Anda di halaman 1dari 28

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ekologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua komponen kata
yaitu oikos berarti rumah tangga atau lingkungan yang berfungsi sebagai tempat
kehidupan organisme dan logos berarti ilmu sehingga menurut Ernst Haeckel
ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme dengan lingkungannya (Ramli, 1989). Hubungan timbal balik di sini
menekankan pada kelompok organisme yaitu populasi yang merupakan kumpulan
dari spesies dan komunitas.
Dalam ekologi terdapat organisasi kehidupan yang saling berkaitan antara
satu dengan yang lainnya. Setiap mahkluk hidup akan saling berinteraksi dengan
mahkluk hidup yang lainnya dalam satu lingkup, dinamakan dengan komunitas.
Setiap komunitas akan memciptakan sebuah ekosistem yang memiliki ciri khas
tersendiri. Ada banyak komponen yang saling berhubungan dalam berjalannya
organisasi kehidupan dalam suatu komunitas maupun ekosistem.
Kajian komunitas berusaha mengetahui keseimbangan yang tergambarkan
dalam struktur dan komposisi populasi penyusunnya, mengetahui pola sebaran
dan perubahan sebagai hasil interaksi semua komponen yang bekerja dalam
komunitas tersebut (Dharmawan, 2005).
Makalah ini akan membahas tentang komunitas sebagai salah satu
tingkatan dalam spektrum organisme.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang ada dikaitkan dengan pemahaman materi yang
akan dicapai maka rumusan masalah adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep ekologi komunitas?
2. Bagaimana hubungan struktur trofik dengan spesies kunci?

C. Tujuan

1
2

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Mengetahui konsep ekologi komunitas, dan
2. Mengetahui hubungan struktur trofik dengan spesies kunci.

D. Batasan Masalah
Adapun faktor beragamnya sumber rujukan hingga menghasilkan sub
topik yang bervariasi dan tidak menutup kemungkinan satu sama lain terdapat
perbedaan cakupan pembahasan maka penulis mengerucutkan kajian yang dibahas
dalam makalah ini hanyalah mengenai konsep komunitas dan struktur trofik yang
dikaitkan dengan spesies kunci.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Komunitas
1. Pengertian Komunitas
Tidak ada suatu populasi organisme atau spesies yang dapat hidup sendiri
di alam, melainkan mereka akan berkumpul dari berbagai populasi dan hidup
secara bersamaan. Kumpulan dari beberapa populasi organisme, hidup di suatu
habitat disebut dengan komunitas (Krebs, 1978). Berdasarkan Resosoedarmo
(1990) komunitas ialah beberapa kelompok makhluk yang hidup bersama-sama
dalam suatu tempat yang bersamaan, misalnya populasi semut, populasi kutu
daun, dan pohon tempat mereka hidup membentuk suatu masyarakat atau suatu
komunitas. Dengan memperhatikan keanekaragaman dalam komunitas dapatlah
diperoleh gambaran tentang kedewasaan organisasi komunitas tersebut.
Komunitas dengan populasi ibarat makhluk dengan sistem organnya, tetapi
dengan tingkat organisasi yang lebih tinggi sehingga memiliki sifat yang khusus
atau kelebihan yang tidak dimiliki oleh baik sistem organ maupun organisasi
hidup lainnya.
Menurut Odum (1996), mendeskripsikan tentang komunitas biotik sebagai
kumpulan populasi apa saja yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yang telah
ditentukan, hal tersebut merupakan satuan yang di organisir sedemikian bahwa dia
mempunyai sifat tambahan terhadap komponen individu dan fungsi sebagai unit
melalui transformasi metabolik yang bergandengan. Komunitas utama adalah
mereka yang cukup besar hingga mereka relatif tidak tergantung dari masukkan
dan hasil dari komunitas didekatnya sedangkan komunitas minor adalah mereka
yang kurang bergantung pada kumpulan tetangganya.
Komunitas, seperti halnya tingkat organisasi makhluk hidup lain, juga
mengalami serta menjalani siklus hidup. Komunitas, ditinjau dari segi fungsi,
tumbuhan dan hewan dari berbagai jenis yang hidup secara alami di suatu tempat
membentuk suatu kumpulan yang di dalamnya setiap individu menemukan
lingkungan yang dapat memunuhi kebutuhan hidupnya dalam kumpulanya ini
terdapat pula kerukunan untuk hidup bersama, toleransi kebersamaan dan

3
4

hubungan timbal balik yang menguntungkan sehingga dalam kumpulan ini


terbentuk suatau derajat keterpaduan. Kelompok seperti itu yang tumbuhan dan
hewannya secara bersama telah menyesuaikan diri dan mempunyai suatu tempat
alami disebut komunitas. Konsep komunitas cukup jelas, tetapi sering kali
pengenalan dan penentuan batas komunitas tidaklah mudah. (Heddy, 1986). Suatu
gambaran mengenai komunitas (lingkaran kuning) dapat dilihat pada gambar 2.1
berikut.

Gambar 2.1 Komunitas Tumbuhan


Sumber: http://www.merbabu.com/artikel/ekologi.php

2. Karakteristik dan Pemberian Nama Komunitas


Komunitas dapat beraneka macam bentuk dan besarnya, seperti halnya
komunitas hewan avertebrata yang hidup di batang kayu atau komunitas
tumbuhan di hutan yang luasnya hampir dalam satu benua, pulau, atau propinsi
(Soedjipta, 1993).
Berdasarkan Krebs (1978), karakteristik komunitas tidak dimiliki oleh
masing-masing spesies sebagai komponennya. Setiap komunitas hanya memiliki
arti dalam kaitan sebagai anggota komunitas secara keterpaduan. Lima
karakteristik yang telah diukur dan dikaji yaitu sebagai berikut:
a) Keragaman spesies, daftar spesies tumbuhan dan hewan merupakan ukuran
sederhana dari kekayaan spesies, atau disebut keragaman spesies.
b) Bentuk dan struktur pertumbuhan, tipe komunitas dapat dideskripsikan oleh
kategori utama dari bentuk pertumbuhan, misalnya pohon yang selanjutnya
bentuk pertumbuhan dapat diperinci dalam beberapa kategori seperti pohon
5

berdaun lebar atau pohon berdaun jarum. Perbedaan bentuk pertumbuhan


tersebut dapat menentukan stratifikasi suatu komunitas.
c) Dominansi, tidak semua spesies dalam komunitas kedudukannya sama
penting dalam menentukan sifat komunitas. Secara ekologik spesies yang
berpengaruh dalam hal besar, jumlah maupun aktifitas mampu menentukan
kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhannya.
d) Kelimpahan relatif, ukuran proporsi dari tiap spesies dalam komunitas.
e) Struktur trofik, hubungan memberi makan spesies dalam komunitas akan
mempengaruhi aliran energi dan tumbuhan ke herbivor ke karnivor.
Merujuk pada karakteristik komunitas, menurut Irwan (1992),
pemberian nama komunitas dapat berdasarkan:
a) Bentuk atau struktur utama seperti sifat dominan, jenis dominan, bentuk
hidup, atau indikator lainnya misal hutan pinus, hutan agathis, hutan jati,
hutan dipterocarpaceae, maupun hutan hutan sklerofil yang ada di Flores.
b) Berdasarkan habitat fisik komunitas seperti komunitas hamparan lumpur,
komunitas pantai pasir, komunitas lautan dan sebagainya.
c) Berdasarkan sifat atau tanda fungsional misal tipe metabolisme komunitas,
berdasarkan sifat lingkungan alam seperti iklim di daerah tropik terdapat
curah hujan tertinggi dan seringkali disebut sebagai hutan hujan tropik.
Di antara banyak organisme yang membentuk suatu komunitas, hanya
beberapa spesies atau grup yang memperlihatkan pengendalian yang nyata
dalam memfungsikan keseluruhan komunitas. Kepentingan relatif organisme
dalam suatu komunitas tidak ditentukan oleh posisi taksonominya, namun oleh
jumlah, ukuran, produksi dan hubungan lainnya. Tingkat kepentingan suatu
spesies biasanya dinyatakan oleh indeks keunggulannya (Michael, 1994).

3. Struktur Komunitas
Komunitas yang berbeda akan dapat diamati dalam setiap habitat yang
berbeda dan satuan lingkungan yang berbeda pula. Komposisi dan sifat komunitas
merupakan indikator paling baik untuk mengetahui komunitas tersebut.
Komunitas dapat dibedakan menjadi komunitas mayor –komunitas bersama
habitatnya yang merupakan satuan dapat melengkapi dan melestarikan komunitas
itu sendiri, kecuali energi matahari sebagai masukan harus ada– dan komunitas
6

minor –komunitas menjadi kelompok sekunder dalam komunitas mayor, jadi


bukan satuan bebas sepenuhnya mengenai sirkulasi energi.
Struktur yang diakibatkan oleh penyebaran organisme di dalam, dan
interaksinya dengan lingkungannya dapat disebut pola. Struktur suatu komunitas
tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah
individu dari setiap spesies organisme. Hal yang demikian itu menyebabkan
kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas,
bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya
berpengaruh pada stabilitas komunitas itu sendiri (Heddy, 1986). Berdasarkan
pembentukannya struktur komunitas dibagi menjadi struktur fisik dan struktur
biologi.
a) Struktur fisik, suatu komunitas tampak jika komunitas diamati, misalnya
jika mengunjungi hutan deciduosa akan tampak suatu struktur primer secara
musiman dan suatu struktur sekunder berupa pepohonan kecil.
b) Struktur biologi, komposisi perubahan temporal dalam komunitas yang
merupakan hubungan antara spesies dalam suatu komunitas sehingga
sebagiannya bergantung pada struktur fisik.
Kedua struktur komunitas berpengaruh kuat pada fungsi suatu komunitas.
Fungsi komunitas yaitu kerja suatu komunitas sebagai pemroses energi dan zat
hara. Struktur aupun fungsi komunitas telah dimodifikasi oleh seleksi alam yang
bertindak pada para individu yang menyusun komunitas.

4. Keanekaragaman jenis
Keragaman jenis menjadi suatu sifat komunitas yang memperlihatkan
tingkat jenis keragaman organisme yang dinyatakan dengan indeks keragaman.
Indeks keragaman dihitung secara matematik dan dapat digunakan untuk
mengetahui baik buruknya kualitas suatu wilayah tertentu. Komunitas yang
memiliki keragaman jenis yang tinggi akan terjadi interaksi jenis yang melibatkan
transfer energi, predasi, kompetisi, dan bagian relung lebih kompleks (Odum,
1996).
Keanekaragaman kecil biasanya terdapat pada komunitas di daerah
ekstrim, misalnya daerah kering, tanah miskin, dan pegunungan tinggi. Sedangkan
keanekaragaman besar biasanya terdapat di daerah lingkungan optimum, misalnya
hutan tropika (Rososoedarmo, 1990).
7

Dalam suatu komunitas yang terbentuk atas banyak spesies, beberapa di


antaranya akan dipengaruhi oleh kehadiran atau ketidakhadiran anggota lain dari
komunitas itu. Suatu interaksi dapat terdiri atas beberapa bentuk yang berasal dari
hubungan positif (berguna) sampai interaksi negative (berbahaya). Bilamana
sejumlah organisme bergantung pada sumber yang sama, persaingan akan terjadi.
Persaingan demikian dapat terjadi antar anggota spesies berbeda (persaingan
interspesifik) maupun antar anggota yang sama (intraspesifik). Tinggi rendahnya
derajat kenakaragaman jenis dipengaruhi oleh beberapa hal, menurut (Krebs,
1978) yaitu:
a) Waktu, keragaman komunitas bertambah sejalan dengan waktu, berarti
semakin tua suatu komunitas maka semakin berkembang dan melimpahlah
organisme yang ada. Keragaman jenis suatu komunitas bukan hanya
bergantung pada kecepatan penambahan jenis melalui evolusi tetapi
bergantung pula pada kecepatan hilang dan emigrasi.
b) Heterogenitas ruang, semakin heterogen suatu lingkungan fisik semakin
kompleks komunitas tumbuhan dan hewan yang ada dan semakin tinggi
keragaman jenisnya pada skala makro maupun mikro.
c) Kompetisi, terjadi apabila sejumlah organisme (dari spesies yang sama
ataupun berbeda) menggunakan sumber makanan yang sama namun
ketersediaannya kurang
d) Pemangsaan, mempertahankan komunitas populasi dari jenis bersaing yang
berbeda di bawah daya dukung masing-masing selalu memperbesar
kemungkinan hidup berdampingan sehingga mempertinggi keragaman.
e) Kestabilan lingkungan, semakin stabil keadaan suhu, kelembaban, salinitas,
pH dan faktor abiotik lainnya dalam suatu lingkungan maka akan lebih
banyak spesies yang hadir.
f) Produktifitas, syarat mutlak untuk keanekaragaman yang tinggi.
Berbeda halnya jika menurut Soedjipta (1993), keanekaragaman jenis
cenderung menjadi rendah dalam suatu ekosistem yang dikendalikan oleh faktor
fisik dan cenderung tinggi dalam ekosistem yang terkendali secara biologis.
Keanekaragaman jenis dapat berbeda kerena beberapa hal:
a) Besarnya sumberdaya hidup yang dapat dimanfaatkan
b) Luasnya relung ekologi yang dapat dimanfaatkan oleh spesies penyusunnya
8

c) Dua komunitas yang relungnya berbeda, keanekaragaman jenisnya berbeda.


d) Komunitas yang belum “jenuh” dengan jenis, keanekaragamannya dapat
bervariasi dengan banyaknya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan.
Dalam Soedjipta (1993) analisis ekologi komunitas pertama kali dilakukan
Margalef pada fitoplankton dalam tahun 1957 dan oleh Arthur untuk burung
dalam tahun 1961. Indeks keragaman Shannon-Weaver sebagai berikut:

H= - (pi log2pi)
H = indeks keragaman spesies
s = jumlah cacah spesies dalam suatu cuplikan
pi = bilangan pecahan cacah individu dalam suatu spesies (i) dibagi jumlah
individu dalam populasi (jadi pi = ni/N, artinya ni= nilai kepentingan
tiap-tiap spesies (cacah individu, biomassa, produksi dan sebagainya),
dan N= jumlah nilai kepentingan).
Makin tinggi nilai H makin besar diversitas spesies dalam komunitas,
mungkin ada cacah spesies yang besar atau again individu yang merata dalam
komunitas atau keduanya. Misalnya jika digunakan loge atau ln dan diandaikan
ada 100 individu dalam suatu populasi, sehingga:
1. Jika hanya ada 1 spesies, maka H = 0.
2. Jika ada 5 spesies dengan 20 individu dalam tiap jenis, maka H = 1,61.
3. Jika ada 10 spesies dengan 10 individu dalam tiap jenis, maka H’i = 2,30.
4. Jika ada 100 spesies dengan 1 individu dalam tiap jenis, maka H= 4, 61.
Sesungguhnya, jika terjadi akan sangat langka bahwa tiap jenis sama cacah
individunya, biasanya jenis dapat disusun menurut beberapa jenis dengan
cacah individu yang besar, diikuti cacah individunya makin kecil. Misalnya:
5. Jika ada 5 spesies dengan masing-masing bercacah individu 50, 20, 15, 8,
dan 2, maka H= 1,26, yang ternyata memberi index keragaman lebih rendah
dari pada no 2.
6. Jika ada 10 spesies yang masing-masing dengan individu 45, 25, 15, 8, dan
2, maka H = 1,50.
Dalam poin b ternyata index keragaman tidak sebesar dalam nomor 3 karena
again individu kurang beragam, tetapi masih lebih besar dari pada poin a
karena cacah spesies lebih besar dan susunan individu berbeda walaupun hanya
menyangkut 5 individu. Index diversitas telah dipergunakan sedemikian jauh,
terutama untuk membandingkan komposisi, dalam komunitas berbeda,
kelompok taksonomik yang sama bentuk kehidupannya.
9

Di samping keanekaragaman jenis juga ada keanekaragaman yang lain


yakni keanekaragaman genetis dan keanekaragaman ekosistem dimana ketiganya
saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan, maka dipandang sebagai satu
keseluruhan (totalitas) yaitu keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati
menunjukkan adanya berbagai macam variasi bentuk, penampilan, jumlah dan
sifat yang terlihat pada berbagai tingkat gen, tingkat jenis dan tingkat ekosistem
(Wolf, 1992).

5. Organisasi Komunitas
Komunitas dapat diatur melalui tiga proses yaitu kompetisi, predasi, dan
simbiosis. Kompetisi di antara tumbuhan, herbivor, karnivor dapat mengontrol
keanekaragaman dan kelimpahan spesies di suatu komunitas. Predasi dapat
mengatur komunitas yaitu berperan sebagai pemangsa, sehingga kerangka
organisasi komunitas ditentukan oleh hewan. Simbiosis juga termasuk proses
yang penting seperti hubungan mutualisme, yaitu menghubungkan antara spesies
dan meningkatkan organisai komunitas melalui jalan yang baik. Gambaran
mengenai predasi dapat dilihat pada gambar 2.2, komunitas pada gambar 2.3, dan
simbiosis pada gambar 2.4. Pembelajaran organisasi komunitas memerlukan
pengetahuan mengenai komponen spesies dan ketiga proses yang terikat menjadi
satu. Komunitas mengandung berbagai jenis spesies, sehingga kita tidak dapat
mempelajari setiap spesies secara terpisah (Krebs, 1978).

Gambar 2.2 Kompetisi Gambar 2.3 Predasi


Sumber: Setiawan, 2014 Sumber: Setiawan, 2014
10

Gambar 2.4 Simbiosis Mutualisme


Sumber: Setiawan, 2014

6. Sebaran Komunitas
Aktivitas pada tingkat populasi mempunyai konsekuensi pada interaksi
antar populasi yang disebutkan pada tingkat komunitas. Komunitas secara umum
diartikan sebagai masyarakat yang mempunyai pengertian kumpulan dari
beberapa kelompok individu dimana masing-masing kelompok memiliki karakter
spesifik. Di dalamnya terjadi interdependensi yang dinamis pada skala ruang dan
waktu tertentu (Begon dalam Dharmawan, 2005). Sehingga dalam kajian ekologi,
komunitas merupakan kumpulan populasi yang saling berinteraksi pada ruang dan
waktu secara bersamaan (Dharmawan, 2005).
Untuk membedakan komunitas satu dengan komunitas lainnya perlu
mengamati kondisi lingkungan dimana perbedaan atara satu dan lainnya relatif
tajam (Dharmawan, 2005). Apabila kondisi lingkungan berubah secara gradual,
maka struktur dan komposisi berubah secara berangsur-angsur dan dapat
menimbulkan tumpang tindih antar komunitas tanpa ada batas yang tajam
(continuum).
Pola sebaran komunitas kontinum dapat diilustrasikan secara makro
dengan melihat struktur dan komposisi hewan dari daerah kutub ke arah equator.
Dalam lingkup yang lebih kecil dapat dilihat pada perubahan struktur dan
komposisi hewan dari puncak gunung ke arah pantai (Dharmawan, 2005).

7. Perubahan Komunitas
Organiseme tidaklah diam atau statis seperti ornamen plastik. Perubahan
selalu terjadi seiring kepekaan organisme tersebut terhadap lingkungan sekitarnya,
mengubah materi atau energi yang tersedia menjadi salah satu contoh kongkrit
11

perubahan pada organisme. Jika kedudukan organisme dipengaruhi oleh keadaan


sekitarnya maka sebaliknya suatu organisme dapat pula mengubah lingkungan
sekitar itu.
Konsep mempengaruhi dan dipengaruhi baik dari tumbuh-tumbuhan
maupun dari hewan prosesnya dapat kita amati sebagai penerima energi dan
pengambil energi untuk kelangsungan hubungan timbal balik. Ahli ekologi
mempelajari hubungan individu dan lingkungannya dengan mengontrol kondisi
lapangan percobaan sesuai kriteria (Ramli, 1989) untuk menunjang pemahaman
mengenai perubahan komunitas.
Dari titik pandang ekologi, tidaklah mudah untuk menunjukkan arti
individu. Biasanya suatu individu diartikan sebagai suatu sel tunggal yang hidup
atau suatu kelompok dari sel yang secara fisik berhubungan satu dengan lainnya.
Namun pengertian tersebut tidak cocok untuk beberapa organisme seperti jenis
Sponge yang sering terlihat dalam bentuk koloni. Karena banyaknya variasi di
antara spesies maka arti individu tergantung situasinya (Ramli, 1989).
Lingkungan yang mewadahi individu memiliki definisi lain yakni elemen
dalam organisme yang mengelilingi organisme dan dapat mempengaruhi tingkah
laku, daya perkembangbiakan, dan kelangsungan hidupnya. Jika ditinjau dari
lingkungannya maka ada lingkungan abiotik –sifat fisik dari suatu tempat dimana
organisme hidup– dan lingkungan biotik –organisme lain.

B. Struktur Trofik
Hubungan makanan dalam suatu ekosistem dapat dinyatakan sebagai
tingkat/struktur trofik atau tingkat makanan. Tingkatan trofik pertama diduduki
oleh produsen, yang kemudian di tingkat kedua ditempati herbivor dan
selanjutnya diikuti karnivor.
Perpindahan energi makanan dari sumbernya yaitu tumbuhan menuju
herbivor menuju karnivor, dinamakan dengan rantai makanan. Setiap kelompok
organism memiliki peranan masing masing di suatu tingkatan trofik. Tingkatan
trofik dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Tingkatan Trofik
Peran Kelompok Organisme Tingkatan trofik
Produsen Tumbuhan hijau Trofik tingkat pertama
Konsumen primer Herbivora Trofik tingkat kedua
Konsumen sekunder Karnivora, serangga Trofik tingkat ketiga
12

parasit
Konsumen tersier Karnivor tingkat tinggi, Trofik tingkat keempat
serangga sangat parasit

Dari tabel 2.1 di atas selain mempelajari struktur trofik dalam komunitas,
juga menunjukkan mengenai spesies kunci atau keystone species yang memegang
peranan sangat penting dalam suatu komunitas. Hal itu ditunjukkan pada posisi
konsumen tersier dimana setelahnya tidak ada lagi pemangsa.
Spesies kunci (keystone species) merupakan suatu spesies yang
menentukan kelulusan hidup sejumlah spesies lain. Dengan kata lain,
keberadaannya menyumbangkan suatu keragaman hidup dan di samping itu
kepunahannya secara konsekuen menimbulkan kepunahan bentuk kehidupan lain
(Power & Mills, 1995 dalam Prianto, 2007).
Misal pada ekosistem pesisir, seluruh fauna yang hidup di dalam ekositem
tersebut mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keseimbangan ekologi.
Salah satu spesies tersebut adalah kepiting. Kepiting diusulkan sebagai keystone
species di kawasan pesisir karena setiap aktivitasnya mempunyai pengaruh utama
pada berbagai proses paras ekosistem. Peran kepiting di dalam ekosistem
diantaranya mengkonversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi, meningkatkan
distribusi oksigen di dalam tanah, membantu daur hidup karbon, serta tempat
penyedia makanan alami bagi berbagai jenis biota perairan (Prianto, 2007).
Struktur trofik dapat dilihat pada gambar 2.5 di bawah ini.

Gambar 2.5 Struktur Trofik


13

Sumber: Campbell, 2004

Secara tindak langsung melalui pola tingkah laku dan kebiasaannya,


kepiting telah memberikan manfaat yang besar terhadap keberlangsungan proses
biologi di dalam ekosistem pesisir, seperti hutan mangrove. Menurut Prianto
(2007), beberapa peran kepiting di dalam ekosistem pesisir, sebagai berikut :
a) Konversi nutrien dan mempertinggi mineralisasi; Kepiting berfungsi
menghancurkan dan mencabik-cabik daun/serasah menjadi lebih kecil (ukuran
detritus) sehingga mikrofauna dapat dengan mudah menguraikannya. Hal ini
menjadikan adanya interaksi lintas permukaan, yaitu antara daun yang gugur
akan berfungsi sebagai serasah (produsen), kepiting sebagai konsumen dan
detrivor, mikroba sebagai pengurai;
b) Meningkatkan distribusi oksigen dalam tanah; Lubang yang dibangun berbagai
jenis kepiting mempunyai beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat
perlindungan dari predator, tempat berkembang biak dan bantuan dalam
mencari makan. Disamping itu, lubang-lubang tersebut berfungsi untuk
komunikasi antar vegetasi misalnya mangrove, yaitu dengan melewatkan
oksigen yang masuk ke substrat yang lebih dalam sehingga dapat memperbaiki
kondisi anoksik;
c) Membantu daur hidup karbon; Dalam daur hidup karbon, unsur karbon
bergerak masuk dan keluar melewati organisme. Kepiting dalam hal ini sangat
penting dalam konversi nutrien dan mineralisasi yang merupakan jalur
biogeokimia karbon, selain dalam proses respirasinya;
d) Penyedia makanan alami; Dalam siklus hidupnya kepiting menghasilkan
ratusan bahkan pada beberapa spesies dapat menghasilkan ribuan larva dalam
satu kali pemijahan. Larva-larva ini merupakan sumber makanan bagi biota-
biota perairan, seperti ikan. Larva kepiting bersifat neuston yang berarti
melayang-layang dalam tubuh perairan, sehingga merupakan makanan bagi
ikan-ikan karnivor.
14

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan tujuan dari pembuatan makalah dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Kumpulan dari beberapa populasi organisme, hidup di suatu habitat disebut
dengan komunitas. Lima karakteristik komunitas antara lain keragaman
spesies, bentuk dan struktur pertumbuhan, dominansi, kelimpahan relatif,
struktur trofik. Keragaman jenis menjadi suatu sifat komunitas yang
memperlihatkan tingkat jenis keragaman organisme yang dinyatakan dengan
indeks keragaman. Komunitas dapat diatur melalui tiga proses yaitu
kompetisi, predasi, dan simbiosis.

2. Hubungan makanan dalam suatu ekosistem dapat dinyatakan sebagai


tingkat/struktur trofik atau tingkat makanan. Perpindahan energi makanan dari
sumbernya yaitu tumbuhan menuju herbivor menuju karnivor, dinamakan
dengan rantai makanan.

B. Saran
Diharapkan mahasiswa lebih memahami dan mempelajari mengenai
bagaimana pengertian komunitas, karakteristik dan pemberian nama komunitas,
struktur komunitas, keanekaragaman jenis, organisasi komunitas, sebaran
komunitas, perubahan komunitas, sehingga bagi mahasiswa agar lebih dapat
menambahkan materi mengenai konsep komunitas dan struktur trofik.

15
15

DAFTAR RUJUKAN

Dharmawan, Agus. 2005. Ekologi Hewan. Malang: UM Press.


Heddy, Suwasono. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta: CV Rajawali.
Irwan, Z. O.1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas,
Di Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Krebs, Charles J. 1978. The Experimental Analysis of Distribution and
Abundance Second Edition. New York: Harper International Edition.
Michael, P.1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan
Laboratorium. Jakarta: UI Press.
Odum, E. P. 1996. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press.
Resosoedarmo, S. 1989. Pengantar Ekologi. Bandung: CV Remadja Karya
Ramli, Dzaki. 1989. Ekologi. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan (P2LPTK).
Soedjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Yogyakarta:UGM Press
Wolf, L. 1992. Ekologi Umum. Yogyakarta: UGM Press.

16
16

[9/14, 5:30 PM] Pura: Menurut Hardjosuwarno (1982), struktur dan komposisi
jenis pada vegetasi hutanmerupakan salah satu tujuan yang penting dalam
kajian tentang vegetasi hutan, dan struktur vegetasi terbagi atas: (a)
struktur vertikal yaitu struktur tingkat anakan, tingkat pancang, tingkat
tiang dan tingkat pohon, (b) struktur horizontal dalam artian distribusi
spesies dan individu, dan (c) struktur kuantitatif dalam artian kelimpahan
spesies dalam komunitas.

[9/14, 5:31 PM] Pura: Jurnal ILMU DASAR Vol. 18 No. 1, Januari 2017 : 61 - 64
61. Hubungan Faktor Ekologi dengan Struktur Komunitas Tumbuhan
Mangrove Teluk Pangpang Taman Nasional Alas Purwo
Relationship Between The Ecologycal Factors with Community Stucture of
Mangrove in Pangpang Bay Alas Purwo National Park. Rifan Acik*),
Sudarmadji

53 A common summary of diversity within an ecological community is principal


components analysis, which often include data from multiple individuals
across multiple species within an ecological community (Legendre and
Legendre, 2012).

An ecological community is a geographical area composed of two or more


species. The ancestral histories of individuals from the same and different
species in an ecological community may be interconnected due to direct
and indirect interactions.

An ancestral process with selection in an ecological community. Cortland K.


Griswold*. December 22, 2018. Journal of Theoretical Biology, 12 (32):
1-57

Secara umum kehadiran vegetasi pada suatu wilayah memberikan dampak positif
bagi keseimbangan ekosistem terutama ekosistem daerah aliran sungai
17

(DAS) kaitannya dengan parameter hidrologi dan erosi tanah. Menurut


Indriyanto (2006) pengaruh tersebut tergantung pada struktur dan
komposisi vegetasi yang tumbuh pada daerah tersebut. Salah satu
komponen penting yang menentukan kualitas DAS adalah keragaman
vegetasi. Vegetasi memiliki peran penting sebagai komponen penyangga
erosi dan mencegah kekeringan (Thurow, 1991).

Vegetasi melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan
yang dapat menghancurkan agregat tanah (Masnang, 2015).Kondisi
vegetasi di sekitar DAS menentukan kualitas DAS secara keseluruhan
(Maridi et al., 2015). Besarnya energi kinetik dari tetesan air hujan
berubah karena peran bagian-bagian vegetasi yang menghambat laju air
hujan. faktor penutup lahan mempengaruhi laju aliran permukaan, erosi
dari segi tingkat kerapatan tumbuh-tumbuhan (Arsyad, 2010).

Vegetasi di kawasan DAS memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem
ekologi terutama menjadi daerah tangkapan air (catchment area) dalam
siklus hidrologi, pengatur iklim baik secara regional, ataupun global dan
konservasi biodiversitas khususnya flora dan fauna Wallacea (Pitopang,
2013; Naharuddin et al., 2016).Vegetasi hutan dengan kehadiran sengkuap
tajuk melalui strata yang terbentuk akan berpengaruh besar terhadap sinar
matahari ke sengkuap tajuk sehingga sinar yang sampai ke permukaan
tanah sangat kecil, jika terjadi hujan sengkuap tajuk dengan stratanya akan
menghalangi pukulan air hujan terhadap permukaan tanah. Menurut
Klaassen et al.,(1996), air hujan yang jatuh ke sengkuap tajuk perlahan-
lahan akan dialirkan kebatangbatang pohon kemudian sampai ke
permukaan tanah secara perlahan berinfiltrasi mengakibatkan
Kartasapoetra, et al. (1987) menjelaskan arti dan peranan vegetasi sebagai
parameter hidrologi dan erosi tanah: (1) vegetasi melindungi permukaan
tanah dari tumbukan butir-butir hujan yang jatuh, (2) adanya sisa-sisa
tanaman berupa daun, ranting dan sisa tanaman yang lainnya di atas
permukaan tanah dan membentuk lapisan humus, (3) menahan limpasan
18

permukaan, meresapkannya sebagian kedalam tanah melalui pori-pori


tanah yang selalu terbuka baik karena lapisan humus yang bertindak
sebagai filter terhadap lumpur yang terbawa oleh air dalam peresapannya
(4) lapisan humus dan semak-semak menahan lajunya limpasan
permukaan, sehingga limpasan air permukaan yang mengandung lumpur
atau partikel-partikel tanah akan diendapkan pada tempat yang tidak
terlalu jauh dari tempat asalnya, (5) peresapan atau penahanan air
permukaan oleh semak-semak dan meresapkannya ke dalam tanah melalui
lapisan humus akan meningkat, sehingga persediaan air di dalam tanah
menjadi meningkat yang akan berguna bagi pertumbuhan tanaman dan
sebagai sumber kehidupan karena akan membentuk sumber mata air
utamanya di DAS

Struktur vegetasi terdiri dari individu-individu yang membentuk tegakan dalam


suatu ruang. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah, yaitu: struktur
tegakan horizontal dan vertikal. Struktur tegakan horizontal
menggambarkan distribusi atau penyebaran Individu-individu spesies di
dalam habitatnya. Sedangkan struktur tegakan vertikal dinyatakan sebagai
sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk. Dalam penelitian ini
dianalisis struktur tegakan secara vertikal.

Struktur vegetasi dapat dibagi menjadi lima stratum berurutan, yaitu stratum A, B,
C, D dan E. Menurut Indriyanto (2012), bahwa tidak semua tipe ekosistem
hutan itu memiliki lima stratum, oleh karena itu, tentu ada hutan-hutan
yang memiliki stratum A,B, D dan E atau C, D, dan E dan lain sebagainya.

Jurnal Hutan Tropis Volume 5 No. 2 : 134-142. Juli 2017

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI DALAM POTENSINYA


SEBAGAI PARAMETER HIDROLOGI DAN EROSI . The Composition and
Structure of Vegetation In Its Potency as Parameter of Hydrology and Erosion
19

Naharuddin

Masnang, A., dan Sinukaban, N. 2015. Kajian tingkat aliran permukaan dan erosi,
pada berbagai tipe penggunaan lahan di Sub DAS Jenneberang Hulu. Jurnal
Agroteknos, 4(1).

Indriyanto. 2012. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.

Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Vegetasi adalah kumpulan dari tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama-sama pada


suatu tempat, biasanya terdiri dari beberapa jenis berbeda. Kumpulan dari
berbagai jenis tumbuhan yang masing-masing tergabung dalam populasi yang
hidup dalam suatu habitat dan berinteraksi antara satu dengan yang lain yang
dinamakan komunitas (Gem, 1996).

Struktur vegetasi menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) adalah suatu


pengorganisasian ruang dari individu-individu yang menyusun suatu tegakan.
Dalam hal ini, elemen struktur yang utama adalah growth form, stratifikasi dan
penutupan tajuk (coverage). Dalam pengertian yang luas, struktur vegetasi
mencakup tentang pola-pola penyebaran, banyaknya jenis, dan diversitas jenis.
Menurut Odum (1993), struktur alamiah tergantung pada cara dimana tumbuhan
tersebar atau terpencar di dalamnya.

Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari beberapa


jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme kehidupan
bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama individu
penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga
merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Simorangkir,
2009).
20

Vegetasi menggambarkan perpaduan berbagai jenis tumbuhan di suatu wilayah


atau daerah. Suatu tipe vegetasi menggambarkan suatu daerah dari segi
penyebaran tumbuhan yang ada, baik secara ruang maupun waktu. Rawa-rawa,
hutan, dan padang rumput dapat dijadikan contoh dari tipe vegetasi. Suatu tipe
vegetasi kadangkala dibagi lagi menjadi beberapa komunitas yang predominan
atau disebut asosiasi yaitu sekumpulan beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh
bersama-sama di suatu lingkungan. Komunitas tumbuhan (asosiasi) sering kali
digunakan oleh para ahli ekologi untuk menjelaskan vegetasi. Sifat-sifat dasar
yang dimiliki oleh suatu komunitas tumbuhan adalah mempunyai komposisi
floristic yang tetap, fisiognomi (struktur, tinggi, penutupan, tajuk daun, dan
sebagainya) yang relatif seragam, dan mempunyai penyebaran yang karakteristik
dalam lingkungan atau habitat dengan ciri-ciri tertentu (Sastroutomo, 2009).

Arrijani. “Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango”. Bandar Lampung: Biodiversitas. Vol (7)(2) hlm. 147-153, 2006.

Indriyanto. Ekologi Hutan. Jakarta : Bumi Aksara. 2006.

Prikadiastuti, Idaliani. “Luas Minimal Kuadrat Komunitas Herba” . universitas


Negeri Semarang : Semarang, 2014.

Sastroutomo. “Ekologi Gulma”. Jakarta: Erlangga. 2009

Siefert, Andrew. “Scale dependence of vegetation–environment relationships:


ameta-analysis ofmultivariate data“. New York : Journal of Vegetation Science.
Vol (10) hlm. 1654-1103,2012.

Simorangkir, Roland H., Dkk.”Struktur Dan Komposisi Pohon Di Habitat


Orangutan Liar (Pongo Abelii), Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera Utara”.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6 No. 2 Desember 2009, p.10-20.
21

Soerianegara dan Andry Indrawan. “Ekologi Hutan Indonesia”. Fakultas


Kehutanan Institut Pertanian Bogor, 2005.

Suprianto. “Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan”. UPI : Bandung, 2005.

Sutomo dkk. “Studi Awal Komposisi Dan Dinamika Vegetasi Pohon Hutan
Gunung Pohen Cagar Alam Batukahu Bali”. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No.
2, Agustus 2012, hlm. 366 – 381

Syafei, Eden Surasana. “Pengantar Ekologi Tumbuhan”. Bandung: ITB Press,


2006,

[9/14, 9:33 PM] Pura: Prinsip penentuan ukuran plot adalah plot dibuat dari
ukuran terkecil hingga pada ukuran terbesar dengan spesies yang bervariasi dari
satu plot ke plot yang lain sampai pada tidak ada lagi keanekaragaman spesies.
[9/14, 9:33 PM] Pura: Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu untuk menentukan
luas petak minimum yang dapat mewakili tipe komunitas yang sedang dianalisis.
[9/14, 9:35 PM] Pura: Vegetasi dalam (komunitas) tanaman diberi nama atau
digolongkan berdasarkan spesies atau makhluk hidup yang dominan, habitat fisik
atau kekhasan yang fungsional. Dalam mempelajari vegetasi, pengamat
melakukan penelitian. Unit penyusun vegetasi (komunitas) adalah populasi. Oleh
karena itu semua individu yang berada di tempat pengamatan dilakukan dengan
cara mengamati unit penyusun vegetasi yang luas secara tepat sangat sulit
dilakukan karena pertimbangan kompleksitas, luas area, waktu dan biaya.
Sehingga pelaksanaanya peneliti bekerja dengan melakukan pencuplikan
(sampling) dalam menganalisa vegetasi dapat berupa bidang (plot/kuadran) garis
atau titik (Supriatno, 2001).

Teknik sampling kuadrat merupakan suatu teknik survey vegetasi yang sering
digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan, petak contoh yang dibuat
22

dalamteknik sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Petak
tunggal mungkin akan memberikan informasi yang baik bila komunitas vegetasi
yang ditelitibersifat homogen. Adapun petak-petak contoh yang dibuat dapat
diletakkan secararandom atau beraturan sesuai dengan prinsip-prinsip teknik
sampling. Bentuk petakcontoh yang dibuat tergantung pada bentuk morfologis
vegetasi dan efisiensisampling pola penyebarannya. Sehubungan dengan efisiensi
sampling banyak studiyang dilakukan menunjukkan bahwa petak bentuk segi
empat memberikan datakomposisi vegetasi yang lebih akurat dibanding petak
berbentuk lingkaran, terutamabila sumbu panjang dari petak sejajar dengan arah
perubahan keadaan lingkunganatau habitat (Suwena, 2007).

Ada sejumlah cara untuk mendapatkan informasi tentang struktur dan komposisi
komunitas tumbuhan darat. Namun yang paling luas diterapkan adalah cara
pencuplikan dengan kuadrat atau plot berukuran baku. Cara pencuplikan kuadrat
dapat digunakan pada semua tipe komunitas tumbuhan dan juga untuk
mempelajari komunitas hewan yang menempati atau tidak berpindah.Rincian
mengenai pencuplikan kuadrat meliputi ukuran, cacah, dan susunan plot cuplikan
harus ditentukan untuk membentuk komuniatas tertentu yang dicuplik
berdasarkan pada informasi yang diinginkan (Supriatno, 2001).

Beberapa sifat yang terdapat pada individu tumbuhan dalam membentuk


populasinya, dimana sifat-sifatnya bila di analisa akan menolong dalam
menentukan struktur komunitas. Sifat-sifat individu ini dapat dibagi atas dua
kelompok besar, dimana dalam analisanya akan memberikan data yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif. Analisa kuantitatif meliputi: distribusi tumbuhan
(frekuensi), kerapatan (density), atau banyaknya (abudance). Dalam pengambilan
contoh kuadrat, terdapat empat sifat yang harus dipertimbangkan dan
diperhatikan, karena hal ini akan mempengaruhi data yang diperoleh dari sample.
Keempat sifat itu adalah (Odum, 1998):

Ukuran petak.Bentuk petak.Jumlah petak.Cara meletakkan petak dilapangan.


23

Kurva spesies-area (bahasa Inggris: species-area curve, SAC), dalam ekologi,


adalah grafik yang menggambarkan hubungan antara jumlah jenis dengan ukuran
kuadrat (petak ukur). Grafik itu biasanya menunjukkan pola pertambahan jumlah
jenis yang relative tajam pada ukuran kuadrat kecil sampai pada suatu titik
tertentu dan sesudah itu semakin mendatar seiring dengan peningkatan ukuran
kuadrat. SAC dapat digunakan untuk menentukan luas kuadrat tunggal minimum
yang mewakili suatu komunitas tumbuhan dari segi jenis penyusun (Wikipedia,
2014).

Penelitian dilakukan dengan analisis vegetasi menggunakan metode kuadrat


berukuran 1m x 1m. Untuk menentukan blok pengamatan dilakukan dengan
metode purposive sampling yaitu dipilih blok yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Pada masing-masing lahan, plot sampel diletakkan di gawangan dan
piringan. Pada masing-masing lahan, plot sampel diletakkan di gawangan dan
piringan (Soekisman, 1984).

Plot sampel yang permanen telah terbukti sangat bermanfaat untuk


menginvetarisir spesies tumbuhan dan memonitor dinamika hutan dalam suatu
rentang waktu (Condit et al. 1996). Inventarisasi kuantitatif dengan menggunakan
plot sampel permanen (PSP) juga telah banyak diterapkan di hutan-hutan di
Indonesia, akan tetapi sebagian merupakan informasi yang sangat penting dalam

perencanaan kegiatan manajemen dan restorasi kawasan hutan (Sutomo, 2012).

Prinsip penentuan ukuran petak adalah petak harus cukup besar agar individu
jenis yang ada dalam contoh dapat mewakili komunitas, tetapi harus cukup kecil
agar individu yang ada dapat dipisahkan, dihitung dan diukur tanpa duplikasi atau
pengabaian. Karena titik berat analisa vegetasi terletak pada komposisi jenis dan
jika kita tidak bisa menentukan luas petak contoh yang kita anggap dapat
mewakili komunitas tersebut, maka dapat menggunakan teknik Kurva Spesies
Area (KSA). Dengan menggunakan kurva ini, maka dapat ditetapkan: (1) luas
minimum suatu petak yang dapat mewakili habitat yang akan diukur, (2) jumlah
24

minimal petak ukur agar hasilnya mewakili keadaan tegakan atau panjang jalur
yang mewakili jika menggunakan metode jalur (Andre, 2009).

Sistem analisis pada praktikum ini adalah dengan metode kuadrat: Keragaman
spesies dapat diambil untuk menanadai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu
atau sebagai jumlah spesies diantara jumlah total individu dari seluruh spesies
yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakan secara numeric sebagai indeks
keragaman atau indeks nilai penting. Jumlah spesies dalam suatu komunitas
adalah penting dari segi ekologi karena keragaman spesies tampaknya bertambah
bila komunitas menjadi makin stabil (Michael, 1995).
[9/14, 9:36 PM] Pura: Luas minimum atau kurva spesies area merupakan langkah
awal yang digunakan untuk menganalisis suatu vegetasi yang menggunakan petak
contoh (kuadrat). Luas minimum digunakan untuk memperoleh luasan petak
contoh (sampling area) yang dianggap prepresentatif dengan suatu tipe vegetasi
pada suatu habitat tertentu yang sedang dipelajari (Sugianto, 1994).

Keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk
menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan
analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi suatu komunitas tumbuhan. Berdasarkan tujuan pendugaan kuantitatif
komunitas vegetasi dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu (1) pendugaan
komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan
membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu
pengamatan berbeda; (2) menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal; dan
(3) melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan
tertentu atau beberapa faktor lingkungan (Irwanto, 2005).

Luas petak contoh mempunyai hubungan erat dengan keanekaragaman jenis yang
terdapatpada areal tersebut. Makin tinggi keanekaragaman jenis yang terdapat
pada areal tersebut, maka makin luas petak contoh yang digunakan. Bentuk luas
minimum dapat berbentuk bujursangkar, empat persegi panjang dan dapat pula
berbentuk lingkaran. Luas petak contoh minimum yang mewakili vegetasi hasil
25

luas minimum, akan dijadikan patokan dalam analisis vegetasi dengan metode
kuadrat (Sugianto, 1994).

Praktikum pembuatan kurva spesies area dilakukan untuk mengetahui luasan


petak minimum yang akan mewakili ekosistem yang ada di suatu hutan yaitu
dengan cara membuat dan mengamati suatu petak contoh yang kita buat yang
mewakili suatu tegakan hutan. Besarnya petak contoh yang kita amati ini tidak
boleh terlalu besar ukurannya agar luas minimum dari suatu ekosistem hutan
dapat terpenuhi. Pada praktikum ini, ukuran petak pertama yang kita amati
menggunakan luas 1m x 1m (Kusuma dan Istomo, 1995).
[9/14, 9:36 PM] Pura: Luas minimum atau kurva spesies area merupakan langkah
awal yang digunakan untu menganalisis suatu vegetasi yang menggunakan petak
contoh (kuadrat). Luas minimum digunakan untuk memperoleh luasan petak
contoh (sampling area) yang dianggap representatif dengan suatu tipe vegetasi
pada suatu habitat tertentu yang sedang dipelajari. Luas petak contoh mempunyai
hubungan erat dengan keanekaragaman jenis yang terdapat pada areal tersebut.
Makin tinggi keanekaragaman jenis yang terdapat pada areal tersebut, maka
makin luas petak contoh yang digunakan (Surasana, 1990).

Metode kuadrat pada umumnya dilakukan jika hanya vegetasi tingkat pohon saja
yangmenjadi bahan penelitian. Metode ini mudah dan lebih cepat digunakan untuk
mengetahui komposisi, dominansi pohon dan menaksir volumenya. Keragaman
spesies dapat diambiluntuk menandai jumlah spesies dalam suatu daerah tertentu
atau sebagai jumlah spesiesdiantara jumlah total individu dari seluruh spesies
yang ada. Hubungan ini dapat dinyatakansecara numerik sebagai indeks
keragaman atau indeks nilai penting (Rahardjanto, 2001).

Metode luas minimum dilakukan dengan cara menentukan luas daerah contoh
vegetasi yang akan diambil dan didalamnya terdapat berbagai jenis vegetasi
tumbuhan. Syarat untuk pengambilan contoh haruslah representative bagi seluruh
vegetasi yang dianalisis. Keadaan ini dapat dikembalikan kepada sifat umum
suatu vegetasi yaitu vegetasi berupa komunitas tumbuhan yang dibentuk oleh
26

beragam jenis populasi. Dengan kata lain peranan individu suatu jenis tumbuhan
sangat penting. Sifat komunitas akan ditentukan oleh keadaan-keadaan individu
dalam populasi (Surasana, 1990).

Metode Kuadrat adalah salah satu metode dengan bentuk sampel dapat berupa
segiempat atau lingkaran dengan luas tertentu. Hal ini tergantung pada bentuk
vegetasi. Berdasarkan metode pantauan luas minimum akan dapat di tentukan luas
kuadrat yang diperlukan untuk setiap bentuk vegetasi tadi. Untuk setiap plot yang
di sebarkan di lakukanperhitungan terhadap variabel-variabel kerapatan,
kerimbunan dan frekuensi. Variabel kerimbunan dan kerapatan di tentukan
berdasarkan luas kerapatan. Dari spesies yang ditemukan dari sejumlah kuadrat
yang di buat (Rahardjanto, 2001).
[9/14, 9:37 PM] Pura: Menurut Latifah (2005), faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi jumlah spesies di dalam suatu daerah antara lain sebagai berikut :

Iklim Fluktuasi iklim musiman merupakan faktor penting dalam membagi


keragaman spesies. Suhu maksimum yang ekstrim, persediaan air, dan sebagainya
menimbulkan kemacetan ekologis (bottleck) yang membatasi jumlah spesies yang
dapat hidup secara tetap di suatu daerah.Keragaman Habitat Habitat dengan
daerah yang beragam dapat menampung spesies yangkeragamannya lebih besar di
bandingkan habitat yang lebih seragam.Ukuran Daerah yang luas dapat
menampung lebih besar spesies dibandingkan dengan daerah sempit. Beberapa
penelitian telah membuktikan bahwa hubungan antara luasdan keragaman spesies
secara kasar adalah kuantitatif.
[9/14, 9:37 PM] Pura: Arrijani, dkk. 2006. Analisis Vegetasi Hulu DAS Cianjur
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Biodiversitas. Volume 7, Nomor 2, Hal
147-153. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Manado: Bandar Lampung:

Campbell, Neil.A, Mitchell, Ritche. 2004. Biologi Jilid 4. Erlangga: Jakarta.

Harjosuwarno, S. 1990. Dasar-dasar Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi UGM:


27

Yogyakarta.

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara: Bandar Lampung.

Kusuma dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Fahutan IPB: Bogor.

Latifah, S. 2005. Analisis Vegetasi Hutan Alam. USU Reository: Sumatera Utara.

Michael, P.1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan


dan Laboratorium. UI Press: Jakarta.

Natassa, dkk. 2010. Analisa Vegetasi dengan Metode Kuadran.


(http://riyantilathyris.wordpress.com/2010/11/26/laporan-analisis-vegetasi/)
(Tanggal akses: 17 Oktober 2014): Makasssar.

Nuri.2010.AnalisisVegetasiHerba. http://nurichem.blogspot.com/2010/03/analisis-
vegetasi-herba.html. Diakses 17 Oktober 2014.

Odum, E . P. 1972. Fundamentals of Ecology. W. B. Saunder Company


Philadelphia. London Toronto.

Otto, Soemarwoto. 1926. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan.


Djambatan: Jakarta.

Rahardjanto, A. 2001. Ekologi Tumbuhan. UMM Press. Malang

Riberu, Paskalis. 2002. Pembelajaran ekologi. Jurnal pendidikan penabur. No


1/Th. I. Universitas Negeri Jakarta: Jakarta.

Soetjipta.1994. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Dan
Peningkatan Mutu Tenaga Pendidikan. Yogyakarta.
28

Soekisman, 1984. Pengelolaan Gulma di Perkebunan. PT. Gramedia. Jakarta.

Sugianto.A, 1994. Ekolgi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan Komunitas.


Usaha : Persada Malang.

Supriatno, B. 2001. Pengantar Praktikum Ekologi Tumbuhan. FMIPA Universitas


Pendidikan Indonesia: Bandung.

Surasana, Syafei Eden. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. ITB: Bandung.

Sutomo, dkk. 2012. Studi Awal Komposisi dan Dinamik Vegetasi Pohon Hutan
Gunung Pohen Cagar Alam Batu Gahu Bali. Jurnal Bumi Lestari, Volume. 12. No.
UPT-BKT Kebun Raya “Eka Kaya”: Bali.

Wikipedia. 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/kurva spesies. Makassar: Di Akses


pada Tanggal 18 Oktober 2014.,

Anda mungkin juga menyukai