Anda di halaman 1dari 15

PERAN LINGKUNGAN BAGI TUMBUHAN/HEWAN

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Interaksi Makhluk Hidup
yang dibina oleh
Ibu Metri Dian Insani, S.Si, M.Pd dan Ibu Novida Pratiwi, S.Si, M.Sc.
.

Disusun oleh :
Aulia Varadila Slamet (150351601052)
Savira Mahdia (150351)
Septi Putri Ayu (150351600451)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN IPA
FEBRUARI 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih
memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis. Penulis telah
berusaha untuk menyusun Makalah ini dengan baik, namun penulis pun
menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan kami sebagai manusia
biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan, baik dari segi
teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan kritik dari
Dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat diharapkan oleh kami untuk dapat
menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita bersama.
Harapan ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian.

Malang, Februari 2017

Penulis
DAFTAR ISI

COVER....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...........................................................................4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................5
1.3 Tujuan........................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lingkungan Bagi Hewan.............................6
2.2 Hewan Sebagai Eksoterm dan Endoterm......................8
2.3 Konsep Waktu-Suhu............................11

BAB III PENUTUP


Kesimpulan....................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA................................................................... 15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Makhluk hidup dengan lingkungannya memiliki hubungan yang sangat erat


dan saling ketergantungan. Makhluk hidup membutuhkan lingkungan untuk
membantu memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya lingkungan juga
membutuhkan makhluk hidup dalam kelangsungan hidupnya. Lingkungan bagi
hewan adalah semua faktor biotik dan abiotik yang ada di sekitarnya dandapat
mempengaruhinya. Setiap organisme di muka bumi menempati habitatnya
masing-masing. Dalam suatu habitat terdapat lebih dari satu jenis organisme dan
semuanya berada dalam satu komunitas. Komunitas menyatu dengan lingkungan
abiotik dan membentuk suatu ekosistem. Dalam ekosistem hewan berinteraksi
dengan lingkungan biotik, yaitu hewan lain, tumbuhan serta mikroorganisme
lainnya. Interaksi tersebut dapat terjadi antar individu, antar populasi dan antar
komunitas. Setiap organisme harus mampu beradaptasi untuk menghadapi kondisi
faktor lingkungan abiotik.
Di dalam tubuh organisme (tingkat individu) pasti ada mekanisme regulasi
untuk mencapai keadaan yang homeostatik. Homeostatik pada dasarnya
merupakan suatu upaya mempertahankan atau menciptakan kondisi yang stabil
dinamis (steady state) yang menjamin optimalisasi berbagai proses fisiologis
dalam tubuh. Untuk mencapai keadaan tersebut, tubuh melakukan berbagai
aktivitas regulasi, sebagai mekanisme untuk mencapai homeostatis yang
diharapkan. Regulasi dan homeostatis juga terjadi di tingkat populasi dan
komunitas dalam suatu ekosistem.
Suhu adalah parameter yang menggambarkan derajat panas suatu benda. Suhu
merupakan faktor lingkungan yang paling mudah untuk diukur dan seringkali
beroprasi sebagai faktor pembatas yang segera dapat direspon, sehingga konsep
waktu dan suhu sangat berpengaruh besar dalam kajian mengenai aplikasinya
dalam pengendalian hama pertanian pada hewan poikilotermik, khususnya dari
golongan serangga. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan.
Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar.

4
Pertumbuhan hewan poikilotermik memerlukan kombinasi antara faktor
waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan poikilotermik tidak dapat tumbuh dan
berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun
diberikan waktu yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang,
hewan poikilotermik memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu
minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan
berkembang. Begitu pula sebaliknya, adanya keterkaitan antara suhu lingkungan
dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa pengertian lingkungan bagi tumbuhan/hewan?
1.2.2 Bagaimana hewan sebagai eksoterm dan endoterm?
1.2.3 Bagaimanakah konsep waktu-suhu?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian lingkungan bagi tumbuhan/hewan
1.3.2 Mengetahui hewan sebagai eksoterm dan endoterm
1.3.3 Mengetahui konsep waktu-suhu

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lingkungan Bagi Tumbuhan/Hewan

Lingkungan bagi hewan adalah suatu faktor biotik dan abiotik yang ada di
sekitar hewan dan dapat mempengaruhinya. Setiap hewan hanya dapat lulus
hidup, tumbuh dan berkembang biak dalam suatu lingkungan yang menyediakan
kondisi yang cocok baginya dan sumberdaya yang diperlukannya, serta terhindar
dari faktor-faktor biotik maupun abiotik lingkungan yang membahayakan
kelangsungan hidupnya. Lingkungan abiotik hewan meliputi faktor-faktor
medium atau subtratum (tanah, perairan) tempat hidup serta faktor-faktor cuaca
dan iklim (suhu, kelembaban, angin/undara, intensitas cahaya). Lingkungan biotik
hewan meliputi hewan lain sama spesies, berlainan spesies, tumbu-tumbuhan dan
mikroba. (Agus dkk, 2005)
Hubungan antara hewan dan lingkungan bersifat timbal balik,
keberlangsungan hidup hewan sangat ditentukan oleh kondisi dan sumberdaya
yang terdapat dilingkungan itu pun dapat berubah oleh kehadiran dan dapak
aktivitas oleh hewan hidup. Sebagai contoh kehadiran rusa disuatu padang rumput
atau hutan menunjukan ketersediaan sumberdaya makanan yang cukup dan
kondisi lingkungan yang sesuai bagi kehidupan rusa. Demikian sebaliknya
kehadiran rusa dihabitat tersebut, sebagai herbivora yang melakukan perumputan
(grazing), sebagai contoh organisme yang menukarkan gas pernafasan (O2 dan
CO2), sebagai hewan yang membuang kotoran organik ke tanah, akan
menentukan corak dan kondisi lingkungan pandang rumput atau hutan tersebut.
Faktor-faktor lingkungan hewan, baik bersifat abiotik dan biotik keduanya
merupakan aspek fungsional yang berbeda. Meskipun perbedaan kedua aspek itu
tidak begitu tegas. Kedua aspek itu adalah lingkungan sebagai kondisi dan
sumberdaya. Istilah kondisi lingkungan terutama digunankan untuk menunjukkan
suatu besaran, kadar atau intensitas faktor-faktor abiotik lingkungan. Faktor
abiotik sebagai kondisi ketersedianya tidak berkurang karena kehadiran individu
atau spesies lain. Sebagai contoh, suhu lingkungan dan cahaya bagi hewan.
Kehadiran suatu jenis hewan di suatu lingkungan tidak akan memakan dan

6
mengurangi suhu dilingkungan tersebut. Istilah sumberdaya digunakan untuk
menunjukan suatu faktor abiotik maupun biotik yang diperlukan oleh hewan, yang
kuantitas ketersediaanya di lingungan akan menjadi berkurang apabila telah
dimanfaatkan oleh hewan tersebut. Sebagai contoh rerumputan disuatu padang
rumut yang dihuni oleh populasi rusa yang beranggotakan seratus ekor. Jika suatu
saat ditambah lima puluh ekor rusa lagi, maka kehadiran rusa baru tersebut
mengurangi jumlah rumput sebagai sumberdaya makanan rusa.
Sepanjang ontogeninya suatu hewan akan terdedah pada kondisi dan
sumberdaya lingkungan yang tidak konstan, yang bervariasi menurut ruang dan
waktu. Lingkungan yang relativ konstan mungkin hanya dijumpai di bagian dalam
samudera, di dalam tanah dan gua-gua. Oleh karena itu setiap hewan harus
berusaha selalu dapat mengadaptasi diri terhadap perubahan lingkungan tersebut.
Hanya hewan-hewan yang dapat menyesuaikan diri yang dapat meneruskan
kehidupannya di lingkungan tersebut, sedangkan untuk hewan-hewan yang tidak
mampu hidup akan mati dan lambat laun akan punah jenisnya.
Perubahan lingkungan terhadap waktu, secara garis besarnya terdiri atas
tiga macam, yaitu :
1. Perubahan Siklik adalah perubahan yang terjadinya berulang-ulang secara
berirama, seperti malam dan siang, pasang surutnya air laut. Perubahan
siklik dapat berskala harian, bulan, tahunan.
2. Perubahan terarah merupakan suatu perubahan yang terjadi berangsur-
angsur dan progresif menuju kesuatu arah tertentu. Proses perubahan
tersebut berlangsung lama, melebihi panjang umum suatu individu yang
tinggal di lingkungan tersebut. Misalnya erosi progresif garis pantai,
lumpur di suatu estuaria.
3. Perubahan eratik adalah suatu perubahan yang tidak berpola dan tidak
menunjukkan konsistensi mengenai arah perubahannya. Misalnya
pengendapan lumpur lapindo, letusan gunung berapi, serta kebakaran
hutan.
Ketersediaan sumberdaya bagi hewan sangat bervariasi kualitas dan
kuantitas keberadaannya. Beberapa sumberdaya yang mungkin hanya dapat
diperoleh di suatu tempat pada suat waktu tertentu saja. Hewan yang memperoleh

7
sumberdaya yang ketersediaanya demikian harus memiliki strategi tertentu yang
efisian untuk mendapatkannya atau memperoleh secara kombinasi. Hannya ada
sumberdaya yang ketersedianya hanya ada dalam suatu periode tertentu yang
singkat, namun meliputi area yang luas. Jenis sumberdaya lainnya ialah,
ketersediaannya hanya disuatu tempat tertentu saja, namun meliputi periode yang
cukup lama, dan paling ideal adalah apabila sumberdaya tersebut berada kapan
saja dan dimana saja, namun sumberdaya tersebut sangat jarang dijumpai.
Karena ketersediaan sumberdaya merupakan fungsi ruang dan waktu, yang
berbeda-beda coraknya, maka hewan yang memerlukan suatu sumberdaya tertentu
memerlukan suatu setrategi tertentu pula untuk mendapatkan sumberdaya itu.
Setrategi hewan untuk mendapatkan sumberdaya yang dibutuhkan merupakan
hasil dari adaptasi dan evolusi hewan yang yelah berlangsung lama dan terus
menerus, baik adaptasi morfologi, fisiologi, maupun perilaku salah satu
semberdaya yang paling penting bagi hewan adalah ketersediaan makan.

2.2 Hewan Ektotermi dan Endotermi


Terjadinya perubahan dari musim yang satu ke musim yang lain sepanjang
tahun akan mempunyai malam dan siang yang hamper sama panjangnya, yaitu
masing-masing sekitar 12 jam. Berdasarkan gambaran panjang penyinaran setiap
hari yang berbeda, maka di setiap bagian belahan bumi mendapatkan radiasi
cahay yang akan menimbulkan panas yang tidak sama. Sementara itu, setiap
hewan juga memiliki pengaturan dalam penerimaan dan pelepasan panas dari dan
ke lingkungan yang berbeda. Perpindahan panas dari satu benda ke benda yang
lain baik benda hidup atau benda mati, secara umum berlaku hokum fisika.
Mekanisme termoregulasi tersebut menjadi penting bagi suatu mahkluk
hidup karena suhu berpengaruh kepada tingkat metabolisme. Suhu yang tinggi
akan menyebabkan aktivitas molekul-molekul semakin tinggi karena energi
kinetiknya semakin besar pula. Akan tetapi, kenaikan aktivitas dengan
metabolisme hanya akan bertambah seiring dengan kanaikan suhu hingga batas
tertentu saja. Hal ini disebabkan metabolisme didalam tubuh diatur oleh enzim
(salah satunya) yang memiliki suhu optimum dalam bekerja. Jika suhu lingkungan
atau tubuh meningkat atau menurun drastis, enzim-enzim tersebut dapat
terdenaturasi dan kehilangna fungsinya (Isnaini, 2006).

8
Berdasarkan pola pengaturan panas atau suhu tubuhnya, hewan dibedakan
menjadi hewan ektotermi dan endotermi.
Hewan Ektotermi
Hewan ektotermi merupakan hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh
suhu lingkungan sekitarnya. Perolehan panas pada hewan ektotermi tergantung
pada berbagai sumber panas di lingkungna luarnya. Oleh karena itulah, mereka
akan lebih aktif pada saat lingkungan sekitarnya hangat, karena metabolisme
tubuhnya mengalami peningkatan, dan sebaliknya mereka akan lebih pasif atau
kekurangan energi pada saat musim dingin karena adanya penurunan metabolisme
di dalam tubuhnya.
Dalam kaitannya dengan hal yang sama, hewan yang suhu tubuhnya
berubah-ubah sesuai dengan perubahan suhu lingkungan disebut sebagai hewan
poikiloterm, yang dalam istilah disebut hewan berdarah dingin. Dikatakan
berdarah dingin karena rata-rata suhu tubuh lebih rendah dari suhu tubuh hewan
homeoterm.
Pengaturan suhu tubuh pada hewan-hewan ektotermi sangat terbatas,
sehingga suhu tubuhnya bervariasi mengikuti suhu lingkungannya atau disebut
juga sebagai penyelaras (konformer). Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim
rendah di bawah batas ambang toleransinya, hewan ektotermi mati. Hal ini karena
praktis enzim tidak aktif bekerja, sehingga metabolism berhenti. Pada suhu yang
masih ditolelir, yang lebih rendah dari suhu optimumnya, laju metabolisme
tubuhnya dan segala aktivitasnya pun rendah. Akibatnya gerakan hean tersebut
menjadi sangat lamban, sehingga akan mudah bagi predator untuk menangkapnya
(Ibkar-Kramadibrata,1992)
Contoh hewan ektotermi adalah ikan, amphibi, dan reptil. Cara adaptasi
hewan ektotermi terhadap suhu lingkungannya adalah sebagai berikut:
1. Adaptasi terhadap suhu sangat panas, yaitu meningkatkan laju pendinginan
dengan penguapan, dan mengubah mesin metaboliknya agar bisa bekerja pada
suhu tinggi. Bagi hewan yang berkulit lembab dengan cara berkeringat untuk
hewan yang mempunyai kelenjar keringat dan melalui saluran napas, bagi
hewan yang kulitnya tebal dan kedap air, mengubah mesin metaboliknya agar
bisa bekerja pada suhu tinggi.

9
2. Adaptasi terhadap suhu sangat dingin, yaitu dengan menambah zat terlarut ke
dalam cairan tubuhnya untuk meningkatkan konsentrsasi osmotik dan
menambah protein anti beku ke dalam cairan tubuh
Hewan Endotermi
Sedangkan hewan endotermi adalah hewan yang panas tubuhnya berasal
dari dalam tubuh, sebagai hasil dari proses metabolisme sel tubuh. Suhu tubuh
endotermi dipertahankan agar tetap konstan, walaupun suhu lingkungannya selalu
berubah. Dalam istilah lain kelompok hewan ini disebut juga sebagai kelompok
homeotermi. Hewan homeotermi adalah hewan-hewan yang dapat mengatur suhu
tubuhnya sehingga selalu konstan berada pada kisaran suhu optimumnya.
Hewan-hewan homeotermi, dalam kondisi suhu lingkungan yang berubah-
ubah, suhu tubuhnya konstan. Hal ini karena hewan-hewan itu mempunyai
kemampuan yang tinggi untuk mengatur suhu tubuhnya melalui perubahan
produksi panas (laju metabolisme) daam tubuhnya sendiri. Kemampuan untuk
mengatur produksi dan pelepasan panas melalui mekanisme metabolisme ini
dikarenakan hewan-hewan homeotermi memiliki organ sebagai pusat
pengaturnya, yakni otak khususnya hipotalamus sebagai thermostat atau pusat
engatur suhu tubuh. Suhu konstan untuk tubuh-tubuh hewan endotermi biasanya
terdapat diantara 35C - 40C. Karena kemampuannya mengatur suhu tubuh
sehingga selalu onstan, maka kelompok ini disebut juga sebagai hewan regulator
(regulatory). Pusat pengendali suhu tubuh terdapat di bagian hipotalamus dari
otak.
Hewan endotermi meliputi burung dan mamalia. Cara adaptasi hewan
endotermi terhadap lingkungannya adalah sebagai berikut:
1. Cara yang dilakukan hewan endotermi untuk meningkatkan pelepasan panas
karena suhu tubuh terlalu tinggi, yaitu dengan vasolidasi daerah perifer tubuh,
berkeringat, menurunkan laju metabolisme, dan respon perilaku.
2. Cara yang dilakukan hewan endotermi untuk mempertahankan atau
meningkatkan produksi panas karena suhu tubuhnya terlalu rendah, yaitu
dengan vasokonstriksi, menegakkan rambut, menggigil, meningkatkan laju
metabolisme, respon perilaku.

10
2.3 Konsep Waktu-Suhu

Konsep waktu-suhu merupakan gabungan antara faktor waktu dengan


faktor suhu lingkungan yang memiliki keterkaitan satu sama lain dalam
perkembangan suatu organisme. Organisme yang termasuk dalam konsep waktu
suhu ini adalah hewan poikiloterm dan hewan homoioterm. Pada hewan
homoioterm, karena dapat menyesuaikan dengan suhu lingkungan maka hewan
homoiterm akan melakukan adaptasi. Sedangkan hewan poikiloterm merupakan
hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan. Bahkan
suhu menjadi faktor pembatas bagi kebanyakan makhluk hidup. Suhu tubuh
menetukan kerja enzim-enzim yang membantu metabolisme di dalam tubuh.
Kepentingan suhu ini tidak hanya pada aktivitasnya melainkan pula berkaitan
dengan laju perkembangannya. Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju
perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Hewan
poikiloterm lama waktu perkembangan akan berbeda pada suhu lingkungan yang
berbeda. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan kisaran
suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut.
Pada hewan poikiloterm, waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan,
maka kombinasi waktu-suhu yang sering dinamakan waktu fisiologis itu
mempunyai arti penting. Dapat dikatakan pula bahwa waktu adalah fungsi suhu
untuk hewan ektotermal dan waktu dapat berhenti jika suhu turun di bawah
harga ambang. Sebagai contoh, suhu ambang terjadinya perkembangan pada
sejenis belalang adalah 16C, dan pada suhu 20C lama waktu yang diperlukan
untuk perkembangan telur hingga menetas adalah 17,5 hari, maka jika pada suhu
30C maka lama waktu untuk menetas hanya 5 hari. (Agus dkk, 2005)
Pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm atau poikiloterm
mengikuti suatu pola yang tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies
yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran suhu yang menarik yaitu:
1. Suhu rendah berbahaya, pada suhu yang ekstrim rendah di bawah batas
ambang toleransinya maka hewan ektoterm atau poikiloterm akan mati.
Hal ini disebabkan enzim-enzim tidak aktif bekerja sehingga
metabolismenya berhenti. Pada suhu yang masih lebih rendah dari suhu
optimum, laju metabolismenya dan segala aktivitasnya rendah. Sebagai

11
akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lambat sehingga
memudahkan predator atau pemangsa untuk menangkapnya.
2. Suhu tinggi berbahaya, suhu tinggi akan mendenaturasikan protein yang
juga menyusun enzim, dengan adanya denaturasi protein ini menyebabkan
metabolism dalam tubuh akan terhambat dan menyebabkan aktivitas dari
hewan tersebut akan terhenti.
3. Suhu di antara keduanya, pada suhu antara ini laju metabolism dari hewan
ektoterm akan meningkat dengan makin naiknya suhu secara eksponensial.
Hal ini dinyatakan dengan fisiologi hewan sebagai koefisien suhu,
koefisien suhu pada tiap hewan ektoterm relatif sama walaupun ada
yang sedikit berbeda. (Soetjipta, 1993)
Apabila dalam suhu rendah, hewan poikiloterm mungkin berubah menjadi
tidak aktif, atau bersifat tidur, atau dalam keadaan sedang hibernasi. Umumnya
hewan poikiloterm menggunakan periode penangguhan di dalam keadaan
dormansi, yaitu keadaan secara nisbi tidak aktif untuk menghemat energi, dan
energi tersebut yang dapat dipergunakan dalam waktu penangguhan berikutnya.
Dari keadaan tersebut hewan poikiloterm dapat berfungsi kembali bilamana suhu
meningkat di atas harga ambang. Adapun harga ambang adalah kuantitas faktor
minimum yang menghasilkan pengaruh yang dapat dirasakan oleh hewan tersebut.
Konsep waktu-suhu ini penting artinya untuk memahami hubungan antara
waktu dengan keterjadian-keterjadian serta dinamika populasi hewan-hewan
ektoterm. Dengan mengetahui konsep waktu-suhu ini kita mampu mengetahui
atau memprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi, mungkin saja tiap tahun
peledakan populasi akan terjadi dan dengan konsep waktu-suhu setidaknya ada
tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti dengan
memberantas, karena hewan ini merupakan hama dalam pertanian. Dan untuk
memberantas hama tersebut harus cepat karena memberantas telur dan pupa
berbeda dengan memberantas hewan dewasanya.
Tahun 2010, Indonesia dikejutkan oleh wabah ulat bulu yang melanda
daerah Probolinggo. Ulat bulu merupakan hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya
dipengaruhi oleh suhu lingkungan luar. Selain itu, terjadi fluktuasi suhu di
probolinggo yang menyebabkan semakin cepatnya pertumbuhan ulat bulu.

12
Fluktuasi suhu ini disebabkan karena ketidakstabilan suhu udara di daerah
probolinggo karena musim hujan yang terlalu panjang sehingga membuat
kelembaban udara menjadi tinggi. Dan hal ini membuat pertumbuhan ulat bulu
makin cepat karena suhunya cocok untuk melakukan pertumbuhan dengan waktu
yang cepat. Dan juga hanya terdapat satu jenis varietas pohon manga yang banyak
terdapat didaerah probolinggo sehingga menurunkan stabilitas lingkungan dan
memutus atau menyederhanakan rantai makanan pada tingkat rantai energi secara
menyeluruh sehingga terjadi peledakan populasi ulat bulu.
Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu
lingkungan terdapat hubungan linier. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu
disertai dengan kisaran suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada
Ulat bulu, waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-
suhu yang sering dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting
pengendalian hama ulat bulu dengan menggunakan prinsip ini dengan jalan
melakukan manipulasi terhadap fase fisiologis pertumbuhan ulat bulu. Arti dari
manipulasi yakni dengan jalan mengkondisikan agar telur yang dihasilkan ngegat
tidak sampai menetas menjadi instar dengan mengontrol suhu agar tetap dibawah
suhu minimum atau di atas suhu optimum fase pertumbuhan. Pada umunya
kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan
suhu maksimum 450C. Akan tetapi aplikasi konsep waktu-suhu sangat sulit
dilakukan dalam prakteknya secara konvensional, hal ini dikarenakan kondisi
iklim tropis di negara Indonesia dengan intensitas curah hujan dan panas yang
tinggi serta sulit untuk diprediksi.

13
BAB III

KESIMPULAN

Lingkungan bagi hewan adalah suatu faktor biotik dan abiotik yang ada di
sekitar hewan dan dapat mempengaruhinya. Lingkungan bagi hewan dapat
berfungsi sebagai kondisi dan sebagai sumberdaya. Istilah kondisi lingkungan
terutama digunankan untuk menunjukkan suatu besaran, kadar atau intensitas
faktor-faktor abiotik lingkungan. Istilah sumberdaya digunakan untuk
menunjukan suatu faktor abiotik maupun biotik yang diperlukan oleh hewan, yang
kuantitas ketersediaanya di lingungan akan menjadi berkurang apabila telah
dimanfaatkan oleh hewan tersebut. Faktor lingkungan dapat berubah seiring
dengan waktu yang sifat perubahannya dapat secara siklik, terarah, atau eratik.
Berdasarkan hubungan dan pengaturan suhu tubuh terkait dengan perubahan
suhu lingkungan hewan dikelompokkan menjadi dua macam, yakni hewan
ektotermi atau poikiloterm (golongan protozoa sampai reptil) dan hewan
endotermi atau homeoterm (golongan aves sampai mammalia termasuk manusia).
Konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm adalah hubungan atau
pengaruh suhu lingkungan terhadap perkembangan hewan, yang penting untuk
mengetahui masalah pewaktuan dari keterjadian-keterjadian serta dinamika
populasi hewan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Dharmawan, Agus, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang : UM Press

Ibkar-Kramadibrata, H. 1992. Diktat Ekologi Hewan. Bandung : Biologi FMIPA


ITB.
Isnaini, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Penerbit Kanisiu
Kramadibrata, H. 1996. Ekologi Hewan. Bandung : Institut Teknologi Bandung Press.
Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Depertemen Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

15

Anda mungkin juga menyukai