebut mereka sebagai urban nomads (Spradley, 1979:196–197). Ketiga,
seorang peneliti dalam usahanya mendapatkan tema budaya tersebut dapat dengan
menganalisis secara mendalam suatu organizing domains yang tidak lain adalah sistem
kategori mengenai cara-cara atau langkah-langkah yang dijalankan oleh si informan dalam
suatu kegiatan tertentu. Metode ini dapat dikerjakan dengan menganalisis suatu hari
tertentu yang memperlihatkan kegiatan sehari-hari orang yang diteliti. Langkah-langkah
apa saja yang dilakukan serta tahap-tahapnya. Berkaitan dengan soal penggresek tadi, si
peneliti menguraikan kegiatan sehari-hari mereka, berbagai cara dalam gresek dan
kemudian cara mereka mengelompokkan barang-barang hasil gresek sampai pada tahap
penjualan barang-barang tersebut. Jadi, si peneliti di sini menganalisis rangkaian peristiwa-
peristiwa. Cara terakhir, yakni si peneliti menggambarkan hubungan-hubungan yang ada
antarberbagai bidang tertentu dari kebudayaan yang diteliti. Skema hubungan antarbidang
inilah yang akan dapat menunjukkan pada kita kapan dan di mana saja tema budaya
tertentu muncul dan apa tema budaya tersebut.

22
Dalam etnografinya nanti si peneliti berusaha menggambarkan bagian-bagian yang
ada dalam suatu kebudayaan, yang berupa berbagai macam kategorisasi, hubungan
antarbagian di situ dan bagaimana hubungan-hubungan tersebut saling berkaitan
membentuk suatu kesatuan melalui tema budaya tadi. Cara pelukisan dengan menggunakan
skema, paradigma, taksonomi, dan sebagainya tersebut merupakan cara-cara yang
termasuk baru dalam dunia antropologi, yang membedakannya dengan etnografi-etnografi
sebelumnya, sedang bentuk uraiannya sendiri tidak banyak berbeda dengan etnografi-
etnografi yang telah ditulis oleh ahli-ahli antropologi sebelumnya. Apa yang dilukiskan di
situ semuanya merupakan ethnoscience, yaitu sistem pengetahuan yang ada pada warga
masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu, dan bukan pola dari tingkah-laku mereka.
Cara-cara yang dipakai oleh para ethnoscientist di atas berbeda dengan cara yang
ditempuh oleh ahli-ahli etnometodologi. Dalam uraian di depan telah kita ketahui bahwa
tujuan etnometodologi adalah mengetahui metode yang dipakai oleh manusia dalam
―making sense of their social world‖, yang berarti cara orang menafsirkan atau
menjelaskan dunia sosial mereka. Penjelasan ini merupakan kemampuan seseorang untuk
mengutarakan makna dari suatu situasi tertentu kepada orang lain maupun kepada dirinya
sendiri (Wallace dan Wolf, 1980:272–273), dan untuk ini manusia menggunakan bahasa.
Dengan demikian perhatian seorang ethnomethodologist, seperti halnya seorang
ethnoscientist, ditujukan pada bahasa atau kata-kata yang diucapkan oleh mereka yang
terlibat dalam suatu interaksi sosial. Dalam hal ini terselip suatu asumsi bahwa bahasa
merupakan sarana yang paling pokok untuk membangun intersubjektivitas dan
mengkomunikasikan kenyataan-kenyataan sosial dan makna-makna yang ada pada masing-
masing pelaku. Etnometodologi juga menekankan bahwa ekspresi atau pernyataan-
pernyataan dari si pelaku indeksikal sifatnya, yaitu tergantung pada konteks, oleh karena
itu penelitian atas bahasa tersebut tidak dapat dikerjakan seperti halnya seorang ahli
bahasa, tetapi harus dalam konteks yang alami (natural) (Phillipson, 1972:140–141), dan si
peneliti juga harus memperhatikan konteks-konteks di mana pembicaraan tersebut
berlangsung. Lebih jauh lagi, dalam menguraikan kesimpulan-kesimpulannya nanti ahli
etnometodologi tersebut juga perlu menyatakan atau menguraikan latar belakangnya
sendiri serta cara interpretasinya, sebab dalam melaksanakan penelitian serta menganalisis
dia juga menggunakan metode yang sama dengan orang-orang yang ditelitinya.
Apabila kita ambil kasus percakapan di atas, maka perhatian seorang ahli
etnometodologi akan ditujukan pada beberapa pembicaraan seperti:
Z : ―... Masih enakan kerja si Gendur. Cuma tinggal mlumah udah dapat duit.
Enak lagi.
K : ―Mlumah gimana? ... enak gimana?‖
Z : ―Alaaahh ... kamu pura-pura nggak tahu saja. Atau pengen dijelaskan?

23
Di sini K bertanya arti pernyataan Z. Dalam konteks tertentu pertanyaan tersebut
merupakan pertanyaan yang lumrah, biasa, akan tetapi dalam konteks di atas Z bukannya
menjelaskan apa maksudnya melainkan mengatakan bahwa K pura-pura tidak tahu.
Ucapan ―pura-pura nggak tahu‖ merupakan usaha Z untuk menjelaskan (to make sense)
pertanyaan K yang dianggapnya tidak biasa. Tidak biasa karena Z beranggapan bahwa K
sudah tahu. Dalam suatu percakapan, di mana seseorang sudah mengetahui latar-belakang
lawan bicaranya (biografinya) maka dia mengharapkan orang tersebut tidak bertanya lagi
tentang maksud kata-katanya jika dia berpendapat bahwa lawan bicaranya sudah tahu.
Antisipasi yang semacam ini adalah salah satu dari apa yang oleh Garfinkel disebut
―sanctioned properties fo common discourse‖, dan properties inilah yang menurut dia
menjadi dasar bisa terjadinya percakapan atau interaksi (Garfinkel, 1967:41).
Seorang ahli etnometodologi juga akan memperhatikan percakapan terakhir dalam
kasus di atas, antara K dan Z :
K : Wah ... tumben banget si Marni siang-siang kaya begitu. Sedang perlu
sekali duit to? Atau mau pergi ke kantor polisi?
Z : Belum keluar to suaminya? Saya dengar sudah bebas.

Jika kita hanya membaca teks ini kita tidak akan tahu apa maksud percakapan ini,
sebab tidak semuanya terungkapkan di situ. Walaupun demikian ternyata K dan Z dapat
berinteraksi dengan lancar. Masing-masing dapat memahami maksud yang lain dan
beranggapan bahwa lawan bicara tahu apa yang dimaksudnya. Cara seperti ini, yaitu tidak
mengatakan hal-hal yang lain atau arti-arti tertentu dalam percakapan, oleh Garfinkel
disebut prinsip et cetera (et cetera principle) (Wallace dan Wolf, 1980:273). Bagi Z dan K
apa yang dikatakan oleh salah satu dari mereka telah mereka ketahui maknanya, namun
bagi kita percakapan tersebut baru bisa kita pahami setelah kita mengetahui bahwa Marni
adalah seorang pelacur yang tergolong ―top‖. Kalau seorang pelacur sedang memerlukan
sekali duit, siang hari dia juga praktek (terima panggilan). Jika mau praktek dia selalu
berpakaian rapi untuk menarik para lelaki. Oleh karena Marni cukup ―top‖, dia jarang
kekuranagn duit, sehingga dia jarang praktek di siang hari. Suami Marni adalah seorang
pencopet yang sekarang sedang meringkuk di kantor polisi.
Dalam contoh tersebut, K berusaha menjelaskan suatu gejala yang agak luar biasa
baginya, yaitu pakaian Marni yang rapi dan dandanannya yang menyolok di siang hari. Dia
mencoba memahaminya dengan menduga mungkin si Marni sedang butuh duit atau si
Marni mau ke kantor polisi untuk menengok suaminya. K tidak perlu lagi menjelaskan
pada Z bahwa suami Marni ditahan polisi, dan kalau siang-siang berdandan berarti pelacur
lagi kekurangan duit, karena dia beranggapan Z sudah tahu akan hal itu.

24
Percakapan-percakapan semacam inilah yang menjadi perhatian para ahli
etnometodologi. Tentu saja ada juga yang lain-lain yang diperhatikan. Kasus di atas hanya
sekedar contoh saja. Untuk mengetahui ―metode‖ atau ―practices‖ lainnya yang dikerjakan
orang-orang dalam interaksi sosial, ada beberapa cara yang dipakai oleh ethnometho-
dologist. Selain cara-cara yang sudah lazim seperti interview dan pertisipasi observasi, ada
metode lain yang digunakan, yang berbeda dengan metode yang dipakai oleh ahli-ahli
sosiologi pada umunya. Pertama, cara seperti yang ditempuh oleh Garfinkel. Dia memberi
tugas pada para mahasiswanya untuk menulis pada sisi kiri secarik kertas hal-hal yang
diucapkan oleh mereka yang terlibat dalam interaksi, dan di sisi kanan hal-hal yang
diketahui atau dimengerti oleh mereka. Dari hasil cara seperti ini, Garfinkel melihat bahwa
apa yang tidak diungkapkan dalam ucapan-ucapan berhubungan dengan percakapan
sebelumnya, dengan ―the circumstances of the utterance‖, ―the particular relationship of
actual or potential interaction that exists between user and auditor‖ (Garfinkel, 1967:40).
Percakapan antara K dan Z tadi merupakan salah satu contohnya.
Metode yang kedua berkaitan erat dengan asumsi dari etnometodologi sendiri, yaitu
bahwa dalam suatu percakapan atau interaksi sosial, si pembicara beranggapan bahwa
orang diajak bicara mengetahui apa yang dia maksud. Untuk membuktikan ini maka
Garfinkel juga menyuruh mahasiswanya lagi untuk mengadakan percakapn dengan orang
lain dan di situ mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang seolah-olah dianggapnya tidak
aneh, padahal dalam keadaan yang biasa pertanyaan tersebut akan dianggap aneh. Contoh
adalah sebagai berikut:
1. The subject was telling the experimenter, a member of the subject‘s car pool,
about having had a flat tire while going to work the previous day.
S : I had a flat tire.
E : What do you mean, you had a flat tire?

She appeared momentarily stunned, then she answered in a hostile way ―What
do you mean, ‗what do you mean?‘. A flat tire is a flat tire, that is what I meant.
Nothing special. What a crazy question.‖ (Garfinkel, 1967:42).

2. S : Hi, Ray. How is your girl friend feeling?


E : What do you mean, ―How is she feeling?‖ Do you mean physical or mental?
S : I mean how is she feeling? What‘s the matter with you?
(He looked peeved)
E : Nothing. Just explain a little clearer what do you mean?!
S : Skip it. How are your Med school application coming?
E : What do you mean ―How are they?‖
S : Your know what I mean.
E : I really don‘t.

25
S : What‘s the matter with you? Are you sick? (Garfinkel, 1967:42–43).

Kedua contoh ini mirip dengan percakapan yang terjadi antara Z dan K di atas. Dalam
contoh yang diberikan oleh Garfinkel si lawan bicara (S) menjadi agak marah dan
pertanyaan yang diajukan dianggap pertanyaan gila atau si penanya dikira sakit. Pada kasus
Z dan K, K dianggap pura-pura tidak tahu. Dalam hal ini pendapat Schutz menjadi relevan,
yaitu bahwa theoretical attitude tidak mendukung terjadinya interaksi yang lancar. Pada
contoh tersebut si E menggunakan theoretical attitude, yaitu mempertanyakan dengan
mendetail apa maksud pertanyaan atau pernyataan S.
Metode yang ketiga yaitu doing ethnomethology (Wallace dan Wolf, 1980:275). Di
sini si peniliti melakukan eksperimen sendiri dengan cara violate the scene. Peneliti
mengerjakan sesuatu yang luar biasa, artinya sesuatu yang tidak pernah dibayangkan oleh
orang lain bahwa dia akan melakukannya. Dengan cara ini Garfinkel bermaksud untuk
mengungkapkan asumsi-asumsi tentang normality, routineness, dan rationality yang
mempertahankan sifat objektif dari social world for members karena ―background
experiences are by their nature taken for granted, that is accepted on a preconscious level,
it is arguable that only by making trouble in presumptively non-problematic social sciences
can implicit typification and expectation be brought to the fore and a worth while account
of social ‗work‘ by members offered‖ (Silverman, 1972:193). Sebagai contoh saja seorang
guru besar di suatu fakultas datang pagi-pagi kemudianmembersihkan meja, membuat
minuman untuk dosen-dosen yang lain dan kemudian mengepel lantai dan sebagainya,
pasti kemudian akan timbul berbagai macam reaksi berupa pernyataan-pernyataan atau
komentar dari orang lain. Komentar-komentar inilah yang kemudian dicatat dan dianalisis.
Dari berbagai komentar ini nanti dapat diketahui bagaimana orang memandang tindakan
guru besar tadi dan usaha mereka menjelaskan peristiwa itu, yaitu menjelaskan sesuatu
yang mereka anggap tidak wajar.

PERBANDINGAN
Dari uraian tentang asal mula masing-masing aliran serta contoh analisis dan
metodenya, jelas kita lihat ada beberapa persamaan dan perbedaan antara etnosasins dan
etnometodologi. Beberapa persamaan yangtampak antara lain, yaitu keduanya sama-sama
menggunakan data ‗bahasa‘ atau pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh orang yang
diteliti sebagai bahan untuk dianalisis. Pernyataan-pernyataan ini dianggap mencerminkan
pengetahuan-pengetahuan atau ide-ide yang dimiliki oleh si pemakai bahasa. Baik
etnosains maupun etnometodologi tidak mempersoalkan apakah pengetahuan tersebut
salah atau benar menurut kriteria tertentu. Di sini, saya ingin membantah pernyataan

26
Churchill, yang dalam membandingkan etnosains dan etnometodologi secara ringkas
mengatakan bahwa salah satu perbedaan antara dua aliran ini adalah bahwa:
―... ethnoscience suggests the existence of defective science. Primitives have these quaint
ideas about natural events that are simply wrong as shown by modern Western science.
However, ethnomethodology doest not contain the same suggestion of defective methods
when compared with scientific methods. Scientific methods are not superior to everyday
methods for the ethnomethodologist; they are simply one kind of everyday methods among
others.‖ (Churchill, 1971:183).

Saya tidak tahu dari mana Churchill sampai pada pandangan yang sama sekali keliru
ini. Yang jelas pendapat tersebut menunjukkan bahwa Churchill tidak mengetahui sama
sekali apa yang dilakukan oleh etnosains beserta segala asumsi dasarnya. Etnometodologi
dan etnosains sama-sama terlibat dalam masalah relativisme budaya, sebab keduanya tidak
mengatakan bahwa satu kebudayaan lebih tinggi daripada kebudayaan yang lain.
Klasifikasi-klasifikasi yang diperoleh etnosains dari satu kebudayaan tertentu belum tentu
sama dengan klasifikasi-klasifikasi yang ada dalam kebudayaan lain. Demikian juga apa
yang didapat oleh seorang ethnomethodologist dari penelitiannya atas berbagai pelaku
dalam situasi tertentu tidak bisa dikatakan berlaku untuk semuanya (Psathas, 1968:511).
Persamaan yang lain, yaitu etnometodologi dan sebagian ethnoscientist berusaha
mendapatkan aturan-aturan yang mendasari tingkah-laku manusia. Akan tetapi di sini juga
ada perbedaan karena etnometodologi berusaha mendapatkan apa yang disebut basic rules
dari interaksi manusia. Masalah mereka adalah apa yang melatarbelakangi interaksi
manusia dan bagaimana mereka menjelaskan gejala yang dihadapi. Selanjutnya, etnosains
dan etnometodologi juga mencoba menemukan prinsip-prinsip yang universal.
Etnometodologi, menurut Psathas, dapat mencapai hal ini karena bertitik-tolak dari
phenomenologi, di mana pendekatan yang digunakan adalah upaya mendapatkan ―essential
features‖ dari gejala yang diamati. Dengan cara ini hasilnya bisa dikatakan bersifat
universal, tidak terikat pada waktu serta kebudayaan tertentu (Psathas, 1968:511–512). Ini
berbeda dengan etnosains yang dasar berpijaknya tetap pada tradisi antropologi, yaitu
menggunakan metode perbandingan. Untuk menemukan prinsip-prinsip yang universal
ahli-ahli antropologi menempuh jalan lewat studi perbandingan dengan mamakai data
sebanayk mungkin dari berbagai sukubangsa di dunia. Tentu saja prinsip-prinsip yang
dibandingkan adalah prinsip-prinsip yang berkaitan dengan aspek-aspek yang sama.
Prinsip-prinsip yang ada dalam suatu kebudayaan dianggap hanya berlaku untuk
kebudayaan tersebut saja, dan untuk menentukan keuniversalannya perlu abstraksi yang
setingkat lebih tinggi dari abstraksi yang telah dikerjakan. Oleh karena itu, di sini saya juga
kurang setuju dengan pandangan Pfohl bahwa ―... Goodenough‘s stress on the emic
dimension of ethnoscience places limitation on this prespective ...‖ (Pfohl, 1975:250).

27
Pfohl lupa bahwa ada dua macam etnosains, yaitu etnografi etnosains dan etnologi
etnosains (Warner, 1969:328). Pada tingkat etnografi memang etnosains tidak mencari
keuniversalan. Di situ, seorang ethnoscientist hanya berusaha untuk menggambarkan aspek
tertentu dari suatu kebudayaan dengan cara tertentu agar dapat dibandingkan dengan data
yang lain. Baru setelah itu, si peneliti melakukan studi perbandingan agar dapat sampai
pada prinsip yang umum, dan di sini si peneliti sudah berada pada tingkat etnologi, bukan
lagi etnografi, namun apabila dia kemudian membandingkan prinsip-prinsip
pengklasifikasian tersebut dengan prinsip yang sama dari berbagai macam sukubangsa—
yang berarti mencari prinsip-prinsip yang universal—maka dia telah melangkah pada
tingkat etnologi. Misalnya saja pengkategorisasian tersebut tentang warna, maka
perbandingannya tidak mengenai apakah kategorisasi warna A, B, C, D ada pada
masyarakat lain atau tidak, tetapi mengenai apakah prinsip-prinsip yang dipakai
mengklasifikasikan warna pada orang Hanunoo juga ada pada sukubangsa lainnya. Jadi,
dalam hal ini etnosains tidak kalah universalnya dengan etnometodologi, hanya mereka
memanfaatkan metode yang berbeda. Selain lewat perbandingan seorang ethnoscientist
ternyata juga berusaha untuk sampai pada prinsip yang universal melalui pemahaman
secara mendalam suatu kasus tertentu atau suatu penelitian tertentu, seperti yang
dikerjakan oleh Spradley. Tentu saja kemampuan untuk mencapai prinsip yang umum
dengan metode ini lebih banyak tergantung pada luasnya pengetahuan si ethnoscientist
sendiri.
Persamaan yang lain lagi yakni bahwa keduanya berangkat dari asumsi yang sama
tentang manusia, bahwa manusia pada dasarnya selalu memberikan makna terhadap gejala
yang dihadapi, karena itu ilmu sosial juga harus memperhatikan aspek makna ini dalam
penjelasan mereka tentang suatu gejala sosial. Pemberian makna terhadap situasi inilah
yang membendakan manusia dengan binatang. Sehubungan dengan soal makna ini Psathas
mengatakan:
―Given this grounding in phenomenology (of Schutz and others), the ethnomethodologists‘
approach to problems, it seems to me, is some what different from that of the
ethnoscientist‘s. One contrast is that the former is directed more towards problems of
meaning in everyday life situation...‖ (Psathas, 1968:513).

Lagi-lagi saya terpaksa menyatakan ketidaksetujuan saya dengan pandangan Psathas


ini, karena menurut hemat saya etnosains juga menaruh perhatian terhadap makna dalam
situasi kehidupan sehari-hari. Apa yang dikerjakan oleh Goodenough, Spradley, dan
sebagainya tidak lain merupakan upaya untuk mengetahui berbagai arti yang diberikan
oleh para pelaku pada situasi dihadapan mereka, serta aturan-aturan yang dipakai guna
mewujudkan tingkah-laku dalam hidup sehari-hari. Jadi, bagaimanapun dalam hal ini
etnosains tidak berbeda dengan etnometodologi, perbedaannya adalah bahwa etnosains

28
lebih banyak memperhatikan komponen-komponen yang ada dalam sistem pengetahuan si
pelaku, sedang etnometodologi seperti dikatakan Psathas sendiri lebih menyibukkan diri
dengan usaha untuk menemukan ―basic features (essences, perhaps) of everyday
interaction so that the problem of how meanings are constructed and how social reality is
created out of the interlocked activity of human actors becomes an important and critical
topic for examinaton.‖ (Psathas, 1968:513 penekanan dari saya).
Perbedaan-perbedaan lainnya tidak akan saya uraikan lagi di sini karena sudah dapat
kita lihat pada pembicaraan saya mengenai tujuan-tujuan, metode-metode, serta penjelasan
kedua aliran ini. Langkah selanjutnya adalah mencoba mencari relevansi dua pendekatan
ini dengan usaha membangun dan meningkatkan taraf hidup rakyat banyak di Indonesia.

RELEVANSI ETNOSAINS DI INDONESIA


Di sini, saya terus terang belum dapat memberikan penilaian sejauh mana
etnometodologi bisa bermanfaat untuk keperluan-keperluan yang praktis sifatnya, seperti
pembangunan masyarakat. Ini bukan karena kelemahan etnometodologi, namun lebih
banyak disebabkan oleh minimnya pengetahuan saya sendiri tentang hasil-hasil analisis
etnometodologi atas gejala sosial tertentu yang kemudian dapat digunakan untuk
memcahkan berbagai masalah sosial atau untuk hal-hal yang praktis sifatnya. Berbeda
dengan etnosains yang lebih saya kenal, sehingga aliran ini terasa lebih akrab dengan saya.
Karenanya saya dapa sedikit memberikan penilaian. Dalam hal ini saya sengaja hanya akan
memaparkan hal-hal yang bermanfaat dari aliran ini, dalam kaitannya dengan
pembangunan di Indonesia.
Satu hal yang menurut saya sangat penting adalah penekanan dari alisan ini pada
aspek kognitif. Memang hal ini bukan merupakan hal yang sama sekali baru dalam
antropologi, namun dengan memberi tekanan ekstra pada segi ini, orang kemudian akan
lebih memperhatikan metode-metode untuk penelitiannya serta pelukisannya, serta akan
lebih mengembangkannya. Penekanan atas segi kognitif dari suatu gejala sosial
menunjukkan bahwa si peneliti mencoba menjelaskan gejala sosial yang diamati dengan
memperhatikan atau menganalisis pandangan-pandangan orang-orang yang terlibat di
dalamnya.
Sehubungan dengan soal pembangunan, sebelumnya perlu dipertanyakan lebih dulu
apa tujuan dari pembangunan itu sendiri, dan untuk siapa pembangunan tersebut
dilaksanakan. Saya kira orang tidak akan ragu-ragu untuk menjawab bahwa pembangunan
ditujukan guna memperbaiki taraf hidup serta kesejahteraan manusia, hanya sayang bahwa
dalam hal ini orang sering lupa, manusa mana yang dimaksud. Dalam konteks Indonesia—
denagn berbagai macam kebudayaannya—masalah ini menjadi soal yang sangat perlu

29
diperhatikan. Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Sunda tidak
selamanya cocok bagi orang Kalimantan atau orang Bugis; apa yang dipandang
menguntungkan oleh orang Minang tidak selamanya demikian bagi orang Batak di dekat
danau Toba atau orang Asmat di Papua; apa yang bernilai buat orang Bali belum tentu
bernulai bagi orang Badui di baten Selatan atau orang Sumba di daerah Mangili. Konteks
keragaman kebudayaan memang membuat kita bangga, namun keragaman ini juga
merupakan tantangan tersebuduru dalam era pembangunan sekarang ini. Persoalan
pembangunan untuk siapa menjadi sangat penting. Dalam praktek ini sulit dilakukan
karena manusia pada dasarnya bersifat etnosentris. Apa yang baik menurut nilai-nilai yang
dianutnya dipandangnya juga baik bagi orang-orang lain yang menganut nilai-nilai yang
berbeda, dan dalam pembangunan sekarang inilah yang banyak terjadi.
Di Indonesia sebenarnya kita tidak dapat menggunakan ukuran-ukuran yang ada pada
sistem nilai kita saja, entah itu ukuran baik-buruk; bahagia-celaka dan sebagainya.
Bagaimanapun kita harus memahami betul-betul nilai-nilai yang ada pada masyarakat yang
kita bangun agar tujuan pembangunan dapat tercapai dan sesuai dengan nilai-nilai yang ada
pada masyarakat yang bersangkutan. Dengan kala lain, mereka kita ikutsertakan juga
dalam proses menentukan langkah-langkah untuk maju. Hal ini sebetulnya juga bukan
merupakan hal yang baru di Indonesia. Sudah banyak ahli-ahli ilmu sosial yang
mengajukan komentar yang senada dan lebih mendalam, namun dalam kenyataan toh
seruan tersebut sering kali tidak diikuti. Ini bukan karena pihak yang membangun tidak
bersedia menghiraukannya tetapi lebih banyak disebabkan oleh tidak adanya data tentang
nilai-nilai, aturan-aturan, pandangan hidup serta berbagai kebudayaan yang ada pada
masyarakat yang akan dibangun, atau kalaupun data tersebut ada mereka tidak tahu
bagaimana harus memanfaatkannya dalam pengambilan keputusan tertentu atau bagaimana
harus menerjemahkannya dalam kebijaksanaan tertentu. Akibatnya, mereka kemudian
mengambil langkah-langkah yang dalam pandangan mereka baik dan akan berhasil, namun
dalam prakteknya malah banyak menimbulkan masalah yang rumit. Sebagai contoh kecil
saya ambilkan kasus yang dijumpai rekan saya di sebuah pulau terpencil di bagian barat
Indonesia. Penduduk yang tinggal di pulau ini mengenal sistem kekerabatan tertentu, dan
mereka hidup bersama dalam rumah-rumah besar yang dihuni oleh beberapa keluarga
batih. Di situ, pemerintah mengadakan usaha perbaikan perumahan, karena rata-rata rumah
mereka berada dalam kondisi yang ‗kurang baik‘. Oleh karena tidak ada pengetahuan
mengenai kebudayaan setempat, yaitu mengenai sistem kekerabatan mereka, konsep-
konsep mereka tentang ruang dan waktu, tentang penyakit, tentang lingkungan dan
sebagainya, pihak pemborong pembangunan kemudian membuat rumah-rumah yang lebih
kecil yang maksudnya untuk diisi satu keluarga, seperti yang biasa dikerjakan oleh
pemborong ini jika membikin rumah di kota. Rumah-rumah tersebut memang terholong
bagus, demikian juga bahan-bahannya, akan tetapi penduduk di sana malah merasa tidak

30
krasan tinggal dalam rumah-rumah ini. Kemudian mulailah mereka dengan usaha sendiri
membangun lagi rumah-rumah yang besar seperti semula. Tindakan ini sebetulnya
dilarang, tetapi penduduk mendirikan rumah tersebut di belakang rumah yang dibikin oleh
pemerintah. Rumah besar ini mereka jadikan tempat tinggal, sedang rumah yang dibuatkan
pemerintah justru dimanfaatkan sebagai dapur. Kasus-kasus seperti ini tidak hanya terjadi
di pulau terpencil itu saja tetapi juga di banyak bagian lain di Indonesia. Hampir setiap
minggu ada surat kabar yang memuat berita yang mirip kasus ini.
Cara membangun tanpa mengetahui kebudayaan setempat serta tanpa mengajak
partisipasi dari mereka yang akan dibangun bukanlah cara yang tepat menurut hemat saya.
Dalam hal ini perspekti etnosains menurut pandangan saya sangat sesuai dengan cara
membangun yang lebih manusiawi. Memang perspektif ini bukan satu-satunya yang dapat
turut mensukseskan pembangunan, namun dari sudut pendangan ini akan banyak sekali
hal-hal bermanfaat yang dapat disumbangkan, dan saya kira hal-hal itu sangat fundamental
bagi keberhasilan pembangunan itu sendiri.
Etnosains berangkat dari pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran yang ada
pada masyarakat yang diteliti. Dia mencoba melihat lingkungan di mana suatu masyarakat
berada lewat kacamata masyarakat itu sendiri, mencoba menjelaskan berbagai gejala sosial
yang ada dengan memperhatikan juga penafsiran-penafsiran para pelakunya. Pengetahuan
mengenai sistem ide ini sangat penting bagi perencana pembangunan atau bagi usaha
memajukan masyarakat, sebab pada hakikatnya pembangunan menuntut juga adanya
perubahan sikap dan tindakan dalam menanggapi lingkungan, dan perubahan ini tidak
mudah terjadi tanpa adanya perubahan pada sistem pengetahuan lebih dulu, yang
merupakan landasan terwujudnya sikap atau tindakan tertentu. Dengan berbekal sistem
pengetahuan yang ada pada suatu masyarakat, perencana pembangunan akan mampu
menentukan langkah yang lebih tepat serta cara-cara yang lebih sesuai dengan pandangan
masyarakat yang akan dibangun. Melalui data tentang sistem pengetahuan yang berhasil
dikumpulkan dapat diketahui ide-ide mana yang kurang sesuai dengan rencana
pembangunan dan ide-ide mana yang lebih cocok, yang dapat mendorong rencana tersebut.
Dengan demikian apabila suatu langkah membangun diinginkan keberhasilannya maka
perspektif etnosains tidak dapat kita tinggalkan, mengingat fundamentalnya perspektif ini
serta kecocokannya dengan etika. Sebagai penutup baiklah kita kutip tesis dari Berger,
bahwa:
―Every human being knows his own world better than any outsider (including the expert who
makes policy)‖.
―Those who are the objects of policy should have the opportunity to participate nor only in
specific decisions but in the definitions of the situation on which these decisions are based.
This may be called cognitive participation‖. (Berger, 1976:xii)
Dan etnosains telah membuka jalan untuk partisipasi kognitif ini.

31
Daftar Pusataka
Berger, P.L. 1976. Pyramids of Sacrifice. New York: Anchor Press Doubleday.
Brukman, J. 1964. ―On the New Ethnography‖, dalam Concepts and Assumtions in
Contemporary Anthropology, S.A. Tyler (ed.). Southern Anthropological Society
Proceedings No.3. Athens: University Georgia.
Burling, R. 1969. ―Linguistics and Ethnographic Description‖, American Anthropologist
71: 817–827.
Churcill, L. 1970. ―Ethnomethodology and Measurement‖, Social Forces 50: 182–191.
Cicourel, A.V. 1970. ―Basic and Normative Rules in the Negotiation of Status and Role‖,
dalam Recent Sociology, H.P. Dreitzel (ed.). New York: MacMillan.
Conklin, H.C. 1964. ―Hanunoo Color Categories‖, dalam Language in Culture and Society,
D. Hymes (ed). New York: Harper and Row.
Cuff, E.C. dan G.C.F Payne. 1980. Perspectives in Sociology. London: George Allen and
Unwin. Bab I dan V.
D‘Andrade, R.G. dan A.K. Romney. 1964. ―Summary of Participant‘s Discussion‖, dalam
Transcultural Studies in Cognition, A.K. Romney dan R.G. D‘Andrade (eds.).
American Anthropologist Special Publication 66 (3), Part 2.
Douglas, J.D. 1970. ―Understanding Everyday Life‖, dalam Understanding Everyday Life,
J.D. Douglas (ed). Chicago: Aldine.
Dreitzel, H.P. 1970. ―Introduction‖, dalam Recent Sociology No.2, H.P. Dreitzel (ed.).
New York: MacMillan.
Dublin, M.A. 1972. ―Linguistics Models in Anthropology‖, Annual Review of
Anthropology 1.
Filmer, P. 1972. ―On Harold Garfinkel‘s Ethnomethodology‖, dalam New Directions in
Sociological Theory, P. Filmer er al (eds.). London: Collier MacMillan.
Frake, C.O. 1962. ―The Ethnographic Study of Cognitive Systems‖, dalam Anthropology
and Human Behavior, T. Gladwin dan W.C. Sturtevant (eds.). Washington:
Anthropological Society Washington.
_____. 1964a. ―Notes on Queries in Ethnography‖, dalam Transcultural Studies in
Cognition, A.K. Romney dan R.G. D‘Andrade (eds.). American Anthropologist
Special Publication 66 (3), Part 2.
_____. 1964b. ―The Diagnosis of Disease among the Subanun of Mindanao‖, dalam
Language in Culture and Society, D. Hymes (ed). New York: Harper and Row.
Garfinkel, H. 1967. Studies in Ethnomethodology. Englewood Cliffs: Prentice Hall. Bab 1–
3.

32
Goodenough, W.H. 1964a. ―Cultural Anthropology and Linguistics‖, dalam Language in
Culture and Society, D. Hymes (ed). New York: Harper and Row.
_____. 1964b. ―Introduction‖, dalam Explorations in Cultural Anthropology. W.H.
Goodenough (ed). New York: McGraw Hill.
_____. 1969a. ―Frontiers of Cultural Anthropology: Social Organization‖, Proceedings of
the American Philosophical Society 113 (5): 36–39.
_____. 1969b. ―Rethinking of Status and Role‖, dalam Cognitive Anthropology, S.A. Tyler
(ed). New York: Holt, Rinehart and Winston.
_____. 1970. Description and Comparison in Cultural Anthropology. Cambridge:
Cambridge University Press. Bab IV.
Heeren, J. 1970. ―Alfred Schutz and the Sociology of Common Sense Knowledge‖, dalam
Unverstanding Everyday Life, J.D. Douglas (ed). Chicago: Aldine.
Leiter, K. 1980. A Primer on Ethnomethodology. Oxford: Oxford University Press.
Malinowski, B. 1961 [1922]. Argonauts of the Western Pacific. New York: E.P. Dutton.
Manning, P.K. dan H. Fabrega. 1976. ―Fieldwork and the New Ethnography‖, Man (N.S.)
11: 39–52.
Perchenock dan O. Werner. 1969. ―Navaho Systems of Classification: Some Implications
for Ethnoscience‖, Ethnology 8 (3): 229–242.
Pfohl, S.J. 1975. ―Social Role Analysis: The Ethnomethodological Critique‖, Sociology
and Social Research 59 (3): 243–265.
Phillipson, M. 1972. ―Phenomenological Philosophy and Sociology‖, dalam New
Directions in Sociological Theory, P. Filmer er al (eds.). London: Collier MacMillan.
Psathas, G. 1968. ―Ethnomethods and Phenomenology‖, Social Research 35: 500–520.
Romney, A.K. dan R.G. D‘Andrade. 1964. ―Introduction‖, dalam Transcultural Studies in
Cognition, A.K. Romney dan R.G. D‘Andrade (eds.). American Anthropologist
Special Publication 66 (3), Part 2.
Silverman, D. 1972. ―Introduction Comments‖; ―Methodology and Meaning‖; ―Some
Neglected Questions about Social Reality‖, dalam New Directions in Sociological
Theory, P. Filmer er al (eds.). London: Collier MacMillan.
Spradley, J.P. 1972. ―Adaptive Strategies of Urban Nomads‖; ―Beating the Drunk Charge‖,
dalam Culture and Cognition: Rules, Maps and Plas, J.P. Spradley (ed). San
Fransisco: Chandler.
_____. 1979. The Ethnographic Interview. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Sturtevant, W.C. 1964. ―Studies in Ethnoscience‖, dalam Transcultural Studies in
Cognition, A.K. Romney dan R.G. D‘Andrade (eds.). American Anthropologist
Special Publication 66 (3), Part 2.

33
Tyler, S.A. 1969. ―Introduction‖, dalam Cognitive Anthropology, S.A. Tyler (ed). New
York: Holt, Rinehart and Winston.
Wallace, A.F.C. 1965. ―The Problems of Psychological Validity of Componential
Analysis‖, dalam Formal Semantic Analysis. American Anthropologist Special
Publication 67 (5). Part 2.
Wallace, R dan A. Wolf. 1980. Contemporary Sociological Theory. Englewood Cliffs:
Prentice Hll. Bab VI.
Walah, D. 1972. ―Sociological and the Social World‖, dalam New Directions in
Sociological Theory, P. Filmer er al (eds.). London: Collier MacMillan.
Werner, O. 1969. ―The Basic Assumptions of Ethnoscience‖, Semiotica I (3): 328–338.
______. 1972. ―Ethnoscience 1972‖, Annual Review of Anthropology I.
Werner, O dan J. Fenton. 1970. ―Method and Theory in Ethnoscience or
Ethnoepistemology‖, dalam Handbook of Method in Cultural Anthropology, R.
Naroll dan R. Cohen (eds.). New York: Natural History Press.
Wilson, T.P. 1970. ―Normative and Interpretive Paradigms in Sociology‖, dalam
Understanding Everyday Life, J.D. Douglas (ed). Chicago: Aldine.

#####

34

Anda mungkin juga menyukai